Hand Out No. 1 Dan No.2 Pengaturan Perikanan I - II 13 Dan 20 Oktober 2009
Hand Out No. 1 Dan No.2 Pengaturan Perikanan I - II 13 Dan 20 Oktober 2009
2.
3.
4.
5.
6.
c.
7.
Hal yang menarik pada UU Perikanan No. 31 Tahun 2004 terletak pada
proses penyidikan. Saat ini jumlah penyidik terdiri atas tiga instansi yaitu TNI AL,
PPNS, dan Polri. Dalam UU Perikanan Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki
kewenangan untuk mengatur koordinasi penyidikan pelanggaran. Jadi, ketiga
instilusi penyidikan tersebut akan dipayungi peraturan menteri terkait dengan
mekanisme koordlnasi penyidikan di lapangan.
8.
9.
Dengan perkembangan perikanan saat ini dan masa yang akan datang,
maka dalam undang-undang ini diterangkan adanya beberapa pertimbangan
sebagai dasar penyempurnaan undang undang sebelumnya (UU No. 9 Tahun 1985)
yang meliputi
a.
pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian
yang berkelanjutan.
b.
pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan
keterpaduan pengendaliannya.
c.
pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
d.
pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang
berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan
perikanan serta pengendalian yang terpadu.
e.
pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan
serta penyuluhan di bidang perikanan.
f.
pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana
perikanan serta sistem informasi dan data statistik perikanan.
g.
penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran
perikanan, dan kapal perikanan.
h.
pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan kelautan dan perikanan.
i.
pengelolaan
perikanan
dengan
tetap
memperhatikan
dan
memberdayakan nelayan kecil atau pembudidaya-ikan kecil.
j.
pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona
ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan
atau standar internasional yang berlaku.
k.
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik yang berada di
perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas
dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan
kepentingan nasional dan internasional dengan kemampuan sumberdaya
ikan yang tersedia.
l.
pengawasan perikanan,
m.
pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira
TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia,
n.
pembentukan pengadilan perikanan; dan
o.
pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
10.
pendekatan kehati-hatian
pertimbangan bukti ilmiah
pertimbangan kearifan lokal
pengelolaan berbasis masyarakat
keterpaduan pengembangan wilayah pesisir
pencegahan tangkap lebih
pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan
pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan
8) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat
9) pemanfaatan keanekaragaman hayati berkelanjutan
10) perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis
11) perlindungan jenis ikan dan kualitas genetik ikan
12) pengelolaan adaptif
17
.b
UNCLOS 1982 merupakan kodifikasi hukum kelautan yang komprehensif; tercermin dari
320 pasal yang terangkum dalam 15 Bab dengan 9 Annex keseluruhannya merupakan
suatu kesatuan. Hal ini berbeda dengan hasil UNCLOS I (Konvensi Jenewa 1958) yang
menghasilkan 4 (empat) buah konvensi yang terpisah satu sama lain tidak menjadi satu
kesatuan yang utuh. Banyak ketentuan UNCLOS 1982 bersifat menegaskan prinsip hukum
sebelumnya yang mengatur pemanfaatan laut atau kebiasaan internasional, yaitu yurisdiksi
eksklusif negara pantai untuk kepentingan perikanan sejauh maksimal 200 mil laut (ZEE);
kewajiban kerjasama konservasi SDKP, yang bersifat global maupun regional, rejim negara
kepulauan (archipelagic state regime) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat
didalamnya.
UNCLOS 1982, mulai berlaku di Indonesia sejak 16 November 1994 memiliki makna
khusus adanya pengakuan konsep negara kepulauan yang diperjuangkan sejak 1957
melalui Deklarasi Djuanda. Pengakuan masyarakat internasional ini makin meneguhkan
kedaulatan penuh Indonesia terhadap sumber daya alam yang terdapat di dalam perairan
kepulauan nusantara serta yurisdiksi eksklusif Indonesia terhadap sumber daya hayati dan
non-hayati yang berada di kolom air (ZEE Indonesia) maupun yang terdapat di dasar laut
dan tanah di bawahnya (landas kontinen) hingga 200 mil laut dari garis pangkal negara
kepulauan Indonesia KHL 1982 memberikan pengakuan terhadap klaim landas kontinen
negara pantai secara maksimal hingga 350 mil laut.
Mencermati makna penting dari UNCLOS 1982 bagi Indonesia, dapat dipahami bahwa
proses ratifikasi terhadap Konvensi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada
1985 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Hal yang sama juga berlaku terhadap Agreement
relating to the Implementation of Part XI of the UNCLOS 1982 yang diratifikasi Pemerintah
pada 30 Desember 1999 melalui Keppres No. 178 tahun 1999. Ratifikasi Pemerintah
Indonesia terhadap UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 membawa implikasi
kebutuhan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional di bidang kelautan agar
konsisten dengan Konvensi.
Sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, eksploitasi dan pemanfaatan SDKP Indonesia
oleh negara asing dapat dilakukan sepanjang terdapat surplus perikanan nasional. Untuk
itu, pemanfaatan kelebihan potensi perikanan di Indonesia dilakukan berdasarkan perjanjian
1.
2.
3.
4.
10
(j) menyediakan standar pelaksanaan untuk semua sektor yang terlibat dalam
perikanan.
5.
6.
7.
8.
11
bakau, terumbu karang, daerah asuhan dan pemijahan ikan sejauh mungkin harus
dilindungi dan direhabilitasi.
9.
D.
1
E.
12
13
d. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan
memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya
dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi.
6 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, demikian sebagian besar
penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap sumber daya
yang menjadi sumber penghidupan. Apabila hal ini diabaikan berimplikasi meningkatnya
kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Masih ada kecenderungan bahwa
industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering
kali memarginalkan penduduk setempat, oleh karenanya perlu norma-norma pemberdayaan
masyarakat.
7 Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi
melalui pengelolaan yang rasional agar supaya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu ada kebijakan dalam
pengelolaan sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya hanya
untuk kepentingan ekonomi, tanpa mengorbankan kepentingan dan kebutuhan generasi
yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.
14
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP3K dapat dijadikan sebagai landasan
pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor
terkait; dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan.
F. Rencana Zonasi
1. Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan
antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah
darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berasaskan: keberlanjutan; konsistensi; keterpaduan; kepastian hukum; kemitraan;
pemerataan; peran serta masyarakat; keterbukaan; desentralisasi; akuntabilitas; dan
keadilan.
2. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) ditujukan untuk melindungi,
mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya
dimaksudkan sebagai upaya menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam
UU ini ditengarai untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan;dan sekaligus akan
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta
Masyarakat dalam pemanfaatannya.
4. Perencanaan terdiri atas: (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RSWP-3-K); merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka
panjang setiap Pemerintah Daerah (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang (RZWP-3-K); merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (c)
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan (d)
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K).
5.
RPWP-3-K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali; berisi :
(a)
kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan
sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;
(b)
skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
(c)
jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi
publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan
tujuan dan perizinan;
(d)
mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin
tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta
15
(e)
6. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3).meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pemberian HP-3 wajib
mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. HP-3
dapat diberikan kepada: (a) Orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) Badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; (c) Masyarakat Adat.
7. HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. dapat diperpanjang tahap kesatu
paling lama 20 (dua puluh) tahun. dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3 dan HP3
berakhir karena : (a) jangka waktunya habis dan tidak diperpanjanglagi; (b) ditelantarkan;
atau (c) dicabut untuk kepentingan umum. HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan
Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
9.
Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
c. menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
10.
11.
G. Beberapa istilah :
16
1. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan
laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
2. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan WP3K serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungan sumber dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
3. Kawasan Konservasi di WP3K adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri
khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan WP3K secara berkelanjutan.
4. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan
perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda
dari kondisi semula.
5. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
6. Daya Dukung WP3K adalah kemampuannya untuk mendukung peri kehidupan manusia
dan makhluk hidup lain.
7. Mitigasi Bencana adalah upaya mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik
melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di WP3K.
8. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya P3K yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber dayanya; seperti
nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha
perikanan, dan masyarakat pesisir.
9. Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
10. Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan seharihari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya P3K tertentu.
11. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
12. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga,
pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan
rekomendasi kebijakan.
Bahan Bacaan :
1. Burke, W.T, 1982, Fisheries Regulations Under Extended Yurisdiction and International Law,
(Peraturan Perikanan Sesuai Peluasan Yurisdiksi dan Hukum Internasional) Terjemahan
Zarochman, Bagian Proyek Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang Tahun Anggaran
1993/1994, Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, 1994.
2. Budiarto, M. SH, Wawasan Nusantara, Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara RI,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
3.
17
5.
dtribawono@yahoo.com
18