Gizi Buruk Madiun
Gizi Buruk Madiun
Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan tiba-tiba. Gizi buruk adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Apabila keadaan ini disertai dengan
tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor (Depkes RI, 2005). Kondisi ini akan
menimbulkan dampak terhadap pertumbuhan anak secara keseluruhan dan berdampak pula
pada perkembangannya.
Khumaidi (1994) menjelaskan masalah sosial yang mendasari terjadinya gizi buruk
adalah; masalah kemiskinan, ketidakstabilan kondisi keluarga, kurangnya pengetahuan dan
ketrampilan di bidang memasak, kurang keragaman bahan dan jenis masakan yang
menyebabkan kebosanan serta pengadaan dan distribusi pangan antar anggota keluarga yang
tidak merata. Dengan demikian masalah gizi merupakan sindroma kemiskinan yang erat
kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga menyangkut
aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.
Upaya serupa juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Madiun dengan
melibatkan berbagai sektor yang terkait, termasuk bantuan pangan bagi keluarga miskin
untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut
nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah gizi buruk dan prevalensi
gizi buruk
sampel tiap-tiap kecamatan adalah 55 : 5 yaitu 11 anak balita yang mengalami gizi buruk, dan
11 anak balita yang bergizi baik sebagai kelompok pembanding.
Peneliti mendatangi rumah responden untuk pengambilan data. Sebelum pengambilan
data, peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaan calon
responden untuk ikut serta dalam penelitian. Jika bersedia, pasien diminta menandatangani
surat persetujuan penelitian. Peneliti menanyakan karakteristik responden dan faktor yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah disusun.
Responden menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Pengambilan data gizi
buruk dilakukan dengan cara mengukur tinggi/ panjang badan dan berat badan anak
menggunakan timbangan dacin dan alat pengukur tinggi badan/ microtoice,.
Hasil
Pengaruh Asupan Gizi Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Asupan gizi balita gizi buruk 76,37 % kurang dan balita gizi baik 72,73 % baik. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak balita dengan
nilai p = 0,000 < (0,05).
Pengaruh Frekuensi Sakit Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Frekuensi sakit pada balita gizi buruk 85,5% sering sakit dan pada gizi baik 89,1% jarang
sakit. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh frekuensi sakit sejak lahir terhadap
gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < (0,05).
Pengaruh Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Terhadap Gizi Buruk Anak
Balita
Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada balita gizi buruk 60,0 % kurang, sedangkan
pada balita gizi baik 56,36 % tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh
ketersediaan pangan tingkat rumah tangga terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p =
0,000 < (0,05).
Pengaruh Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Ketersediaan pelayanan kesehatan balita gizi buruk 96,4% baik dan balita gizi baik 100%
baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh ketersediaan pelayanan
kesehatan terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,999 > (0,05).
Pengaruh Perilaku dan Budaya Pengasuhan Anak Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Perilaku dan budaya pengasuhan anak balita gizi buruk 52,8% cukup dan pada anak balita
gizi baik 85,5% baik. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh perilaku dalam
pengasuhan anak terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < (0,05).
Pengaruh Pendidikan Ibu Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0% SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% SD.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk
anak balita dengan nilai p = 0,157 < (0,05).
Pengaruh Kemiskinan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Anak balita gizi buruk 60% tergolong miskin dan anak balita gizi baik 94,5% tergolong tidak
miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk
anak balita dengan nilai p = 0,000 < (0,05).
Analisis Asupan Gizi dan Frekuensi Sakit Terhadap Gizi Buruk
Asupan gizi anak balita yang kurang berisiko 7 kali menyebabkan gizi buruk dengan nilai
Exp (B) = 6,794. Anak balita yang sering sakit berisiko 47 kali menyebabkan gizi buruk
dengan nilai Exp (B) = 47,048.
Analisis Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga, Perilaku dan Budaya
Pengasuhan Anak dan Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Gizi Buruk Anak
Balita
Anak balita dari keluarga yang kurang tahan pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk
dibanding keluarga tahan pangan dengan nilai Exp (B) = 10,677. Anak balita dari keluarga
yang tidak tahan pangan berisiko 81 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang
tahan pangan dengan nilai Exp (B) = 80,932
Perilaku dan budaya pengasuhan anak yang cukup baik berisiko 5 kali untuk terjadinya gizi
buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak yang baik dengan nilai Exp (B) =
5,236.
Pembahasan
Asupan gizi anak balita menunjukkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi
oleh anak balita. Gizi pada anak balita digunakan sebagai sumber energi untuk beraktifitas
dan melakukan pertumbuhan. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan bahwa
asupan gizi anak balita bergizi buruk 76,37% kurang, sedangkan asupan gizi anak balita
bergizi baik 72,73 % baik. Hasil analisis multivariat menunjukkan asupan gizi yang kurang
berisiko 7 kali menyebabkan gizi buruk anak balita. Hal ini berarti anak-anak balita yang
kurang mendapatkan asupan gizi dapat mengalami kondisi gizi buruk.
Asupan gizi yang adekuat adalah asupan gizi yang memenuhi unsur-unsur dari enam
kelompok makanan, yaitu dari kelompok nasi/ sereal, sayuran, buah, susu/keju, protein dan
lemak. Keenam kelompok makanan ini harus diberikan secara seimbang, sehingga anak dapat
memenuhi kebutuhan gizinya untuk beraktifitas, pertumbuhan dan mencegah penyakit
infeksi. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan ada 66,4% anak kurang
mendapat asupan dari kelompok nasi, sebasar 52,7% kurang mendapat asupan dari kelompok
sayur, sebesar 83,6% kurang mendapat asupan dari kelompok buah, 83,6% kurang mendapat
asupan dari kelompok susu, 26,4% kurang mendapat asupan dari kelompok protein. Hal ini
menunjukkan banyak anak yang kurang mendapatkan asupan gizi seimbang sehingga
berpengaruh terhadap status gizinya.
Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak
balita dengan nilai p = 0,000 < (0,005). Asupan gizi yang kurang pada anak balita
memberikan dampak kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi di dalam tubuh dan tidak
adanya zat gizi yang disimpan sebagai cadangan makanan. Hal ini menyebabkan sel
mengambil cadangan makanan untuk melakukan metabolisme. Tubuh anak banyak
kehilangan cadangan makanan dari lemak bawah kulit, sehingga akan terlihat semakin kurus
dan keriput (marasmus). Apabila kondisi berlanjut maka cadangan protein dalam otot juga
akan digunakan sebagai energi. Hal ini berakibat semakin menurunnya kadar protein di
dalam darah yang menyebabkan bengkak pada seluruh tubuh (marasmus).
Pengaruh Faktor Penyakit Infeksi Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada anak balita.
Hasil penelitian menunjukkan anak balita gizi buruk 85,5% sering mengalami sakit sejak
lahir, dan anak balita yang sering sakit hanya 10,9 %. Hasil uji statistik menunjukkan adanya
pengaruh frekuensi sakit terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < dari
(0,005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seringnya sakit pada anak balita
memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya gizi buruk di Kabupaten Madiun.
Hasil analisis Multivariat menunjukkan sering sakit berisiko 47 kali menyebabkan gizi buruk.
Hal ini berarti anak balita yang mulai lahir sampai sekarang sering sakit memiliki risiko yang
besar untuk mengalami gizi buruk.
Penyakit yang diderita dan seringnya anak sakit merupakan penyebab terpenting
kedua dari masalah gizi buruk, terutama di negara terbelakang dan berkembang seperti
Indonesia. Triningsih (2007) menjelaskan bahwa penyakit dan gizi buruk merupakan dua
kondisi yang saling berkaitan dan memperberat. Anak yang sering berpenyakit dalam waktu
lama dapat mengalami penurunan berat badan atau kurang gizi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan metabolisme, perubahan nafsu makan, menurunnya kemampuan absorbsi dan
kebiasaan mengurangi makanan pada saat sakit. Penyakit infeksi dapat menyebabkan
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh termasuk fungsi pencernaan, akibatnya zat-zat
makanan yang masuk ke tubuh tidak dapat dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh (
Nency & Arifin 2005 ). Dengan demikian anak yang sakit tidak mendapatkan zat gizi yang
adekuat dan bahkan mereka menggunakan cadangan makanan dalam tubuhnya untuk
melakukan metabolisme tubuh yang meningkat.
Beberapa penyakit yang sering menyebabkan terjadinya gizi buruk antara lain cacat
bawaan pada anak, penyakit kanker dan penyakit infeksi seperti TBC, diare, campak dan
HIV/AIDS. Alsegaf dkk, (2002) menjelasakan sekitar 70% kasus TB paru disertai dengan
penurunan berat badan yang menggambarkan kehilangan massa otot dan lemak. Hal ini
berakibat terjadinya gizi buruk pada penderita tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
anak balita yang bergizi buruk 53 anak balita pernah menderita influenza, 7 anak balita
menderita retardasi mental, 5 anak balita pernah diare, 2 anak balita masing-masing
menderita TBC dan talasemia, 1 anak balita masing-masing menderita hidrocepalus,
microchepali dan bibir sumbing. Sedangkan rata-rata lamanya penyakit infeksi akut yang
diderita adalah 4 hari.
Pengaruh Faktor Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Terhadap Gizi Buruk
Anak Balita
Ketersediaan/ ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan ini berhubungan dengan
asupan gizi bagi setiap anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi buruk 60,0% kurang tahan dan 34,55%
tidak tahan. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi baik 56,36%
tahan dan 40,0% kurang tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga dengan gizi buruk pada balita dengan nilai p = 0,000 < dari
(0,05). Hal ini berarti bahan makanan yang bergizi dan beragam kurang tersedia untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi bagi setiap anggota keluarga sehingga mengakibatkan
terjadinya gizi buruk.
Hasil uji multivariat menunjukkan anak balita dari keluarga yang kurang tahan
pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga tahan pangan. 10,677.
Anak balita dari keluarga yang tidak tahan pangan berisiko 81 kali mengalami gizi buruk
dibanding keluarga yang tahan pangan. Hal ini berarti semakin rendah kemampuan keluarga
dalam menyediakan bahan pangan yang bergizi dan beragam semakin besar pengaruhnya
untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita.
Terbatasnya persediaan bahan makanan tingkat rumah tangga menyebabkan
pengurangan frekuensi dan jumlah makanan yang dimakan serta makan makanan seadanya.
Bagi anak balita kondisi ini tak dapat diadaptasi dengan baik, karena mereka sedang
mengalami pertumbuhan dan banyak membutuhkan gizi. Akibatnya anak balita kurang
mendapat asupan gizi yang baik dari segi jumlah maupun kualitas dan bahkan dapat
berdampak terhadap terjadinya gizi buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan gizi
pada balita gizi buruk 76,37% kurang sedangkan pada balita gizi baik 72,73% baik.
Malawirawan, dkk., (2006) dalam studinya menjelaskan anak balita yang mengalami gizi
buruk, diakibatkan oleh kurang mendapat keragaman konsumsi makanan dan kurang
mendapat makanan dari sumber energi dan protein. Hasil penelitian menunjukkan sebagian
besar anak balita yang bergizi buruk mengkonsumsi makanan dari beras dengan lauk yang
terbatas pada protein nabati (tempe) dan jarang mengkonsumsi buah dan sayuran.
Tidak tersedinya makanan tingkat rumah tangga berkaitan dengan kondisi sosial
ekonomi, kurangnya pengetahuan keluarga tentang gizi, serta ketersediaan bahan makanan
tingkat masyarakat (Sururi, 2006). Hasil penelitian menunjukkan 60% anak balita yang
bergizi buruk berasal dari keluarga miskin yang kemampuan daya belinya kurang. Akan
tetapi ada 40% keluarga yang tidak miskin memiliki anak balita bergizi buruk. Keluarga yang
tidak miskin ini mungkin kurang memiliki pengetahuan keluarga tentang gizi, meskipun daya
belinya cukup baik.
terdapat 39,2% kurang tahan pangan. Hal ini berarti keluarga ini memiliki kemampuan untuk
membeli tetapi mereka tidak menyediakan sumber bahan makanan yang beragam terutama
dari protein hewani.
Upaya tindak lanjut terhadap penemuan hasil penimbangan di bawah garis merah
dilakukan melalui kunjungan rumah oleh petugas kesehatan yaitu tenaga gizi, perawat atau
bidan. Tindakan ini merupakan konseling tentang upaya pemenuhan kebutuhan gizi pada
anak balita serta promosi program keluarga sadar gizi dengan media leaflet. Hasil penelitian
menunjukkan sebanyak 96% anak balita gizi buruk telah dikunjungi oleh tenaga puskesmas
dan 4% belum dikunjungan karena dianggap penemuan baru.
Upaya pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi kepada balita dilaksanakan setiap 6
bulan sekali di posyandu. Pencapaian program tahun 2009 adalah 107,63% untuk anak balita
dan 108,54% untuk bayi (6-11 bulan). Hasil penelitian menunjukkan seluruh (100%) anak
balita mendapatkan vitamin A secara rutin mulai umur 6 bulan.
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi balita di
Kabupaten Madiun dilaksanakan dengan menggunakan dana dari DAU APBD dan APBD 1,
dengan jumlah sasaran 200 balita dan 125 balita. Paket dari DAU APBD berupa Pan Enteral,
susu Dancow Balita, Grotavit sirup dan zink sirup yang diberikan untuk 90 hari. Sedangkan
paket dari APBD 1 berupa susu vineral yang diberikan selama 90 hari. Hal ini menunjukkan
banyak anak balita yang hasil penimbangaannya di bawah garis merah belum semuanya
mendapatkan intervensi PMT. Hasil evaluasi program dari 200 balita yang mendapatkan
PMT 18,5% naik statusnya, 79,0% tetap dan 2,5% turun. Hasil penelitian menunjukkan dari
55 anak balita yang bergizi buruk 74,54 % pernah mendapatkan PMT pada tahun 2009.
Sedangkan pada tahun 2010 program pemberian PMT belum ada.
Kegiatan imunisasi dalam upaya mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi telah dilaksanakan di posyandu maupun di puskesmas. Hasil penelitian
menunjukkan 100% anak balita telah mendapatkan imunisasi BCG, polio sebanyak 4 kali,
DPT sebanyak 3 kali, campak dan Hepatitis B. Sebagian besar anak mendapatkan imunisasi
di posyandu dan di bidan desa.
Upaya pengobatan kasus penyakit pada anak balita dapat dilakukan di puskesmas,
posyandu untuk penyakit tertentu dan bidan desa. Seluruh desa yang digunakan untuk
pengambilan data penelitian terdapat bidan desa. Seratus persen anak balita yang sakit segera
dibawa berobat ke petugas kesehatan baik di puskesmas ataupun bidan desa. Pemerintah juga
telah memberikan jaminan kesehatan masyarakat/ jamkesmas atau jamkesmasda bagi
keluarga miskin. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 52,72%
keluarga telah
Sururi (2006) menjelaskan bahwa interaksi ibu dengan anak atau pola pengasuhan
anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak yang mendapatkan perhatian
secara fisik maupun emosional lebih mudah menerima makanan dengan gizi seimbang
dibanding dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Hal ini berkaitan
dengan timbulnya perasaan aman, nyama dan rasa kepercayaan diri yang dibangun oleh
orang tuanya. Pemberian makan yang menyenangkan, tidak memaksa dengan kekerasan saat
anak balita makan, membiarkan balita makan dan memilih makanan sendiri, tidak banyak
aturan saat makan, memperhatikan waktu makan balita dan memberikan contoh pola makan
yang baik merupakan cara pemberian makan yang dapat dilakukan untuk membiasakan
makan secara teratur.
Pola pengasuhan lain yang dilakukan oleh keluarga dengan anak balita bergizi baik di
Kabupaten Madiun adalah perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang meliputi: 1)
Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak balita setiap bulan melalui kegiatan
posyandu; 2) Memberikan ASI eksklusif; 3) memberikan makanan yang bervariasi dan
seimbang zat gizinya; 4) menggunakan garam beryodium; 5) memberikan tablet vitamin A
setiap 6 bulan sekali.
Pengaruh Faktor Pendidikan Ibu Terhadap Gizi Buruk Anak Balita
Pendidikan merupakan ijazah pendidikan formal terakhir yang dimiliki oleh ibu dari
anak balita. Secara umum diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan
seseorang akan bertambah baik, termasuk pengetahuan tentang pengasuhan anak balita.
Dengan demikian semakin tinggi pendidikan ibu semakin mampu mengasuh anak balitanya,
sehingga kejadian gizi buruk semakin rendah. Hasil studi Malawirawan L.,dkk, (2006) di
NTT, menunjukkan bahwa kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada anak balita yang
memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan SD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0%
SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% pendidikan SD. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,157 <
(0,05). Hal ini berarti ibu yang berpendidikan SD bukan berarti tidak mampu mengasuh dan
merawat anak, dan sebaliknya ibu yang berpendidikan tinggi belum tentu juga mampu
mengasuh dan merawat anak. Studi yang dilakukan Maryetti, dkk. (2008) pada keluarga di
daerah non Gakin menunjukkan bahwa faktor yang berkaitan dengan terjadinya gizi buruk
adalah ketidakpedulian orang tua terhadap kebutuhan gizi balita, meskipun sebenarnya
mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik.
paling berpengaruh untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita di Kabupaten Madiun adalah
penyakit, dari kelompok tidak langsung tingkat pertama adalah ketersediaan pangan tingkat
rumah tangga dan kelompok penyebab tidak kedua adalah kemiskinan.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
2000. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi Protein pada Anak di Puskesmas dan
Rumah Tangga. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
2008. Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Malawirawan, Lalu; Aryani Ch.K.; Lidya Y.H. Bolo; Yosef R. 2006. Gambaran Determinan
Gizi Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabukarudi Kecamatan
Lamboya
Kabupaten
Sumba
Barat
Nusa
Tenggara
Timur.
http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes/Buku%20
Laporan%20Penelitian%202006.
Maryetti; Ematip dan Almaizon. 2008. Pengetahuan Ibu tentang Gizi Pada Keluarga Non
Gakin di Desa Talawi Hilir Kota Sawahlunto Padang. http://www.bpsntpadang.info/index.php?option=com_content&task=
view%id=57&itemid...2/202010
Nency, Yetty. Arifin, Muhamad Thohar. 2005. G I ZI B URUK , A NCA MA N G E N ERA SI
Y AN G H I LA N G . Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII http://io.ppi-jepang.org/article.
php?id=113
Sabri, L. & Hastono, S.P. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sururi,
dinkes