Anda di halaman 1dari 17

CASE REPORT

PTERIGIUM GRADE II OD

DISUSUN OLEH:
Cindikia Ayu S.
1102011065

PEMBIMBING :
Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN/ SMF MATA RSUD GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015

BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PENDERITA

PEMERIKSA

No. CM

: 798xxx

Nama : Cindikia Ayu S

Tanggal

: 7 September 2015

NPM : 1102011065

Nama

: Ny. T

Umur

: 36 tahun (P)

Alamat

: Kp. Sengke

Pekerjaan

: Buruh Tani

PEMBIMBING

(dr. Hj. Elfi Hendriati B, Sp.M)

ANAMNESA
Keluhan utama

: Terdapat selaput pada mata kanan

Anamnesa khusus

Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan
adanya selaput pada mata kanan yang dirasa sejak 8 bulan yang lalu. Pasien mengatakan
awalnya selaput tersebut sebesar tahi lalat, lalu dirasakan semakin lama semakin membesar
sehingga pasien merasa seperti ada yang mengganjal di mata dan mengganggu aktivitas.
Selain itu pasien juga mengeluhkan mata yang merah yang disertai dengan berair dan gatal.
Keluhan dirasa memberat pada saat pasien sedang beraktifitas di luar ruangan dan merasa
membaik apabila pasien sudah berada di dalam ruangan atau rumah. Apabila sedang berada
diluar ruangan atau sedang bertani pasien tidak mengenakan topi maupun kacamata
pelindung. Pasien mengeluhkan apabila melihat terasa buram dan mengatakan bahwa mata
pasien pernah tercolok padi saat sedang bertani. Keluhan seperti melihat ganda ataupun
buram seperti ada kabut disangkal oleh pasien. Adanya kotoran mata pada pagi hari disangkal
oleh pasien. Pasien mengaku belum pernah diobati sebelumnya.
Anamnesa keluarga :
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang menderita penyakit selaput pada mata.
Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal oleh pasien. Tidak ada anggota keluarga
yang mengenakan kacamata. Tidak ada anggota keluarga yang melihat buram.
Riwayat penyakit dahulu
-

Pasien mengaku baru pertama kali mengalami mata berselaput ini


Pasien mengaku memiliki riwayat darah rendah
Adanya penyakit kencing manis disangkal oleh pasien
Pernah memakai kacamata disangkal oleh pasien
Pasien mengakui bahwa matanya pernah tercolok padi

Riwayat Sosial ekonomi

Pasien mengaku bahwa pekerjaan sehari-hari pasien adalah sebagai buruh. Saat ini pasien
tinggal bersama suami yang bekerja sebagai buruh beserta anaknya. Pasien mengatakan
pengobatan pasien dengan menggunakan jamkesmas.
Riwayat gizi

Pasien sehari-hari makan 3 kali sehari, dengan menggunakan makanan yang seadanya di
2

warung nasi dekat rumahnya. Seperti contohnya nasi, telor, tahu, sambel, yang disertai
dengan sayur bayam.
PEMERIKSAAN
1. Status Generalis
Keadaan Umum
: Sakit Ringan
Kesadaran
: Composmentis
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 88 kali/menit
Respirasi
: 24 kali/menit
Suhu
: 36,1 C
2. Status Oftalmologi
Pemeriksaan Subjektif
Visus
SC
CC
STN
KOREKSI
ADD
GERAKAN BOLA MATA

OD
0,6
S-1,75 C-0,2590
Baik ke segala arah

OS
0,6
S-0,75
Baik ke segala arah

Pemeriksaan Eksternal
Palpebra superior
Palpebra inferior
Silia
Ap. Lakrimalis
Konj. Tarsalis superior
Konj. Tarsalis inferior
Konj. Bulbi

Kornea

OD
Tidak Ada Kelainan
Tidak Ada Kelainan
Tumbuh teratur
Tidak Ada Kelainan
Tenang
Tenang
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang
berbentuk persegi panjang
pada bagian nasal yang
melewati limbus hingga
kornea
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang
berbentuk persegi panjang
yang mengenai 0,5 mm
kornea

OS
Tidak Ada Kelainan
Tidak Ada Kelainan
Tumbuh teratur
Tidak Ada Kelainan
Tenang
Tenang
Tenang

Jernih

COA
Pupil
Diameter pupil
Reflex cahaya
Direct
Indirect
Iris
Shadow test
Lensa

Sedang
Bulat, ditengah
3 mm

Sedang
Bulat, ditengah
3 mm

+
+
Coklat, Kripta +

+
+
Coklat, Kripta +

Negatif
Jernih

Negatif
Jernih

Pemeriksaan Biomikroskop (Slit Lamp)


Silia
Konjungtiva superior
Konjungtiva inferior
Kornea
COA
Pupil
Iris
Lensa
Tonometri schiotz
Palpasi

OD
Tumbuh teratur
Tidak Ada Kelainan
Tidak Ada Kelainan
Jernih
Sedang
Bulat, isokor, di tengah
Coklat, kripta jelas
Jernih
7 / 5.5 = 12.2 mmHg
Normal perpalpasi

OS
Tumbuh teratur
Tidak Ada Kelainan
Tidak Ada Kelainan
Jernih
Sedang
Bulat, isokor, di tengah
Coklat, kripta jelas
Jernih
4 / 5.5 = 20.6 mmHg
Normal perpalpasi

OD
Dalam batas normal
Jernih
Reflex fundus (+)
Bulat, batas tegas
0,3-0,4
2/3
Eksudat (-)
Perdarahan (-)
Edema (-)
Refleks fovea (+)

OS
Dalam batas normal
Jernih
Reflex fundus (+)
Bulat, batas tegas
0,3-0,4
2/3
Eksudat (-)
Perdarahan (-)
Edema (-)
Refleks fovea (+)

Pemeriksaan Funduskopi
Funduskopi
Lensa
Vitreus
Fundus
Papil
CDR
A/V retina sentralis
Retina
Macula
RESUME :
Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan
adanya selaput pada mata kanan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan seperti ada yang
mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar ke bola mata (+), mata kiri merah,
berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar matahari dan debu. Apabila melihat
terasa buram (+). Riwayat trauma karena tercolok padi (+). Apabila sedang berada diluar
ruangan atau sedang bertani keluhan dirasa memberat (+), pasien tidak mengenakan topi
4

maupun kacamata pelindung (+).


Visus
Gerakan bola mata
Palpebra sup/inf
Konjungtiva bulbi

Kornea

COA
Pupil
Iris
Lensa
Tonometri
Shadow Test
Lensa
Fundus

OD
0,6
Baik ke segala arah
Tidak ada kelainan
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
persegi panjang pada bagian
nasal yang melewati limbus
hingga kornea
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
persegi panjang yang
mengenai 0,5 mm kornea
Sedang
Bulat isokor
Coklat, kripta +
Jernih

OS
0,6
Baik ke segala arah
Tidak ada kelainan
Tenang

12,2 mmHg

20,6 mmHg

Jernih
Reflex fundus (+)

Jernih
Reflex fundus (+)

Jernih

Sedang
Bulat isokor
Coklat, kripta +
Jernih

Diagnosa kerja :
Pterygium Grade II OD
Diagnosis banding :
Pinguecula OD
Pseudopterigium OD
Rencana pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Sonde
2. Pemeriksaan Histologi
3. Pemeriksaan Laboratorium: Hb, Ht, Trombosit, Leukosit, BT, CT
4. Pemeriksaan Kimia Darah: Glukosa Darah Sewaktu
5. Pemeriksaan Urin Rutin
Rencana terapi :
Medikamentosa :
Cendo Xytrol ED 6dd gtt 1 OD
Non medikamentosa:
1. Hindari panjanan pencetus, misalnya matahari dan debu dengan menggunakan
kacamata pelindung atau kacamata hitam dan menggunakan topi saat beraktivitas di
luar ruangan.
2. Rencana operasi OD dengan alasan kosmetik.
5

Prognosa :
Quo ad vitam
: Ad Bonam
Quo ad functionam : Ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
Definisi
Pterigium adalah penyakit mata eksternal umum yang lebih sering terlihat di daerah tropis
dan subtropis karena paparan sinar matahari ultraviolet.1 Pterygium adalah suatu jaringan
yang berbentuk segitiga atau sayap pada permukaan basement membrane sebagai akibat dari
pertumbuhan epitel limbus yang masuk ke kornea secara sentripetal. Proliferasi tersebut
diikuti dengan terjadinya hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif, gambaran inflamasi,
serta kaya pembuluh darah. Gambaran histologi dari pertumbuhan berlebihan pterygium
adalah terdapatnya proliferasi fibrovaskular berlebihan, degradasi membran basal, dan invasi
stroma kornea oleh jaringan fibrovaskular.2 Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi
degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk
menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat
hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.13
Epidemiologi
Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering yang merupakan karakteristik dari daerah periequator. Sabuk pterygium merupakan
daerah dengan prevalensi pterygium yang tinggi, terletak pada daerah lintang 370 utara dan
selatan equator. Menurut Tan et al. beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang
meningkat sesuai umur. Berdasarkan hasil survei nasional pada tahun 1993-1996 mengenai
angka kesakitan mata di 8 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa pterygium terletak pada
urutan kedua penyakit mata terbanyak di Indonesia dengan angka prevalensi sebesar 13,9%.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gazzard di Indonesia, ditemukan bahwa angka
prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Sumatra. Sedangkan, dari survei kesehatan indra
penglihatan dan pendengaran tahun 1995, prevalensi pterygium merupakan urutan pertama
pada penyakit mata tersering di Sulawesi Utara dengan angka prevalensi 17,9%. Mandang
pun menemukan kasus pterygium sebanyak 14,69% khususnya di 19 desa dan sebanyak
17,50% di tiga ibukota kecamatan Kabupaten Minahasa. Angka tersebut menempatkan
pterygium sebagai penyakit mata nomor tiga sesudah kelainan refraksi dan penyakit infeksi
mata bagian luar. Hasil yang lebih detail dilaporkan oleh Bustani dan Mangindaan.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebanyak 21,35% kasus pterygium di dua desa
Kabupaten Minahasa Utara dengan persebaran pria sebanyak 12,92% dan wanita sebanyak
8,43%.2
Survei epidemiologi menunjukkan bahwa tingkat prevalensi pterygium bervariasi tergantung
pada populasi yang sebenarnya. Prevalensi keseluruhan berkisar 0,7-31% di berbagai
populasi dunia. Sebagai aturan umum, tingkat prevalensi untuk peningkatan pterygium
dengan usia meskipun penurunan prevalensi memiliki dilaporkan untuk pasien berusia lebih
dari 60 sampai 70 tahun. Biasanya berkembang pada pasien yang telah hidup di panas iklim
dan mungkin merupakan respon terhadap kekeringan kronis dan paparan sinar ultraviolet,
debu dan angin panas. Ini jarang terlihat pada pasien yang lebih muda dari usia 20 tahun. Dari
91 mata pada 80 pasien mata kanan terlibat dalam 54 pasien (67,5%), mata kiri terlibat dalam
37 pasien (46,25%). Lokasi pterygium ditemukan menjadi hidung di 88 mata (96,70%) dari
7

mata, sedangkan temporal dalam 3 (3,30%) dari mata. 3


Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi pterygium bersifat multifaktorial, dapat berupa paparan sinar matahari, debu,
ataupun udara kering. Faktor resiko untuk terjadinya pterygium telah dievaluasi di berbagai
tempat di dunia dan memberikan bukti bahwa komponen genetik, mekanisme anti apoptosis,
sitokin, faktor pertumbuhan, faktor angiogenik, ekstraseluler matrix remodeling, mekanisme
imunologik, dan infeksi virus memiliki pernanan terhadap terbentuknya pterygium.2
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni
menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan
jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.4 Radiasi cahaya UV tipeB
menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian
terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat
dalam patogenesis pterigium.5
Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu,
kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea.6
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada
konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan
ke meatus nasi inferior.6
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.6
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra
akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel kornea dan
sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis.
Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik dan
proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal,
atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, yaitu


lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium
menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea
sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.7
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.7
Klasifikasi
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup
oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut
Youngson):
Derajat 1
: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Derajat 2
: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea
Derajat 3
: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
Derajat 4
: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.8

Manifestasi Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
1. mata sering berair dan tampak merah
2. merasa seperti ada benda asing
3. timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan
4. pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata,
disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing
dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.

Diagnosis Banding
1. Pinguecula
Pinguecula sangat sering pada orang dewasa. Keadaan ini tampak sebagai nodul
kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di daerah aperture
palpebrae. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan terapi,
tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan terapi, tetapi pada kasus
pingueculitis tertentu, dapat diberikan steroid topical lemah (mis., prednisolone
0,12%) atau obat anti-inflamasi non-steroid topical.8

10

2. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat
ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva
tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan
hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium
juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea
sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula
didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.6

11

Tatalaksana
1. Terapi Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2. Terapi Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
12

untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu


memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium
adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.9
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.9
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di
atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi,
dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hatihati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst,
MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat
rendah dengan teknik ini.9
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
13

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan


bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia
primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus dan skar
pada konjungtiva, kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi,
diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan
perforasi bola mata meskipun jarang terjadi.10
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi
sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah
berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau
transplantasi membran amnion pada saat eksisi.11 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas
dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.
Preventif
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.6
Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan
dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.6
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat
ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya.
Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting
dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien
tertentu.12

14

BAB III
PEMBAHASAN
Pembahasan di dalam kasus ini antara lain mencakup :
1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai pasien dengan Pterigium grade II OD?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien ini ?
3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?
1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai pasien Pterigium grade II OD?
Anamnesis :
Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan
adanya selaput pada mata kanan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan seperti ada yang
mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar ke bola mata (+), mata kiri merah,
berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar matahari dan debu. Apabila melihat
terasa buram (+). Riwayat trauma karena tercolok padi (+). Apabila sedang berada diluar
ruangan atau sedang bertani keluhan dirasa memberat (+), pasien tidak mengenakan topi
maupun kacamata pelindung (+).
Pada pemeriksaan Oftalmologi didapatkan hasil :
OD
OS
Visus
0,6
0,6
Gerakan bola mata
Baik ke segala arah
Baik ke segala arah
Palpebra sup/inf
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Konjungtiva bulbi
Terdapat jaringan
Tenang
fibrovaskular yang
berbentuk persegi panjang
pada bagian nasal yang
melewati limbus hingga
kornea
Kornea
Terdapat jaringan
Jernih
fibrovaskular yang
berbentuk persegi panjang
yang mengenai 0,5 mm
kornea
COA
Sedang
Sedang
Pupil
Bulat isokor
Bulat isokor
Iris
Coklat, kripta +
Coklat, kripta +
Lensa
Jernih
Jernih
Shadow Test
Lensa
Jernih
Jernih
Fundus
Reflex fundus (+)
Reflex fundus (+)
2. Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien ini?
Pada umumnya terapi untuk pterigium grade I dan II adalah dengan memberikan
15

kombinasi antibiotic dengan kortikosteroid. Maka pada pasien ini diberikan cendo
xytrol yang kandungannya berupa dexamethasone, neomycin sulfate, dan polymixin B
sulfate. Tetes mata ini diberikan sehari 6 kali sebanyak 1 tetes pada mata kanan.
Sedangkan terapi non medikamentosa adalah dengan menghindari pajanan sinar
matahari dan debu dengan menggunakan kacamata pelindung dan topi saat beraktifitas
di luar ruangan.
3. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
Umumnya prognosis pada pterigium adalah baik. Dengan melakukan pembedahan
hasilnya akan baik, tetapi jika terjadi kekambuhan dapat diatasi dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed A Zaki , Sherif Emerah , Mohamed Ramzy, Hany M Labib. Management of


Recurrent Pterygia. Journal of American Science 2011;7(1):230-234.
2. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor Risiko Tumbuh Ulang
Pterygium. J Indon Med Assoc. 2013;63(3):100-105.
3. Pandey A, Marken N, Marken R, Pandey B. A Clinical Study of Pterygium and
Results of Treatment by Excision and Limbal Autograft or Augmented with Post-Op
Mitomycin C. Open Journal of Ophthalmology. 2013;03(04):97-102.
4. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of
pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):30813.
5. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium
treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308313.
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
7. Anisa R. Perbandingan Hasil Operasi Pterigium Tipe Vaskular Dengan Metode Bare
Sclera dan Conjunctival Autograft. Thesis. RSUP H. Adam Malik, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
8. Eva P, Whitcher J. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed. Jakarta: EGC;
2015.
9. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterygium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
10. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala
Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5
11. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p.
51 - 82.
12. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
13. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with
Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.

17

Anda mungkin juga menyukai