Sistem Fiskal Islam
Sistem Fiskal Islam
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (At Taubah : 103)
A. Pendahuluan
Kesejahteraan dalam arti luas yang bukan hanya menjamin hubungan sesama manusia
tapi juga hubungan dengan Sang Pencipta adalah sasaran utama system ekonomi
berperspektif syariah dari sebuah negara dengan menggunakan kebijakan-kebijakan dan
institusi-institusi yang dimilikinya.
Faridi menjelaskan sistematika pemeliharaan stabilitas ekonomi menuju kesejahteraan ini
dengan mempertimbangkan peran negara didalamnya. Faridi menyebutkan bahwa pelaku
terdepan dalam ekonomi adalah sector swasta, baik sector riil maupun sector moneter
yang ada didalam interaksi swasta tadi, kemudian negara dengan sector publiknya
bertugas melancarkan atau bahkan mengkoreksi keadaan mekanisme di sektor swasta
tadi, dan terakhir sector social (yang oleh Faridi disebut third sector atau voluntary
sector) berperan sebagai penunjang pemantapan dan kestabilan ekonomi yang telah
dilakukan dua sector sebelumnya.
Di sector swasta pasar menggunakan mekanisme pasar bebas berdasarkan prinsip-prinsip
syariah, baik pada aktifitas investasi (moneter) maupun pada aktifitas riil (jual-beli).
Peran lembaga pengawas pasar, Al Hisbah, tentu saja sangat penting untuk menjaga
terselenggaranya aktifitas yang dibenarkan secara syariah di pasar. Sementara sector
publik yang dimainkan negara melalui instrumen fiskalnya mendorong peningkatan taraf
aktifitas ekonomi. Atau bahkan sector publik tersebut berfungsi mengkoreksi ketika
sector swasta tak mampu memainkan perannya secara maksimal dalam aktifitas ekonomi
di pasar.
Zakat Sebagai Instrumen Fiskal Utama Negara
Zakat merupakan system dan instrumen orisinil dari system ekonomi Islam. Yang
bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan.
Dengan keyakin bahwa pada tiap harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat
didalamnya hak para fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).
Mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang
minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadakah dan
intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang
membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh
negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan
untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan
infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik
dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang
bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.
Jika dikaji lebih jauh instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi
perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi
mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus
berjalan pada tingkat yang minimum, akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh
negara melalui baitul mal menggunakan akumulasi dana zakat. Bahkan Metwally
mengungkapkan bahwa Zakat berpengaruh cukup positif pada ekonomi, karena
instrumen zakat akan mendorong investasi dan menekan penimbunan uang (harta).
Sehingga zakat memiliki andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Tabel 1
Benda Wajib Zakat 2,5%
Emas
Perak
Uang Tunai
Barang Dagangan
Barang Tambang (Minerals)
Zakat dikenakan jika barang mencapai batas minimum
senialai 200 dirham atau 5 uqiyya perak atau 20 dinar (1 dinar sama dengan 4,25 gram
emas dan 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak; sehingga nishabnya 86 gram emas
atau 595 gram perak) Dibayar setelah mengendap selama satu tahun hijriah. Namun tidak
cukup jelas kondisi bagi barang tambang (minerals)
Sumber: Hasanuzzaman
Tabel 2
Benda Wajib Zakat 5% dan 10%*
Tabel 3
Benda Wajib Zakat 20%
Harta Temuan
Harta Terpendam (karun)
barang tersebut
Tabel 4
Zakat Ternak
Tidak ada
40
Sapi/Kerbau
1 Dewasa Jantan
30
40
2 Dewasa Jantan
Unta
25
1 Kambing/Domba
Secara logika, zakat terkesan memiliki tingkat korelasi yang negatif terhadap angka
konsumsi. Hal ini terjadi akibat perhatian bahasan zakat terfokus pada mekanisme pada
golongan masyarakat muzakki, padahal boleh jadi golongan yang sangat dominan dalam
berurusan dengan zakat adalah golongan mustahik, dimana angka konsumsi mereka
sangat bergantung pada distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa zakat memiliki korelasi
positif pada angka konsumsi.
Model konsumsi secara makro dalam Islam pada hakikatnya tidak berbeda dengan
konvensional, yaitu model konsumsi yang ditentukan oleh konsumsi pokok (autonomous)
dan konsumsi yang berasal dari pendapatan (income).
C = Co + b Y
Dimana C sama dengan total konsumsi, Co konsumsi pokok, b persentase dari income
yang dikonsumsi (marginal propensity to consume; MPC) dan Y pendapatan.
Jika dianalisa lebih spesifik pada sisi mustahik, maka secara jelas bahwa zakat akan
meningkatkan agregat konsumsi dasar, yaitu akumulasi Co. hal ini secara logis terjadi
akibat akomodasi system terhadap pelaku pasar yang tidak memiliki kemampuan beli
atau mereka yang tidak memiliki akses pada ekonomi.
Sementara itu jika dilihat dari sisi muzakki, terkesan bahwa pengenaan zakat akan
menekan jumlah konsumsi agregat, karena zakat menurunkan jumlah pendapatan yang
dapat dikonsumsi. Sehingga wajar jika ada yang berpendapat kalaupun kenaikan
konsumsi golongan mustahik akibat zakat dapat terjadi, namun kenaikan tersebut akan
dinetralisir oleh penurunan konsumsi golongan muzakki, sehingga agregat konsumsi
relatif tidak berubah.
Perlu diingat bahwa kelebihan harta golongan mustahik memang punya potensi untuk
diterjemahkan menjadi konsumsi jika tidak terkena zakat. Namun potensi untuk menjadi
konsumsi itu lebih besar jika kelebihan harta (berupa zakat) itu ada di tangan golongan
mustahik. Karena kelebihan harta ditangan golongan muzakki relatif untuk pembelian
barang-barang sekunder atau mewah, sementara jika harta tersebut ditangan golongan
mustahik, hampir pasti harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang kebutuhan pokok.
Jika dilihat dari elastisitas barang-barang sekunder dan barang mewah maka elastisitas
barang tersebut lebih inelastic dibandingkan barang kebutuhan pokok, bahkan elastisitas
kebutuhan pokok cenderung mendekati elastis sempurna. Artinya penambahan
permintaan barang sekunder dan mewah tidak cukup responsive terhadap perubahan
harga, sementara penambahan barang kebutuhan pokok begitu responsive terhadap
perubahan harga. Bahkan pada kasus barang kebutuhan pokok yang memiliki elastisitas
sempurna penambahan permintaan barang tersebut tidak dipengaruhi oleh perubahan
harga, karena memang kebutuhan pokok berapapun harganya harus dikonsumsi oleh
semua konsumen. Jadi jika dilihat dari potensi konsumsi yang akan terjadi, kelebihan
harta berupa zakat sangat efektif atau potensial sekali berada di tangan mustahik dari
pada muzakki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat akan mempengaruhi konsumsi
secara positif.
Selain itu diharapkan sebenarnya dalam jangka panjang zakat akan meningkatkan
ekonomi dan meningkatkan pendapatan perkapita, sehingga kekhawatiran efek negatif
zakat terhadap ekonomi sangat tidak beralasan.
Ada juga beberapa pakar yang berpendapat bahwa Zakat kemudian berpengaruh positif
pada MPC, namun hal ini dibantah karena ada asumsi bahwa perekonomian Islam
menganjurkan prilaku konsumsi yang berhemat dan tidak bermewah-mewah sehingga
MPC ada pada tingkat yang relatif rendah atau wajar.
Jadi dapat dikatakan bahwa pembahasan zakat dan kaitannya dengan makroekonomi
tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama zakat sebagai variable utama untuk peningkatan
sisi permintaan (demand side) dari system ekonomi. Ini juga yang menjadi karakteristik
lain dari perekonomian Islam, yaitu perhatian yang sama besar baik pada sisi permintaan
maupun sisi penawaran, berikut dengan kelengkapan instrumen-instrumen yang dapat
digunakan dalam memastikan keseimbangan diantara keduannya.
Dan apa yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Ar Rum: 39)
Dengan prediksi fakta seperti ini, maka para produsen yang nota bene sebagai muzakki
dalam mekanisme zakat, akan memastikan diri mereka selalu memberikan hak kaum
miskin berupa zakat. Dengan melakukan itu berarti para produsen sekaligus menjaga
pasar barang-barang hasil produksinya, dan kemudian secara jangka panjang akan
mampu mengembangkan usahanya pada tingkat yang lebih baik.
Lebih lanjut Monzer Kahf (1999) , mengungkapkan bahwa zakat memiliki pengaruh yang
positif pada tingkat tabungan dan investasi. Peningkatan tingkat tabungan akibat
peningkatan pendapatan akan menyebabkan tingkat investasi juga meningkat. Karena ada
preseden bahwa zakat juga dikenakan pada tabungan yang mencapai batas minimal
terkena zakat (nisab). Dengan tujuan mempertahankan rasio tabungannya maka tentu
investasi menjadi salah satu jalan keluar bagi para muzakki, sehingga secara otomatis
meningkatkan angka investasi secara keseluruhan.
Disamping itu Kahf juga mengungkapkan bahwa zakat cenderung menurunkan resiko
kredit macet, karena salah satu alokasi dana zakat adalah menolong orang-orang yang
terjebak hutang. Sehingga secara riil zakat juga kemudian menekan tingkat
pengangguran. Dan menurut Kahf peningkatan jumlah tenaga kerja yang aktif di ekonomi
melalui dua mekanisme. Pertama, implementasi zakat itu sendiri membutuhkan tenaga
kerja dalam pengelolaannya. Kedua, perubahan golongan mustahik yang awalnya tidak
memiliki akses pada ekonomi menjadi golongan yang lebih baik secara ekonomi, tentu
saja meningkatkan angka partisipasi tenaga kerja.
Timur Kuran dalam sebuah artikelnya membahas peran dan fungsi zakat ini secara kritis.
Kuran berpendapat bahwa data sejarah menunjukkan bahwa zakat lebih berperan sebagai
alat politik dari pada alat ekonomi, sebab zakat lebih efektif menjaga kestabilan politik
dibandingkan alat peningkat produktivitas dalam sebuah bangunan ekonomi. Namun oleh
Monzer Kahf (1992) kecenderungan fungsi zakat tersebut dapat dibantah. Kahf
mengatakan bahwa melalui golongan masyarakat penerima (mustahik) dan pembayar
(muzakki), zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi. Menurut Kahf,
zakat yang diterima oleh mustahik akan meningkatkan konsumsinya yang tentu kemudian
meningkatkan agregat permintaan secara makro. Sementara itu pada pihak muzakki,
zakat akan meningkatkan rasio simpanan mereka, dengan asumsi bahwa tiap individu
akan mempertahankan tingkat kekayaannya. Jadi peningkatan rasio tabungan, menurut
Kahf merupakan kompensasi dari pembayaran zakat. Dan peningkatan rasio tabungan ini
memiliki hubungan yang erat dalam peningkatan investasi dari muzakki. Peningkatan
output akibat naiknya tingkat konsumsi mustahik membuat muzakki melakukan
(keputusan) investasi. Sehingga pada saat yang sama akan meningkatkan pemintaan
agregat.
Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat Islam
saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat
memperoleh jaminan tersebut. Hal ini tergambar dari perjanjian pedamaian untuk
penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin walid pada masa pemerintahan Abu
Bakar r.a. Dalam perjanjian tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh
Baitul Mal kepada setiap orang tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir-miskin dan
dihapuskan kewajiban membayar jizyah sepanjang ia tinggal di negara Islam .
1.
Dilihat dari mekanisme zakat institusi Baitul Mal merupakan konsekwensi dari
eksistensi pengakuan pemungut atau pengelola zakat (Amil).
2.
Faktor kebutuhan pertanggung jawaban dan profesionalitas dari pengelolaan serta
distribusi dana zakat.
3.
Negara memerlukan institusi yang profesional dan sistematis dalam menjalankan
fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan warganya menggunakan instrumen fiskal,
terutama Zakat.
4.
Menjaga harmonisasi hubungan golongan masyarakat kaya dan golongan
masyarakat miskin. Dalam hal ini penyaluran hak golongan miskin dari golongan kaya
tidak langsung, sehingga harga diri kedua golongan, terutama golongan miskin, terjaga
dengan baik.
Tentu saja baitul mal tidak hanya menampung zakat saja, tapi semua penerimaan negara
ditampung dan dikelola oleh baitul mal, seperti Kharaj, Jizyah, Khums, Ushur dan lainlain. Baitul Mal bukan hanya mengatur tata-laksana pemungutannya tapi juga mengatur
pendistribusiannya. Bahkan ada literatur ekonomi klasik yang menyebutkan pada masa
Ali bin Abi Thalib, Baitul Mal juga berfungsi mengeluarkan atau mencetak uang DinarDirham bagi kepentingan negara Islam ketika itu.
Dari perbandingan bahasan tentang zakat sebelumnya dengan kondisi penerapan yang
ada di Indonesia, ada beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan, di antaranya:
1.
System zakat yang masih sukarela (voluntary zakat system), terlihat jelas pada
pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika focus sanksi daru UU ini
ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Sebaiknya system zakat diusahakan untuk
berada pada posisi wajib (obligatory zakat system), sehingga zakat akan berfungsi dengan
maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi.
2.
System zakat yang mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Seperti
yang telah disebutkan bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi, maka efektifitasnya
akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi. Dengan
demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah otoritas ekonomi. Tapi kondisi
poin kedua ini menuntut terpenuhinya kondisi pada poin pertama terlebih dahulu.
Zakat yang terkumpul saat ini dari seluruh badan atau lembaga amil zakat jauh dibawah
potensinya. Mungkin hal ini yang membuat para amil zakat berijtihad untuk
mendistribusikan zakat kepada para mustahik dengan pola produktif, artinya para amil
zakat mencoba mengusahakan mustahik menjadi muzakki dengan program-program
usaha menggunakan dana zakat. Sebenarnya tidak ada yang salah dari keputusan ini,
melihat respon masyarakat terhadap zakat. Tapi jika kita lihat kondisi masyarakat
Indonesia saat ini, rasanya perlu bagi badan atau lembaga amil zakat tadi
mempertimbangkan kembali pola distribusi yang bersifat produktif tadi.
Jadi mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang
minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadaqah dan
intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang
membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh
negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan
untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan
infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik
dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang
bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.
Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah
nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi
mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan
memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan ekonomi dan sosial. Zakat
dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya,
tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi
zakat yang melalui baitul mal. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang
amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan
segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi.
Dalam Islam, selain kebijakan dari para pemain atau pihak-pihak sentral ekonomi yang
memang diharapkan dapat memberikan kestabilan dan kesejahteraan ekonomi, sistem
ekonominya juga diyakini memiliki mekanismenya sendiri dalam menjaga kestabilan
tersebut. Eksistensi aturan syariah dan institusi dalam sistem ekonomi diharapkan dapat
menjaga perekonomian dari salah laku para pemain ekonomi. Dan berkaitan dengan ini,
memang dalam perekonomian Islam ada beberapa mekanisme ekonomi Islam yang tidak
akan berjalan dengan maksimal ketika memang bukan negara yang menjalankan,
misalnya memastikan terlaksananya mekanisme Zakat dan pelarangan riba.
Dari variabel tersebut kuantitasnya ada yang bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah,
hibah dan wakaf. Yang bersifat wajib adalah zakat, kharaj, jizyah dan ushr. Sedangkan
ghanimah merupakan sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah
peperangan yang dilakukan oleh negara.
F.1. Kharaj
Kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah produktif
yang dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu Negara memiliki hak untuk menyita
tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar alasan
kemashlahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak Negara dalam penentuannya. Dan
Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian
yang ada. Dengan karakteristiknya seperti ini, kharaj dapat menjadi instrumen fiscal yang
dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program pembangunan negara.
Hasanuzzaman mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu
pajak Ushr dan pajak Kharaj. Pajak ushr dikenakan pada tanah di jazirah arab, baik yang
diperoleh secara turun temurun maupun dengan penakhlukan. Sedangkan pajak kharaj
dikenakan pada tanah diluar jazirah arab. Sementara Abu Yusuf berpendapat bahwa setiap
tanah yang pemiliknya masuk Islam adalah tanah ushr, dan diluar itu, seperti tanah orangorang asing yang telah didamaikan penduduknya dan menjadi tanggungan umat Islam,
maka tanah itu adalah kharaj.
Dilihat dari jenis kontribusi tanah pada negara, Abu Ubayd mengklasifikasikan tanah
menjadi tiga jenis. Pertama tanah yang pemiliknya masuk Islam, yaitu tanah ushr. Kedua
tanah yang dikuasai dengan perdamaian atau kesepakatan dengan pajak (kharaj) yang
telah ditentukan, yaitu tanah kharaj. Ketiga tanah yang diambil dengan paksa, yaitu yang
direbut oleh kaum muslimin.
Quthb Ibrahim Muhammad juga memberikan contoh data sejarah bagaimana masa
kekhalifahan Umar bin Khattab memberikan standar kharaj di Irak ketika itu.
Tabel 6
Kharaj di Irak Masa Umar bin Khattab
Standard
Kharaj
2 Dirham
4 Dirham
5 Dirham
10 Dirham
Menurut Hasanuzzaman, meskipun Islam mengakui adanya hak kepemilikan pribadi atas
tanah namun ada beberapa kondisi yang kemudian membuat seseorang terputus hak
kepemilikan tanahnya. Hasanuzzaman memaparkan enam kondisi pengambil alihan atau
terputusnya hak kepemilikan tanah tersebut.
1.
Pemberian hak kepemilikan dari negara yang bersifat temporer, artinya jika
sampai pada masa akhir kesepakatan atau terjadi kondisi tertentu, maka hak
kepemilikannya kembali pada negara. Hal ini terjadi ketika Umar bin Khattab r.a menarik
kembali hak kepemilikan tanah di Mesir ketika pemiliknya wafat.
2.
Negara memberlakukan undang-undang baru (amandemen) dalam pembagian
tanah kepada rakyat.
3.
Pemilik tidak memberdayakan tanah tersebut dalam beberapa waktu tertentu.
Dalam kasus ini Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan pada masa khalifah Umar
bin Khattab ada ketentuan bahwa jika seseorang membuka lahan mati maka lahan
tersebut menjadi miliknya, namun jika pemilik tersebut menelantarkan lahan itu selama
tiga tahun, maka gugur hak kepemilikan atas tanah tersebut.
4.
Pemilik tak sanggup membayar sejumlah uang yang menjadi kesepakatan antara
negara dengan pemilik tersebut, sebagai syarat dari keberlangsungan hak kepemilikan. Ini
terjadi pada kasus Hilal Bani Mutaan yang melakukan perjanjian dengan Rasulullah.
5.
Kepentingan negara yang begitu mendesak untuk mengambil alih hak
kepemilikan lahan tertentu. Ini terjadi pada kasus penduduk Najran dan Fadak pada masa
Umar bin Khattab.
6.
Atas alasan kemashlahatan atau demi kepentingan publik, kepemilikan tanah
dapat saja diambil alih oleh negara. Seperti kasus perluasan masjid Nabawi di Madinah.
Dalam konteks perekonomian modern, kharaj juga menjadi sebuah instrumen yang
penting dalam penerimaan modal pembangunan. Inovasi kebijakan fiskal menggunakan
kharaj sebagai rujukan merupakan sebuah keharusan dalam perekonomian modern saat
ini. Misalnya bagaimana menyikapi orang-orang yang tidak memiliki tanah produktif tapi
mempunyai pendapatan yang begitu besar, mungkin akan lebih mashlahat jika inovasi
kebijakan pajak menganalogikan penarikan pajak menggunakan pendekatan kharaj ini,
ketimbang menganalogikan pada zakat. Karena karakteristik pendistribusian kharaj lebih
bebas daripada pendistribusian zakat yang terikat pada golongan tertentu.
Namun tentu saja haruslah disepakati interpretasi dalil-dalil syariat yang mengatur
tentang kharaj ini serta aplikasinya di perekonomian modern. Sehingga implementasi
instrumen ini bagi negara akan maksimal dan tepat sasaran.
F.2. Jizyah
Jizyah (poll tax) merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan
muslim yang mampu. Berdasarkan banyak literature klasik ekonomi Islam, pajak jenis ini
dikenakan pada warga negara non muslim laki-laki. Bagi yang tidak mampu seperti
mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan
terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu Negara harus memenuhi
kebutuhan penduduk bukan muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi
kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal
ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari Negara yang telah dijelaskan sebelumnya,
yaitu memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas
hanya pada penduduk muslim saja.
Quthb Ibrahim Muhammad dan Hasanuzzaman serta beberapa pakar sejarah ekonomi
Islam klasik mengungkapkan bahwa jizyah ini rata-rata dikenakan pada setiap laki-laki
dewasa non-muslim sebesar 2 dinar. Golongan laki-laki dewasa ini pada hakikatnya
adalah golongan non-muslim Dzimmah, yang disebut dzimmi. Secara atimologis
dzimmah memiliki definisi perjanjian dan perlindungan, jadi kaum dzimmi adalah
mereka yang melakukan perjanjian untuk berlindung di bawah pemerintahan Islam. Ada
beberapa pendapat tentang jumlah jizyah yang harus dikenakan pada kaum dzimmi, dapat
dilihat pada dua table yang bersumber dari Quthb Ibrahim Muhammad dan
Hasanuzzaman. Alasan variasi tingkat Jizyah yang harus dibayar di Mesir tidak
diungkapkan secara jelas, padahal pengenaan tingkat Jizyah rata-rata adalah 2 dinar
perkepala.
Table 7
Standard Jizyah Masa Umar bin Khattab
Standard
Jizyah
Penghasilan Tinggi
48 Dirham
12 Dirham
Tabel 8
Tingkat Jizyah di Mesir (103 Hijriah)
230
7 1/6
17
15
38
20
13
12
25 1/6
14
108 2/3
Sumber: Hasanuzzaman
Dalam konteks ekonomi kontemporer, mungkin tidak lagi pengenaan jizyah hanya
terbatas pada golongan laki-laki non-muslim, tapi juga pada non-muslim wanita yang
mampu. Apalagi masa sekarang ini, sudah menjadi kelaziman bahwa wanita juga dapat
bekerja dan memperoleh pendapatan yang cukum besar.
F.3. Ushur
Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara
Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor
Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan
besarnya juga harus sama dengan tariff yang diberlakukan negara lain tersebut atas
barang Negara Islam. Jadi ada perbedaan di sini antara Ushur dan Ushr. Ushr sendiri
lebih tepat definisinya apa yang telah dijelaskan pada bahasan kharaj di atas. Menurut
Hasanuzzaman Ushur (bentuk jamak dari ushr) berasal dari ungkapan pajak sepuluh
persen dari nilai barang (ada yang mengungkapkan satu dirham per transaksi yang
terjadi) yang dikenakan atas pedagang pada masa sebelum Islam, dan petugas ushur ini
dekanal dengan sebutan ashir. Beberapa hadits menyebutkan Rasulullah melarang praktek
ashir ini. Meskipun pada masa Umar bin Khattab praktek ini dilakukan kembali, namun
asas dan bentuknya tidak sama dengan praktek ashir sebelum masa sebelum Islam. Masih
menurut Hasanuzzaman, Abu Ubayd mengungkapkan bahwa praktek ashir telah diganti
oleh Rasulullah dengan zakat, sehingga ushur pada hakikatnya dikenakan hanya pada
kaum pedagang kafir Harbi; kaum kafir yang menentang dan memerangi Islam dan
Dzimmi; kaum kafir yang tidak memusuhi dan memerangi Islam. Besarnya ushur yang
dikenakan adalah sepuluh persen bagi pedagang harbi, lima persen bagi pedagang
dzimmi dan dua setengah persen bagi pedagang muslim (zakat).
F.4. Infaq-Shadaqah-Wakaf
Infaq-Shadaqah-Wakaf merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan
ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun oleh Negara dapat
dimanfaatkan dapat digunakan Negara dalam melancarkan proyek-proyek pembangunan
Negara. Pada kondisi keimanan rakyat yang begitu baik maka dapat saja (besar
kemungkinannya) penerimaan negara yang berasal dari variabel sukarela ini akan lebih
besar dibandingkan dengan variabel wajib, sepanjang faktor-faktor produksi digunakan
pada tingkat yang maksimal. Khusus wakaf, dengan karakteristik kepemilikan publik
yang permanen atas benda wakaf, maka semakin besar wakaf akan semakin kecil biaya
sosial yang harus ditanggung oleh rakyat dalam ekonomi mereka. Sebab wakaf terikat
pada fungsi publik yang di syaratkan oleh syariat. Menurut Ahmed Faridi, penerimaan
dari pos sukarela ini memiliki korelasi yang positif dengan kondisi keimanan warga
negara, semakin beriman warga negara, semakin besar penerimaan negara melalui pos ini
dalam membiayai pembangunan negara.
F.5. Ghanimah
Ghanimah merupakan pendapatan Negara yang didapat dari kemenangan perang.
Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al Quran.
Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit yang bertempur,
sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums). Hasanuzzaman
mendefinisikan ghanimah sebagai segala barang bergerak yang direbut oleh tentara
muslim dalam sebuah pertempuran. Dalam ghanimah ada beberapa jenis pembagian yang
harus menjadi perhatian. Nafal, yaitu penghargaan yang diberikan pada seorang prajurit
berupa pembagian harta ghanimah, yang jumlahnya lebih dari rata-rata, dari
pemimpinnya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan. Pembagan nafal dapat
dilakukan meskipun tidak ada janji oleh negara pada awalnya . Salab barang pribadi yang
direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya. Dan Safi adalah barang pilihan
pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.
F.6. Khums
Khums adalah satu perlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi
militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini kemudian dapat
digunakan negara untuk program pembangunannya. Dalam alquran (Al Anfal: 41)
dijelaskan bagaimana penggunaan penerimaan negara dari pos Khums ini.
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang
(ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil (Al Anfal: 41)
F.7. Fay
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay merupakan pendapatan Negara selain
yang berasal dari zakat. Jadi termasuk didalamnya; kharaj, jizyah, ghanimah, ushr dan
pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan pendapatan
yang berasal dari perusahaan milik pemerintah). Definisi ini lebih mempertimbangkan
kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan
pada masa Rasulullah dulu.
Abidin Ahmad Salama (1995) menyebutkan bahwa pendapatan negara ada yang
bersumber dari Al Mustaglat (government investment). Sumber pendapatan ini termasuk
sumber baru bagi negara yang diperkenalkan oleh Walid bin Abdul Malik. Walid
mendirikan departemen baru dalam pemerintahannya yang bertanggung jawab terhadap
investasi yang dilakukan oleh negara.
F.9. Lain-lain
Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang memiliki ahli
waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam, hima dan bantuanbantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembagalembaga keuangan dunia.
Dari penjelasan instrumen fiscal ini perlu dipahami bahwa setiap instrumen memiliki
karakteristiknya masing-masing. Baik pemungutannya (penerimaan bagi negara) maupun
penggunaannya (pengeluaran bagi negara). Dilihat dari aturan pemungutannya ada
instrumen fiskal yang sifatnya menjadi ketentuan yang mengikat (regulated), maksudnya
instrumen tersebut dikenakan pada objek pembayar tertentu dengan sanksi-sanksi tertentu
dari negara bagi yang tidak membayar kewajibannya, misalnya instrumen Zakat, Kharaj,
Jizyah dan Ushur. Pada Zakat, pemungutannya dilakukan hanya pada masyarakat yang
harta wajib zakatnya melebihi batas nisab (batas minimal harta terkena Zakat). Ada juga
instrumen yang bersifat sukarela seperti Infaq, Shadaqah dan Wakaf. Sedangkan
instrumen yang bersifat kondisional dapat berupa Khums, Pajak, Fay dan lain-lain.
Instrumen terakhir ini sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi perekonomian yang ada di
sebuah negara. Misalnya karena kondisi perekonomian mengalami krisis yang cukup
lama sehingga sebagian besar rakyat terancam tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya,
maka negara boleh secara syariat memungut pajak. Dan pajak tersebut hanya boleh
dikenakan pada golongan masyarakat yang kaya.
Begitu juga pada mekanisme penggunaan dana-dana tadi. Ada instrumen yang
penggunaan dananya bersifat terikat dan bersifat tidak terikat atau bebas. Penggunaan
yang bersifat terikat maksudnya penggunaan yang harus merujuk pada petunjuk yang
telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariat, misalnya instrumen Zakat, dimana penggunaan
dananya hanya terbatas pada delapan golongan masyarakat (mustahik). Sedangkan
penggunaan instrumen fiscal yang bersifat tidak terikat artinya akumulasi dana yang
bersumber dari instrumen tersebut dapat digunakan untuk hal-hal apa saja dalam
pembangunan negara, tergantung pada prioritas pembangunan yang ada. Misalnya dana
yang bersumber dari fay, infaq, shadaqah dan wakaf (yang bersifat mutlak atau tidak
terikat).
Kedisiplinan pengelolaan dana dari instrumen fiscal Islam ini terlihat cukup menonjol.
Hal ini sebenarnya menunjukkan betapa perekonomian dalam Islam begitu
memperhatikan terjamin dan terjaganya segala kepentingan individu dan kolektif yang
secara otmatis dapat memelihara kestabilan social masyarakat Islam. Sehingga dalam
keadaan tersebut masyarakat secara individu dan kolektif dapat melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai hamba Allah SWT yaitu ibadah secara baik dengan hasil yang
maksimal. Secara tidak langsung karakteristik ini menguatkan pendapat bahwa setiap
instrumen fiscal memiliki sasaran tembaknya masing-masing dalam perekonomian
Islam.
Kedisiplinan ini juga yang secara implicit diungkapkan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib
r.a ketika menjawab pertanyaan Sahabat Umar bin Khattab r.a berkaitan dengan desakan
para sahabat yang lain pada Umar agar menggunakan perhiasan Kabah untuk
pembiayaan perang. Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan:
Al Quran telah diturunkan kepada Nabi SAW dan Harta itu terbagi empat; harta kaum
muslimin, maka bagilah antara para ahli waris menurut ilmu faraidh (ilmu waris); dan
harta fay, maka bagikanlah kepada mereka yang berhak; sedangkan harta seperlima
ghanimah (khums), maka bagikanlah kepada apa yang Allah inginkan; dan untuk zakat,
tempatkanlah menurut yang Allah kehendaki.
Dibeberapa negara barat bahkan menempatkan pajak sebagai pos penerimaan utama bagi
pembangunan ekonomi negara. Sehingga pajak menjadi instrumen fiscal yang cukup
sentral dari ekonomi. Seperti yang telah dijelaskan bahwa instrumen-instrumen fiscal
Islam memiliki karakteristik yang cukup khas, berbeda dengan pajak konvensional.
Instrumen fiscal Islam terikat dengan penggunaan atau pemanfaatan dan fungsi negara
yang telah ditetapkan secara syariat. Misalnya penerimaan yang definitive tidak
mengenakan satu instrumen pada semua golongan masyarakat, begitu juga
pendistribusiannya diatur secara syariat, sehingga dengan aturan pada pemungutan dan
pendistribusian diharapkan terjadi tertib fiscal dalam keuangan negara. Tertib fiscal yang
diatur syariah ini diharapkan dapat menghindari terjadinya misalokasi dana atau
memperkecil potensi penyalahgunaan oleh aparatur negara.
Dalam banyak literature ekonomi Islam baik klasik maupun kontemporer, pajak yang
terlepas dari prinsip-prinsip syariah sangat tidak dianjurkan. Bahkan pada beberapa
literature klasik pajak sejenis konvensional sedapat mungkin dihindari. Alasannya cukup
sederhana, bahwa pajak jenis tersebut akan menekan pertumbuhan ekonomi, melalui
penekanan pada sisi konsumsi dan produksi.
Monzer Kahf berpendapat bahwa tingkat pajak jikapun diberlakukan haruslah pada
tingkat yang rendah. Beliau sependapat dengan pemikir ekonomi Islam klasik seperti
Imam Malik, Ibn Hazm dan Kattani bahwa menempatkan pajak lebih besar dari tingkat
zakat hanyalah dibenarkan jika bertujuan (yang sifatnya darurat) untuk kebutuhan
pertahanan negara, menjaga terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan memenuhi
kebutuhan pembelanjaan yang menjamin kemashlahatan publik. Dan beliau
menganjurkan bila memang sebuah negara tidak mampu menerapkan system ekonomi
menggunakan konsep Islam, sebaiknya instrumen fiscal beserta pos-pos penerimaan yang
lainnya memiliki karakteristik yang sama seperti yang dimiliki oleh system ekonomi
Islam, baik pada pemungutannya maupun pendistribusiannya.
Dalam Islam institusi negara tidak lepas dari konsep kolektif yang ada dalam landasan
moral dan syariah Islam. Konsep ukhuwah, konsep tawsiyah dan konsep khilafah
merupakan landasan pembangunan institusi Islam yang berbentuk negara. Negara dengan
konsep tersebut yang juga dilengkapi dengan seperangkat regulasi syariat diharapkan
dapat melayani dengan baik dan menyeluruh semua kebutuhan.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa agama adalah pondasi atau asas, sementara
kekuasaan, dalam hal ini negara, adalah penjaga pondasi atau asas tadi. Jadi ada
hubungan yang saling menguntungkan dan menguatkan (simbiosis mutualisma). Di satu
sisi agama menjadi pondasi bagi negara untuk berbuat bagi rakyatnya menuju
kesejahteraan. Sementara negara menjadi alat bagi agama agar ia tersebar dan terlaksana
secara benar dan efisien.
Nejatullah Siddiqi menegaskan bahwa masyarakat tidak akan dapat diorganisir atau
diatur menggunakan prinsip-prinsip Islam kecuali menggunakan negara sebagai media.
Dalam Islam juga memang ada beberapa ketentuan yang hanya akan efektif dijalankan
oleh pemerintahan dari sebuah negara, seperti implementasi mekanisme zakat, ketentuan
pelarangan riba dan implementasi undang-undang hudud (hukum pidana Islam).
Pentingnya peran negara dalam efektifitas implementasi prinsip syariah pada setiap sisi
kehidupan manusia juga disinggung Yusuf Qardhawy dalam buku beliau yang berjudul
Fikih Daulah. Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa dengan adanya negara, maka
diharapkan risalah Islam dapat terpelihara dan berkembang, termasuk di dalamnya akidah
dan tatanan, ibadah dan akhlak, kehidupan dan peradaban, sehingga semua sektor
kehidupan manusia dapat berjalan dengan seimbang dan harmoni, baik secara materi
maupun secara ruhani.
C. Fungsi
Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW pasca
pembebasan kota Mekah dalam mengatur masyarakat Islam dan penyebaran Islam itu
sendiri, merupakan tindakan-tindakan yang lebih terlihat sebagai tindakan politik. Atau
dengan kata lain, secara bertahap ketika itu komunitas Islam Madinah-Mekkah sudah
diatur dalam kerangka yang bernama negara.
Pada dasarnya ketika itu, apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menjalankan misi
ketauhidan dengan cara mensejahterakan manusia dunia dan akherat di setiap sisi
kehidupannya dan menyebarkan ajaran yang rahmatan lil alamin sesuai dengan misi
yang beliau emban keseluruh penjuru dunia. Maka tak heran dalam fungsinya sebagai
kepala negara, Rasulullah berusaha keras memaksimalkan semua upaya agar seluruh
umat manusia sejahtera, baik melalui ekonomi, politik, hokum, dan budaya.
Fungsi negara secara politik yang Rasulullah SAW lakukan adalah menjalin hubungan
dengan negara lain tanpa meninggalkan misi ketauhidan, yaitu menyebarkan utusanutusan diplomatic dengan misi menyebar-luaskan ajaran Islam kepada pemimpinpemimpin negara dunia.
Faridi menyebutkan bahwa dalam teori ekonomi modern dikenal dua sector utama
ekonomi jika dilihat berdasarkan pelakunya, yaitu sector swasta dan sector publik
(pemerintah). Pemerintah dan swasta dalam ekonomi berfungsi menyelesaikan masalahmasalah distribusi di pasar. Keseimbangan harga pertama kali dilakukan oleh sector
swasta melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Ketika keseimbangan perlu
dikoreksi, maka peran sector publiklah yang diharapkan melakukan koreksi tersebut.
Dalam perekonomian Islam, menurut Faridi eksistensi sector ketiga (melengkapi dua
sector yang telah ada: swasta dan publik), yaitu sector swasta yang tidak dimotivasi oleh
keuntungan materi (voluntary sector) menjadi cukup signifikan dalam menjaga
keseimbangan makroekonomi.
Secara garis besar fungsi negara yang dikemukakan Dr. Yusuf Qardhawi terbagi pada
dua hal.
1.
Negara berfungsi menjamin segala kebutuhan minimum rakyat. Fungsi pertama
ini bermakna bahwa negara harus menyediakan atau menjaga tingkat kecukupan
kebutuhan minimun dari masyarakat. Pada masyarakat yang mampu (golongan muzakki
dan non-muzakki/mustahik), negara dapat menjaga tingkat persediaan yang tepat
sehingga harga kebutuhan pokok ada pada tingkat yang fair dan terjangkau. Sedangkan
pada masyarakat yang tidak mampu (golongan mustahik), negara harus dapat menjamin
kebutuhan pokok mereka, artinya negara harus menyediakan kebutuhan pokok secara
cuma-cuma pada golongan masyarakat ini. Fungsi ini pada hakekatnya bertujuan untuk
menjaga keimanan masyarakat secara umum. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok,
maka diharapkan hubungan transcendental manusia dengan Allah SWT tetap terjaga.
Aktivitas peribadatan tidak diganggu oleh faktor-faktor eksternal diluar kemampuan
masing-masing manusia itu. Jadi ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan
pokoknya yang kemudian menjadi hambatan aktivitas ibadah, harus dipecahkan melalui
aktivitas kolektif, dalam hal ini masalah tersebut menjadi tanggung jawab negara.
2.
Negara berfungsi mendidik dan membina masyarakat. Dalam fungsi ini yang
menjadi ruang lingkup kerja negara adalah menyediakan fasilitas-infrastruktur, regulasi,
institusi, sumber daya manusia, pengetahuan sekaligus kualitasnya. Sehingga keilmuan
yang luas dan mendalam serta menyeluruh (syaamil mutakammil) tersebut berkorelasi
positif pada pelestarian dan peningkatan keimanan yang telah dimunculkan oleh poin
pertama dari fungsi negara ini. Dengan dengan karakteristik ilmu ini juga diharapkan
pertumbuhan dan akselerasi pembangunan ekonomi akan berjalan lebih baik. Dalam arti
lebih baik pertumbuhan fisiknya dan kualitas kesyariahan aplikasi-aplikasinya, baik
dalam konteks aktivitas individu maupun aktivitas kolektif. Perlu diingat bahwa fungsi
ini menjamin masyarakat untuk berperan bukan hanya pemakai system ekonomi tapi juga
pembentuk dan pengokoh system ekonomi. Jadi ketika proses pendidikan dan pembinaan
tersebut berhasil maka diharapkan juga kekokohan system akan semakin terjaga, yang
akhirnya dapat secara maksimal system ekonomi memberikan manfaat pada masyarakat
(dalam konteks manusia sebagai pemakai system).
Definisi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara disini bersifat tidak statis,
artinya kebutuhan dasar itu definisi materinya berkembang sesuai dengan kondisi
ekonomi dari sebuah negara. Boleh jadi pada masa ini kebutuhan akan sebuah barang
masih digolongkan pemenuhan kebutuhan sekunder, tapi pada masa yang akan dating
berubah menjadi kebutuhan dasar. Anas Zarqa , mengklasifikasikan kebutuhan dasar
menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan untuk hidup (necessary needs) dan kebutuhan
yang layak (needs). Dan Zarqa berpendapat sepatutnya negara dapat memenuhi
kebutuhan warganya minimal pada tingkat hidup yang layak, bukan hanya sekedar
memenuhi kebutuhan untuk dapat hidup.
Dengan demikian dua fungsi tadi secara garis besar adalah bertujuan menjaga dan
meningkatkan keimanan dari masyarakat negara. Dengan harapan dengan modal
keimanan itulah negara melandasi pembangunan ekonominya. Sehingga secara tak
langsung dapat dikatakan bahwa parameter kesuksesan ekonomi dalam perspektif Islam
bukan didominasi oleh kemajuan pembangunan fisik, tapi lebih ditentukan oleh seberapa
besar kedekatan kolektif dari masyarakat Negara kepada Allah SWT.
Sementara itu menurut Hasanuzzaman , segala fungsi negara ditujukan untuk memastikan
bahwa keadilan dan keseimbangan di masyarakat dapat terjaga. Fungsi negara ini
menurut beliau terdiri dari:
1.
Pembuat kebijakan dan legislasi. Kebijakan dan legislasi yang menjadi wewenang
negara diharapkan mampu menekan inefisiensi dan diskriminasi. Kebijakan dan legislasi
tersebut memberikan kebebasan dan kesempatan bagi segenap warga negara untuk
meningkatkan moral dan spiritual, kesetaraan social dan kemajuan ekonomi mereka.
2.
Pertahanan negara. Tugas negara dalam pertahanan negara sudah menjadi
keharusan. Dalam hal ini Islam bukan hanya mempertahankan negara secara fisik tapi
juga mempertahankan risalah Islam secara normative. Itu sebabnya fungsi ini berkaitan
erat dengan fungsi negara dalam memelihara hubungan internasional.
3.
Pendidikan dan penelitian. Keutamaan ilmu dan pengembangannya sudah
menjadi ketentuan dalam Quran dan Sunnah, oleh sebab itu negara menjadi media yang
cukup sentral dalam memperlancar aktifitas transfer dan pengembangan ilmu ini. Dengan
begitu diharapkan keilmuan yang mapan mampu memberikan efek multiplier bagi
pembangunan segala bidang yang dilakukan negara. Dengan kata lain program ini bukan
hanya meningkatkan pembangunan baik secara kuantitas dan kualitas, tapi juga
memperkokoh kewujudannya.
4.
Pembangunan dan pengawasan moral-sosial masyarakat. Sudah menjadi
kemestian secara otomatis bahwa negara Islam harus menjaga prinsip-prinsip syariah
dalam kehidupan warga negaranya. Pengawasan dan peningkatan moral-sosial
masyarakat menjadi tugas negara yang mendasar. Konsep yang digunakan adalah amar
maruf nahi munkar (Ali Imran: 104). Fungsi negara untuk kategori ini dimainkan oleh
institusi negara yag di sebut Hisbah. Pada topik selanjutnya akan dibahas secara detil apa
itu institusi hisbah ini.
5.
Menegakkan hokum, menjaga ketertiban dan menjalankan hudud. Sejalan dengan
fungsi negara kategori sebelumnya, bahwa usaha negara dalam mewujudkan ketertiban
dan kedisiplinan fisik maupun moral, diperlukan penegakkan hokum yang jelas dan tegas
yang bersifat mengikat, beserta dengan konsekwensi dan pengawasannya. Dengan
demikian warga negara terjamin secara undang-undang hak dan kewajibannya dalam
kerangka system syariah.
6.
Kesejahteraan publik. Dalam kategori ini, fungsi negara adalah menjadi
katalisator bagi warga negara untuk mencapai kesejahteraannya. Negara memaksimalkan
pemberdayaan sumber daya yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
warganya. Negara kemudian menyediakan fasilitas-fasilitas vital bagi warga, utamanya
pangan, pakaian, perumahan, kesehatan dan variable apapun yang menjadi kebutuhan
dasar warga. Bahkan jika memang negara sudah mampu membiayai warga yang hendak
menikah, maka menjadi kewajiban negara untuk menjalankan tugas itu. Kesemuanya
ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan kondisi keimanan warga, dengan begitu tidak
ada hambatan-hambatan ekonomi yang dapat memposisikan warga negara pada satu
kondisi dimana hubungannya dengan Allah SWT terganggu.
7.
Hubungan luar negeri. Menurut Hasanuz Zaman, selain bertujuan untuk
memelihara hubungan baik dengan negara lain, negara juga dapat menggunakan misi
Dalam beberapa kajian ekonomi Islam, beberapa pakar ekonomi menyebutkan salah satu
fungsi negara yang spesifik adalah mencetak uang beredar resmi negara. Telah
disebutkan sebelumnya bahwa pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, negara
melalui Baitul Mal mencetak uang Islam pertama kali. Karena memang sebelumnya uang
yang digunakan bersumber dari uang negara lain. Ketika itu (sebelum masa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib), uang yang digunakan adalah Dinar emas yang berasal
dari kerajaan Byzantium dan Dirham perak yang berasal dari kerajaan Sassanian.
Dari ketiga fungsi yang telah dibahas, ada beberapa benang merah yang dapat
disimpulkan dalam menjelaskan fungsi negara dalam ekonomi Islam. System ekonomi
Islam yang begitu khas baik dari sisi filosofi, paradigma, prinsip, hingga sisi aplikasinya,
memiliki definisi yang juga khas tentang fungsi negara dalam mekanisme ekonomi.
Dapat disimpulkan secara garis besar bahwa negara memiliki dua fungsi utama, yaitu
fungsi pemantapan dan pembangunan yang bersifat geografis (geographical frontier),
seperti pertahanan negara, dan yang bersifat idiologi (ideological frontier). Fungsi negara
yang bersifat idiologi mencakup fungsi social-moral dan fungsi ekonomi, yang pada
hakikatnya kedua fungsi ini bertujuan untuk menjaga, memelihara dan meningkatkan
keyakinan atau keimanan seluruh warga negara.
Jadi dalam fungsi jenis ini, negara mengambil posisi sebagai khalifah yang menjalankan
fungsi penyebaran risalah dakwah dari Islam ini. Negara menjadi katalisator tersebarnya
dakwah Islam dalam rangka penyelamatan dunia (rahmatan lil alamin). Sehingga jika
dilihat dari ruang lingkupnya, fungsi ini dibagi dua; pertama fungsi yang melingkupi
wilayah local, yaitu mencakup warga negara dan lingkungannya. Kedua, fungsi yang juga
melingkupi wilayah di luar negara tersebut, artinya negara harus secara aktif
menyebarkan fikrah Islam ini menggunakan segala kemampuannya pada lingkungan di
luar negara melalui kemampuan diplomatic di segala bidang; ekonomi, hukup, politik dan
social-budaya.
butuhkan dalam hidup mereka berupa fasilitas ekonomi, kesempatan berusaha, serta
kemudahan-kemudahan lain yang bersifat materi. Terpenuhinya kebutuhan ini, seperti
yang dimaksudkan oleh Yusuf Qardhawi , masyarakat akan terpelihara segala prilakunya
dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan baik dari perbuatan maksiat maupun dari
keburukan hubungan vertikalnya dengan Allah SWT.
Kedua fungsi ini saling berkaitan erat satu sama lain. Ia saling bergantung, sehingga
keduanya secara serentak dan berkelanjutan harus menjadi focus utama negara dalam
menjalankan program-program pembangunan ekonominya. Disatu sisi pembangunan sisi
social dari masyarakat akan menjadi variable yang memberikan efek multplier bagi
program pembangunan fisik ekonomi. Program ini akan mendorong, memelihara atau
bahkan memperkokoh pembangunan ekonomi. Sementara itu pembangunan fisik
ekonomi juga akan mendorong pemerintah memberikan kondisi yang lebih baik bagi
lancarnya pembangunan social.
D. Regulasi
Regulasi negara yang berkaitan dengan ekonomi tidak dapat dilepaskan integrasinya
dengan regulasi aspek-aspek lain, seperti hokum, politik, pendidikan, keamanan dan
budaya. Regulasi tersebut tentu berfungsi untuk melancarkan aktivitas perekonomian.
Dalam kaitannya dengan system ekonomi Islam, regulasi negara harus mengandung
beberapa hal yang tersebut di bawah ini:
1.
Implementasi Zakat.
Regulasi zakat merujuk pada kewajiban setiap orang yang memiliki harta mencapai nisab
untuk membayarkan kewajibannya kepada amil zakat. Secara tersirat kewajiban ini
menuntut system yang lebih kokoh dari sekedar pemenuhan kewajiban para muzakki.
Karena memang yang dilaksanakan adalah system zakat yang wajib (obligatory zakat
system). Sehingga selain tuntutan adanya regulasi, ketentuan ini mensyaratkan adanya
institusi yang baik. Dalam literature sejarah ekonomi Islam kita mengenal Baitul Mal
(treasury house) sebagai institusi yang melaksanakan ketentuan syariah yang satu ini.
Pelarangan Riba.
Regulasi yang sangat mengikat pada seluruh masyarakat negara baik secara individu atau
kolektif begitu, baik pada organisasi non-profit maupun organisasi komersial, untuk tidak
mempraktekkan riba dengan segala bentuk dalam aktivitas ekonominya. Dan regulasi
tersebut haruslah memberikan keleluasaan pada semua bentuk atau jenis dan pelaksanaan
transaksi jual-beli atau investasi Islam.
3.
Konsep Halal
Regulasi negara menjamin bahwa segala aktivitas yang berkaitan ekonomi tidak
mengandung atau mempraktekkan aktivitas haram secara syariat. Perekonomian harus
terbebas dari maisir, khamar, riba, manipulasi, spekulasi dan lain sebagainya yang telah
diharamkan secara syari.
Jika dilihat dari anggaran saja, beberapa pos penerimaan dari negara sudah diatur secara
syariah kemana harus didistribusikan. Misalnya zakat, penerimaan jenis ini distribusinya
sudah ditentukan, ia hanya diperuntukkan pada delapan penerima zakat saja (mustahik),
pemerintah tidak memiliki hak mutlak dari pendapatan ini. Berbeda dengan
konvensional, penerimaan negara yang dominan berasal dari pajak tidak memiliki
ketentuan yang jelas untuk apa dibelanjakan, ia sangat tergantung pada kondisi
perekonomian negara dan keputusannya mutlak berada di tangan pemerintah. Sehingga
secara logika potensi misalokasi anggaran pada konvensional begitu besar
kemungkinannya terjadi, terutama ketidakperhatian pemerintah pada rakyat golongan
bawah, akibat adanya ketentuan yang jelas dalam regulasi dan kebijakan pemerintah.
E. Kebijakan
Kebijakan negara dalam bidang perekonomian secara tersurat telah jelas tercantum dalam
rujukan klasik ekonomi Islam, yaitu Al Quran dan Sunnah. Kebijakan ekonomi tidak
lepas dari sifat dan bentuk system ekonomi Islam yang terpadu (integrative) dan
Namun dari beberapa aktifitas ekonomi yang dilakukan negara ada beberapa yang
mungkin dapat saja dikategorikan sebagai aktifitas atau kebijakan moneter, berdasarkan
definisi yang konvensional berikan. Kegiatan yang dapat digolongkan pada kebijakan
moneter ini, seperti pembuatan mata uang, pengawasan uang beredar, nilai tukar mata
uang, transfer dana, intermediasi dan pengawasan investasi, serta sekuritisasi.
Penentuan jenis kebijakan, secara kualitas dan kuantitasnya, juga mempertimbangkan apa
yang menjadi masukan dari lembaga hisbah (market regulator and supervisor). Bahkan
pada bidang tertentu dan pada kondisi tertentu lembaga hisbah ini dapat melakukan
sebuah kebijakan sendiri atas nama negara. Misalnya kebijakan intervensi pasar, ketika
harga dipasar secara umum meningkat dengan tajam dan mengancam kepentingan
masyarakat luas, seperti mengancam tidak terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, maka
negara melalui hisbah dapat melakukan intervensi berupa intervensi secara langsung
dengan menetapkan harga atau secara tidak langsung, yaitu dengan menyediakan stok
barang yang cukup.
1.
2.
3.
4.
5.
Ekspansi produksi
6.
7.
Perlindungan konsumen
8.
F. Anggaran Negara
Kebijakan fiskal negara pada dasarnya dapat dilihat melalui variable anggaran negara.
Dari variable ini terlihat bagaimana negara mengatur arus dana yang ada dalam
pemerintahan, dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu melaksanakan programprogram pembangunan, baik yang bersifat abstrak seperti pembangunan moral, maupun
yang bersifat fisik atau materi seperti pembangunan ekonomi.
Secara panjang lebar instrumen pembiayaan bagi program pembangunan ekonomi negara
telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dimana telah disebutkan beberapa instrumen
sebagai variable penerimaan dana bagi negara, diantaranya seperti zakat, kharaj, jizyah,
khums, ushur dan lain sebagainya. Penerimaan negara ada yang bersifat regulasi atau
ketentuan yang mengikat warga negara dengan tentu saja berdasarkan criteria-kriteria
tertentu, serta ada yang bersifat sukarela. Berdasarkan literature yang ada, pada masa lalu
digambarkan bahwa negara Islam yang dipimpin Rasulullah lebih banyak mengandalkan
penerimaan negara yang bersifat sukarela untuk program pembangunan ekonomi, social
atau bahkan pertahanan negara. Penerimaan negara yang bersifat sukarela tersebut seperti
infak, shadaqah dan wakaf.
F.1. Penerimaan
Dari sisi penerimaan dalam anggaran negara ada beberapa hal yang dapat dijadikan alat
dalam kebijakan ekonomi Islam, yang kemudian menentukan warna system ekonomi
Islam itu sendiri. Beberapa pos penerimaan dalam sebuah negara Islam secara lebih
lengkap telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Disini dapat kita simpulkan
beberapa pos penerimaan bagi negara.
1.
Zakat; dalam system zakat yang wajib (obligatory zakat sistem), negara akan
berperan sebagai amil dalam mekanismenya. Sehingga negara memiliki hak sebesar
12,5% dari total zakat yang terkumpul, yang berarti sebesar ini pulalah pendapatan
Negara dari instrument zakat. Namun perlu diingat bahwa pemasukan Negara yang kecil
dari zakat bukan berarti Negara relative lebih terbebani jika dibandingkan apa yang ada
dalam system konvensional. Karena system zakat secara langsung dan signifikan telah
mengurangi beban Negara dari spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya,
yaitu menanggulangi kecenderungan negative dari pengangguran, kemiskinan dan
masalah-masalah social lainnya. Di lain sisi zakat merupakan instrument pertama yang
bertugas menjalankan fungsi pertama dari Negara, yaitu menjamin kebutuhan minimal
dari rakyat.
2.
Kharaj; kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanahtanah produktif yang dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu Negara memiliki hak
untuk menyita tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar
alasan kemashlahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak Negara dalam penentuannya.
Dan Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian
yang ada. Dengan karakteristiknya seperti ini, kharaj dapat menjadi instrumen fiscal yang
dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program pembangunan negara.
3.
Jizyah; Jizyah merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga Negara
bukan muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang uzur, cacat dan
mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan
untuk kasus tertentu Negara harus memenuhi kebutuhan penduduk bukan muslim
tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang
penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi
pertama dari Negara yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu memenuhi kebutuhan
minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya pada penduduk
muslim saja.
4.
Ushur; Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang
masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku
sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan
jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tariff yang diberlakukan negara lain
tersebut atas barang Negara Islam.
5.
Infaq-Shadaqah-Wakaf; Infaq-Shadaqah-Wakaf merupakan pemberian sukarela
dari rakyat demi kepentingan ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata.
Namun oleh Negara dapat dimanfaatkan dapat digunakan Negara dalam melancarkan
proyek-proyek pembangunan Negara. Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi
spiritual masyarakat secara umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik
maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan besar, sebaliknya jika keimanan
masyarakat begitu buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif
kecil.
6.
Ghanimah; ghanimah merupakan pendapatan Negara yang didapat dari
kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya
dalam Al Quran. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit
yang bertempur, sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums).
Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan
barang sitaan akibat pelanggaran hokum antar negara sebagai barang ghanimah.
7.
Khums, satu perlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi
militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini kemudian dapat
digunakan negara untuk program pembangunannya. Meskipun begitu perlu berhati-hati
dalam penggunaannya, sebab Allah SWT telah memberikan aturan dalam penggunaan
jenis penerimaan negara ini. Penggunaannya dikhususkan pada Allah dan Rasul-Nya,
kerabat Rasulullah, Anak Yatim, Orang miskin dan Ibnussabil.
8.
Fay; menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay merupakan pendapatan
Negara selain yang berasal dari zakat. Jadi termasuk didalamnya; kharaj, jizyah,
ghanimah, ushur dan pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha komersil pemerintah
(misalkan pendapatan yang berasal dari perusahaan milik pemerintah). Definisi ini lebih
mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup
berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah dulu.
9.
Pajak Khusus; pajak ini penentuan pemungutannya tergantung kondisi
perekonomian Negara, dan menjadi hak prerogative Negara dalam memutuskan besar
pajak yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi Negara yang pertama,
yaitu memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fayi tidak cukup
dalam mewujudkan fungsi tersebut, maka kebijakan selanjutnya Negara dapat
mengenakan pajak khusus yang dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara
masyarakat. Perlu diingat bahwa kebijakan ini sifatnya kondisional atau incidental, ia
sesuai dengan keadaan keuangan Negara dalam menjalankan kewajibannya.
10.
Lain-lain; penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan
yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam,
hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar
maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
Dalam konteks ekonomi modern saat ini tentu saja negara akan memiliki pos penerimaan
yang cukup bervariasi, misalnya berupa penerimaan devisa dan berupa keuntungan dari
badan usaha-badan usaha milik negara. Badan usaha-badan usaha yang dimiliki oleh
negara ini tentu saja dikelola secara professional dan efisien.
Pengelolaan usaha-usaha milik negara ini tentu tanpa harus melibatkan penguasa atau
para pemimpin negara dalam pengaturannya. Karena memang dalam ekonomi-politik
Islam para pemimpin atau pejabat negara dilarang untuk terlibat dalam aktifitas usaha di
pereonomian, dengan kata lain pemimpin atau pejabat negara tidak boleh menjadi pelaku
pasar. Hal tersebut akan cenderung membuat pasar tidak berjalan secara wajar dan
efisien. Praktek kolusi, korupsi dan nepotisme besar kecenderungannya untuk dapat
terjadi, jika para pemimpin atau pejabat negara juga dapat berperan sebagai pelaku pasar.
Perlu dipahami bahwa dalam perekonomian saat ini, hutang sebagai kebijakan
pembangunan bukan hanya timbul akibat kebutuhan dana yang melebihi penerimaan
negara, tapi juga akibat kelaziman yang ada dalam perekonomian dunia. Sehingga mau
tidak mau sebuah negara akan sulit keluar atau bahkan menghindari kondisi berhutang.
Dalam Islam sangat dianjurkan untuk tidak berada dalam kondisi berhutang, baik secara
individu maupun secara kolektif (negara). Apalagi dalam konteks negara, kita
dihadapkan dengan situasi dimana sebuah negara Islam memiliki fungsi untuk
menyebarkan fikrah Islam sebagai misi diplomatic luar negerinya. Dan fungsi ini sangat
menuntut kondisi negara Islam yang mandiri dengan integritas yang tinggi. Bagaimana
mungkin fungsi negara yang satu ini dapat terlaksana secara maksimal ketika
kemandirian dan integritas sebagai sebuah bangsa tidak ada akibat hutang luar negerinya.
Jadi kesimpulannya, pembiayaan program pembangunan negara harus menghindari
sumber-sumber dari hutang. Kalaupun harus terjadi sebaiknya hutang didapat dari negara
sesama Islam. Itupun ketika memang pembiayaan dari dalam negeri sudah tidak
mencukupi lagi.
Berkaitan dengan kondisi keuangan negara yang defisit, negara memiliki banyak pilihan
dalam menutupi belanja negara tersebut. Bahkan dengan perkembangan ekonomi Islam
modern saat ini beberapa inovasi dalam membantu pembiayaan pembangunan ekonomi
dapat dilakukan. Pada saat ini mulai populer pembiayaan program pembangunan
ekonomi negara menggunakan instrumen yang melibatkan semua pihak (swasta dan
masyarakat) dalam pembiayaannya. Pembiayaan tersebut menggunakan apa yang disebut
dengan obligasi syariah, yang pada hakikatnya adalah pembiayaan bersama berupa skema
investasi ataupun jual beli. Jadi obligasi tersebut dapat berbentuk sertifikat mudarabah,
murabahah, salam atau istisna. Dengan demikian juga diharapkan tercipta kemandirian
negara (terutama akibat kemandirian fiscal yang ada dalam anggaran negara).
F.3. Pengeluaran
Dalam pos pengeluaran negara, tentu saja sangat dipengaruhi oleh fungsi negara Islam itu
sendiri. Sesuai dengan bahasan fungsi negara yang telah didiskusikan sebelumnya, maka
pos pengeluaran negara dapat terdiri dari pos kesejahteraan social, pendidikan dan
penelitian, infrastruktur, pertahanan dan keamanan, dakwah dan penyebaran fikrah
(propaganda) Islam dan lain-lain.
Anggaran belanja negara secara garis besar dan sederhana dapat digambarkan sesuai
dengan table.
Tabel 10
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Islam
PENERIMAAN
PENGELUARAN
Jenis Regulasi
Zakat Kebutuhan Dasar
Kharaj Kesejahteraan Sosial
Administrasi Negara
Ada beberapa hal yang juga perlu dipahami dalam anggaran negara Islam ini, bahwa
Islam memiliki karakteristik yang khas pada pos penerimaan dan pengeluaran negara.
Khususnya pengeluaran negara, instrumen ekonomi yang digunakan negara dalam
membiayai pembangunan ekonomi dalam rangka menjalankan fungsi negara,
karakteristiknya dapat terbagi menjadi dua, yaitu pos pengeuaran yang terikat dan pos
pengeluaran yang tidak terikat. Maksud pos pengeluaran yang terikat adalah dimana
pengeluaran dari instrumen penerimaan tertentu menghendaki penggunaan akumulasi
dananya hanya dikhususkan pada objek penerima tertentu atau projek tertentu saja,
misalnya Zakat, Khums dan Wakaf. Pada Zakat, akumulasi dana yang terhimpun secara
syariat tidak diperkenankan dipergunakan selain bagi delapan golongan manusia yang
yang berhak atas zakat, yang dikenal dengan mustahik.
Pada masa lalu pendistribusian zakat lebih bersifat on the spot, atau pendistribusian yang
langsung dilakukan setelah melakukan pemungutan pajak, sehingga banyak diceritakan
Tabel 11
Pensiun Tetap pada Masa Umar bin Khattab
PENERIMA
5.000
4.000
Migran Abyssinia
4.000
2.000
2.000
2.000
200 2.000
Mujahid di Qadisiyya
2.000
2.000
600 700
Penduduk Yaman
700
Golongan Wanita
200 500
100
Kebijakan pemberian tunjangan berupa pensiun ini pada masa Umar Bin Khattab
sebenarnya juga tak luput dari kritikan sahabat-sahabat yang lain. Seorang sahabat Hakim
Bin Nizam mengungkapkan bahwa jika tunjangan itu terus menerus diberikan, maka akan
merubah tabiat produktif dari sebagian orang, misalnya seorang pedagang akan luntur
semangat dan kemampuannya dalam berdagang karena mungkin hanya akan
mengandalkan penerimaannya dari tunjangan tersebut. Dan pendapat Hikam ini terbukti
pada masa Abbasiyah, ketika negara menghentikan pemberian tunjangan.
Berkaitan dengan pengeluaran negara ini, Umar bin Khattab pernah mengambil kebijakan
dengan menginstruksikan pada Amr bin Ash, gubernur di Mesir, agar membelanjakan
sepertiga dari penerimaan dana negara yang bersumber dari selain zakat untuk
pembangunan infrastruktur bagi publik.
G. Institusi
Baitul Mal
Berdasarkan literature klasik ekonomi Islam, baitul mal (treasury house) merupakan
institusi sentral dari Negara. Ia menjadi institusi kongkrit dari Negara itu sendiri.
Bersama khalifah, baitul mal menjalankan fungsi-fungsi Negara bukan saja pada aspek
ekonomi tapi pada semua aspek kehidupan dalam Negara. Ialah yang menjalankan
kebijakan-kebijakan ekonomi melalui divisi-divisi pembangunan, menciptakan mata
uang, membangun prasarana dan infrastruktur perekonomian, menerima, mengelola dan
menyalurkan dana-dana pembangunan, dan lain-lain.
2.
Al Hisbah; sementara itu al hisbah bertugas mengawasi pasar agar sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah dan terus berada di jalannya yang betul. Lebih jelasnya akan
penulis bahas setelah ini mengenai peran dan fungsi al hisbah.
Fungsi dan eksistensi Baitul Mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa
Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara
konkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika
kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga Baitul
Mal itu berpusat di ibukota Madinah dan memiliki cabang di profinsi-profinsi wilayah
Islam.
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan Abu
Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya
dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan
setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya
tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab,
pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan
untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi
dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.
Dari penjelasan bab-bab sebelumnya telah dijabarkan peran dan fungsi lembaga Baitul
Mal sebagai bendahara negara (dalam konteks perekonomian modern, lembaga ini
dikenal dengan Departemen Keuangan treasury house of the state) secara panjang lebar.
Fungsi Baitul Mal pada hakikatnya mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi
dana yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti Zakat, Kharaj, Jizyah, Khums, Fay,
dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan
ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, penyebaran fikrah Islam melalui diplomasi luar
negeri dan semua program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
Dengan kompleksitas ekonomi yang ada pada perekonomian modern saat ini, struktur
organisasi Baitul Mal dapat saja berubah. Namun peran dasar yang diamanahkan secara
syariah seperti menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, harus tetap
menjadi rujukan utama.
Luasnya wilayah kerja Baitul Mal juga menjadi pertimbangan dalam membangun
struktur organisasinya. Konsep desentralisasi menjadi mekanisme kerja Baitul Mal dalam
menjalankan perannya sebagai salah satu lembaga ekonomi negara. Hubungan pusat dan
daerah dalam pemungutan dan pendistribusian akumulasi dana haruslah berdasarkan
ketentuan syariah dan skala prioritas pembangunan ekonomi ummat. Misalkan saja ketika
ada akumulasi dana zakat yang terkumpul di suatu daerah maka dana tersebut terlebih
dulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahik di daerah tersebut. Ketika dana
yang dikumpulkan tersebut berlebih, maka akan didistribusikan pada daerah yang
terdekat yang memang sangat membutuhkan dana tadi. Namun ada juga yang melakukan
hal tersebut melalui konsep sentralisasi dimana pelaksanaan atau pendistribusian
akumulasi dana dilakukan oleh Baitul Mal pusat. Misalnya dimana sebagian, setengah
atau seluruh akumulasi dana zakat diserahkan pada Baitul Mal pusat.
Bagian zakat yang diberikan pada pengelola zakat tentu dalam kerangka pemasukan
negara berasal dari zakat ini. Besarnya bagian buat pengelola zakat ini menurut Imam Al
Ghazali dalam Ihya Ulumuddinnya, sebesar kebutuhannya. Definisi kebutuhan disini
tentu tidakk terlepas pada kebutuhan menjalankan fungsi sebagai pengelola (amil) dan
kebutuhan hidup pengelola itu sendiri. Meskipun harus juga jelas kebutuhan sebesar apa.
Anas zarqa mengklasifikasikan kebutuhan menjadi dua jenis, yaitu kebutuhan dasar
untuk hidup dan kebutuhan untuk hidup layak.
I.1. Definisi
Salah satu karakteristik unik yang juga merupakan bentuk orisinil system ekonomi Islam,
adalah eksistensi dari institusi pengawasan dan peradilan ekonomi. Terutama eksistensi
lembaga pengawas pasar yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW yang di kenal
dengan Al Hisbah . Memang belum banyak kajian yang dilakukan oleh para pakar
ekonomi Islam pada bahasan yang satu ini, namun sumber pemikiran ekonomi klasik
banyak sekali menyebutkan peran institusi ini dan urgensinya dalam mekanisme
ekonomi.
Eksistensi lembaga otoritas pasar Hisbah ini menyiratkan bagaimana perekonomian Islam
memandang pasar begitu penting dalam aktifitas ekonomi. Pasar merupakan jantung
ekonomi. Pasarlah yang dijadkan alat oleh manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia
demi menjaga posisi setiap manusia agar selalu aman untuk dapat memaksimalkan
ibadah kepada Allah SWT. Namun dengan segala konsekwensi negatif yang juga dapat
terjadi pada aktifitas ekonomi di pasar, maka pengawasan pasar menjadi sebuah syarat
yang sangat vital dalam memastikan tujuan tadi dapat tercapai.
Ahmed Sobhi Mansour dalam artikelnya menyebutkan lebih detail sejarah terbantuknya
institusi Hisbah pertama kali. Manshour berpendapat bahwa secara institusi, al Hisbah
belum ada ketika zaman Rasulullah, Khalifah atau bahkan pada masa Umayyah. Namun
perlu dipahami bahwa kondisi lingkungan pada masa Rasulullah, Khalifah, Umayyah dan
Abasiyyah cukup berbeda. Sehingga perbedaan tersebut dapat saja mempengaruhi segala
keputusan negara dalam pengaturan negaranya, dan salah satunya adalah penyikapan
negara terhadap fungsi Hisbah ini.
Pada masa Rasulullah dan Khalifah, dimana peran pemimpin begitu sentral dan
pemerintahan dijalankan dengan begitu demokratis, banyak kebijakan yang juga
kemudian dimotivasi oleh prioritas kemashlahatan secara luas. Sementara pemerintahan
Umayyah dan Abasiyyah memiliki karakteristik kekerasan yang lebih menonjol akibat
corak pemerintahan kerajaan (dinasti) yang mereka miliki, dimana terdapat banyak
penghianatan akibat iri dan ketidak puasan serta musuh yang tidak suka berada dalam
pemerintahan seperti Umayyah dan Abasiyyah. Sehingga banyak kebijakan yang
dikeluarkan pada masa pemerintahan mereka bermotif mempertahankan atau
memperkokoh kekuasaan. Dan diyakini pelembagaan Hisbah memiliki dominasi motif
kepentingan politik seperti itu. Sehingga wajar jika kemudian Hisbah lebih menjadi
lembaga politik daripada sebagai lembaga ekonomia dan social. Ahmed mengungkapkan
bahwa pada masa Umayyah, pemerintah terkesan menjustifikasi kekuasaannya dengan
memanfaatkan kekuatan fatwa-fatwa ulama. Sementara Abasiyyah, dengan maksud yang
sama, mereka memanfaatkan slogan-slogan bahwa mereka merupakan pewaris resmi
keluarga Rasulullah yang memiliki hak untuk berkuasa sebagai khalifah. Dan pada masa
Abasiyyah inilah diyakini pertama kali Hisbah dilembagakan secara formal menjadi salah
satu lembaga negara.
Meskipun pada masa Rasulullah dan Khalifah lembaga Hisbah belum wujud secara
konkrit dan menjadi bagian dari institusi sistemik dalam negara, namun fungsi-fungsi
Hisbah secara jelas telah dijalankan oleh negara, baik itu dijalankan langsung oleh
Rasulullah dan Khalifah maupun yang dijalankan oleh sahabat-sahabat lain yang ditunjuk
oleh Rasulullah dan Khalifah. Seseorang yang ditunjuk menjalankan fungsi Hisbah ini
dikenal dengan sebutan Muhtasib.
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu hari
berjalan ke pasar dan menghampiri penjual makanan, beliau memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan makanan, beliau terkejut mendapati tangannya basah. Nabi berkata: Apa
ini wahai penjual makanan? Penjual itu menjawab: makanan itu terkena hujan ya
Rasulullah. Rasulullah SAW berkata: mengapa tidak kamu letakkan di atas agar bisa
dilihat orang. Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami. (Riwayat
Muslim)
Rasulullah SAW pun pernah mengangkat sahabat untuk berperan sebagai muhtasib, dan
tindakan ini diikuti oleh para Khalifah (Khulafaurrasyidin) sesudah Beliau. Setelah
pembebasan kota makkah, Rasulullah SAW mengangkat Said bin Ash bin Umayyah
sebagai muhtasib pasar Makkah. Begitu juga Rasulullah mengangkat seorang wanita
sebagai muhtasib, yang bernama Samra binti Nuhaik al-Asadiyah.
Alasan eksistensi dari lembaga Hisbah sebagai pengawas pasar juga dikarenakan
argumen bahwa pelaku pasar memiliki kecenderungan yang besar untuk berprilaku
curang. Misalnya seperti prilaku berbohong atau menipu demi barang dagangannya laku
di pasar.
Dari Rifaah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya para pedagang
adalah orang-orang yang curang! Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah
Allah telah menghalalkan jual-beli? Beliau menjawab: Ya, tetapi mereka bersumpah
kemudian berdosa, dan berbicara kemudian berdusta. (Riwayat At Tirmidzi)
Ahmed Sobhi Mansour berpendapat bahwa fungsi Hisbah pada hakikatnya adalah
mengawasi muslim agar tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariat yang menjaga
kemashlahatan umum, dan fungsi ini sekaligus menjaga hak dan harga diri setiap individu
muslim. Menurut Ahmed, Al Hisbah secara resmi didirikan dengan motif melegalkan
penekanan pada kelompok penghianat dan pemberontak yang mengganggu stabilitas
pemerintahan pada masa dinasti Abasiyah. Hisbah ketika itu berfungsi sebagai pengawas
dan pengadil segala prilaku masyarakat. Sehingga dari data sejarah ini lembaga Hisbah
pada dasarnya bukan hanya sebatas institusi dalam perekonomian, tapi lebih luas dari itu.
Lebih tepat lembaga Hisbah ini disamakan dengan lembaga kepolisian dan pengadilan
masa kontemporer saat ini.
Diungkapkan juga oleh Ahmed bahwa muhtasib pada dasarnya lebih merupakan kerja
yang sifatnya sukarela, dan bukan sebagai pejabat resmi negara yang mendapat gaji.
Namun ketika resmi dilembagakan mau tidak mau muhtasib menjadi pejabat negara yang
memang terikat pada kepentingan negara.
1.
Mengawasi timbangan, ukuran dan harga. Dalam konteks perekonomian
kontemporer, Hisbah juga mengawasi standard-standar atau parameter-parameter yang
menentukan (yang merupakan kesepakatan umum yang diperbolehkan pasar, baik
kualitas, kuantitas maupun kehalalannya) atas barang dan jasa atau bahkan sebuah unit
usaha dalam aktifitas ekonomi Islam. Meskipun mekanisme pasar Islam menganut pasar
bebas (free market mechanism), tetap saja Hisbah harus mengawasi fluktuasi harga
secara umum, terutama harga barang-barang atau jasa-jasa yang menjadi kebutuhan vital
masyarakat. Hal ini dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat tidak terganggu karena
dapat saja mengacaukan aktifitas ekonomi secara makro. Dengan kata lain lembaga
Hisbah ini juga kemudian harus memperkokoh peran pemerintah dalam menjaga
kebutuhan dasar masyarakat, yang secara signifikan berpengaruh pada stabilitas socialpolitik negara.
2.
Mengawasi jual-beli terlarang, praktek riba, maisir, gharar dan penipuan.
Harmonisasi aktifitas ekonomi dengan ketentuan syariat merupakan salah satu perhatian
dan fungsi lembaga Hisbah. Selain memberikan tuntunan dan penjelasan tentang aktifitas
ekonomi, syariah Islam juga memberikan batasan-batasan pelaksanaannya. Batasanbatasan tersebut meliputi berbagai hal seperti bagaimana berjual-beli, akad jual-beli,
pembayaran atau pelunasan, benda yang diperjual-belikan, informai tentang barang. Pada
hakekatnya batasan-batasan ini dilakukan agar terjaminnya keadilan
3.
Mengawasi kehalalan, kesehatan dan kebesihan suatu komoditas. Dalam rangka
menjaga kebersihan dan kemuliaan interaksi ekonomi, lembaga Hisbah bukan hanya
memastikan agar transaksi ekonomi berjalan sesuai dengan syariah, tapi juga menjamin
kalau barang yang diperdagangkan dalam pasar sesuai pula dengan apa yang dibolehkan
oleh syariah.
4.
Pengaturan (tata letak) pasar. Demi kelancaran berlangsungnya transaksi di pasar,
dengan mempertimbangkan kebebasan semua pihak untuk ikut serta dalam transaksi di
pasar, kebersihan, kesehatan, hak dan kewajiban semua pihak dan lain sebagainya,
lembaga Hisbah punya wewenang untuk mengatur tata-letak pasar yang ada. Termasuk
dalam hal ini lembaga Hisbah menyediakan segala fasilitas yang mendukung terjadinya
kegiatan ekonomi dipasar, misalnya lampu penerangan jalan, tempat pembuangan
sampah, sanitasi dan irigasi, penginapan bagi pelaku pasar yang berasal dari tempat yang
jauh dan lain-lainnya.
5.
Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan. Seperti menyuruh membayar hutang
bagi orang yang mampu tapi enggan membayar hutang. Sudah banyak dijelaskan bahwa
negara berfungsi menjaga stabilitas sosial ekonomi dengan menggunakan syariah sebagai
rujukan. Sehingga jika terjadi kezaliman yang mengancam kelancaran hubungan antar
pelaku pasar baik secara sosial maupun ekonomi, maka lembaga Hisbah memiliki
wewenang untuk ikut campur. Contohnya dalam kasus seorang pelaku pasar enggan
membayar hutang padahal ia mampu melakukannya. Dalam kondisi ini lebaga Hisbah
berhak memaksa orang tersebut untuk membayarkan kewajibannya berikut sanksi jika
orang tersebut bersikeras tidak melakukan hal tersebut.
6.
Melakukan intervensi pasar. Mekanisme pasar bebas memang diakui dan cukup
dijamin dalam pasar Islam, namun itu dilakukan dengan asumsi bahwa pasar berjalan
dengan adil. Namun jika dalam kondisi keadilan tadi tetap saja terjadi peningkatan harga
di pasar yang cukup tinggi, akibat bencana, wabah atau apapun diluar kendali pelaku
pasar, dan peningkatan harga tersebut mengancam pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat, maka negara melalui lembaga Hisbah boleh melakukan intervensi baik
menentukan harga maupun menyediakan cadangan produk yang cukup
7.
Memberikan hukuman terhadap pelanggaran. Selain memberikan tuntunan,
penjelasan dan batasan-batasan tentang aktifitas ekonomi, syariah Islam juga memberikan
penjelasan tentang sanksi sebagai konsekwensi pelanggarannya. Dan lembaga Hisbah
juga memiliki fungsi untuk memastikan terlaksananya sanksi tadi.
Jadi Al Hisbah dalam wacana ekonomi Islam ternyata bukan sekedar mengawasi pasar
tapi juga bertugas menyediakan segala sarana dan prasarana yang menyebabkan pasar
dapat semakin berkembang dan berjalan sesuai dengan syariat. Jadi lembaga Hisbah juga
bertugas menyediakan jalan-jalan raya, lampu penerangan pasar dan jalan, jembatan,
penginapan peniaga, dan lain-lain. Menurut Chapra (2001), dengan keberadaan Hisbah
negara tidak perlu lagi khawatir untuk selalu mengintervensi pasar melalui Baitul Mal
atau institusi lainnya, karena Hisbah sudah memaksimalkan perannya dalam menjaga
kestabilan pasar baik secara fisik maupun secara syariah. Namun peran Hisbah tidak
dapat semena-mena yang malah kemudian berakibat ketidakadilan.
Selain berfungsi sebagai pengawas pasar dan pemelancar aktivitas pasar, al Hisbah juga
sebenarnya merupakan bagian dari lembaga peradilan. Secara structural lembaga
peradilan dalam Islam dibagi menjadi tiga: wilayah al mazaalim, wilayah al qadha dan
wilayah al Hisbah. Wilayah disini berarti institusi pemerintah (definisi Ibnu Taimiyyah)
yang memiliki ruang lingkup kerja. Wilayah al Hisbah merupakan institusi peradilan
yang paling bawah, yang dapat mengadili langsung, dengan asumsi bahwa pelanggaran
memang dilihat langsung oleh muhtasib. Sedangkan peradilan yang memerlukan
pembicaraan, sumpah, saksi-saksi dan buti-bukti, maka itu menjadi tugas wilayah al
qadha. Dan fungsi wilayah al mazaalim tentu lebih tinggi lagi, lembaga mazaalim
menangani kasus-kasus yang lebih tinggi resikonya seperti mengadili petinggi-petinggi
negara yang ikut campur dalam mekanisme pasar.
Sementara itu pada system konvensional, secara sistematis mekanisme pengawasan ini
hampir tidak penah ada dalam pembahasan-pembahasannya. Kalaupun ada secara
institusi hal itu bukanlah bagian dari sebuah kerangka besar bangunan ekonomi
konvensional. Hal ini juga sebagai salah satu bukti betapa peran syariah sebagai
paradigma ekonomi begitu signifikan dalam membentuk arsitektur sistem ekonomi Islam
yang betul-betul berbeda dengan sistem ekonomi konvensional.
Akibat ruang lingkup tugas yang meluas berikut kompleksitas pasar yang ada, tentu saja
secara logis Hisbah akan berkembang, baik struktur organisasi maupun manajemen tugas
internal-eksternal. Hampir sama dengan perkembangan yang terjadi pada lembaga Baitul
Mal, Hisbah sebagai otoritas pasar kemudian harus menyesuaikan organisasinya dengan
kecenderungan pasar yang semakin integral dan kompleks. Artinya atas alasan efisiensi
dan efektifitas lembaga, Hisbah dapat saja dijalankan dengan prinsip sentralisasi atau
desentralisasi mengikut kondisi perekonomian sebuah negara.
Untuk mencapai tujuan terciptanya pasar yang lancar berdasarkan prinsip-prinsip syariah
yang juga menunjang tercapainya sasaran pembangunan ekonomi negara, maka Hisbah
sebagai otoritas pasar harus melakukan koordinasi dengan Baitul Mal sebagai otoritas
ekonomi negara. Misalnya ketika terjadi inflasi yang begitu tinggi di pasar yang
kemudian dapat mengancam pemenuhan kebutuhan dasar warga, maka Hisbah dapat saja
memberikan rekomendasi kebijakan pada Baitul Mal untuk melakukan intervensi di
pasar.
References
Abidin Ahmad Salama, Fiscal Policy of An Islamic State, Readings in Public Finance in
Islam, (Edited by Mahamoud A. Gulaid & Mohamed Aden Abdullah), Islamic Research
and Training Institute (IRTI) Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of
Saudi Arabia, 1995
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The
International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002.
F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in An Islamic State, Readings in Public Finance
in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank
(IDB).
Hafas Furqani, Institusi Hisbah: Studi Model Pengawasan Pasar Dalam Sistem Ekonomi
Islam, Skripsi S1, jurusan Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2002 M/1423 H.
M.A. Sabzwari, Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Editor: Adiwarman Karim, SE, MA), The International
Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 2002.
Mahmood M. Sanusi, Gold Dinar, Paper Currency and Monetary Stability: An Islamic
View, Proceedings of the 2002 International Conference on Stable Just Global Monetary
System, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, 2002.
Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy, The American
Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.
Olivier Jeanne, Foreign Currency Debt and The Global Financial Architecture,
European Economic Review, No. 44, 2000.
__________, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Rabbani Press, Jakarta,
1995.
Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Editors), Money and Banking In
Islam, International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz
University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad, Pakistan, 1996.