Anda di halaman 1dari 22

Praktek Profesi Keperawatan Medikal

Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
A. LANDASAN TEORITIS PENYAKIT
1. Pengertian
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik
secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita
Yuliani, 2001).
Cedera kepala atau trauma kepala adalah cedera yang terjadi pada
tulang tengkorak, otak atau keduanya disertai atau tanpa disertai
adanya kerusakan struktur otak. Cedera kepala dapat bersifat primer
atau sekunder. Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan
kerusakan langsung setelah cedera terjadi misalnya fraktur tengkorak,
laserasio, kontusio. Sedangkan cedera kepala sekunder merupakan
efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan intrakranial, edema
serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia, dan infeksi (Hickey, 2003).

Gambar 1. Petunjuk Cedera Kepala

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

2. Anatomi dan Fisiologi Kepala


a. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut Evelyn C Pearce (2008) merupakan
struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari
tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3
lapisan : lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan
dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan
struktur

yang

menyerupai

busa.

Lapisan

dalam

membentuk

rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa


tengah berisi lobus temporalis, parientalis oksipitalis, fosa posterior
berisi otak tengah dan sereblum.
b. Meningen
Evelyn C Pearce (2008) otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu,
membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan,
yaitu:

cairan

serebrospinal

yang

memperkecil

benturan

atau

goncangan.

Gambar Lapisan cranium


Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Dura mater

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu


lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan

darah

vena

ke

sinus

transversus

dan

sinus

sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan


perdarahan

hebat.

menyebabkan
melalui

Hematoma

gejala-gejala

pembedahan.

subdural

neurologis

Petunjuk

yang

besar,

yang

biasanya

dikeluarkan

dilakukannya

pengaliran

perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa


mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan
5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Arteri-arteri

meningea

terletak

antara

dura

mater

dan

permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur


dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah
dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut


spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater

adalah

membrana

vaskular

yang

dengan

erat

membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang


paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu

dengan

epineuriumnya.

Arteri-arteri

yang

masuk

kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.


c. Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian,
antara lain yaitu:
1) Cerebrum

Serebrum

atau

otak

besar

terdiri

dari

dari

bagian,

hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi


dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal
dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang
berbeda, yaitu:

Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan

keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau


mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi
wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus


frontalis

bervariasi,

tergantung

kepada

ukuran

dan

lokasi

kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya


mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus
frontalis bias menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang
inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan
atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita
mudah

teralihkan,

kegembiraan

yang

berlebihan,

suka

menentang, kasar dan kejam.


Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.
Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal
dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan

yang

agak

luas

bisa

menyebabkan

hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini


disebut

ataksia

dan

untuk

menentukan

arah

kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita


dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau
bahkan

bisa

mempengaruhi

ingatan

akan

bentuk

yang

sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau


jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan seharihari lainnya.
Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.
Lobus

temporalis

menyimpan

juga

memori

memahami
dan

suara

mengingatnya

dan

gambaran,

kembali

serta

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis


sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari
luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang
nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti
tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak
biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini
otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu
penglihatan.

2) Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri
posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski
yaitu;

merangsang

dan

menghambat

serta

mempunyai

tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan


halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.
3) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula
oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan
pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi
jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan
penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah
dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi
jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian
inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

mengatur

fungsi-fungsi

vital

seperti

pernafasan,

frekuensi

jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.


d. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu
bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak
atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu:
1) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi,
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung
ke otak.
2) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke
otak.
3) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak
bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati
untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
4) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar
mata

yang

pusatnya

terletak

dibelakang

pusat

saraf

penggerak mata.
5) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga
buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini
merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala
bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak

mata dan bola mata.


Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas,
bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus

maksilaris.
Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi

otot-otot

pengunyah.

Serabut-serabut

sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal


dan dagu.
6) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Sifatnya

motoris,

mensarafi

otot-otot

orbital.

sebagai saraf penggoyang sisi mata


7) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori)

Fungsinya

serabut-serabut

motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga


mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf
otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya
sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
8) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa
rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar.
9) Nervus glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring,
tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita
rasa ke otak.
10)
Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung sarafsaraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paruparu, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar
pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
11)
Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan
muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
12)
Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf
lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambun.

3. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan
c. Cedera akibat kekerasan
d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah
dimana dapat merobek otak

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih


berat sifatnya
f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah
dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau
benda tajam
Berdasarkan jenisnya, trauma cedera kepala dibedakan menjadi :
a. Trauma benda tumpul
Menyebabkan adanya memar, lebam, hematom, ataupun perdarahan
di dalam kepala/intracranial.
b. Trauma benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal pada
area kepala.

4. Patofisiologi
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya
akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak
ada pada area cedera, dan konsekuensinya meliputi hyperemia.
Peningkatan / kenaikan salah satu otak akan menyebabkan jaringan
otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan
sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat
akibatnya tekanan pada ruang cranium juga terus meningkat. Maka
aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak
adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi
yang idak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang
berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus
bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga
terjadi peningkatan tekanan intracranial.
Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang
akan menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Dampak dari cedera kepala :
a. Pola pernafasan
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Trauma

serebral

ditandai

dengan

peningkatan

TIK,

yang

menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Biasnya


menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga
menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau
resiko

ketidakefektifan

bersihan

jalan

nafas

yang

akan

menyebabkan laju mortilitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera


serebral juga menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga
terjadi

pernapasan

chyne

stoke,

selain

itu

herniasi

juga

menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi neurogenik


sentral.
b. Mobilitas fisik
Akibat trauma dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan
tubuh, sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain
itu juga dapat menyebabkan control volunteer terhadap gerakan
terganggu dalam memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari
hari dan terjadi gangguan tonus otot dan penampilan postur
abnormal, sehingga menyebabkan masalah kerusakan mobilitas
fisik.

c. Keseimbangan cairan
Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk
mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga
respon terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis
makin banyak hormone anti diuretic dan makin banyak aldosteron
diproduksi sehingga mengakibatkan retensi cairan dan natrium
pada trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak akan terjadi
kerusakan pada kelenjar hipofisis/hipotalamus dan peningkatan TIK
pada keadaan ini terjadi disfungsi dan penyimpanan ADH sehingga
terjadi penurunan jumlah air dan menimbulkan dehidrasi.
d. Aktifitas menelan

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan


sensorik dari hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk
mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan
untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi. Selain reflek menelan
dan batang otak mungkin hiperaktif / menurun sampai hilang sama
sekali.
e. Kemampuan komunikasi
Pada pasien dengan trauma

cerebral

disertai

gangguan

komunikasi, disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan


pada penderita cedera kepala, kerusakan ini diakibatkan dari
kombinasi efek efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa
dan gangguan. Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada
area hemisfer cerebral dominan dapat menunjukkan kehilangan
kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam beberapa hal
bahkan

mungkin

semua

bentuk

bahasa

sehingga

dapat

menyebabkan gangguan komunikasi verbal.


f. Gastrointestinal
Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada
lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca trauma
terdapat respon yang bias dan merangsang aktifitas hipotalamus
dan

stimulus

fagus

yang

dapat

menyebabkan

hipokardium.

Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan


kartikosteroid dalam menangani cedera cerebral. Hiperkardium
terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stress yang mempengaruhi prduksi asam lambung.

5. Klasifikasi
Menurut Jenis Cedera :
a. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang
tengkorak dan jaringan otak.

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger


otak ringan dan oedem serebral yang luas.
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale) :
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
Tak ada fraktur tengkorak
Tak ada contusio serebral (hematom)
Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala
Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
GCS 9-12 (konfusi, letargi, atau stupor)
Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Amnesia pasca trauma
Muntah
Kejang
c. Cedera kepala berat
GCS 3-8 (koma)
Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran

progresif)
Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium

6. Penilaian Glasgow Coma Scale (Gcs)


Terdiri dari 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada
tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang
luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami
cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik
pasien, verbal dan membuka mata.
Skala GCS :

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Membuka mata :
Spontan

Dengan perintah

Dengan Nyeri

Tidak berespon

Dengan Perintah

Melokalisasi nyeri

Motorik :

Menarik area yang nyeri 4


Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak berespon

Berorientasi

Bicara membingungkan

Kata-kata tidak tepat

Verbal :

Suara tidak dapat dimengerti


Tidak ada respons

7. Manifestasi Klinis
a. Nyeri yang menetap atau setempat.
b. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
c. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau
telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas
mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros
piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari
hidung).
d. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
e. Penurunan kesadaran.
f. Pusing / berkunang-kunang.
g. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
h. Peningkatan TIK
i. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
j. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

8. Komplikasi
a. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang
terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena
benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun
kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar
10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya
luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang
memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau
valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obatobat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami
cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.
Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau
sampai waktu yang tak terhingga.
b. Afasia
Afasia

adalah

hilangnya

kemampuan

untuk

menggunakan

bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.


Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan katakata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus
temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya.
Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke,
tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa
aspek dari fungsi bahasa.
c. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang
terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus
parietalis

atau

lobus

frontalis.

Pengobatan

ditujukan

kepada

penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan


fungsi otak.
d. Agnosis
Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat


melihat

dan

merasakan

sebuah

benda

tetapi

tidak

dapat

menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda


tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu
dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok
atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan
benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada
lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda
penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa
yang

sudah

lama

berlalu.

Penyebabnya

masih

belum

dapat

sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan


hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum
terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Amnesia

hanya

berlangsung

selama

beberapa

menit

sampai

beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan


menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat,
amnesi bisa bersifat menetap.
f. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak
merupakan

predisposisi

untuk

kejang

lanjut;

kejang

dini

menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien


ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

g. Kebocoran cairan serebrospinal

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 %


pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti
spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 %
pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun
pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian
antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan
indikasi untuk reparative.
h. Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK,

Puncak edema

terjadi 72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi,


pernafasan
peningkatan

tidak
TIK.

teratur

merupakan

Penekanan

gejala

dikranium

klinis

adanya

dikompensasi

oleh

tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan


terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi
tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama
terjadi pergeseran supratentorial & menimbulkan herniasi. Herniasi
akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di
enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri
otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut
RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan
gagal.
i. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi

neulorogis:

Perubahan

TK

kesadaran, Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari


peningkatanTIK).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Yaitu sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya

perubahan

struktur

tulang

(fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan,


edema), adanya fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan

yang

berperan

dalam

peningkatan TIK/perubahan mental.


k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
fektif untuk mengatasi kejang.

10.
Penatalaksanaan
a. Penatalaksaan Awal
1) Air dan Breathing
- Perhatian adanya apnoe
- Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal.
Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai
diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2.

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Tindakan

hiperventilasi

dilakukan

hati-hati

untuk

mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK


pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2
harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2) Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama
terjadinya
petunjuk

perburukan
adanya

pada

kehilangan

CKS.

Hipotensi

darah

yang

merupakan

cukup

berat,

walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan


yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
sementara penyebab hipotensi dicari.
3) Disability (pemeriksaan neurologis)
- Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi
yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun,
ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya
-

normal
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan

reflek cahaya pupil


4) Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
b. Penatalaksaan Lanjut
Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :
- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL
cairan

isotonis

lebih

efektif

mengganti

volume

intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tdk

menambah edema cerebri


Lakukan pemeriksaan ;

lengkap,trombosit, kimia darah


Lakukan CT scan

Ht,

periksa

darah

perifer

Pasien dengan cidera kepala harus dievaluasi adanya :


-

Hematoma epidural

Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel


Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Kontusio dan perdarahan jaringan otak

Edema cerebri

Pergeseran garis tengah

Fraktur kranium

Pada pasien yg koma ( skor GCS < 8) atau pasien dgn tandatanda herniasi lakukan:
-

Elevasi kepala 30

Hiperventilasi

Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam 20-30


menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian
yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam I

Pasang kateter foley

Konsul

bedah

saraf

bila

terdapat

indikasi

opoerasi

(hematom epidural besar, hematom sub dural, cedera


kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)

a.

B. LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Identitas Klien

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Diantaranya
pendidikan,
b.
c.

yaitu

nama,

pekerjaan,

umur,

jenis

suku/bangsa,

kelamin,

alamat

dan

agama,
data-data

terkait lainnya.
Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran setelah trauma.
Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan

d.

segera setelah kejadian, serta adanya fraktur atau tidak.


Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya ada riwayat jatuh atau pernah mengalami trauma

e.

kepala.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya tidak ada hubungannya dengan penyakit turunan.
2. Pengkajian Kesehatan Fungsional Gordon
a. Pola penatalaksanaan kesehatan / persepsi sehat
Cara pasien dalam memelihara kesehatan, kebiasaan dalam
mengkonsumsi obat-obat tertentu untuk menahan rasa sakit.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Pola nutrisi metabolik pada pasien yang mengalami cedera
kepala akan menjadi terganggu, biasanya akan mual, muntah,
perubahan selera makan. Muntah (mungkin proyektil) dan
gangguan menelan (batuk, disfagia).
b. Pola eliminasi
Biasanya BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
c. Pola aktivitas dan latihan
Pola aktivitas dan latihan klien akan terganggu karena klien
lemah,

lelah,

kaku

dan

hilang

keseimbangan,

perubahan

kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam


berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

d. Pola tidur dan istirahat


Pola tidur dan istirahat pasien akan mengalami gangguan karena
sakit kepala dengan intensitas yang berbeda. Biasanya klien
tampak merintih, respon menarik pada rangsang nyeri.
e. Pola kognitif dan persepsi

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

Biasanya klien dengan cedera kepala akan kehilangan kesadaran


sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan
penglihatan,

diplopia,

gangguan

pengecapan/pembauan.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan


kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kejang
dan sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Pada pola ini emosi klien biasanya tidak stabil, akan terjadi
perubahan tingkah laku, mudah tersinggung, delirium, cemas,
bingung, impulsive dan depresi.
g. Pola peran dan hubungan
Klien cedera kepala akan mengalami perubahan dalam peran dan
tanggung jawabnya karena klien tidak dapat melakukan aktivitas
seperti biasanya dan bagi keluarga pasien yang mau menerima
keadaan klien saat ini akan lebih mengeratkan hubungan klien
dan keluarga.
h. Pola seksual dan reproduksi
Biasanya pada pasien cedera kepala pola ini akan mengalami
gangguan.
i. Pola koping dan toleransi stress
Pada klien biasanya akan mengalami gangguan seperti bicara
ngaur bahkan sampai depresi karena benturan yang keras
dikepala.
j. Pola nilai dan keyakinan
Biasanya klien mengalami gangguan dalam beribadah, dan
bahkan sampai koma.

Naldia, S.Kep
1541313026

Praktek Profesi Keperawatan Medikal


Bedah II
Fakultas Keperawatan, Universitas

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta ed 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Volume 3. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 2002. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC; 1999.

Naldia, S.Kep
1541313026

Anda mungkin juga menyukai