Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tindakan Malpraktek
disusun oleh:
Santi Nastiti, 0906490411
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkah limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini membahas mengenai Informed Consent, Sebagai Upaya
Preventif Tindakan Malpraktek. Makalah ini disusun selain dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Hukum Kesehatan, juga untuk
mengetahui lebih dalam bagaimana informed consent, sebagai upaya preventif
tindakan malpraktek.
Dalam
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih penulis
sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Begitu pula isi dari makalah ini.
Penulis berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun
untuk kemajuan penulis di masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .........................................................................................................
ii
ABSTRAK ............................................................................................................
12
16
32
ii
38
39
iii
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan
yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus
percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan
demikian
lama-kelamaan
mengalami
perubahan,
sehubungan
dengan
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien), cetakan ke-2, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2002), hal 38-39.
2
Husein Kerbala, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, cetakan ke-1, (Jakarta:
informed
consent
sebagai
upaya
preventif
tindakan
malpraktek?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Tempo
Online,
Vonis
Bebas
Untuk
Profesi
Dokter,
diakses
dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.19840825.HK41200.id.html,
pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.53 WIB.
BAB II
PEMBAHASAN
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran
membedakan
pasien
dengan
dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah
mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk
melakukan tindakan profesinya. Sertifikat kompetensi menurut Pasal 1 Angka 4
UU ini adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau
dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah
lulus uji kompetensi. Selain itu, dalam Pasal 36 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa;
Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki SIP. SIP adalah akronim dari Surat Izin Praktik, yaitu
bukti tertulis yang diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada dokter dan
dokter gigi yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik
kedokteran
(Pasal
angka
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di Semarang, Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan, Vol. 2 Nomor 3 April 2009, Hal 248.
Veronica, Op.cit.
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet. ke-1, Grafikatama Jaya, 1991,
hal 42-43.
plastik dengan pasiennya, serta dokter ahli orthopedi yang membuat prothesa
kaki untuk pasiennya.
2.
menurut Husein
keduanya. Suatu operasi usus buntu yang dilakukan di kota besar dengan rumah
sakit yang relatif lengkap dan modern peralatannya dengan dokter-dokter
spesialisasi yang cukup berpengalaman, maka operasi itu dapat dimasukkan dalam
Resultaatsverbintenis. Namun bila operasi usus buntu itu dilakukan di sebuah
puskesmas atau di rumah sakit di kota kecil yang serba terbatas peralatan dan
tenaga medisnya, maka tidak dapat dikategorikan dalam Resultaatsverbintenis,
tetapi tepat dimasukkan Inspanningsverbintenis.9
2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto)10
8
terapeutik adalah suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk melakukan tindakan
terapeutik atau pengobatan. Lihat, Husein Kerbala, op.cit., hal 38. Terhadap hubungan hukum
yang terjadi antara pasien dengan dokter menurut beliau lebih tepat digunakan istilah perjanjian
medis atau kontrak medis yaitu suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya mengenai
hal-hal yang menyangkut medis. Istilah perjanjian medis ini lebih luas dari kontrak terapeutik,
karena perjanjian medis ini dapat mencakup sampai tindakan terapi. Terminologi tersebut di atas
juga dipakai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 1 angka 3 Permenkes ini menyebutkan tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Permenkes sepakat dengan Husein Kerbala bahwa definisi tindakan terapeutik lebih sempit
cakupannya daripada tindakan medis.
9
10
10
11
12
12
Ibid., hal 53
13
b.
Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama
dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
c.
Alternatif
tindakan
lain
berikut
kelebihan
dan
kekurangannya
14
e.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua
risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
2.3.2. Pengertian Informed Consent
Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan
kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:
a.
b.
Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi
(cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini
pangkal informed consent lahir. 13
Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi
informed consent.
a.
Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan
consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau
13
Husein, op.cit., hal 56-57, mengutip Hermien K., Hukum kedokteran di Dunia
Internasional, makalah disampaikan pada Simposium Medical Law, Jakarta, 6-7 Juni 1983, hal 1.
15
c.
d.
15
Ibid., mengutip Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Kedokteran,
Ibid., mengutip Fred Ameln, Informed Consent: Pada Perjanjian Medis Dokter/Dokter
Gigi, Beberapa Aspek Yuridis dan Etis, disampaikan pada Seminar Informed Consent di RSPP
Jakarta, 30 Agustus 1991, hal 21.
17
Bryan A. Garner, Ed., Black's Law Dictionary 9th ed., (St. Paul Min: West Group,
16
Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip
primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh
pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent
sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga
kesehatan, khususnya para dokter.18
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan
merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai di
seluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran
yakni:19
1. Asas menghormati otonomi pasien
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.
Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak
boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur
akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko
yang dapat terjadi.
3. Asas tidak merugikan
Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan
tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak
merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis,
maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
18
19
17
4. Asas manfaat
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus
bermanfaat
bagi
pasien
guna
mengurangi
penderitaan
atau
kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia,
baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki
berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban
dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.20
2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent
Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan
medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-ketentuan
umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga
kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan
20
18
dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang
Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam
pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,
yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat
dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak
terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif
karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal
demi hukum.21
Ad. 1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan
tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau
penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan,
dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain.
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.22
Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut
suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak menyetujui suatu
perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang undang21
Subekti (a), Hukum Perjanjian, cet. ke-12, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002), hal
22
Ibid.
17.
19
undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undangundang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim
dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.23
Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.24
Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter.
Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena
ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu
mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter
umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya,
terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang
dimaksudkan oleh pihak-pihak.26
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan,
sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.27
Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam
(implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan
pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang
dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam
bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para
pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh
23
Subekti (b), Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. ke-31, (Jakarta: PT Intermasa, 2003),
24
Ibid.
hal 135.
25
Agus Sardjono, Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang, (Depok: Fakultas Hukum
Ibid.
27
20
hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke
suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa
keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan, maka
dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter.28
Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis
(Veronica menyebutnya dengan transaksi
terapeutik)
sebagai
hubungan
28
29
21
b.
c.
30
Agus Sardjono, op.cit., hal 14, mengutip J. David Reitzel, et al., Contemporary
Business Law, Principles and Cases, ed. ke-4, (Mc.Graw-Hill Book Company, 1986), hal 142.
22
Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat
ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).
Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam
perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu
ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus
dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang
didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya
penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan
adanya standar pelayanan medik.33
31
Ibid.
32
33
23
34
35
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, ed. ke-1,
cet. ke-1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hal 132, mengutip Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian
Indonesia dan Common Law, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal 99.
24
Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370,
1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya.36
2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent
Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan
persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu;
misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan
Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan
pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini
merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk
penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter,
maka tindakan itu tetap penganiayaan.37
Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana
manakala:38
a. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;
b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
suatu tujuan yang konkrit; serta
c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.
Ad. a. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan
Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan
disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula
bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak
disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam
keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana
yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan
36
37
38
H.J.J Leenen, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Eds., A.F. Lamintang, (Bandung:
25
caranya
tindakan
tersebut
jangan
sampai
termasuk
dalam
26
diagnosa maupun pada waktu melakukan terapi, dan berkenaan dengan ketelitian
memberikan sarana pencegah rasa sakit dan memberikan pelayanan.
Syarat-syarat yang disebutkan dalam huruf b dan huruf c di atas juga dapat
disebut dengan bertindak lege artis (bertindak menurut standar profesional
medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka suatu pembedahan yang
dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada indikasi yang baik itu, jika karena
suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat melawan hukum.39
Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan
pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi.
Satu sama lain saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan de
materieele wederechtelykheid, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan
dengan hukum. Fred Ameln menyebutnya dengan Buitenwettelyke schulduitsluitingsgrond atau dasar peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu
juga dikenal prinsip AVAS yang berarti afwezighyd van alle schuld, tidak
terdapat suatu kelalaian sama sekali.40
39
Ibid.
40
Fred, Op.cit.
27
untuk
menyelenggarakan
pelayanan
kesehatan
28
Menteri
Kesehatan
Nomor
HK.02.02./MENKES/149/I/2010
Menteri
Kesehatan
Nomor
HK.02.02./MENKES/148/I/2010
ayat
290/MENKES/PER/III/2008
(1)
Peraturan
tentang
Menteri
Persetujuan
Kesehatan
Tindakan
Nomor
Kedokteran
41
42
29
karena ia tidak akan mampu memahami informasi dokter, terutama pasien yang
sakitnya telah parah sehingga sama sekali tidak dapat berkomunikasi lagi.
d. Pasien yang belum dewasa45
Tentang kelompok pasien belum dewasa, Prof Leenen membedakannya
ke dalam dua kelompok, yakni: (1) Grup A: yang masih anak (de
jongereminderjarige); dan (2) Grup B: yang sudah mendekati kedewasaan (de
Oudere minderjarige). Sukar untuk menarik suatu batas umur antara Grup A dan
Grup B dan di sini dapat dipakai The Major-Minor Rule yaitu orang yang
43
Ibid.
44
Ibid.
45
30
belum dewasa dapat dikategorikan grup B jika mereka oleh dokter dinilai cukup
matang untuk menerima infomasi tentang penyakitnya.
Secara hukum perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada umur 21 tahun
(Pasal 330 KUHPerdata). Walaupun demikian, banyak contoh bahwa orang yang
belum dewasa sudah dianggap mampu bertindak menurut hukum tanpa izin orang
tua. Hal ini disebut terobosan umur dewasa di dalam hukum. Misalnya untuk
hukum perdata membuat testamen 18 tahun. Misalnya untuk hukum pidana:
-
yuridis menyatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui
apa yang pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam keadaan sadar
pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Fred Ameln menyebutnya dengan
presumed consent. Prof. W. Van der Mijn mengatakan bahwa hal paien yang
dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan pula dengan pasal 1354 KUHPerdata
yag mengatur Zaakwaarneming atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap
tindak yang pada dasarnya pengambil-alih tanggung jawab dengan bertindak
menolong pasien dan bila pasien telah sadardokter bisa bertanya apakah
perawatan diteruskan atau ingin tukar dokter atau ingin memperoleh second
opinion. Selain itu, jikalau dokter harus melakukan tindakan medis untuk
menyelamatkan jiwa (life saving) seorang pasien yang tidak sadar, maka ia tidak
memerlukan informed consent dari siapa pun. Ini juga disebut oleh Fred Ameln
sebagai presumed consent.
Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak sadar, tergantung
dokter:
31
(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa
membahayakan jiwa pasien.
(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:
a. Live-saving
b. Fiksi hukum (Leenen)
c. Zaakwaarneming (van der Mijn)
2.4. Malpraktek Kedokteran
2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran
Menurut The Advanced Learners Dictionary of Current English by
Hornby Cs. 2-nd edition, Oxford University Press, London Malpraktek dalam
bahasa Inggris disebut malpractice yang berarti wrongdoing atau neglect of
duty. Dalam Coughlins Dictionary of Law terdapat perumusan malpractice yang
dikaitkan dengan kesalahan profesi: Malpractice is Professional misconduct on
the part of a professional person, such as a physician, dentist, veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in
the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal or
unethical practice. Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka
dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jika ia melakukan suatu
tindakan medik yang salah (wrong doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus
pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not enough care to the
patient).46 Blacks Law Dictionary Ed. ke-9 menggunakan istilah medical
malpractice, yaitu A doctor's failure to exercise the degree of care and skill that
a physician or surgeon of the same medical specialty would use under similar
circumstances.47
Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, dapat diuraikan sebagai
berikut:48
46
47
48
Ninik Mariyanti, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
32
a.
b.
Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malpraktek dapat terjadi dalam:
Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan
Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan
33
dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding
atau proposional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut.
Unsur standar profesi kedokteran yang terdapat dalam rumusan Leenen:
a)
Sarana
upaya
(middelen)
yang
sebanding
atau
proposional
(asas
Ukuran Medis
Ukuran medis merupakan unsur yang paling penting dari Standar
profesi kedokteran . Tiap perbuatan medis seorang dokter harus sesuai ukuran
medis yang berlaku. Pengertian ukuran medis menurut Leenen dapat
dirumuskan sebagai: suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu
kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu
medik dan pengalaman.
Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan kriterium yang
eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena perbedaan situasi
kondisi dan pula fisik pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan
reaksi yang berbeda pula walaupun diberikan terapi yang sama.
34
b.
Tujuan Medik
Tindakan para tenaga kesehatan harus ditujukan pada perbaikan situasi
pasien. Menurut Leenen, tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai
berikut :
i.
ii.
Meringankan penderitaan;
iii.
iv.
Asas keseimbangan.
Ketentuan mengenai Standar Profesi ini telah termuat dalam undang-
praktik
kedokteran
mempunyai
kewajiban
salah
satunya
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
Apa yang dimaksud standar profesi dan standar prosedur operasional?
Penjelasan Pasal 50 UU Praktek Kedokteran memberikan batasan definisinya,
yakni: Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan
(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang dimaksud
dengan
standar
prosedur
operasional
adalah
suatu
perangkat
35
51
36
b. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga bentuk, yaitu
1. Malpraktek Perdata (Civil Practice)
Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi
perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada pasien. Terdapat
beberapa syarat agar suatu perbuatan dianggap melawan hukum, yaitu adanya
suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut
melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita.
Agar dapat memperoleh ganti rugi, pasien harus dapat membuktikan
bahwa tindakan itu malpraktek dalam empat unsur yaitu:
Adanya suatu kewajiban dari dokter terhadap pasien.
Dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim digunakan.
Pasien telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Kerugian tersebut disebabkan oleh pelayanan di bawah standar.
Namun, tidak semua tindakan malpraktek dokter harus digugat terlebih
dahulu oleh pasien. Ada kalanya kasus tersebut langsung masuk ke pengadilan
apabila melihat dari fakta yang ada, dan dokterlah yang harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah. Misalnya saja, di satu kasus di mana gunting operasi
tertinggal di perut pasien. Gunting tersebut merobek perut pasien dari dalam dan
37
pasien tersebut meninggal. Gunting di perut pasien menjadi barang bukti sehingga
tim operasi saat itu dapat dijatuhkan perkara.
2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau cacat akibat ketidakhatihatian dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Terdapat tiga bentuk malpraktek
pidana, yaitu:
c. Malpraktek Administratif
Terjadi apabila ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.
2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis52
2.4.4.1. Pada Bidang Kedokteran
Karena malpraktek berhubungan dengan kemampuan tenaga medis,
maka yang perlu diusahakan pada bidang kedokteranini adalah penjagaan kualitas
medik. Penjagaan kualitas medik dapat dicapai dengan melakukan Audit Medik
(Medical Auditing). Yang dimaksud dengan audit medik adalah evaluasi secara
sistematis dari kualitas pelayanan medik. Hal ini diatur dalam undang-undang
karena berhubungan dengan salah satu kewajiban dokter yaitu menjaga
52
38
kerahasiaan pasien. Segala hal yang berhubungan dengan pasien, yang diketahui
melalui audit, tetap harus dirahasiakan oleh para anggota tim audit medik. Audit
medik dapat dilaksanakan dalam rumah sakit maupun praktek pribadi para dokter.
Audit medik dapat dibagi menjadi tiga metode:
1. Prospectief
2. Retrospectif. Metode ini banyak dipakai oleh para tenaga kesehatan.
3. Simultaan
Audit medik juga dapat dibagi menjadi :
1. Proses pelaynan hasil
2. Pengadaan
3. Pendapat pasien
Selain audit medik, untuk menjaga kualitas pelayanan kedokteran rumah
sakit dapat membentuk Malpractice Review Committee yang bertugas membahas
keadaan rumah sakit mengenai kesalahan personil rumah sakit secara periodik.
Sidang tim komisi dilakukan untuk mempelajari kesalahan-kesalahan tersebut
demi perbaikan pelayanan rumah sakit.
2.4.4.2. Pada Bidang Hukum
Cara menanggulangi malpraktek melalui bidang hukum adalah dengan
mempertahankan suatu tingkat kualitas profesional kedokteran yang tinggi
melalui Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan.Tujuan dari diciptakannya Hukum
Disiplin Tenaga Kesehatan ini adalah sebagai berikut:
a. Melindungi masyarakat
Dengan hukum disiplin ini, kepentingan masyarakat dapat dilindungi
dalam hal menerima pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, sehingga
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan dapat dihindari.
b.Memberikan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan (termasuk dokter)
39
40
dasar perintah dari pihak rumah sakit. Namun dalam hal-hal tertentu maka
perawat pun tetap harus bertanggung-jawab atas yang ia lakukan sendiri.
2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Secara umum dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit maka
pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua
tindakan medis maupun non medis di rumah sakit itu. Hal ini juga berdasarkan
pasal1367 KUHPerdata.
Apabila tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan
informed consent, maka tanggung jawab tersebut meliputi tigal hal, yaitu:
1.
2.
41
tindakan medis atau formulir operasi sebelum tindakan medis atau operasi
itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab yang dipikul
rumah sakit terhadap kelengkapan administratif.
3.
ii.
42
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi
landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang
dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia.
Dari segi hukum, seorang dokter juga terikat aturan-aturan hukum, yang
meliputi hukum perdata yang mengatur kaedah-kedah hukum dalam
hubungan antar individu dalam masyarakat, hukum pidana yang berisi aturan
hukum yang bersifat publik dan mengatur masalah tindak pidana yang timbul
dalam masyarakat serta menyelesaikan tindak pidana tersebut, serta hukum
administrasi. Dengan demikian di dalam menjalankan tugasnya, seorang
dokter di samping harus mematuhi etika kedokteran juga harus mematuhi
hukum yang berlaku.
2.
Pasal
ayat
(1)
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
43
yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut; (3) Pasien
yang sakit jiwa; (4) Pasien yang belum dewasa; dan (5) Pasien Tidak Sadar.
3.
Dilihat dari segi hukum, malpraktek ada tiga, yakni Malpraktek Perdata,
Malpraktek
Pidana,
dan
Malpraktek
Administratif,
Malpraktek
Untuk
perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada umumnya
dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang dilakukan
atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.
untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan
diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap
tanggung jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik
yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus
bertanggung jawab. Mengenai tanggung jawab Rumah Sakit, apabila
tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan informed
consent dan personalia, maka pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab
44
secara perdata terhadap semua tindakan medis maupun non medis di rumah
sakit itu. Hal ini juga berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.
5.
3.2. Saran
1. Dalam pemberian penjelasan terkait dengan informed consent seyogyanya
disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh
pasien karena bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing yang
tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran,
sehingga penjelasan dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan
membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien.
2. Dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya
upaya-upaya preventif, baik dari dokter maupun pasien. Misalnya untuk
dokter agar selalu dilakukan informed consent seperti yang telah
dipaparkan di atas dan untuk pasien diharapkan dapat aktif untuk meminta
hak atas informasi terhadap tindakan medis yang dilakukan dokter
terhadapnya.
45
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. cet. ke-1. Jakarta: Grafikatama
Jaya, 1991.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. ed.
ke-1. cet. ke-1. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.
Garner, Bryan A. Ed. Black's Law Dictionary 9th ed. St. Paul Min: West Group,
2009.
Guwandi, J., Dokter, Pasien, dan Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
Hariyanti, Widi. Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan
Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di
Semarang, Bisnis dan Kewirausahaan. Vol. 2 (2009): 248.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. cetakan ke-1.
Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1993.
Komalawati: Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Cetakan ke-2.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum. Eds. A.F. Lamintang. Bandung:
Binacipta, 1991.
Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata.
Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Sardjono, Agus. Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
46
Online,
Vonis
Bebas
Untuk
Profesi
Dokter,
Style
Sheet.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.198408
25.HK41200. id.html (7 April 2012)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
47
48