Anda di halaman 1dari 5

Bagaimanakah Syarat Sah Suatu Perjanjian ?

,
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang
terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal
ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan
dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia
21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena
perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian tertentu.
3. Ada suatu hal tertentu
Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para
pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undangundang Hukum Perdata, yaitu :
tidak bertentangan dengan ketertiban umum
tidak bertentangan dengan kesusilaan
tidak bertentangan dengan undang-undang

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement
(bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal
sebagai kontrak atau perjanjian. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut
memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut
digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam
ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping
istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan,
namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian
perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang
menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti
setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para
pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit
perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undangundang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang
umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban,
dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak
menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur
secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah
sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk
berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya
perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma,
perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :

Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para
kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali
pada perjanjian jual beli.
o Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik
selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun
lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan
janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah
mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.

Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak
nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP
tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-

menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak
bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis
kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk
dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint
venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis.
Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan.
Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya
merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak
hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat
oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak
tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP,
kemudian dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan
tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341
KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang
berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi
suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik. Dari pasal tersebut terkesan
bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket
baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak
ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,
dan undang-undang.
2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat
menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam
kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam
praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman
pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut
dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :

1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas
kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat
kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang
amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau
dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan
adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa
isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau
ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu
seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
3. Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak
yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang
menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan
kerugian berupa :
1.
2.
3.
4.
5.

Pemenuhan perikatan
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
Ganti rugi
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
Pembatalan dengan ganti rugi

Syarat-syarat sah perjanjian


Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada
empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu
timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan,

penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan
dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa
atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang
disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang
belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal
tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki
objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai
haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian
dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut
syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan
perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta
pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai
objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur
sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat
dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai