Anda di halaman 1dari 11

EKOSISTEM PEGUNUNGAN

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Interaksi Makhluk Hidup
Yang dibina oleh Ibu Novida Pratiwi S.Si., M.Sc

Oleh,
INDAH AULIA RACHMAWATI DEWI
140351603480

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Maret 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul
makalah ini Ekosistem Pegunungan, yang mana bertujuan untuk memenuhi tugas
matakuliah Interaksi Makhluk Hidup di Universitas Negeri Malang.
Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu dalam
penyusunan makalah ini dan menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis memohon maaf atas kekeliruan dan kekurangan di segala aspek
dalam makalah ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta
orang lain yang membaca dan menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah untuk
kedepannya sebagai tambahan dari referensi yang telah ada.

Malang, 29 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem merupakan hubungan timbal balik antara komponen biotik
(komponen yang hidup) dan komponen abiotik (komponen yang tidak hidup) di alam.
Hubungan antar komponen tersebut membentuk suatu sistem, yang menrupakan satu
kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, gangguan pada satu komponen
akan mempengaruhi keseluruhan komponen tersebut.Ekosistem dapat dibedakan
menjadi ekosistem alami dan ekosistem buatan.
Salah satu contoh ekosistem alami adalah pegunungan. Gunung merupakan
bentang alam berupa daratan yang menjulang, memiliki sifat abiotik dan biotik yang
spesifik. Sedangkan pegunungan merupakan suatu jalur memanjang yang
berhubungan antara puncak yang satu dengan puncak lainnya.
Banyak ahli ekologi tidak memasukkan pegunungan sebagai suatu ekosistem,
hal ini disebabkan pegunungan yang ditemukan tidak cocok dengan definisi karena
karakteristik iklim dan kehidupan tanaman dan hewan yang begitu beragam
berdasarkan ketinggiannya
Rumusan Masalah
1) Bagaimana zona pembagian daerah pegunungan?
2) Apa saja komponen ekosistem pegunungan?
3) Bagaimana interaksi antar komponen ekosistem pegunungan?

BAB II

EKOSISTEM PEGUNUNGAN
Gunung merupakan bentang alam berupa daratan yang menjulang, memiliki
sifat abiotik dan biotik yang spesifik. Gunung-gunung di Indonesia sebagian besar
terbentuk dari hasil aktivitas vulkanik. Ketinggian gunungnya mulai dari 500 m
hingga 4000 m di atas permukaan laut. Sedangkan pegunungan merupakan suatu jalur
memanjang yang berhubungan antara puncak yang satu dengan puncak lainnya
(Syamsuri, 2014: 57).
Oleh karena lingkungan berubah dengan ketinggian di daerah-daerah
pegunungan, biota juga berubah menurut ketinggian. Lereng gunung mengandung
berbagai zona biotik dalam daerah yang lebih sempit. Zona-zona ini berulang pada
ketinggian yang sama pada tiap-tiap gunung atau meliputi daerah yang luas. Kita
dapat menganggap zona-zona ini sebagai bioma yang tidak bersambungan dan
dihubungkan dengan bioma di daerah sekitarnya. Oleh karena itu, daerah pegunungan
lebih baik dianggap sebagai perkecualian pola-pola bioma (Syamsuri, 2014: 60).
Banyak ahli ekologi tidak memasukkan pegunungan sebagai suatu ekosistem,
hal ini disebabkan pegunungan yang ditemukan tidak cocok dengan definisi karena
karakteristik iklim dan kehidupan tanaman dan hewan yang begitu beragam
berdasarkan ketinggiannya. Komponen abiotik seperti suhu dan curah hujan berubah
seiring dengan bertambahnya ketinggian. Variasi ini menyebabkan banyak komunitas
yang terdapat di pegunungan (Biggs, 2008: 72).

Zona Pembagian Daerah Pegunungan


Pegunungan terluas dan tertinggi terdapat di pegunungan Himalaya, di daerah
Tibet. Pegunungan terpanjang yang rentangannya sepanjang pesisir barat Amerika
dari Alaska di utara hingga Chile di selatan adalah Pegunungan Andes. Pegunungan
lainnya terdapat di Eropa (Alpine, Pyrenees), Asia (Kaukasus, Urals), Papua Nugini,
Selandia Baru, dan Afrika Timur (Smith, 2014)

Pegunungan memiliki keanekaragaman habitat berserak yang mana terdapat


hewan dan tumbuhan yang dapat ditemukan. Pada ketinggian yang lebih tinggi,
kondisi lingkungan pada umumnya memiliki vegetasi tumbuhan alpine. Pada dataran
yang lebih rendah, biasanya ditutupi oleh hutan montana. Pada level yang lebih
rendah, lahan bertipe dataran rendah dan memiliki vegetasi seperti savanna, gurun,
atau tundra (Smith, 2014).
Pembagian daerah pegunungan berdasarkan ketinggian dan vegetasinya antara
lain:
1)
2)
3)
4)
5)

Hutan dataran rendah (0-1.200 m dpl)


Hutan Pegunungan Bagian Bawah (1.200-2.100m dpl)
Hutan Pegunungan Bagian Atas (2.100-3.000 m dpl)
Hutan subalpin (>3.000 m dpl)
Hutan Alpin (>4.000 m dpl)

(Syamsuri, 2014: 58).

Komponen Ekosistem Pegunungan


Pegunungan mempengaruhi jumlah sinar matahari yang mencapai sebuah
daerah dan berdampak pula pada suhu dan curah hujan. Perbedaan komponen abiotik
ini menyebabkan adanya distribusi spesies. Hal ini salah satu alasan komunitas
biologi pada pegunungan mirip dengan ketinggian terendah, tetapi jauh dari ekuator
(Campbell, 2008: 1158).
Pola bioma pada pegunungan yang berbeda dengan beberapa bioma darat
yang lain. Pada komponen abiotiknya sebagai berikut:
1) Suhu
Suhu di gunung sangat rendah, radiasi ultraviolet dari sinar matahari
tinggi dibandingkan radiasi inframerah, memiliki kerapatan oksigen yang
rendah. Fluktuasi suhu harian antara 150-200oC. Arus angin ke arah gunung
pada siang hari disebabkan oleh panasnya udara di dataran rendah dan akan
menyebabkan pengembangan udara dan naik. Dengan pengembangan dan
naiknya udara sebagai akibat tekanan yang lebih rendah, maka suhu akan
turun. Inilah sebab utama bertambahnya ketinggian, suhu udara makin turun
(Syamsuri, 2014: 60).
Suhu akan turun seiring dengan naiknya ketinggian sekitat 0,5-0,6 oC
setiap 100 meter. Pada pegunungan di daerah equator, tidak memiliki musim
dingin dan musim panas karena suhunya rendah pada ketinggian yang sangat
tinggi (Smith, 2014).

2) Kelembaban Nisbi
Presentase kejenuhan suatu massa udara akan bertambah dengan
menurunnya suhu. Oleh karena itu, titik embun pada ketinggian yang berbeda
tergantung kepada laju perubahan penurunan suhu dan kandungan uap air di
dalam udara semula. Hutan-hutan yang terdapat pada ketinggian yang tinggi
memiliki kelembaban nisbi yang sangat tinggi, terlebih di malah hari di mana
suhu menurun. Dengan demikian, titik embun sering dilewati sehingga air
mengembun di atas daun-daun, Tetapi pada masa-masa kering pada ketinggian
di atas lapisa awan, kelembaban nisbi dapat menjadi lebih rendah dari pada
siang hari. PPeningkatan kejenuhan air menyebabkan suhu jadi rendah. Hutan
yang terletak di tempat-tempat tinggi memiliki kelembaban yang relatiftinggi
di saat malam hari dan sering tmenjadi embun. Tingkan kelembabannya mulai
dari angka 86%-96% (Syamsuri, 2014: 61).
3) Awan
Pada bulan-bulan kering dimana uap air dalam udara kurang,
umumnya terbent suatu gelang awan sekeliling gunung dan hal ini biasanya
terjadi pada ketinggian kira-kira 2.000 m. Pada bulan-bulan yang paling
basah, lereng dan puncak gunung diselubungi awan sampai berhari-hari. Awan
terjadi dari embun yang bergerak naik ke atmosfer, ditangkap oleh debu dan
partikel-partikel mikro lainnya. Selama berbulan-bulan basah, lereng-lereng
gunung dan bukit diselimuti oleh awan. Sebaliknya, di bulan-bulan keting,
lereng-lereng relatif bersih dari penutupan awan (Syamsuri. 2014: 61).
4) Curah Hujan
Curah hujan di atas lereng gunung sampai ketinggian 2.000 m
umumnya lebih banyak daripada di dataran rendah di sekitarnya. Di dalam
lapisan awan yang menutupi lereng gunung, pengukuran curah hujan tidak
begitu

berguna

secara

ekologik,

karena

tumbuhan

akan

langsung

menggunakan tetes-tetes air yang terdapat di dalam udara. Air hujan yang
terjadi di gunung relatif sering dan curah hujan lebih tinggi dibandingkan di

wilayah bentang alam lain. Di puncak gunung lebih sering terjadi hujan
dibandingkan di lereng-lereng gunung (Syamsuri, 2014: 61).
Relief gunung menyebabkan alur angin bergerak menuju ke atas,
menyebabkan curah hujan yang tinggi pada bagian yang lebuh tinggi,
sedangkan pada bagian lereng menjadi lebih hangat dan relatif kurang lembab,
mengurangi curah hujan dan menyebabkan iklim lebih kering (Smith, 2014).
Udara bergerak dari laut dan bertemu dengan gunung, lalu bergerak ke
atas mendingin pada ketinggian yang tinggi dan turun dengan jumlah yang
banyak sebagai hujan. Pada bagian lereng, ada sedikit curah hujan. Sebagai
hasilnya, terdapat gurun (Campbell, 2008: 1158).

5) Embun Beku
Pemantulan panas dari bumi terjadi baik di siang hari maupun di
malam hari, tetapi pada malam hari tidak diimbngi penyinaran dari matahari.
Dengan menjadi dinginnya permukaan tumbuh-tumbuhan, tanah, batu, dan
lapisan udara tipis di sekelilingnya turut menjadi dingin. Udara dingin lebih
berat daripada udara panas, dan jika tidak ada angin yang mengalirkan udara
dingin ini maka udara dingin semakin dingin. Karena kehilangan panas bumi
terhalang oleh debu, kabut, dan awan, suhu terendah akan tercapai pada
malam hari yang cerah dan kering. Pendinginan maksimum terjadi pada
permukaan yang tidak menghantarkan panas seperti ranting atau rumput mati

dan tanah pasir kering, sedangkan pada permukaan yang menghantarkan


panas seperti batu-batuan dan air dan vegetasi yang hidup, pendinginan hanya
sedikit. Embun beku besar kemungkinan terjadi pada malam hari yang tenang,
kering, dan cerah di lembah-lembah dasar. Tempat-tempat seperti ini
dinamakan kantong-kantong embun beku dan terjadi pada danau-danau kecil
yang telah mengalami distrofil (danau mati), atau di tempat yang dahulunya
bekas sungai es (Syamsuri, 2014: 61).
6) Tanah
Kandungan mineral dan hara di dalam tanah semakin berkurang
seiring dengan tingkat ketinggian tempat. Air hujan yang terjadi di bukit dan
gunung membawa mineral dan hara ke daratan yang lebih rendah. Hal ini
mempengaruhi proses pembentukan batuan dan tanah. Variasi jenis-jenis
tanah mengakibatkan variasi yang tumbuh di atasnya (Syamsuri, 2014: 63).

While these general principles apply to all mountains, particular mountain


climates vary. For instance, mountains in desert regions receive little rain
because the air is almost always too dry to permit precipitation under any
conditionse.g., the Ahaggar Mountains in southern Algeria in the middle of
the Sahara. Latitude also can affect mountain climates.

DAFTAR PUSTAKA

Biggs, A., et, all. 2008. Glencoe Science, Biology. New York: Glencoe/Mc. Graw
Hill.
Campbel, N. A., et. All. 2008. Biology eight edition. San Fransisco: Pearson
Benjamins Cummings
Smith,

J.

M.

B.

2014.

Mountain

Ecosystems.

(Online).

(http://www.britannica.com/science/mountain-ecosystem), diakses 25 Maret


2016.
Syamsuri, I. dan Pratiwi, N. 2014. Bahan Ajar Interaksi Makhluk Hidup. Malang:
UM Press.

Anda mungkin juga menyukai