Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Masalah yang tidak kalah pentingnya dari ZEE ini adalah aspek law enforcement atau penegakan
hukumnya. akan tidak ada artinya sama sekali jika kita mempunyai hak-hak berdaulat dari
yurisdiksi di ZEE, tetapi kita sendiri tidak dapat menegakkan hukum disana. Di lain pihak, kita
semua menyadari bahwa bagaimana sulitnya penegakan hukum di daerah laut yang sangat luas
tersebut yang merupakan bahan tambahan, disamping itu penegakan hukum di perairan Indonesia
yang sudah amat luas.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa masalah penegakan hukum ataupun pengawasan ini
menjadi lebih berat lagi jika diperhitungkan bahwa daerah-daerah yang diliputi pengawasan
tersebut tidak hanya terbatas pada perairan Nusantara dan laut wilayah 12 mil itu, tetapi juga landas
kontinen dan zona Ekonomi eksklusif Indoensia selebar 200 mil laut. Bertambah luasnya wilayah
laut dan daerah-daerah kewenangan Indonesia tentu saja memerlukan perjuangan perluasan
kemampuan untuk mengamankannya.
Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai bagian dari jurisdiksi negara.
Jurisdiksi dimaksud meliputi dan mempunyai pengertian yang antara lain adalah :
a. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang membuat aturan-aturan hukum
untuk mengatur berbagai kepentingan, dan
b. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum yang berlaku.
3).
d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall promptly notify the flag
state, throght appropriate channels, of the any penalties subsequently imposed. Maksudnya
bilamana sampai melakukan penahanan, negara pantai harus segera memberitahukan hal tersebut
kapada perwakilan Negara bendera kapal (ayat 4).
Demikianlah mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan rezim hukum ZEE menurut
Konvensi Hukum laut yang baru, selanjutnya akan kita lihat bagaimana pengaturan penegakan
hukum menurut perundang-undangan nasional kita. Menurut ketentuan pasal 13 UU No.5 tahun
1983, ditetapkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan
kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), aparatur penegak hukum
Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai
dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan
pengecualian sebagai berikut :
a. Pengkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEE
Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau
orang-orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;
b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak
boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure;
c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam pasal 16 dan pasal 17 termasuk
dalam golongan tindak pidana sebagimana diamksudkan pasal 21 ayat (4) huruf b. UU No. 8 tahun
1981 tentang KUHAP.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang diduga
melakukan itndak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dilaut khususnya bagi kaapl
dan/atau orang-orang tersebut. terhadap kapal-kapal dan atau orang-orang yang berkebangsaan
Indonesia dapat diperintahkan (perintah ad-hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk
oleh penyidik dilaut untuk diproses lebih lanjut. Penangkapan tersebut tidak selalu dapat
dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan dalam UU No. 8 tahun 1981
tentang KUHAP, yaitu satu hari. Oleh karena itu untuk tidak tindakan penangkapan di laut perlu
diberi waktu yang memungkinkan para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan dan atau
orang-orang tersebut kepelabuhan atau penangkalan. Jangka waktu maksimal untuk menarik /
menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh dari ZEE Indonesia sampai ke suatu pelabuhan atau
pangkalan. Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak pidana menurut UU ini belum belum
diatur dalam UU No. 8 tahun 1981, sedangkan terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah
merupakan satu upaya untuk dapat memproses perkara lebih lanjut.
Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana
denda tersebut perlu dimasukkan dalam golongan tindak pidana sebagaiman dimaksud pasal 21 ayat
(4) huruf b, UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa aparatur
penegak hukum dibidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah perwira Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Bersenjata Republik Indonesia (pasal 14 ayat (1)).
Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan Negeri
sebagaimanadimaksud dalam ayat (3). Pengadilan yang berwenang mengadili perlanggaran
terhadap ketentuan UU ini adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan
dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau orang-orang sebagimana yang dimaksud
dalam pasal 13 huruf a. Dari ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan laut yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik
adalah misalnya komandan kapal, Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan
Komandan Stasiun
Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di ZEE Indonesia adalah sesuai dengan ketentuan pasal 30
ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia dan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal dan atau orang-orang
yang ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap
waktu sebelum ada keputusan dari Pengadialn Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat
dijelaskan bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena melakukan
perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh perwakilan negara dari kapal asing
yang bersangkutan. Kemudian penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga
kapal, alat-alat perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda
maksimum.
Posted by fahmicode in Bab 2. Implementasi Asas Negara Nusantara dalam Peraturan Perundangundangan Nasional. Tags: indoensia, penegakan hukum, zona ekonomi eksklusif
Balas
Hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) dan kewajibankewajiban (duties)
Indonesia atas laut selebar 200 mil dari garis dasar di sekeliling kepulauan Indonesia berlaku
berdasarkan Pengumuman Pemerintah tanggal 21 Maret 1980, yang kemudian dituangkan ke dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. Telah diketahui bahwa ketentuanketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah sebagian besar merupakan
ketentuan yang telah disesuaikan (accommodation) dengan Konvensi Hukum Laut yang baru (1982)
khususnya mengenai ZEE 200 mil tersebut. Di zona Ekonomi Eksklusif tersebut, Indonesia
merupakan salah satu negara pantai mempunyai dan melaksanakan:
a. hak berdaulat untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air diatasnya dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk ekplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti
pembangkit tenaga air, arus dan angin
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
Untuk lebih mudah pemahamannya maka hak-hak dan kewajiban Indonesia sebagai negara pantai
menurut hukum yang mengatur tentang ZEE ini, akan diperinci sebagai berikut:
1. Semua nNegara bebas dalam pelayaran, penerbangan, peletakan kabel dan pipa dibawah laut dan
kebebasan-kebebasan internasional lain yang berhubungan dengan pengoperasian kapal-kapal,
pesawat terbang dan kabel serta pipa dibawah laut. Juga semua Negara dalam melaksanakan hak
dan kewajiban di ZEE Indonesia harus menghormati hak dan Negara Indonesia dalam bidangbidang yang diatur oleh konvensi Huku Laut yang baru atau Hukum Internasional lainnya (Pasal 58
ayat 1,2)
2. jika terjadi perselisihan antara negra Indonesia dengan Negra-negara lain di ZEE Indonesia harus
diselesaikan atas dasar keadilan (equitable solution) dengan memperhatikan semau keadaan yang
berkaitan (Pasal 59).
Dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif, Konvensi Hukum
laut III (1982) mewajibkan Indonesia untuk:
a. Menentukan jumlah ikan yang boleh ditangkap (the coastal State Shall determine the allowable
catch of the living resources in its exclusive economic zone);
b. Dengan menggunakan data-data ilmiah (the best scientific evidence available to it) terbaik yang
dapat disediakan harus mencegah ekploitasi yang berlebihan (over exploitation) dengan tindakan
pelestarian dan pengelolaan yang benar atas sumber daya alam hayati. jika perlu disarankan
(dianjurkan) bekeja sama dengan negara atau organisasi internasional lain baik subregional,
regional maupun global (as appropriate, the coastal State and competent international organization,
whetever subregional, regional or global,
shall co-operate to this end);
c. Melaksanakan tindakan untuk memelihara dan mengembalikan populasi (restoring populations)
jenis-jenis ikan tertentu sampai maximum sustainable yield dan memelihara serta meningkatkan
jenis-jenis yang akan punah.
Selanjutnya Konvensi Hukum Laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai Negara pantai untuk
mengusahakan pemanfaatan secara optimum sumber daya alam hayati di ZEE (the coastal State
shall promote the objective of optimum utilization of the living resources in the ZEE without
prejudice), dengan cara-cara sebagai cara-cara sebagai berikut:
1. Menetukan kapasitas (kemampuan) penangkapan pihak Indonesia sebagai Negara pantai di ZEE
(the coastal State shall determine its capacity to harvest the living resources of the ZEE). dalam hal
pihak Indonesia tidak mempunyai kemampuan memanen seluruh allowable catch harus
mengizinkan negara atau nelayan negara lain yang mengambil suplusnya (where the coastal state
does not have the capacity to harvest the entire allowable catch, it shall, througt agreements or other
arrangements and pursuant to the terms);
2. Pihak asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesai harus tunduk kepada aturan-aturan untuk
pelestarian sumber alam hayati yang (akan) dibuat oleh pemerintah Indonesia, antara lain
menyangkut :
a. Lisensi nelayan, jenis kapal dan perlengkapannya, termasuk pembayaran uang perizinan yang
dapat berupa perlengkapan (alat) atau teknologi yang berhubungan dengan industri pengelolaan
ikan (licensing of fisherman, fishing vessels and equipment, including payment of fish and other
forms of remuneration, which, in the case of developing coastal State, may consist of adequate
compensation in the field of fishing industry);
b. Penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, quota penagkapan dan waktu penangkapan
(determining the species which may be caught, and fixng quotas of catch pervesser over a period of
time);
c. pengaturan musim dan daerah penagkpan, serta jumlah ukuran dan tipe kapal ikan (regulating
seasons and ares of fishing, the types, sizes and amount of gear, and the types, sizes and number of
fishing vessels that may be used);
d. Penentuan umur dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap (fixing the age and size of
fish and other species that may be caught);
e. Keharusan memberikan informasi mengenai hasil dan kegiatan penangkapan serta laporan posisi
kapal (specifying information required of fishing vessels, including catch and effort statistics and
vessel posisition reports);
f. Pelaksaan program penelitian perikanan tertentu dan pelaporan hasilnya (the conduct of specified
fisheries research programmes and regulating the conduct of the such research and reporting
associated);
g. Penempatan pengawasan atau pelajar praktek dikapal (the pacing of observesof traines on board);
h. Pendaratan sebagian atau seluruh hasil tangkapan di pelabuhan Indonesia sebagai negara pantai
(the landing of all of any part of the catch by such vessels in the ports of the coastal State);
i. Syarat-syarat joint venture atau bentuk kerja sama yang lain, (terms and conditions relations
relating to joint ventures or other cooperative arrangements);
j. Keharusan melatih personal dan alih teknologi, termasuk meningkatkan kemampuan Indonesia
(negara pantai) untuk melakukan penilitian perikanan (requirements for the training of personnel
and the transfer of fisheries technology, including enchancement of the coastal states capability of
undertaking fisheries research);
k. Peraturan-peraturan penegakan hukum di laut (enforcement procedures).
Terhadap semua ketentuan dan/atau peraturan tersebut di atas harus diumumkan terlebih dahulu.
Dengan perkataan lain Negara-negara pantai harus memperhatikan tentang pelestarian dan
peraturan-peraturan tersebut di atas hendaknya diummukan secara layak terlebih dahulu (coastal
States shall give due notice of conservation and management laws and regulations).
Selanjutnya Konvensi Hukum laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai negara pantai untuk
mengadakan kerjasama dengan negara-negara lain mengenai pengelolaan jenis-jenis ikan tertentu
yakni sebagai berikut :
a. Jenis ikan yang ada di ZEE dua atau tiga negra atau lebih (stradling stock);
b. Benis ikan beruaya (highly migratory species) ;
c. Binatang laut yang yang menyusi (marime mammals) ;
d. Jenis ikan yang bertelur di sungai (anadromous species/stock);
e. Jenis ikan yang bertelur di laut (catadromous species);
f. jenis ikan yang menetap di laut (sedentary species).
Pelaksanaan (kegiatan) ZEE Indonesia
Dasar pertimbangan peraturan tentang Zona Ekonomi Ekskusif mempunyai sifat serba daya guna
(multifunctional) maka tinjauan tentang pelaksanaan ekonomi eksklusif ini akan diuraikan melalui
kegunaannya, pengaturan perundang-undangannya di Indonesia. Namun pada hakikatnya tentang
pelaksanaan ekonomi eksklusif ini sebagian telah dibahas pada uraian-uraian sebagaimana yang
telah dikemuakakan di atas. Oleh sebab itu uraian berikut ini hanya tinggal melihat bagaimana dan
sejauh mana pengaturan hukumnya yang
telah ditetapkan.
Di Indonesia, sebagaimana yang telah ditetapkan didalam undang-undang Nomor 5 tahun 1983
tentang ZEE Indonesia), bahwa baik orang perseorangan maupun perusahaan, apakah perusahaan
negara maupun berupa perusahaan swasta, yang melakukan kegiatan eksplorasi dan / atau
eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tanaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia, harus
berdasarkan izin dari pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat
perizinan atau persetujuan internasional tersebut.
Maksudnya adalah kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan / atau eksploitasi ekonomis
seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia yang dilakukan oleh warga
Negara Indonesia atau badan hukumIndonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik
Indonesia. Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang
atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan negara asng yang bersangkutan. Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan
internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zone tersebut, antara lain kewajiban untuk
membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, eksplorasi dan /
atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus menaati ketentuan tentang pengelolaan dan
konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (pasal 5 ayat 2) dalam arti yang
diatas diamksudkan adalah sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali (to
maintain
resources) namun tidak berarti tak berbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, dalam
melaksanakan pengelolaan dan konvensi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan tingkat pemanfaatan baik disebagian atau keseluruhan daerah di ZEE Indonesia.
Asal tidak bertentangan maupun mengurangi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat
(2) UU. No. 5/1983 ekplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di
ZEE Indonesia oleh orang atau badan hukum atau pemerintah, negara asing dapat diizinkan jika
jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut
melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Dari uraian diatas dapatlah ditegaskan
bahwa dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin
batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula untuk menjamin batas panen lestari
tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang
diizinkan (allowable catch).
Dalam hal usaha perikanan, Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah
tangkapan yang diperbolehkan. Selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah
kemampuan tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan
izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah
tangkapan yang diperbolehkan antara 1000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap
Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton, maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari
sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan Internasional. Penunjukan pada pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut ZEE tunduk pada
ketentuan ayat ini.
Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang membuat dan/ atau instalasi-instalasi atau
bangunan-bangunan lainnya di ZEE Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik
Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut (pasal 6). Dari ketentuan
tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia
mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur pembangunan,
pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi dan bangunan-bangunan
tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
Meskipun Indonesia mempuntai yurisdiksi eksklusif namun pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki laut territorial sendiri dan kehadirannya tidaklah
mempengaruhi batas laut teritoria, ZEE Indonesia atau landas kontinen Indonesia. Selanjutnya
ditetapkan pula bagi siapa saja yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah (marine scientific
research) kelautan ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oelh Pemeritah Republik Indonesia.
Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah ditegaskan bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan di ZEE
Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan untuk penilitian disetujui terlebih dahulu
oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jika dalam janga waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya
permohonan tersebut pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan :
a. Menolak permohonan tersebut;
b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemohon tidak sesuai dengan kenyataan atau
kurang lengkap;
c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya yang terdahulu.
Suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan 6 (enam) bulan sejak diterimanya
permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia (penjelasan pasal 7). Kemudian
ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yangmelakukan kegiatan-kegiatan di ZEE Indonesia, wajib
melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menaggulangi
peraturan pencemaran lingkungan laut. Pembuangan ZEE Indonesia hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Dari ketentuan ketentuan tersebut di atas,
dapatlah dijelaskan bahwa wewenang perlindungan dan pelestarian sumber daya alam di ZEE
Indonesia secara Internasional didasarkan pada praktek negara, yang sekarang yang diterima pula
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut, sedangkan secara nasional
landasan terdapat di dalam Undang-undang Nomor 4 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolahan Lingkungan Hidup.
Pembuangan (dumping) di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, terhubung dengan
itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang
dibuangkan melalui perizinan. Pembuangan meliputi limbah pembuangan bahan-bahan lainnya
yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut, pembuangan limbah yang lazimnya dilakukan oleh
kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin.