Anda di halaman 1dari 8

INFEKSI BAKTERI DAN VIRUS DAN RESPON SISTEM IMUN

Oleh Dr. Jeike Biewenga, PhD.

Pendahuluan
Mikroorganisme yang umumnya dihadapi sehari-hari tidak menembus sawar fisik dari
kulit dan epitel mukosa, atau jika dapat akan terdeteksi oleh mekanisme pertahanan
alami sel imun non-spesifik dan dapat dihancurkan dalam beberapa jam. Hanya jika
agen infeksi dapat menembus sawar fisik dan merangsang mekanisme pertahanan akut,
respon imun adaptif akan diinduksi dengan menghasilkan sel efektor yang spesifik
terhadap antigen tertentu dan juga menghasilkan sel memori. Kemudian respon imun ini
akan dapat mencegah infeksi selanjutnya dari patogen yang sama. Ada berbagai macam
patogen seperti virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing, yang berbeda cara invasinya,
cara multiplikasi, patogenitasnya dan mekanismenya dalam menghindari serangan sel
imun. Virus menginfeksi sel dengan mekanisme yang berbeda dan bermultiplikasi di
dalam sitosol sel yang terinfeksi. Bakteri intraseluler, seperti mikobakteria, dapat
bermultiplikasi dalam vesikel sel, sedangkan bakteri ekstraseluler bermultiplikasi diluar
jaringan sel. Sebagai respon, sistem imun membuat mekanisme pertahanan yang berbeda
untuk melawan infeksi yang beragam tersebut. Pada kuliah terdahulu, dijelaskan ada tiga
fase yang saling tumpang tindih yang membedakan perjalanan suatu infeksi lokal. Fase
akut dan awal dari pertahanan alami sangat penting untuk menghentikan infeksi melalui
mekanisme yang nonspesifik. Jika infeksi tersebut tak dapat dihentikan secara total,
mekanisme alami akan menghalangi penyebaran infeksi lebih lanjut dan akan memberi
sinyal kepada sistem pertahanan adaptif. Kemudian sistem pertahanan adaptif ini yang
akan mengakhiri infeksi dengan mekanisme spesifik dengan menghasilkan antigen
tertentu selama masa respon lambat dan mencegah infeksi selanjutnya dari patogen yang
sama dengan membentuk memori. Mekanisme yang digunakan oleh sistem imun untuk
melawan infeksi dan mekanisme patogen dalam mempertahankan dirinya dari serangan
sistem imun akan didiskusikan dalam pembahasan selanjutnya.

Mekanisme Pertahanan Alami


Saat bakteri menembus sawar epitel, akan segera terjadi aktivasi komplemen melalui
jalur alternatif yang dilanjutkan dengan penangkapan bakteri oleh sel pagosit.
Kemudian, sel dendritik immatur (DC) akan mengenali bakteri ekstraseluler tersebut dan
memberi sinyal kepada sistem pertahanan alami dengan memproduksi kemokin, yang
1

akan menarik makrofag, granulosit, sel NK dan limposit menuju jaringan terinfeksi.
Contoh kemokin tersebut adalah macrophage-chemotatic protein-1 (MCP-1) dan
macrophage inflammatory proteins (MIP-1a dan 2). Sel dendritik juga akan mensekresi
tumor necrosis factor- (TNF-) yang mengaktifkan sel NK. Selanjutnya sel dendritik
akan bermigrasi ke limponodus regional untuk mempresentasikan antigen yang diliputi
diliputi dan diproses tadi kepada sel T.
Aktivasi sel pagosit dan sistem komplemen adalah gambaran terpenting makanisme
pertahanan melawan patogen ekstraseluler. Aktivasi komplemen akan menghasilkan
faktor kemotaktik dan faktor anafilaktik (C3a dan C5a) yang akan memperbanyak
influks sel-sel pagosit. Kemudian, pembentukan opsonin (C4b, C3b) akan memperkuat
pagositosis melalui pengambilan yang dimediasi oleh reseptor komplemen. Baik
makrofag maupun granulosit netrofil memiliki reseptor untuk C4b, C3b dan C3bi.
Makrofag juga memiliki reseptor untuk CRP, reseptor manosa dan reseptor scavenger,
yang semuanya mendukung proses pagositosis. Reseptor scavenger mengikat asam
sialat. Makrofag diaktivasi oleh uptake bakteri ekstraseluler, namun dapat juga
diaktivasi oleh LPS bakteri melalui resptor LPS. Makrofag yang sudah diaktivasi
memiliki mekanisme yang tersusun untuk membunuh patogen yang sudah diendositosis.
Pertama-tama, patogen akan diliputi dengan cara endositik yang mana endosom melebur
dengan lisosom yang mengandung enzim proteolitik. Bakteri akan dihancurkan dengan
proses degradasi bertahap. Antigen peptida yang terbentuk dapat dipresentasikan pada
sel T untuk menginisiasi respon imun adaptif. Yang kedua, makrofag dapat membunuh
bakteri tersebut dengan memproduksi oksigen reaktif dan nitrogen metabolit (NO), yang
memiliki aktifitas antimikroba yang luas. Efek berikutnya dari aktivasi makrofag oleh
bakteri adalah sekresi sitokin: IL-1, TNF-, IL-6, IL-12 dan kemokin IL-8 (tabel 1). IL1, TNF- dan IL-6 mengaktifkan hepatosit untuk mensintesis protein fase akut dan
mengaktifkan sumsum tulang untuk menghasilkan netrofil. Peningkatan jumlah netrofil
dapat kemudian mengeliminasi bakteri yang diopsonisasi oleh protein fase akut tadi.
Netrofil mempunyai granula sitosol yang mengandung enzim dan faktor-faktor yang
memediasi degradasi bakteri jika dilakukan aktivasi. Pelepasan faktor-faktor ini secara
intraseluler tidak hanya menghancurkan bakteri intraseluler tapi juga granulosit. Faktorfaktor makrofag IL-1, TNF-, IL-6 ini juga merupakan pirogen endogen yang dapat
meningkatkan suhu tubuh. Akibatnya, replikasi bakteri dan virus dapat dikurangi,
sementara penghancuran antigen terus dilakukan. Lebih jauh, TNF- adalah
penginduksi respon peradangan lokal. Hal ini akan dapat meningkatkan permeabilitas
2

vaskuler yang menyebabkan masuknya sel-sel radang dan protein pada tempat infeksi
yang dapat menyebabkan terbentuknya clotting (bekuan) pada pembuluh darah kecil.
Penyebaran infeksi dengan begitu dapat dicegah. Bagaimanapun, saat infeksi sistemik
terjadi (sepsis) TNF- memiliki efek yang sama pada pembuluh darah kecil. Akibatnya
adalah shock; pembekuan intravaskular diseminata, berkurangnya faktor pembekuan,
kegagalan organ multipel dan kematian.

Tabel 1. Sitokin yang disekresikan makrofag sebagai respon terhadap infeksi bakteri.
Sitokin Efek lokal
Efek sistemik
IL-1
Aktivasi epitel vaskuler
Demam
Aktivasi limposit
Produksi IL-6
Kerusakan jaringan lokal meningkatkan
influks sel-sel radang
IL-8

Peningkatan influks sel-sel efektor


Mengaktifkan netrofil

TNF- Meningkatkan permeabilitas vaskuler yang


memudahkan masuknya Ig, komplemen,
dan sel-sel radang
IL-6
Aktivasi limposit
Peningkatan produksi antibodi
IL-12
Aktivasi sel NK
Perubahan sel T CD4+ menjadi sel Th1

Demam
Shok
Demam
Produksi protein
fase akut

Adanya sitokin yang dilepaskan oleh makrofag dan masuknya sel-sel radang merupakan
fase awal dari inisiasi respon imun adaptif. IL-1, IL-6, IL-12 akan meningkatkan respon
imun adaptif tersebut. IL-1 akan menstimulasi adhesi vaskuler dan mengaktifkan
limposit yang berpindah. IL-6 adalah aktivator limposit dan menstimulasi produksi
antibodi. IL-12 merupakan faktor pengatur imunitas yang menginduksi diferensiasi sel T
CD4+ menjadi tipe Th1. Pada proses aktivasi makrofag juga meningkatkan jumlah
molekul permukaan yang beragam seperti MHC-II, adhesi molekul dan reseptor TNF.
Sel NK berperan pada pertahanan host terhadap infeksi virus dan akan membedakan selsel sehat dari sel-sel yang belum terinfeksi. Sel NK mempunyai dua tipe reseptor
permukaan untuk mengontrol aktivitas sitotoksiknya. Tipe yang pertama mengenali
adanya ikatan dan perubahan karbohidrat pada glikoprotein permukaan pada sel-sel yang
3

terinfeksi virus dan hal ini akan memacu penghancuran sel tersebut. Tipe yang kedua
adalah reseptor permukaan KIR (killing inhibitory receptor) yang akan mencegah sel
NK menghancurkan sel-sel yang belum terinfeksi. Ikatan untuk KIR adalah MHC-1. Sel
yang normal akan diproteksi dengan adanya MHC-1, namun pada sel yang telah
terinfeksi virus (dan pada banyak sel-sel tumor) ekspresi MHC kelas 1 telah berkurang.
TNF- dan TNF- yang disekresikan sel-sel terinfeksi virus akan meningkatkan
aktivitas NK sampai 20-100 lipat. Lebih lagi, TNF- dan TNF- dapat menghambat
penyebaran virus. Sel NK yang aktif dapat memproduksi IFN-, khususnya jika
distimulasi faktor makrofag yaitu IL-12. Sebalikya, IFN- menstimulasi proses induksi
sel Th1. Jika antibodi spesifik telah terbentuk, sel-sel yang terinfeksi virus atau sel
tumor dapat dibungkus dengan antibodi ini, yang akan mengaktivasi sel NK untuk
menghancurkan patogen tersebut. Hal ini dapat terjadi karena adanya interaksi antibodi
dengan FcRs pada permukaan sel NK (antibody dependent cytotoxic cell lysis: ADCC).

Mekanisme Pertahanan Adaptif


Sama halnya dengan sistem imunitas alami, sistem imunitas adaptif menggunakan
mekanisme efektor yang berbeda (Tabel 2) untuk mengatasi suatu infeksi. Pada respon
imun adaptif sel T terlebih dahulu mengenali antigen peptida. Aktivasi proses ini
memerlukan antigen tersebut sebagai kompleks peptida-MHC dalam interaksi yang
sama. Lebih jauh lagi diperlukan interaksi antara molekul adhesi yang sesuai dengan
stimulasi sitokin. Sitokin membentuk jaringan komunikasi yang kompleks yang akan
memberikan hasil dari aktivasi sel T: apakah respon sistem seluler atau respon humoral
(produksi antibodi) yang terbentuk.
Sel Th0 CD4+ terbagi menjadi sel Th1 atau Th2. Perkembangan sel Th1 distimulasi oleh
IFN- yang dilepaskan oleh sel NK yang diaktivasi oleh adanya sel yang diinfeksi virus.
IFN- merupakan faktor autokrin untuk sel Th1 yang akan mensekresikan IFN- juga
pada saat teraktivasi. IFN- ini merupakan supresor terhadap perkembangan sel Th2. Sel
Th1 mendukung sel T sitotoksik untuk membunuh sel yang terinfeksi virus dan juga
merangsang sel B untuk memproduksi antibodi yang sesuai (IgG) untuk ADCC. Sebagai
tambahan, IFN- yang dihasilkan sel Th1, mengaktivasi makrofag yang telah memakan
bakteri akan tetapi tidak mampu menghancurkan bakteri ini. Sebagai contoh ketika
makrofag terinfeksi dengan mikobakteria (contohnya Micobacterium tuberculosae).

Patogen ini dapat bertahan dari proses pagositosis dengan cara pengaturan sistem
degradasi lisosom pada makrofag.
Infeksi akan menyebabkan terbentuknya granuloma yang terdapat mikobakteria di
dalamnya. Aktivasi makrofag yang terinfeksi oleh sel Th1 yang dihasilkan dari aktivasi
sebelumnya dapat mengatasi infeksi makrofag. Sel spesifik Th1 berhubungan dengan
makrofag yang terinfeksi melalui pengenalan antigen peptidanya dan interaksi melalui
molekul adhesi. Selanjutnya sel Th1 mensekresi IFN- bersama-sama sinyal ini
mengaktivasi makrofag untuk memproduksi oksigen reaktif dan nitrogen metabolit (NO)
yang dapat membunuh bakteri.
Perkembangan sel Th2 distimulasi oleh IL-4 dan IL6. Bakteri ekstraseluler akan
menginduksi produksi IL-6 pada makrofag setelah terjadi pagositosis. Hal ini akan
mendorong perubahan sel Th0 menjadi sel Th2 yang merangsang respon humoral. IL-4
diproduksi oleh sel Th2 (faktor autokrin) dan sel mast. IL-4 merupakan supresor
terhadap perkembangan sel Th1. Sel Th2 menghasilkan sitokin IL-4, IL-5, IL6 yang
mendukung proliferasi dan maturasi sel B dan produksi antibodi yang berperan pada
respon humoral seperti IgG, IgA dan IgE. Antibodi akan memperkuat pagositosis
melalui opsonisasi patogen ekstraseluler (IgG, IgA) yang mengaktivasi sistem
komplemen (IgM, IgG) dan mendukung pembunuhan parasit(IgE).
Tabel 2: Mekanisme Efektor yang berbeda dari Sistem Imunitas Adaptif
yang Digunakan untuk Mengatasi Infeksi

Patogen

Antibodi
Sel
T Sel
T
IgM
IgG
CD4+
CD8+
IgA

Viruses:
- influenza
++ ++
- mumps
+ ++
- measles
+ ++
- EBV
+ ++
- Polio
+
Bakteri:
- streptokoku ++ ++
s
++
- neisseria
++
- salmonella
+
- legionella
- mycobacter
ium

+
++
++
++
+

++
++

Setelah infeksi teratasi, keseimbangan antara sel Th1 dan sel Th2 akan dijaga. Akan
tetapi pada penyakit kronik seperti alergi yang dimediasi IgE, keseimbangan ini akan
terganggu. Produksi IL-4 secara berlebihan akan dapat menyebabkan alergi yang
dimediasi IgE.

Strategi Patogen untuk Menghadapi Respon Imun


Patogen memiliki beberapa cara untuk menghindar dari sistem imun. Enkapsulasi adalah
metode yang digunakan bakteri untuk mencegah uptake oleh makrofag dan proses
pagositosis

selanjutnya. Tapi pada serangan kedua oleh patogen yang sama, saat

antibodi spesifik telah dihasilkan, bakteri tersebut akan dibungkus dengan antibodi dan
faktor komplemen yang membuat patogen tersebut mudah dipagositosis dan dibunuh
dengan mediasi komplemen. Cara lain untuk menghindari pengawasan dari sistem imun
adalah dengan membuat variasi antigen. Sebagai contoh, Streptococcus pneumoniae
memiliki tipe berbeda pada struktur kapsul polisakaridanya. Infeksi oleh satu serotipe
hanya akan menginduksi respon imun terhadap serotipe tersebut, tapi tidak memberi
perlindungan dari serotipe yang lain.
Variasi antigen juga terjadi pada pengaturan ulang struktur DNA yang menyebabkan
perubahan pada protein di permukaan bakteri yang akan membuat antibodi yang telah
diinduksi sebelumnya menjadi tidak efektif lagi. Contoh bakteri yang menggunakan
strategi ini adalah Salmonella typhimurium, penyebab umum keracunan makanan dan
Neisseria gonorrhoeae yang menyebabkan penyakit menular seksual gonorrhoea.
Variasi antigen juga digunakan oleh virus sebagai cara untuk menghindar dari
pengawasan sistem imun. Adanya tehnik variasi antigen yang dilakukan virus influenza
dapat menimbulkan endemik yang berulang penyakit influenza ini diseluruh dunia.
Kemampuan untuk melakukan variasi antigen ini disebabkan oleh mutasi poin
(antigenic drift) pada gen yang mengkode pembentukan protein permukaan
hemaglutinin dan neuraminidase. Variasi tersebut terjadi setiap 2-3 tahun dan membuat
virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dan pengenalan oleh sel T CD8+.
Banyaknya perubahan pada protein permukaan hemaglutinin pada influenza virus dapat
terjadi oleh penyusunan ulang segmen RNA (antigenic shift). Banyak orang yang rentan
dengan varian baru ini dan dapat menimbulkan infeksi yang lebih parah. Untuk
melakukan replikasi, virus harus memproduksi protein virus. Setelah menginfeksi
beberapa virus dapat memasuki keadaan laten dimana virus tidak melakukan replikasi
dan tidak akan menimbulkan penyakit. Pada keadaan ini virus tidak dapat dideteksi oleh
6

sistem imun dan tidak dapat dieliminasi. Virus herpes sering menjadi laten. Contohnya
virus herpes simpleks dan virus Epstein-Barr. Faktor-faktor seperti infeksi bakteri atau
perubahan hormon dapat kemudian mereaktivasi virus dan menyebabkan infeksi baru.
Respon imun dikendalikan oleh rangkaian kompleks interaksi reseptor-ligand. Patogen
juga dapat melakukan cara lain untuk menghindari respon imun dengan memblok
reseptor atau ligand. Beberapa virus menghindar dari netralisasi dengan menampakkan
molekul seperti FcR yang mencegah antibodi spesifik untuk dapatmengikatnya.
Penghambatan imunitas humoral dapat juga dilakukan virus yang mengkode reseptor
komplemen atau protein pengontrol komplemen. Hal ini akan memblok mekanisme
efektor yang dimediasi komplemen yang dapat mematikan sel terinfeksi virus. Virus
lainnya mengkode modulator kemokin atau reseptor kemokin untuk memblok penjalaran
sinyal interseluler dan influks dari sel-sel radang.
Virus herpes manusia (HHV-8) adalah -herpes virus onkogenik yang menjadi
penyebab, diantaranya, sarkoma Kaposi. Virus ini menampilkan tiga homolog kemokin
yang menggeser kemokin dari ikatan dengan reseptornya, dengan begitu akan
menginterfensi tranduksi sinyal dan influks sel-sel radang. Lebih jauh, satu dari kemokin
yang dikode virus akan menginduksi infiltrasi ke sel Th2 prominen untuk melemahkan
imunitas host (Th1).

Tabel 3: Contoh virus yang mengkode modulator kemokin dan reseptor kemokin
Virus
Homolog
kemokin
virus:
Herpes virus manusia
8
Sitomegalovirus
manusia

Homolog: gambaran
MIP1: antagonis kemokin CC,
CXC dan CX3C
IL-8:
antagonis mirip kemokin
CXC

Homolog
reseptor CCR: reseptor kemokin CC
kemokin virus:
CCR1:
reseptor kemokin CC,
Herpes virus manusia Koreseptor entri HIV
Sitomegalovirus
manusia
IFN-R: pengikat kemokin C, CC,
Protein
pengikat CXC
7

kemokin virus:
Virus myoma

Selain itu virus juga menggunakan penghambatan aktivasi dan regulasi sitokin dengan

mengkode homolog dari reseptor sitokin, seperti homolog dari IL-1R, TNF-R atau IFNR. Virus EBV laur biasanya dapat sekresi homolog IL-10 dan inhibisi penampakan
molekul adhesi untuk menghindari eliminasi dari respon imun sehingga menimbulkan
infeksi persisten. Dengan inhibisi molekul adhesi aktivasi sel T dikurangi, sementara itu
blokade IL-10 akan menginduksi supresi imun pada host melalui inhibisi perkembangan
dari sel Th1. Kasus yang sangat ekstrim dari supresi imun ini disebabkan oleh human
immune deficiency virus (HIV) pada AIDS. Virus ini menyerang sel T CD4+, sel
dendritik dan makrofag. Virus ini menetap bertahun-tahun untuk kemudian baru
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Selama periode asismtomatik ini penurunan
jumlah sel T CD4+ secara bertahap tampak dari sirkulasi. Bukti-bukti terbaru
menemukan bahwa HIV juga menggunakan resptor kemokin makrofag untuk
menginfeksi sel. Inhibitor dari resptor ini dapat memblok infeksi makrofag dan mungkin
dapat menjadi obat antivirus yang berguna untuk mengatasi infeksi HIV. HIV adalah
retrovirus yang memiliki simpai. Tiap-tiap partikel virus mengandung dua set genom
RNA, yang ditranskrip menjadi DNA dalam sel yang terinfeksi dan menyatu dengan
kromososm sel host.
Akhir-akhir ini keterlibatan virus dengan pemprosesan antigen dan pembentukan
kompleks peptida antigen MHC1 telah didemonstrasikan. Virus yang menyebabkan
infeksi persisten pada host, seperti virus herpes, adeno virus dan HV, menampakkan
protein yang didesain untuk memblok atau menghindari pengenalan dari sistem imun
dan eliminasi oleh MHC kelas I, yang seharusnya meningkatkan kepekaan aktivitas sel
NK terhadap sel yang terinfeksi virus. Terlebih lagi, ada bukti bahwa beberapa virus
melawan aktifitas pengenalan sel NK yang meningkat dengan menampakkan homolog
MHC kelas I yang berfungsi sebagai inhibitor pengganti (ligand untuk KIR) bagi
aktivitas sel NK. Kebanyakan virus-virus ini juga terlibat dalam proses intraseluler dari
antigen menjadi peptida antigen dan pada translokasi dari peptida ini dari sitosol ke
dalam retikulum endoplasma dan lebih jauh lagi ke dalam membran sel.

Journal Reading * Zakaria, S.Ked * Jumat, 29 April 2005 * dr. Yusmala, SpA

Anda mungkin juga menyukai