Anda di halaman 1dari 6

Sistem Distribusi Kekayaan Dalam Islam (1)

Monday, 17/05/2010 10:51 WIB | email | print | share




( 7)


)8)


Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya. (Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung
halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan
(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar.
Ayat-ayat ini menjelaskan hukum Allah tentang fai (harta rampasan tanpa melalui
peperangan) dan perkara-perkara yang serupa. Pada waktu yang sama, ayat-ayat tersebut
memuat penjelasan tentang kondisi jamaah muslim; sebagaimana ia menetapkan watak
umat muslim di sepanjang generasi, serta berbagai karakteristiknya yang menjadi perekat
umat di sepanjang zaman.
Satu generasi tidak terpisah dari generasi lain, satu kaum tidak terpisah dari kaum lain,
dan satu jiwa tidak terpisah dari jiwa yang lain, di masa yang panjang, di antara generasigenerasinya yang silih berganti di seluruh belahan bumi. Ini merupakan hakikat besar
yang perlu direnungkan secara mendalam.
Allah berfirman, Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan
seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Hasyr [59]: 6)
Ayat ini mengingatkan kaum muslimin bahwa harta fai yang ditinggalkan Bani Nadhir
itu diperoleh kaum muslimin tanpa melalui peperangan. Karena itu hukumnya tidak
seperti hukum ghanimah (harta pampasan perang), dimana Allah memberi mereka empat
perlima darinya, sementara seperlimanya saja untuk Allah dan Rasul-Nya, serta untuk
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, sebagaimana
ketetapan Allah terkait harta pampasan perang Badar Al-Kubra. Hukum fai ini adalah
seluruhnya milik Allah dan Rasul-Nya, serta kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang

miskin dan ibnu sabil. Rasulullah-lah yang mengatur sendiri penyalurannya kepada
golongan-golongan tersebut. Lafazh dzil qurba (kerabat) dalam ayat ini adalah kerabat
Rasulullah SAW, lantaran harta sedekah tidak halal, dan mereka pun tidak memperoleh
bagian dari zakat.
Juga karena Nabi SAW tidak mewariskan harta apapun, sehingga para kerabat beliau
tidak memiliki harta apapun. Dan di antara mereka adalah orang-orang fakir yang tidak
memiliki penghasilan. Karena itu, ditetapkan untuk mereka seperlima dari harta
pampasan perang, sebagaimana mereka diberi bagian dari fai dan harta-harta
semacamnya. Sedangkan golongan yang lain, hal ihwal mereka sudah jelas. Nabi SAWlah yang menyalurkannya kepada mereka.

Sistem Distribusi Kekayaan Dalam Islam (2)


Thursday, 20/05/2010 15:08 WIB | email | print | share


( 7)





(8)

Inilah kepada fai yang dijelaskan ayat tersebut. Tetapi, ia tidak terbatas pada hukum dan
alasannya yang dekat. Sebaliknya, ia membuka hati untuk melihat sebuah hakikat lain
yang besar: Tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa
yang dikehendaki-Nya. (QS Al-Hasyr [59]: 6) Ini adalah kekuasaan Allah, dan
kekuasaan ini diberikan-Nya kepada pada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Mahakuasa atas setiap sesuatu. (QS Al-Hasyr [59]: 6)
Dengan demikian, tugas para Rasul itu terkait langsung dengan ketetapan Allah; tempat
mereka telah ditetapkan dalam roda takdir yang terus berputar. Terlihat bahwa meskipun
mereka adalah manusia biasa yang terhubung dengan kehendak dan kemauan Allah
secara khusus, namun mereka diberi peran tertentu dalam mewujudkan ketetapan Allah di
muka bumi, dengan ijin dan takdir-Nya. Jadi, mereka tidak bergerak menurut kemauan
mereka, serta tidak mengambil atau meninggalkan sesuatu untuk kepentingan mereka.
Mereka tidak berperang atau duduk, tidak berselisih atau berdamai, kecuali untuk
mewujudkan satu sisi dari takdir Allah di bumi ini, selaras diri, tindakan dan gerak
mereka di muka bumi. Allah-lah pelaku di balik itu semua. Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu.
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

Ayat ini menjelaskan hukum yang telah yang telah kita bahas di atas secara rinsi.
Kemudian, ayat tersebut memberi alasan dari pembagian tersebut, dengan meletakkan
satu kaidah besar di antara kaidah-kaidah sistem ekonomi dan sosial di tengah
masyarakat Islam. Kaidah tersebut adalah: Supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Sebagaimana ayat tersebut meletakkan
sebuah kaidah besar dalam legilasi perundangan-undangan bagi masyarakat Islam, yaitu:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. Meskipun kedua kaidah tersebut hadir dalam konteks harta
fai dan pembagiannya, namun keduanya melewati batas peristiwa dan menjangkai bayak
dimenasi dalam berbagai dasar sistem sosial yang Islami.
Prinsip pertama, yaitu prinsip sistem ekonomi, merefleksikan satu dimensi yang besar
dari dasar-dasar teori ekonomi dalam Islam. Karena dalam teori ini kepemilikan pribadi
diakui, namun ia dibatasi dengan teori ini. Kaidahnya adalah agar harta itu tidak beredar
di antara orang-orang kaya saja, tertutup jalan untuk beredar di antara orang-orang fakir.
Setiap tatanan yang puncaknya adalah peredaran kekayaan di antara orang-orang kaya
saja merupakan tatanan yang bertentangan dengan teori ekonomi Islam, sebagaimana ia
bertentangan dengan salah satu tujuan organisasi sosial. Semua hubungan dan interaksi
dalam masyarakat Islam harus diatur agar tidak menciptakan kondisi semacam ini, atau
mempertahannya jika telah ada.
Islam benar-benar membangun sistemnya di atas fondasi ini. Karena itulah Islam
mewajibkan zakat, yaitu sebesar 2.5 % dari harta pokok yang bersifat moneter, dan 10 %
atau 5% dari hasil yang lain, seperti binatang ternak. Islam menetapkan besaran yang
sama untuk harta rikaz, yaitu harta dari perut bumi. Itu merupakan prosentase yang besar.
Selain itu, Islam juga menetapkan empat perlima dari harta pampasan perang untuk para
mujahid, baik kaya atau miskin; dan menetapkan seluruh fai untuk orang-orang fakir.
Islam juga menetapkan sistemnya dalam penyewaan lahan, yaitu muzaraah yang
tujuannya adalah kerjasama untuk memperoleh hasil antara pemilik tanah dan pengelola
tanah. Islam juga memberi hak kepada imam (pemimpin tertinggi) untuk mengambil
kelebihan harta dari orang-orang kaya untuk didistribusikan kepada orang-orang fakir;
atau mengambil sebagian dari harta orang-orang kaya ketika baitul mal kehabisan
simpanan. Islam juga mengharamkan penimbunan dan melarang riba. Kedua praktik
tersebut merupakan faktor utama beredarnya kekayaan di antara orang-orang kaya saja.
Secara garis besar, Islam mendirikan sistem ekonominya secara keseluruhan dengan
tujuan untuk merealisasikan prinsip terbesar yang dianggap sebagai aturan orisinil
mengenai kepemilikan individu, disamping aturan-aturan lainnya.
Dari sini, sistem Islam merupakan sistem yang menghargai kepemilikan individu, tetapi
ia bukan merupakan sistem kapitalis. Sebagaimana sistem kapitalis bukan diambil
darinya. Karena sistem kapitalis sama sekali tidak bisa berdiri tanpa praktik riba dan
penimbunan. Sistem Islam merupakan sistem khusus dari Yang Mahabijaksana lagi Maha
Mengetahui. Dia berjalan sendiri, dan bertahan sendiri hingga hari ini sebagai sebuah
sistem yang unik, seimbang dimensi-dimensinya, seimbang antara hak dan kewajiban,

serta harmoni seperti harmoninya alam semesta, sejak ia turun dari Pencipta alam
semesta. Dan memang alam semesta ini serasi dan seimbang!
Adapun prinsip kedua adalah menerima aturan dari dari satu sumber: Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah Ayat ini juga merepresentasikan teori perundangan-undangan Islam.
Karena undang-undang dalam Islam bersumber dari apa yang dibawa oleh Rasulullah
SAW, baik Al-Quran atau Sunnah.

Sistem Distribusi Kekayaan Dalam Islam (3)


Monday, 24/05/2010 08:00 WIB | email | print | share


( 7)











(8)








Semua umat, termasuk pemimpin tertinggi, tidak punya hak untuk menyalahi apa yang
dibawa oleh Rasul. Apabila mereka menetapkan aturan yang bertentangan dengannya,
maka aturan tersebut tidak memiliki kekuatan, karena ia kehilangan sandaran pertama
yang menjadi sumber kekuatan tersebut. Teori ini berlawanan dengan semua teori
manusia yang bersifat positif, berikut aspek yang menjadikan bangsa sebagai sumber
kekuasaan. Dengan arti bahwa sebuah bangsa itu berhak membuat aturan bagi dirinya
menurut yang mereka sukai.
Semua aturan yang mereka buat itu memiliki kekuatan. Sedangkan sumber kekuasaan
dalam Islam adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sementara umat
bertugas untuk mengikuti, menjaga dan menerapkan syariat tersebut. Imam atau
pemimpin tertinggi adalah wakil dari umat dalam tugas-tugas tersebut. Dengan demikian,
hak-hak umat terbatasi. Mereka tidak berhak melawan apa yang dibawa oleh Rasulullah
SAW dalam membuat aturan.
Ketika tidak ditemukan nash di dalam apa yang dibawa oleh Rasul SAW mengenai suatu
perkara khusus yang dihadapi umat, maka solusinya adalah membuat aturan yang tidak
melanggar salah satu prinsip yang dibawa oleh Rasul SAW. Hal ini tidak melanggar teori
tersebut. Aturan ini hanya merupakan cabang darinya, karena patokan dalam membuat

aturan adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul SAW jika ada nash, serta tidak
melanggar salah satu prinsipnya ketika tidak ada nash.
Kekuasaan umat dan imam sebagai wakilnya terbatas di dalam batasan-batasan ini. Ia
merupakan sistem yang unik, tidak tertandingi oleh hukum positif yang dikenal umat
Islam. Ia adalah sistem yang menghubungkan aturan bagi manusia dengan anturan alam
semesta, dan menyerasikan antara hukum alam yang diciptakan Allah dan hukum yang
mengatur manusia yang berasal dari Allah. Hal itu agar hukum manusia tidak berbenturan
dengan hukum alam semesta. Karena jika demikian maka manusia akan sengsara, atau
hancur lebur, atau usahanya sia-sisa!
Ayat yang kita kaji ini menghubungkan kedua prinsip tersebut di hati orang-orang
mukmin dengan sumbernya yang pertama, yaitu Allah. Ayat tersebut mengajak mereka
untuk bertakwa, dan menakuti-nakuti mereka akan sanksi Allah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. Inilah jaminan terbesar
yang tidak bisa dihindari. Orang-orang mukmin tahu bahwa Allah melihat apa yang ada
dalam hati dan mengetahui berbagai amal perbuatan. Kepada-Nya-lah segala sesuatu
dikembalikan. Mereka juga tahu bahwa Allah itu sangat keras hukuman-Nya. Mereka
tahu bahwa mereka dibebani untuk menjadikan harta kekayaan itu tidak beredar di antara
kalangan tertentu saja, menerima apa yang dibawa oleh Rasul SAW dengan ridha dan
taat, dan menjauhi apa yang beliau larang tanpa menyepelekan dan tanpa meringankan.
Di hadapan mereka ada suatu hari yang amat sulit
Pendistribusian fai Bani Nadhir kepada orang-orang Muhajirin saja, selain dua orang
Anshar, merupakan kebijakan khusus terkait fai ini, untuk merealisasikan prinsip agar
tidak beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian. Sedangkan hukum umumnya
adalah fai tersebut milik semua orang fakir, baik Muhajirin atau Anshar, serta generasigenerasi sesudah mereka. inilah yang terkandung dalam ayat-ayat berikutnya dalam
rangkaian surat.
Tetapi Al-Quran tidak menyebutkan hukum-hukum secara kering dan abstrak, melainkan
mengemukakannya dalam suasana yang hidup dan berinteraksi dengan orang-orang yang
hidup. Dari sini, Al-Quran menyebut setiap kelompok di antara ketiga kelompok tersebut
dengan sifat-sifatnya yang riil dan hidup serta menggambarkan watak dan hakikatnya;
serta menetapkan hukum itu dalam keadaan hidup dan berinteraksi dengan orang-orang
yang hidup:
(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Ini adalah gambaran yang benar, yang menampilkan karakter terpenting para sahabat
Muhajirin: mereka diusir dari kampung halaman mereka, dan meninggalkan harta benda
mereka. Mereka dipaksa untuk keluar dengan penganiayaan, tekanan dan ancaman dari
kerabat dan keluarga mereka di Makkah, bukan karena dosa selain mereka mengatakan:
rabb kami adalah Allah..Mereka keluar dengan meninggalkan kampung halaman dan

harta benda mereka. (Karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya).. mereka
bersandar pada Allah dalam mencari karunia dan ridha-Nya. Tidak ada tempat berlindung
bagi mereka selain Allah. Meskipun mereka terusir dan jumlah merekakecil, namun
mereka tetap menolong Allah dan Rasul-Nya. Dengan hati dan pedang mereka, pada
saat-saat yang paling kritis dan sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar. Orangorang yang mengikrarkan iman dengan lisan, lalu membuktikannya dengan perbuatan.
Mereka itulah orang-orang yang jujur kepada Allah bahwa mereka memilih-Nya, dan
jujur kepada Rasulullah SAW bahwa mereka mengikutinya, dan jujur terhadap kebenaran
bahwa mereka adalah bentuk dari kebenaran yang berjalan di muka bumi dan dilihat oleh
manusia!

Anda mungkin juga menyukai