Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
Penatalaksanaan Uveitis Anterior ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk
memenuhi syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Mata
di RSUD Dr. Slamet Garut. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya referat ini
tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M, selaku dokter pembimbing penulisan
referat.
2. Dr. H. Syahruddin Hasyamin, Sp.M sselaku dokter pembimbing penulisan
referat.
3. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Mata RSUD Dr. Slamet Garut.
4. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr. Slamet Garut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir
penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat
menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Garut, April 2016

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................... 3

BAB II

ANATOMI UVEA ..................................................................... 4

BAB III

UVEITIS ANTERIOR ............................................................... 8


1. Definisi

2. Epidemiologi

3. Etiologi

4. Gejala dan Tanda

10

5. Diagnosis

12

6. Diagnosis Banding

13

7. Tatalaksana........................................................................... 14
8. Komplikasi .......................................................................... 18
9. Prognosis ............................................................................. 19
BAB IV

KESIMPULAN............................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................21

BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis adalah peradangan pada uvea yang dapat mengenai hanya bagian
depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut iritis. Bila
mengenai bagian tengan uvea maka keadaan ini disebut siklitis. Biasanya iritis disertai
dengan siklitis yang akan disebut dengan uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam
belakang mata maka akan disebut koroiditis. Uveitis anterior adalah peradangan
mengenai iris dan jaringan badan siliar (iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset
akut.1
Uveitis biasanya terjadi pada usia dainatar 20-50 tahun dan berpengaruh pada
10-20% kasus-kasus kebutaan yang tercatat pada negara-negara maju. Uveitis lebih
banyak ditemukan dinegara-negara berkembang dibandingkan pada negara maju, hal
ini berkaitan dengan lebih tingginya tingkat prevalensi infeksi yang mempengaruhi
mata, seperti toksoplasmosis, dan tuberkulosis dinegara-negara berkembang.2
Keluhan pada pasien dengan uveitis anterior akut berupa mata sakit, merah,
fotofobia, penglihatan turun ringan, mata berair dan mata merah. Bisa saja terjadi
keluhan sukar melihat dekat pada pasien dengan uveitis anterior hal ini dikarenakan
ikut meradangnya otot-otot akomodasi.1
Diperlukan pengobatan segera untuk mencegah kebutaan. Pengobatan pada
uveitis anterior adalah steroid yang diberikan pada siang hari dalam bentuk tetes, dan
malam hari dalam bentuk salep. Steroid sistemik bila diperlukan dalam dosis tunggal
seling sehari yang tinggi dan kemudian diturunkan sampai mencapai dosis efektif.
Steroid juga dapat diberikan dengan cara subkonjungtiva dan peribulbar. Pemberian
steroid untuk jangka lama dibagi dapat mengakibatkan timbulya katarak, glaukoma
dan midriasis pada pupil. Siklopegik diberikan untuk mengurangi rasa sakit, melepas
sinekia yang terjadi, memberi efek istirahat pada pupil yang meradang. Pengobatan
spesifik diberikan jika kuman penyebab diketahui.1

BAB II
ANATOMI UVEA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Uvea terdiri dari : iris, badan siliar (corpus siliaria), dan koroid. Bagian ini
adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini
juga ikut memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga uvea anterior
sedangkan koroid disebut uvea posterior.1

Gambar 1. Anatomi Mata

2.1.1 Iris
Iris adlaah perpajangan korpus siliaris kearah anterior. Iris merupakan
permukaan pipih dengan apertura bulat yang berada di tengah, yang disebut dengan
pupil. Iris bersambungan dengan letak anterior lensa, memisahkan bilik mata depan
dan bilik mata belakang, yang masing masing berisikan aquos humour. Didalam
stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada
permukaan posterior iris merupakan neuroretina dan lapisan epitel epitel pigmen
retina kearah anterior.2
Perdarahan iris didapatkan dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang (non-fenesrata) sehingga normalnya
4

tidak akan membocorkan flouresesnce yang disuntikan secara intravena. Persaravan


sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervus ciliaris.2
Iris mempunyai kemampuan megatur secara otomatis jumlah masuknya
cahaya kedalam bola mata. Reaksi pupil ini merupakan juga indikator untuk fungsi
simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar merupakan susunan
otot melingkar dan mempunyai sistem ekskresi di belakang limbus. Radang pada
badan siliar ini akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darag di daerah limbus,
yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan gamabaran karakteristik pada
peradangan intraokular.1
Di dalam iris terdapat sfingter pupil (M. Sphincter pupillae), yang berjalan
sirkuler, letaknya di dalam stroma dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis,
N. III. Selain itu juga terdapat otot dilatator pupil (M. Dilatator pupillae), yang
berjalan radier dari akar iris ke pupil, letaknya di bagian posterior stroma dan diurus
saraf simpatis.2

Gambar 2. Anatomi Iris

2.1.2. Badan Siliar


Badan siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian yaitu :
pars korona, yang anterior bergerigi, panjangnya kira-kira 2mm dan pars plana, yang
posterior tidak bergerigi panjangnya kira-kira 4mm. Badan siliaris berfungsi sebagai
pembentuk aquous humor. Badan siliar merupakan bagian terlemah dari mata.
Trauma, peradangan, neoplasma di daerah ini merupakan keadaan yang gawat.2
Pada bagian pars korona diliputi oleh 2 lapisan epitel sebagai kelanjutan dari
epitel iris. Bagian yang menonjol (processus ciliaris) berwarna putih oleh karena
tidak mengandung pigmen, sedangkan di lekukannya berwarna hitam, karena
mengandung pigmen. Di dalam badan siliaris terdapat 3 macam otot siliar yang

berjalan radier, sirkuler, dan longitudinal. Dari processus ciliaris keluar serat-serat
Zonula Zinii yang merupakan penggantung lensa. Fungsi otot siliar untuk akomodasi.
Kontraksi atau relaksasi otot-otot ini mengakibatkan kontraksi dan relaksasi dari
kapsula lentis, sehingga lensa menjadi lebih atau kurang cembung yang berguna pada
penglihatan dekat atau jauh. Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah
dimana pembuluh darah baliknya mengalirkan darah ke V. Vortikosa. Pada bagian pars
plana, terdiri dari satu lapisan tipis jaringan otot dengan pembuluh darah diliputi
epitel.2

Gambar 3. Anatomi Badan Siliar

2.1.3. Koroid
Koroid adlah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid
tersusun aras tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang dan kecil. Semakin
dalam pembuluh terletak dalam koroid, akan semakin besar lumennya. Bagian dalam
pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh darah
koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, yang berada di satu di setiap kuadran
posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan disebelah luar
oleh sklera. Terdapar ruang suprakoroid yang berada diantara koroid dan sklera.
Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Disebelah anterior
koroid bergabung dengan corpus ciliare.2

Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang


menyokongnya.

Gambar 4. Anatomi Koroid

BAB III
UVEITIS ANTERIOR
1.

DEFINISI
Uveitis diartikan sebagai adanya inflamasi pada traktus uvea. Radang

pada uvea dapat mengenai hanya pada bagian depan jaringan uvea atau selaput
pelangi (iris) dan keadaan ini disebut dengan iritis. Bila radang mengenai bagian
tengah uvea maka disebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis pada
keadaan ini akan disebut dengan uveitis anterior. Bila disertai dengan peradangan
pada bagian selaput hitam bagian belakang mata maka akan disebut dengan
koroiditis.1,3
Istilah uveitis menunjukan suau peradangan pada iris, (iritis,
irisosiklitis), corpus ciliare (uveitis intermediate, siklitis, uveitis perifer, atau pars
planitis) atau koroid (koroiditis). Namun dalam praktiknya istilah ini cukup mencakup
peradagan pada retina (retinitis), pembuluh darah retina (vaskulitis retinal), dan
nervus optikus intraocular (papilitis). Uveitis juga dapat terjadi sekunder akibat
peradagan kornea (keratitis), radang sklera (skleritis) atapun karena keduanya
(sklerokeratitis).2

2.

EPIDEMIOLOGI
Uveitis umunya terjadi pada usia 20-50 tahun dan berpengaruh pada 10%-

20% kasus kebutaan yang terjadi dan tercatat pada negara-negara maju. Uveitis lebih
banyak ditemukan di negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara maju
hal ini karena berkaian dengan tingginya prevalensi infeksi yang bisa terjadi dapat
mempengaruhi kesehatan mata, seperti infeksi toksoplasmosis, dan tuberkulosis
dinegara-negara berkmbang.2
Insidensi Akut Anterior Uveitis (AAU) tercatat 15-20/100.000 per
kejadian uveitis, dan dinyatakan sebagai kejadian uveitis tersering. Dokter mata di
UK memperkirakan bertambahnya satu pasien baru setiap 3 minggu setiap tahunnya.
Pada pelayanna kesehatan tingkat kedua uveitis merupakan penyakit yang cukup

banyak di temukan, sedangkan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama uveitis


memang tidak sebanyak kasus konjungtuvitis yang merupakan kasus terbanyak pada
penyebab kasus-kasus dengan mata merah.4

3.

ETIOLOGI
Klasifikasi uveitis berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua kelompok
besar yaitu Exogenous Uveitis dan Endogenou Uveitis ;
Exogenous Uveitis atau uveitis yang disebabkan dari luar biasanya
dikarenakan adanya trauma dari luar ke dalam uvea ataupun adanya
invasi mikroorganisme atau adanya agen lainnya yang masuk ke uvea
dan menyebabkan peradangan pada uvea.
Endogenous Uveitis atau uveitis yang disebabkan dari dalam dikarenakan
adanya mikroorganisme ataupun agent lain yang berasal dari dalam diir
pasien. Dalam hal ini endogenous uveitis dibagi menjadi beberapa
subtipe :
1.

Berkaitan dengan penyakit sistemik, dalam tipe ini contohnya


adalah ankylosing dan spondilitis.

2.

Infeksi, penyebab infeksi sendiri bisa dikarenakan oleh bakteri


(contohnya: tuberkulosis), fungi (contohnya ; kandidiasis), virus
(

contohmya;

herpez

zooster),

protozoa

(contohnya;

toksoplasmosis), ataupun cacing gelang (contohny; toxocariasis)


3.

Idiophatic specific uveitis entities merupakan group penyakit


yang tidak memiliki hubungan dengan penyakit sistemik tetapi
memiliki

karakteristik

spesial

dengan

kejadian

uveitis

(contohnya ; Fuchs uveitis syndrome)


4.

Idiophatic non-specific uveitis entities merupakan kejadian


uveitis yang tidak masuk kedalam kategori yang telah disebutkan
sebelumnya. Tipe ini merupakan uveitis yang paling sering
terjadi, tangka kejadiannya mencapai 25% dari seluruh angka
kejadian uveitis.3

4.

GEJALA DAN TANDA


Uveitis anterior merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan biasanya
bersifat unilateral dengan onset akut. Gejala yang khas meliputi nyeri, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Pada pemriksaan biasanya ditemukan sirkumkorneal
dengan injeksi konjungtiva palpebralis dan sekret yang minimal. Pada
pemeriksaan pupil bisa saja miosis ataupun ireguler karena adanya sinekia
posterior. Sensibilitas kornea dan tekanan intra okular harus diperiksa pada setia
pasien uveitis. Penurunan sensitivitas kornea bisa terjadi pada uveitis yang
disebabkan oleh herpes simplek, herpes zooster ataupun leprae. Sedangkan
peningkatan tekanan intra okular dapat terjadi pada kasus iridosiklitis (uveitis
anterior) yang dikarenakan herpes simplex, herpez zooster, toksoplasmosis,
sifilis, sarkoidosis ataupun iridoskilitik yang jarang terjadi, yang sering disebut
dengan krisis glaukomatoksiklitik atau yang dikenal dengan syndroma possnerschlossman.1
Tanda
Injeksi ,

pada kasus uveitis anterior akut dapat ditemukan adanya injeksi

siliaris sirkumkorneal.
Keratic Prestipitate (KP) , adalah deposit seluler pada endotel kornea.
Karakteristik dan distribusi pada keratik prestipitat penting dalam memberikan
petunjuk kemungkinan jenis uveitis yang terjadi. Kp sering berada pada bagian
tengan dah bawah dari zona kornea, tetapi bagaimanapun pada kasush Fuchs
Uveitis syndrome KP yang terjadi berada pada seluruh endotel kornea.
1. Small KP , di karakteristikan dengan adanya uveitis yang diarenakan
herpes zoster, atapun pada Fuchs uveitis syndrom
2. Medium KP sering ditemukan pada sebagian besar uveitis anterior akut
dan kronik
3. Large KP biasanya jenis yang ditemukan adalah mutton fat dan
terdapat gambaran seperti lemak. Biasanya ditemukan pad akaus
granulomatous uveitis

10

4. Fresh KP bentuknya putih dan bulat, dengan berjalannya waktu, kp ini


akan menyusut dan terpigmentisasi, dan selanjutnya kehilangan warna
dan terhyalinisasi ground-glass
Nodul Iris , merupakan ciri khas pada inflamasi granulomatous
1. Koeppe merupakan nodul yang berukuran kecil dan biasanya berada
disekitar pinggiran pupil
2. Busacca merupakan nodul yang berukuran lebih besar tetapi lebih jarang
terjadi. Nodul tipe ini berada pada permukaan iris dan jsuh dari pupil
Aqueous cells merupakan tanda adanya inflamasi aktif. Aquous cell ini dibagia
menjadi beberapa grading berdasarkan jumlah cell pada pemeriksaan slit lamp,
Pada pemeriksaan intensitas cahaya dan pembesaran slit lamp harus maksimal,
lebar 3mm dan panjang 1 mm. Sel yang terdeteksi harus di itung dan dinyatakan
dalam grading :
5-10 sel = +1
11-20 sel = +2
21-50 sel = +3
>50 sel = +4
Aqueous Flare , merupakan hasil dari kebocoran protein yang masuk ke aquous
humor yang disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah pada iris, aquous flare
juga bukan pertanda pasti adanya inflamasi aktif, oleh sebab itu jika pada kasus
yang ditemukan flare tanpa adanya sel pada aquous humor hal ini bukan
merupakan indikasi pemberian terapi. Sama halnya dengan sel, Aquous flare
juga dibagi menjadi 4 grade;
faint just detectable = +1
moderate iris details clear = + 2
marked iris details hazy = +3
intense with severe fibrinous exudates = +4

11

Sinekia Posterior , adalah penempelan antara permukaan anterior lensa dengan


iris, hal ini terbentuk saat adanya akut anterior uveitis karena ukuran pupil yang
kecil. Sinekia posterior juga dapat terbentuk saat adanya moderate-to-sever
kronik anterior uveitis. Sinekia posterior terjadi 360 derajat (seclusio pupillae)
hal ini akan mengakibatkan terhambatnya aliran quous humor dari cop ke coa
sehingga menyebabkan bentuk iris lebih cembung atau sering disebut iris
bombe, dan juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular.
Anterior vitreous cells, harus dibandingkan dengan jumlah yang berada di
quous humor. Pada kasus iritis aquos cells jumlahnya jauh melebihi vitreous
cell, sedangkan pada kasus iridosklitis cells tersebut terdistribusi sama diantara
dua kompartemen tersebut.3

5.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan pada pasien uveitis
ringan dan pasien dengan riwayat trauma atau pembedahan baru-baru ini, atau
ada pasien dengan tanda-tanda infeksi virus herpes simplex atau zoster yang
jelas, seperti dermatitis vesikular penyerta, keratitis dendritik atau disciformis,
atau atrofi iris sektoral. Di lain pihak pemeriksaan juga sebaiknya ditunda pada
pasien usia muda hingga pertengahan yang sehat dan asimptomatik, yang
mengalami periode pertama iritis atau iridosiklitik unilateral akut ringan hingga
sedang yang berespon baik pada pemberian terapi kortikosteroid topikal dan
siklopegik.2
Pada pasien uveitis difus, posterior, atau intermediate, dengan kelainan
granulomatosa, bilateral, berat, dan rekuren harus diperiksa sebagaimanasetiap
pasien uveitis yang tidak cepat berespon pengobatan standar. Pemriksaan sifilis
harus mencakup Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid
Plasma Reagin (RRR) dan uji antibodi anti-Treponema yang lebih spesifik
seperti FTA-ABS atau MHA-TP assay. Kemungkinan tuberkulosis dan
sarkoidosis harus disingkirkan dengan pemeriksaan sinar-X ataupun tes kulit
dengan menggunakan purified protein derivate (PPD) dan kontrol untuk anergi,
seperti campak dan kandida.

12

Pemeriksaan lain diluar uji sifilis, tuberkulosis dan sarkoidosis hendaknya


dilakukan dan disesuaikan dengan temuan yang didapat pada anamnesa dan
pemriksaan fisik. Sebagai cntoh, pemeriksaan titte ANA (antibodi antinukleus)
dilakukan pada pasien anak kecil dengan iridoksiklitis kronik dan arthritis yang
dicurigai mengalami arthritis idiopatik juvenilis; uji antigen histokompatibilitas
HLA-B27 untuk pasien arthritis, psoriasis, urethritis, atau pasien dengan gejala
sesuai dengan inflammatory bowel disease ; titer IgG dan IgM toksoplasmosis
untuk pasien dengan uveitis difus unilateral dan retinokoroiditis fokal.2

6.

DIAGNOSIS BANDING

Uveitis Posterior , yang telah menyebar ke COA. Keluhan utama pada


pasien ini adalah adanya bayangan hitam jika melihat, penurunan tajam
penglihatan dan saat dilakukan pemriksaan funduskopi ditemukan
temuan yang mendukung

Traumatic Iritis

Sindroma Psoner-Schlossman ,

sifatnya episodik rekuren dengan

disertai dengan peningkatan tekanan intra okular dan inflamasi yang


minimal, dapat disertai dengan udem pada kornea, dapat ditemukan KP,
mid-dilated pupil

Drug-induced Uveitis, beberapa obat-obat yang diketahui berkaitan


dengan uveitis rifabutin, cidofovir, sulfonamides, pamidronate (inhibitor
resorpsi tulang)

Sklerouveitis, uveitis sekunder yang didahului dengan adanya skleritis,


keluhan utama pada pasien ini adalah rasa nyeri yang amat sangat.

Tight contact lens , ditandai dengan mata merah, edem kornea, adanya
epithelial defect, iritis dapat disertai dengan hipopion, dan tidak disertai
dengan stromal infiltrat.

Keratouveitis , didapatkan riwayat trauma kornea sebelumnya atau


riwayat penggunaan kontak lens, dapat ditemukan infiltrat kornea.

13

Infeksi Endoftalmitis , riwayat operasi sebelumnya, rasa nyeri, terdapat

hipopion, fibrin, vitritis, penurunan tajam penglihatan, riwayat trauma


sebelumnya, adanya demam, dan terdapat peningkatan sel darah putih.
Sindrom Schwartz , Glaukoma dan reaksi COA yang dikarenakan

kronik low-lying retinal detachment , disertai pelepasan retina dengan


dialisis.
Tumor ,

retinoblastoma pada anak-anak, intraokular limfoma pada

orang tua dan metastasis dari keganasan lainnya pada setiap usia.5

7.

TATALAKSANA

Tujuan dari penatalaksanaan pada uveitis anterior adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi,

menghilangkan

rasa

ketidaknyamanan

pada

pasien

dan

jika

memungkinkan mengobati penyakit yang mendasari terjadinya uveitis. Terdapat


empat kelompok jenis obat yang sering digunakan pada pasien uveitis adalah ;
midriatic, steroid, cytotoxic, dan cyclosporin. Pasien dengan uveitis yang disebabkan
oleh infeksi membutuhkan antibiotik ataupu anti-viral yang sesuai.3
Mydriatic
Indikasi pemberian obat-obatan mydriatic adalah ;

Memberi rasa nyaman, dengan cara meredakan spasme otot siliaris


dan sfingter dari pupil yang terjadi pada uveitis anterior akut yang
berat. Dalam hal ini dapat diberikan atropin yang merupakan
cyclopegic paling kuat. Rata-rata tidak dibutuhkan pemberian atropine
lebih dari 1-2 mnggu. Jika tanda-tanda inflamasi sudah berkurang
dapat diganti dengan short-acting mydriatic seperti tropicamide atau
cyclopentolate.

Untuk mencegah terjadinya sinekia posterior , dengan penggunaan


short-acting mydriatic yang dapat menjaga pupil tetap mobile. Dalam
kasus kronik uveitis anterior ringan obat mydriatic dapat digunakan
sekali saat waktu tidur untuk mencegah kesulitan dalam akomodasi
saat siang hari. Pada uveitis kronik anterior , pupil tidak boleh
14

dibiarkan berdilatasi terus-menerus karena sinekia posterior tetap bisa


terjadi pada keadaan pupil dilatsi. Pada anak-anak penggunaan
midriatic yang berkepanjangan dapat menyebabkan ambliopia.

Untuk melepaskan sinekia posterior , jika memungkinkan dapat


digunaka

intensif

topikal

midriatic

seperti

atropine

ataupun

phenylephrine, ataupun injeksi subkonjungtiva dnegan adrenaline,


atropine dan procaine.
Tropicamide dan phenylephrine hydrochloride merupakan obat-obatan
anti-miscarinic dan selective alfa-adrenergic reseptor agonis Obat-obat ini
bekerja sebagai midriatic dan cycloplegic yang memiliki efek mengurangi
resiko terjadinya sinekia posterior dan mengurangi inflamasi pada bagian
kamar okuli anterior pada mata. Dalam beberapa penelitian juga menunjukan
obat ini memiliki efek mengurangi intensitas flare, dibandingkan obat-obat
lain yang tidak memiliki efek tersebut.6

Steroid
Steroid merupakan salah satu obat utama pada kasus uveitis, steroid dapat
diberikan secara topikal tetes maupun salep, injeksi periokular ataupun secara
sistemik.
STEROID TOPIKAL
Pemberian steroid topikal hanya digunakan pada uveitis anterior
karena steroid topikal tidak memberikan efek terapi pada jaringan
dibelakang lensa. Steroid topikal yang digunakan merupakan steroid
kuat seperti dexamethasone, prednisolone, dan bethametasone karena
penggunaan preparat steroid yang lebih rendah seperti fluorometholone
dan clobetasone memiliki efek terapi yang lebih terbatas. Penggunaan
topikal tetes lebih disarankan dibandingkan dengan salep, penggunaan
salep masih dapat digunakan tetapi terbats hanya pada waktu tidur.
Frekuensi pemberian steroid topikal bergantung pada klinis uveitis
itu sendiri, pemberian dapat diberikan mulai dari setiap 5 menit sekali
sampai satu tetes setiap harinya. Sewajarna pemberian steroid dimulai

15

dari frekuensi dan di turunkan secara perlahan jika sudah didapatkan


perbaikan klinis.
Managemen terapi pada uveitis anterior akut relatif lebih mudah,
biasanya pemberian steroid di tappering off setelah beberapa hari dan
pemberiannya dihentikan setelah 5-6 minggu. Sebaliknya penanganan
uveitis anterior kronik jauh lebih sulit, karena pemberian terapi harus
diberikan sampai beberapa bulan atau bahkan tahun.3
Penggunaan obat-obatan steroid dapat memberikan efek samping
steroid-induced ocular hypertension. Pada 4 pasien (dengan 6 mata yang
dalam pengobatan) pernah mengalami steroid-induced ocular hipertensi
setelah menjalani pengobatan dengan menggunakan bethametasone eye
drops 3-6 kali dalam sehari. Tetapi pada penelitian tersebut didapatkan
pada pasien yang hanya mendapatkan bethamethasone eye drops 1 tetes
perhari, tidak menimbulkan efek samping steroid-induced ocular
hipertensi. Oleh karena itu, diperkirakan terdapat batasan dosis
pemberian bethamethasone yang dapat menyebabkan steroid-induced
ocular hipertensi, tetapi hal ini juga berkaitan dengan masing-masing
induvidu. Pada penelitian oleh Matafsti et al menunjukan pengurangan
penggunaan fluorometholone eye drops aman dalam pengobatan antiinflamasi dalam mencegah terjadi steroid-induced glaukoma. Pada
penelitian tersebut pemberian tetes mata diberikan empat kali dalam
sehari, dan diturunkan satu-satu setiap minggunya pada penggunaan obat
jangka panjang.6
STEROID INJEKSI PERIOKULAR
Keuntungan pemberian periokular injeksi dibandingkan dengan
pemberikan topikal adalah
o Dapat memberikan efek terapi sampai ke jaringan dibelakang
lensa
o Steroid bersifat hanya water soluble sehingga tidak dapat
menembus kornea jika diberikan secara topikal, sedangka jika

16

diberikan jika diberikan secara injeksi periokular dapat


menembus hingga sklera.
o Dapat memberikan efek jangka panjang, seperti dalam
penggunaaan

triamcinolone

acetonide

(kenalog)

atau

methylprednisolone acetate (Depomedrone).


Indikasi pemberian steroid degan teknik injeksi periokular
adalah :
oUveitis anterior akut berat, terutama pada pasien dengan
ankylosing spondilitis dengan adanya eksudat fibrinous pada COA
ataupun hipopion.
oSebagai terapi tambahan pada pemberian topikal ataupun sistemik
pada kasus uveitis anterior kronik yang resisten
oUveitis intermediate
oPasien dengan komplains yang buruk
oPada saat operasi mata dengan pasien uveitis.
STEROID SISTEMIK
Preparat utama pemberian steroid sistemik yang sering digunakan
adalah prednisolone 5 mg. Enteric coated (2,5mg) dapat diberikan pada
pasien dengan ulkus gaster. Injeksi adrenochortoicothropic hormone
(ACTH) dapat digunakan pada pasien pasien dengan intoleransi terapi
oral.
Indikasi pemberian terapi steroid sistemik pada uveitis anterior adalah :
Uveitis anterior yang gagal dalam pengobatan dengan penggunaan
steroid topikal ataupun injeksi sub-tenon
Uveitis anterior yang gagal dengan pengobatan steroid injeksi
posterior sub-Tenon
Uveitis posterior yang gagal dengan pengobatan steroid injeksi
posterior sub-Tenon

17

Kontraindikasi pemberian terapi steroid sistemik pada uveitis adalah :


Uveitis yang tidak aktif dengan kronik flare tanpa ditemukan cells
Uveitis anterior yang ringan
Itermediate uveitis dengan penglihatan normal
Fuchs uveitis syndrome
Pada kasus yang memberikan respon lebih baik pada penggunaan
antibiotik.
Pada sebuah penelitian didapatkan penggunaan NSAID pada kasus-kasus
uveitis anterior memiliki manfaat yang baik, dan memiliki dua keunggulan yaitu
dapat mengurangi inflamasi yang terjadi dan dapat mengurangi penggunaan
steroid. Penggunaan NSAID ini telah dicobakan pada dua kasus yang pertama
adalah pada kasus iridosiklitis pada anak dan yang kedua adalah pada pasien
dengan juvenile rheumatoid artritis yang mengalami iridosiklitis. Pada
penelitian pertama penggunaan NSAID sebagai obat tambahan pada pengobatan
14 pasien, didapatkan hasil perbaikan pada iridosiklitis yang dialami dengan
kemungkinan pengurangan penggunaan obat steroid. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan penggunaan obat NSAID sebagai obat tambahan pada
pasien dengan uveitis anterior rekuren, dan diduga penggunaan NSAID sebagai
terapi utama memiliki efektivitas, dan dapat mengurangi penggunaan steroid
dan dapat mencapai tujuan perbaikan uveitis tanpa steroid.6
Penggunaan NSAID pada penelitian diatas adalah celecoxib dan
diflunisal. Mekanisme spesifik pada aksi celecoxibe adalah dengan menghambat
kerja cyclooxygenase-2 (COX-2). Efek samping yang paling sering timbul pada
penggunaan celecoxibe adalah berkaitan dengan nyeri perut, diare, dan
dispepsia. Diflunisal merupakan derivate difluorophenyl dari asam salisilat dan
merupakan non-selektif COX inhibitor, efeksamping yang paling sering terjadi
pada penggunaan diflunisal adalah mual, munth, nyeri perut, diare, konstipasi,
dan dispepsia.7

Cytotoxic
18

Indikasi pemberikan obat-obatan cytotoxic pada kasus uveitis adalah :


Pada kasus-kasus uveitis yang mengancam kebutaan, pada kasus
uevitis berulang yang gagal setelah diberikan pengobatan steroid yang
adekuat.
Pada pasien pasien dengan intoleransi steroid sistemik
Tipe uveitis spesifik yang harus diberikan terapi cytotoxic :
Uveitis Posterior pada kasus Bechets Syndrome
Uveitis Simpatetik merupaka indikasi relatif diberikan obat golongan
cytotoxic, karena sebagian besar kasus ini dapat terkontrol dengan
pemerian steroid yang adekuat. Kedua antara chlorambucil dan
cyclophospamide ditemukan memebrikan efek yang baik pada kasus
yang resisten pada pemberian steroid.
Uveitis intermediate, merupakan indikasi yang jarang karena biasanya
uveitis intermediate berespon baik dengan pemberian steroid injeksi
periokular. Pada kasus yang parah dan resisten dapat diberikan
azathioprine, chlorambucil ataupun cyclophospamide.

Cyclosporin
Cyclosporine merupakan anti T-cell imunosupresive agent kuat, oleh
karena itu tidak berpengaruh pada sumsum tulang seperti halnya cytotoxic.
Cyclosporine memiliki efek yang baik pada kasus uveitis yang telah gagal
dalam pengobatan steroid maupun cytotoxic agent. Cyclosporine dosis rendah
dapat diberikan secara kobinasi dengan steroid sistemik. Komplikasi utama
yang terjadi pada penggunaan cyclosporine adalah hipertensi dan nefrotoksik.3

Regimen pengobatan yang paling sering diberikan pada kasus Acute Anterior
Uveitis (AAU) adalah kombinasi pemberian steroid dan cycloplegic topikal. Secara
keseluruhan hanya satu pasien yang tidak menggunakan steroid topikal dalam
penelitian ini, hal ini dikarenakan perhatian pasien tersebut dengan adanya efek

19

samping yang ditimbulkan. Rata-rata durasi pemberian steroid topikal pada pasien
adalah 10 minggu, tidak terdapat perbedaan antara pasien yang memiliki HLA-B27
posistif dan negativ. Pasien yang memiliki hubungan dengan penyakit sistemik diobati
dengan durasi rata-rata selama 11 minggu, sedangkan yang tidak memiliki penyakit
sistemik rata-rata diobati selama 9 minggu. Pasien dengan gejala rekurensi diobati
dalam jangka waktu rata-rata 11,4 minggu.9
Pada serangan-serangan yang parah, penggunaan steroid yang digunakan
merupakan steroid sistemik lebih sering dibandingkan dengan steroid topikal atau
periokular. Terapi sistemik diberikan pada pasien yang tidak memberikan respon pada
terapi topikal maksimal setelah pemberian 24-48 jam.9

Gambar 5. Pemberian obat pilihan pada beberapa penyebab tersering pada uveitis

8.

KOMPLIKASI
Penyulit pada uveitis anterior adalah terjadinya sinekia posterior maupun
sinekia anterior perifer yang akan mengakibatkan glaukoma sekunder.
Glaukoma sekunder pada uveitis terjadi karena akibat tertutupnya trabekulum
oleh sel radang atau sisa sel radang. Kelainan sudut dapat dilihat dengan
pemeriksaan

gonioskopi.

Bila

terdapat

glaukoma

sekunder

diberikan

asetazolamida.1,2

20

Peradangan dibilik mata depan maupun belakang akan mencetuskan


terjadinya penebalan ataupun opasifikasi lensa. Pada awalnya akan terjadi
kelainan refraksi minimal, biasanya kearah miopia, namun berjalan nya waktu
katarak akan terbentuk dan seringkali membatasi visus koreksi yang terbaik.
Pada keadaan ini tatalaksananya adalah dengan operasi katarak, tetapi dengan
indikasi jika infeksi intraokular sudah teratasi.2
Edema makula kistoid adalah penyebab hilangnya penglihatan paling
sering yang ditemukan pada pasien uveitis dan biasanya terlihat pada kasuskasus uveitis anterior berat atau uveitis intermediate. Edema makula
berkepanjangan atau rekuren dapat menyebabkan hilangnya penglihatan yang
permanen akibat adanya degenrasi kistoid. Angiografi kistoid dapat digunakan
untuk menegakan adanya edema makula dan memantau respon terapinya. 2
Ablasio retina bentuk traksional, regmatogenosa, dan eksudatif jarang
terjadi pada pasien uveitis posteriro, intermediate, ataupun difus. Ablasio retina
eksudatif mengesankan peradangan koroid yang nyata dan paling sering pada
sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatika, dan skleritis posterior; atau
menyertai kondisi retinitis berat atau vaskulitis retina.2
9.

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit uveitis adalah sangat khas yaitu penyakit hanya
berlangsung 2-4 minggu. Kadang penyakit ini memperlihatkan gejala
kekambuhan atau menjadi menahun. Diperlukan pengobatan segera untuk
mencegah terjadinya kebutaan.1

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Uveitis, dalam Ilmu Penyakit Mata. 2013. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. Hal 7, 175-6 .
2. Cunningham ET, Shetlar DJ. Traktus Uvealis dan Sklera, dalam Vaughan dan
Asbury Oftalmologi Umum. 2009. Jakarta: EGC. Hal 10-1, 150-168.
3. Kanski JJ. Uveitis, dalam Clinical Ophthalmology ; A systemic Approach. Third
Edition. 1997. London: Butterworth Heinemann. 151-5
4. Jones NP, Mercieca K. Treatment of acure anterior uveitis in community as seen
in emergency eye centre. A lesson for the general practice. European Journal
of General Pratice. 2012 ; 18: 26-9
5. Kunimoto DY, Kanitkar KD. Anterior Uveitis (Iritis/Iridocyclitis) dalam The
Wills Eye Manual. 2004. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hal:
290-5
6. Kawamura M, Zako M. Long-Term Stability of Uveitis with Faint Anterior
Chamber Flare Treated with Once-Daily Topical Ophthalmic Bethamethasone.
Springer Science + Business Media New York. Inflamation. 2014. Vol 37(2):
417-425
7. Fiorelli VM, Pooja B, Foster S. Nonsteroidal Anti-inflamatory Therapy and
Recurent Acute Anterior Uveitis. Ocular immunolog & inflamation. 2010 ;
18(2): 116-120.
8. Schaftenaar E, Lecuona KA, Baarsma GS, et al. Healthcare Delivery: Anterior
Chamber Pracentesis to improve diagnosis and treatment of infectious uveitis
in South Africa. SAMJ. 2015. Vol 105(8): 628-630.
9. Karaconji T, Maconochie Z, McCluskey P. Acute Anterior Uveitis in Sydney.
Ocular imunologi & Inflamation. 2013. Vol 21(2): 108-114.

22

Anda mungkin juga menyukai