Anda di halaman 1dari 18

PENGATURAN PERIKANAN I - II

Bahan Kuliah 13 dan 20 Oktober 2009


Oleh : Djoko Tribawono
A. Hukum Perikanan Indonesia
1.

Usaha perikanan sifatnya kompleks, pengaturan secara keseluruhan akan


memberikan dampak positip terhadap perkembangan usaha perikanan itu sendiri.
Pendapat Beverton dalam Firial M dan Ian R.Smith (1987); bahwa mortalitas pada
perikanan tangkap misalnya; secara fungsional berhubungan dengan jumlah satuan
penangkapan,kemampuan menangkap, jumlah waktu penangkapan dan
tersebarnya aktivitas penangkapan didaerah perikanan (fishing ground) pada musim
tertentu.

2.

Menurut Anthony Scott maksud, tujuan dan manfaat pengaturan perikanan


adalah untuk : (1) memberi dorongan usaha berhubungan dengan pelestarian
sumber daya ikan. (2) peningkatan kualitas atau kuantitas hasil produksi ikan, (3)
pemerataan usaha, melindungi yang lemah atau kelompok tertentu.(4) mencegah
pemborosan tenaga kerja dan modal serta meningkatkan alokasi sumber daya
supaya menjadi lebih berdaya guna

3.

Zaman Hindia Belanda Perkembangan hukum perikanan Indonesia diawali


sejak yang diatur dengan Ordonansi Belanda tetapi dalam bentuk hukum perikanan
yang tidak menyatu; misal ada (1) Algemeene regelen voor het visschen naar
Parelschelpen, Parelmoerschelpen, Teripang en Sponsen binnen de afstand van
niet meer dan dire Engelsche zeemijien van de kusten van Nederlandsch Indie
(Staatsblad Tahun 1816 Nomor 157) - Undang-Undang tentang Perikanan Mutiara
dan Bunga Karang; (2) Visscherij Bepalingen ter Bescherming van den Vischsstand
(Staatsblad Tahun 1920 Nomor 396) - Undang Undang Perikanan Untuk Melindungi
Ikan; (3) Algemeene Begeling voor de Visscherij binnen het zeegebied van
Nederlandsch Indie (Staasblad Tahun 1927 Nomor 144) - Undang Undang
Perikanan Pantai;

4.

Dalam era kemerdekaan ordonansi Belanda masih diberlakukan karena


belum ada undang-undang yang mengatur perikanan; sehingga landasan hukumnya
digunakan Pemerintah Indonesia Undang Undang Perikanan Tahun 1985 dibuat
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan (1) bahwa perairan yang merupakan
bagian terbesar wilayah negara Republik Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif
Indonesia mengandung sumber daya ikan yang sangat potensial dan penting
arti,peranan,dan manfaatnya sebagai modal dasar pembangunan untuk
mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (2) bahwa
dalam
rangka
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dan
Wawasan
Nusantara,pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya
berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan
mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi
nelayan dan petani ikan kecil serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya yang pada gilirannya akan meningkatkan ketahanan nasional; (3)
bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang berlaku sampai
sekarang kurang luas jangkauannya dan kurang mampu menampung
perkembangan keadaan serta kebutuhan pembangunan pada umumnya dan
pembangunan hukum nasional pada khususnya, sehingga dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan baru dalam bentuk Undang-Undang.

5.

UU Perikanan Tahun 1985 diubah menjadi Undang Undang Nomor 31 Tahun


2004 tentang Perikanan; dengan dasar pertimbangansebagai berikut :
(a) Perairan dibawah yurisdiksi dan kedaulatan Indonesia, ZEEI serta laut
lepas yang berdasarkan ketentuan Internasional mengandung
sumberdaya ikan dan lahan pembudidayaan; danini harus dimanfaatkan;
(b) Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berwawasan
Nusantara sumberdaya ikan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
untuk kesejahteraan masyarakat; dan tetap berpegang pada azas
kelestarian sumber;
(c) UU No. 9 Tahun 1985 yang berlaku belum menampung aspek
pengelolaan sumberdaya ikan, kurang mampu mengantisipasii
perkembangan kebutuhan hukum, iperkembangan teknologi pengelolaan
sumberdaya ikan.

6.

Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 jauh lebih lengkap karena


memiliki tiga dasar pemikiran yang lebih baik
a.
adanya peningkatan kapasitas kelembagaan dari Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) yang kini tak hanya mengelola pada aspek
perikananan saja. Rupanya ditemukan pengaturan yang selama ini menjadi
domain perikanan tapi bemasarkan ketentuan UU lama justru dikelola oleh
departemen lain. Sekarang menjadi urusan DKP misal penentuan satwa yang
dilindungi, pengelolaan taman laut, dan peran dalam penegakan peraturan
perikanan. UU Perikanan akan menjadi dasar bagi penetapan Peraturan
Pemerintah dan Keppres yang merinci aturan mainnya. Kedua hal ini merupakan
instrumen yang mutlak dimillki agar DKP dapat menjalankan fungsinya dengan
benar..
b.

upaya pengaturan agar pengelolaan perikanan di Indonesia


dapat benar-benar mengacu pada Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCFRF) yang ditentukan oleh Badan Pangan Dunia (FAO). Hal ini tentu
berimbas pada opini internasional bahwa seluruh produk kelautan dan perikanan
aman dikonsumsi dan mementingkan aspek kelestarian.

c.

sistem penegakan hukum yang mapan:ini tidak berarti


pelaksanaan pengawasan akan makin mempersulit para pelaku perikanan.
tetapi akan semakin mendapatkan kemudahan dalam berusaha.

7.

Hal yang menarik pada UU Perikanan No. 31 Tahun 2004 terletak pada
proses penyidikan. Saat ini jumlah penyidik terdiri atas tiga instansi yaitu TNI AL,
PPNS, dan Polri. Dalam UU Perikanan Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki
kewenangan untuk mengatur koordinasi penyidikan pelanggaran. Jadi, ketiga
instilusi penyidikan tersebut akan dipayungi peraturan menteri terkait dengan
mekanisme koordlnasi penyidikan di lapangan.

8.

Undang-Undang Perikanan yang baru juga merancang sistem peradilan


perikanan. Dalam salah satu pasal menyebutkan peradilan perikanan itu harus
terbentuk paling lama dua tahun sejak UU tersebut ditetapkan. Saat ini dengan UU
Perkanan No. 31 Tahun 2004 peraturan mengenai pemanfaatan kelautan dan
perikanan menjadi lebih jelas.

9.

Dengan perkembangan perikanan saat ini dan masa yang akan datang,
maka dalam undang-undang ini diterangkan adanya beberapa pertimbangan
sebagai dasar penyempurnaan undang undang sebelumnya (UU No. 9 Tahun 1985)
yang meliputi
a.
pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian
yang berkelanjutan.
b.
pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan
keterpaduan pengendaliannya.
c.
pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
d.
pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang
berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan
perikanan serta pengendalian yang terpadu.
e.
pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan
serta penyuluhan di bidang perikanan.
f.
pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana
perikanan serta sistem informasi dan data statistik perikanan.
g.
penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran
perikanan, dan kapal perikanan.
h.
pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan kelautan dan perikanan.
i.
pengelolaan
perikanan
dengan
tetap
memperhatikan
dan
memberdayakan nelayan kecil atau pembudidaya-ikan kecil.
j.
pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona
ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan
atau standar internasional yang berlaku.
k.
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik yang berada di
perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas
dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan
kepentingan nasional dan internasional dengan kemampuan sumberdaya
ikan yang tersedia.
l.
pengawasan perikanan,
m.
pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira
TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia,
n.
pembentukan pengadilan perikanan; dan
o.
pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.

10.

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disahkan


tanggal 6 Oktober 2004 masuk dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 118;
terdiri dari 17 (tujuh belas) Bab dan 111 (seratus sebelas) Pasal; yaitu :
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 Pasal 3
Bagian Kesatu ; Pengertian
Bagian Kedua ; Azas dan Tujuan
Bab II Ruang Lingkup
Pasal 4
Bab III Wilayah Pengelolaan Perikanan
Pasal 5
Bab IV Pengelolaan Perikanan
Pasal 6 Pasal 24
Bab V Usaha Perikanan
Pasal 25 - Pasal 45
Bab VI Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan
Pasal 46 - Pasal 47
3

Bab VII Pungutan Perikanan


Pasal 48 Pasal
Bab VIII Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Pasal 52 - Pasal 56
Bab IX Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan
Perikanan
Pasal 57Pasal 59
Bab X Pemberdayaan Nelayan Kecil dan
Pembudidaya Ikan Kecil
Pasal 60 Pasal 64
Bab XI Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan
Pasal 65
Bab XII Pengawasan Perikanan
Pasal 66 Pasal 70
Bab XIII Pengadilan Perikanan
Pasal 71
Bab XIV Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
di Sidang Pengadilan Perikanan
Pasal 72 Pasal 83
Bagian Kesatu - Penyidikan
Bagian Kedua - Penuntutan
Bagian Ketiga - Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Bab XV Ketentuan Pidana
Pasal 84Pasal 105
Bab XVI Ketentuan Peralihan
Pasal 106Pasal 109
Bab XVII Ketentuan Penutup.
Pasal 110-Pasal 111
11 Pada saat Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mulai
berlaku sejak diundangkan yaitu tanggal 6 Oktober 2004, semua peraturan
pelaksanaan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2004.
12 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen.KP) Nomor:PER.17/MEN/
2006 tanggal 27 April 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap terdiri atas 20 Bab
terdiri 83 Pasal; adapun yang menjadi dasar pertimbangan utama keluarnya
Kepmen tersebut :
a) Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan bagi
kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya; sesuai persyaratan
internasional.
b) Sebagai tindak lanjut Pasal 32 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai usaha perikanan
tangkap. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan secara terarah dan rasional.
13 Permen. KP Nomor : PER.17/MEN/2006 dibuat dengan memperhatikan
kesepakatan internasional; yang harus ditaati oleh negara di dunia supaya tidak
terisolir dari percaturan internasional; yaitu :
a) Agreement for the Inplementation of the Provisions of the UNCLOS of 10
December 1982 relating to the Conservation and Management of
Straddling and Highly Migratory Fish Stock (United Nations Implementing
Agreement/UNIA) 1995.
b) Code of Conduct for Responsible Fisheries, Food and Agriculture
Organization of United Nations, 1995)
14 Materi Kepmen KP tersebut antara lain : kegiatan usaha penangkapan ikan,
penangkapan ikan dan pengangkutan ikan termasuk permasalahan perizinan;
seperti SIUP, SIPI, SIKPI. Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan di dalam
4

wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu perairan Indonesia, ZEEI maupun


perairan umum seperti waduk, rawa, danau sungai dll. Dalam pada itu alokasi
jumlah kapal yang diizinkan beroperasi di wilayah perairan, pelabuhan pangkalan
/pelabuhan muat/pelabuhan singgah diatur berdasarkan ketersediaan dan dan
kelestarian sumber daya ikan. Demi kepentingan kelestarian sumber daya ikan,
daerah penangkapan ikan (fishing ground) atau WPP-RI tertentu dapat
dinyatakan tertutup untuk kegiatan penangkapan (misal closed seson jenis ikan
di perairan tertentu). Sednagkan kuwajiban memiliki SIUP dikecualikanpada
nelayan yang menggunakan sebuah kapal perikanan tidak bermotor atau
bermotor luar, atau bermotor dalam tidak lebih dari 5 GT. Setiap orang atau
badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang
penangkapan ikan dan/atau usaha di bidang pengangkutan ikan di laut lepas
wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Alokasi penangkapan ikan
penanaman modal (APIPM).
15 Penerbitan Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) didasarkan
pada pertimbangan ketersediaan sumber daya ikan, kepastian unit pengolahan
yang dimiliki atau kapasitas produksi unit pengolahan ikan yang akan dibangun
dan fasilitas pendukung yang dibangun di darat. Alokasi dalam APIPM dijadikan
dasar bagi instansi yang mempunyai kewenangan di bidang penanaman modal
untuk mengeluarkan persetujuan penanaman modal. Apabila dalam waktu 2
(dua) tahun tidak ada realisasi rencana pembangunan unit pengolahan maka
APIPM dicabut. APIPM ini dievaluasi setiap 5 (lima) tahun.
16 Kewenangan penerbitan izin diberikan oleh Menteri kepada Direktur Jenderal
untuk menerbitkan SIUP.SIPI,dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hukum
Indonesia yang menggunakan kapal dengan ukuran diatas 30 GT. SIUP, SIPI,
dan atau SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan
tenaga kerja asing; APIPM, SIPI,dan/atau SIKPI kepada badan hukum yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan fasilitas penanaman modal.
17 Gubernur diberikan kewenangan menerbitkan SIUP kepada orang atau badan
hukum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan atau SIKPI bagi
kapal perikanan yang berukuran diatas 10 GT sampai 30 GT kepada orang atau
badan hkum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya dan
beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya,
serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing. Adapun penerbitan
SIUP oleh Gubernur wajib mempertimbangkan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya.
18 Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada orang
atau badan hukum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan atau
SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran diatas 5 GT sampai 10 GT kepada
orang atau badan hkum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya
dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya,
serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing. Disamping itu
kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk wajib melakukan pendaftaran
kapal perikanan dibawah 5 GT yang berdomisili diwilayah administrasinya.
Adapun dalam penerbitan SIUP oleh Bupati/Walikota wajib mempertimbangkan
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

19 Dalam pelaksanaannya ternyata Permen.KP Nomor : PER.17/MEN/2006 perlu


disempurnakan sesuai perkambangan dan kebutuhan di bidang usaha perikanan
tangkap; oleh karenanya perlu mengatur kembali usaha perikanan tangkap
dengan peraturan menteri yang baru yaitu PermenKP Nomor PER.05/MEN/2008
tertanggal 31 Januari 2008 terdiri 20 Bab dengan 99 Pasal. Materi dalam
Permen KP tidak jauh berbeda dengan Permen sebelumnya; dilakukan
penyempurnaan sesuai perkembangan usaha perikanan tangkap; seperti
penggunaan tenaga asing, usaha perikanan tangkap terpadu, usaha perikanan
tangkap berbasis klaster.
20 Dalam kaitan dengan usaha perikanan tangkap terpadu, maka setiap orang
dan/atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan
harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola usaha perikanan
tangkap terpadu; yaitu dengan membangun dan/atau memiliki sekurangkurangnya berupa unis pengolahan ikan (UPI) di dalam negeri. Mereka (asing)
yang akan melakukan usaha perikanan tangkap terpadu wajib menggunakan
fasiltas penanaman modal dengan mendirikan usaha perikanan tangkap terpadu
berbadan hukum Indonesia dan berlokasi di Indonesia. Perbandingan antara
modal asing dengan modal dalam negeri untuk usaha perikanan tangkap
terpadu dengan fasilitas penanaman modal asing (PMA) sekurang-kurangnya
20% berasal dari modal dalam negeri sejak tahun pertama perusahaan didirikan.
21 Usaha perikanan tangkap terpadu dapat dilaksanakan melalui pola usaha
perikanan tangkap berbasis klaster; yang meliputi keterpaduan kegiatan usaha
penangkapan ikan dan unit pengolahan ikan (UPI) di wilayah tertentu di dalam
negeri. Kawasan klaster ditetapkan berdasarkan batasan koordinat daerah
penangkapan (fishing ground); dalam kaitan ini harus tetap memperhatikan
kepentingan nelayan setempat/lokal yang telah memiliki SIPI
22 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan adalah penjabaran lanjut dari Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan; antara lain mengatur tentang konservasi sumber daya ikan
yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi
benetik. Upaya konservasi sumber daya ikan pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
keseluruhan.
23 Karakteristik sumber daya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitivitas tinggi
terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek
keterkaitan (connectivity) ekosistem antar wilayah perairan biak lokal, regional,
maupun global, yang kemungkinan melewati batas-batas kedaulatan suatu
negara, maka dalam upaya pengembangan dan pengelolaan konservasi sumber
daya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti
ilmiah.
24 Pada dasarnya PP tentang Konservasi Sumber Daya Ikan mengatur secara lebih
rinci tentang upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan
termasuk di dalamnya pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sebagai
bagian dari konservasi ekosistem. Selain itu juga memuat aturan-atran untuk

menjamin pemanfaatan berkelanjutan dari jenis-jenis ikan serta terpeliharanya


keanekaragaman genetik ikan.
25 Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik, untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya
ikan. Dalam kaitan ini konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan azasazas : manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,
effisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Khususnya kelestarian yang
berkelanjutan dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan
memperhatikan daya dukung dan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya.
26 Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

pendekatan kehati-hatian
pertimbangan bukti ilmiah
pertimbangan kearifan lokal
pengelolaan berbasis masyarakat
keterpaduan pengembangan wilayah pesisir
pencegahan tangkap lebih
pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan
pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan
8) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat
9) pemanfaatan keanekaragaman hayati berkelanjutan
10) perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis
11) perlindungan jenis ikan dan kualitas genetik ikan
12) pengelolaan adaptif

17

Kawasan konservasi perairan terdiri atas : taman nasional


perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Adapun
penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteria : (a) ekologi, (b)
sosial budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan,
potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat, dan (c) ekonomi, meliputi nilai
penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai
kawasan. Selanjutnya ditempuh tahapan-tahapan penetapannya melalui : (a) usulan
inisiatif, (b) identifikasi dan inventarisasi, (c) pencadangan kawasan konservasi perairan;
dan (d) penetapan.

18 Pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan oleh Pemerintah adalah : (a)


perairan laut di luar 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas
dan/atau kearah perairan kepulauan, (b) perairan yang berada dalam wilayah
kewenangan pengelolaan lintas provinsi, (c) perairan yang memiliki karakteristik tertentu
( memiliki nilai dan kepentingan konservasi nasional dan/atau internasional, secara
ekologi bersifat lintas negara, mencakup habitat dan daerah ruaya ikan, dan memiliki
potensi sebagai warisan alam dunia)

19 Zonasi kawasan konservasi perairan merupakan suatu bentuk rekayasa teknik


pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi
sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan ekosistem. Adapun zonasi kawasan konservasi perairan terdiri atas :
.a
Zona Inti : diperuntukkan bagi : (1) perlindungan mutlak habitat
dan populasi, (2) penelitian, dan (3) pendidikan,

.b

Zona Perikanan Berkelanjutan : diperuntukkan bagi : (1)


perlindungan habitat dan populasi ikan, (2) penangkapan ikan dengan alat dan cara
yang ramah lingkungan, (3) budidaya ramah lingkungan, (4) pariwisata dan rekreasi,
(5) penelitian dan pengembangan, dan (6) pendidikan.
.c
Zona Pemanfaatan : diperuntukkan bagi : (1) perlindungan habitat
dan populasi ikan, (2) pariwisata dan rekreasi, (3) penelitian dan pengembangan,
dan (4) pendidikan.
.d
Zona lainnya : merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan
sebagai zona tertentu antara lain : zona perlindungan, zona rehabilitasi dan
sebagainya.
20 Dalam rangka tercapainya pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan dalam
pengelolaan perikanan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya perlu ada kajian potensi, pemanfaatan, konservasi, penelitian dan
pengembangan, serta pengawasan terhadap sumber daya ikan dan lingkungan yang
dikelola dengan sistem yang terukur; serta mendukung kebijakan pengelolaan sumber
daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan; maka perlu ditetapkan wilayah pengelolaan perikanan RI.
.21 Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan di wilayah perairan RI; dikeluarkan SK
Menteri Pertanian Nomor : 996/Kpts/IK.210/9/1999 Tentang Potensi Sumber Daya Ikan
dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan dibagi ke dalam wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) yaitu WPP I IX . Kemudian disempurnakan dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.01/MEN/ 2009 Tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia ( WPP-RI 1-11)
.22 Dasar pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
PER/01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia; adalah:
dalam rangka pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan
perikanan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, perlu
kajian potensi, pemanfaatan, konservasi, penelitian dan pengembangan;
pengawasan terhadap sumber daya ikan dan lingkungan yang dikelola dengan
sistem terukur;
mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai
dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
perlu menetapkan wilayah pengelolaan perikanan RI.
.23 Adapun Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-RI) dibagi menjadi 11 wilayah perairan
yaitu :

WPP-RI 571 : Selat Malaka dan Laut Andaman


WPP-RI 572 : Samudera Hindia Barat Sumatera
WPP-RI 573 : Samudera Hindia Selatan Jawa - Nusa Tenggara - Laut Sawu
Laut Timor bagian Barat
WPP-RI 711 : Selat Karimata-Laut Natuna-Laut China Selatan
WPP-RI 712 : Laut Jawa
WPP-RI 713 : Selat Makassar-Teluk Bone-Laut Flores-Laut Bali
WPP-RI 714 : Teluk Tolo dan Laut Banda
WPP-RI 715 : Teluk Tomini-Laut Maluku-Laut Halmahera Teluk Berau
WPP-RI 716 : Laut Sulawesi Sebelah Utara Pulau Halmahera

WPP-RI 717 : Teluk Cendrawasih-Samudera Pasifik


WPP-RI 718 : Laut Aru-Laut Arafuru-Laut Timor bagian Timur

B. United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982


1
Kaedah hukum di bidang kelautan dan perikanan dimulai dengan merujuk kepada
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNLOS 1982). Meskipun hanya bersifat
soft law, acuan kepada UNCLOS 1982 kiranya merupakan suatu keniscayaan (conditio sine
qua non). Pertimbangan utamanya adalah bahwa Konvensi 1982 berfungsi sebagai
framework agreement yang secara komprehensif mengatur berbagai aspek pemanfaatan
laut, baik yang berada di bawah kedaulatan dan hak berdaulat negara pantai maupun yang
tunduk kepada rejim sui generis sebagai common heritage of mankind.

UNCLOS 1982 merupakan kodifikasi hukum kelautan yang komprehensif; tercermin dari
320 pasal yang terangkum dalam 15 Bab dengan 9 Annex keseluruhannya merupakan
suatu kesatuan. Hal ini berbeda dengan hasil UNCLOS I (Konvensi Jenewa 1958) yang
menghasilkan 4 (empat) buah konvensi yang terpisah satu sama lain tidak menjadi satu
kesatuan yang utuh. Banyak ketentuan UNCLOS 1982 bersifat menegaskan prinsip hukum
sebelumnya yang mengatur pemanfaatan laut atau kebiasaan internasional, yaitu yurisdiksi
eksklusif negara pantai untuk kepentingan perikanan sejauh maksimal 200 mil laut (ZEE);
kewajiban kerjasama konservasi SDKP, yang bersifat global maupun regional, rejim negara
kepulauan (archipelagic state regime) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat
didalamnya.

Pemanfaatan SDK dibedakan ke dalam zonasi wilayah berdasarkan konsep hak


kedaulatan mutlak (laut teritorial) dan hak berdaulat (ZEE dan landas kontinen), yurisdiksi
eksklusif pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP) pada ZEE dan landas
kontinen maksimal (350 mil) dengan memperhatikan kepentingan sah masyarakat
internasional. Dalam aspek perikanan, negara pantai, harus membuka akses bagi negara
lain terhadap surplus SDKP nasional. UNCLOS 1982 memberi kejelasan perihal batas
kedaulatan negara pantai sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang menghubungkan
titik-titik dasar terluar. Prinsip dasar ini menjadi penentu untuk mengukur batas yurisdiksi
negara pantai dalam zonasi kewilayahan lainnya.

UNCLOS 1982, mulai berlaku di Indonesia sejak 16 November 1994 memiliki makna
khusus adanya pengakuan konsep negara kepulauan yang diperjuangkan sejak 1957
melalui Deklarasi Djuanda. Pengakuan masyarakat internasional ini makin meneguhkan
kedaulatan penuh Indonesia terhadap sumber daya alam yang terdapat di dalam perairan
kepulauan nusantara serta yurisdiksi eksklusif Indonesia terhadap sumber daya hayati dan
non-hayati yang berada di kolom air (ZEE Indonesia) maupun yang terdapat di dasar laut
dan tanah di bawahnya (landas kontinen) hingga 200 mil laut dari garis pangkal negara
kepulauan Indonesia KHL 1982 memberikan pengakuan terhadap klaim landas kontinen
negara pantai secara maksimal hingga 350 mil laut.

Mencermati makna penting dari UNCLOS 1982 bagi Indonesia, dapat dipahami bahwa
proses ratifikasi terhadap Konvensi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada
1985 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Hal yang sama juga berlaku terhadap Agreement
relating to the Implementation of Part XI of the UNCLOS 1982 yang diratifikasi Pemerintah
pada 30 Desember 1999 melalui Keppres No. 178 tahun 1999. Ratifikasi Pemerintah
Indonesia terhadap UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 membawa implikasi
kebutuhan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional di bidang kelautan agar
konsisten dengan Konvensi.

Sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, eksploitasi dan pemanfaatan SDKP Indonesia
oleh negara asing dapat dilakukan sepanjang terdapat surplus perikanan nasional. Untuk
itu, pemanfaatan kelebihan potensi perikanan di Indonesia dilakukan berdasarkan perjanjian

bilateral yang bersifat Government to Government. Perjanjian harus memberikan


kemanfaatan yang lebih bagi Indonesia dengan potensi perikanan sebagai leverage
perundingan. Pemanfaatan surplus perikanan nasional oleh industri perikanan asing perlu
dilakukan berdasarkan pendekatan G to G agar negara bendera juga memikul tanggungjawab bersama untuk memberantas praktek Illegal, Unreported & Unregulated (IUU) Fishing
di perairan ZEE Indonesia.
C.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

1.

Ada bermacam arti Code of Conduct for Responsible


Fisheries (CCRF); antara lain Pengelolaan Perikanan Bertanggungjawab, Etika Pengelolaan
Perikanan; Direktorat Jenderal Perikanan (1999) menterjemahkannya menjadi Tata Laksana
Untuk Perikanan Yang Bertanggung jawab. Untuk kemudahan penyebutan serta upaya
pengenalannya secara internasional, maka digunakan istilah CCRF.

2.

CCRF muncul berkaitan dengan pemikiran bahwa sumber


daya perikanan masih mempunyai keterbatasan dalam pengelolaannya. Mengakui arti
pentingnya gizi, ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya perikanan dan semua pihak yang
berkepentingan serta peduli dengan sektor perikanan. Spesifikasi biologi sumber daya dan
lingkungan serta kepentingan konsumen dan pengguna, juga merupakan faktor yang
menjadikan dasar pertimbangan CCRF.

3.

CCRF bukan merupakan suatu paksaan (soft law),


negara-negara di dunia didorong menerapkan CCRF demi kelangsungan usaha perikanan.
Yang menyediakan azas dan standar bisa diterapkannya pada konservasi, pengelolaan dan
pembangunan perikanan. Selain itu merangkum berbagai kegiatan penangkapan ikan,
pengolahan dan perdagangan ikan serta produk perikanan, operasi penangkapan ikan,
akuakultur/ pembudidayaan ikan, penelitian perikanan dan keterpaduan perikanan ke dalam
pengelolaan kawasan pesisir.

4.

Sasaran yang diharapkan dengan penerapan CCRF di


lingkungan global, regional maupun lokal adalah untuk :
(a) menetapkan azas, sesuai dengan aturan hukum internasional yang terkait, bagi
penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab, dengan
memperhatikan seluruh aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan
komersial yang relevan;
(b) menetapkan azas dan kriteria bagi penjabaran dan pelaksanaan kebijakan
nasional untuk konservasi sumber daya perikanan dan pengelolaan serta
pembangunan perikanan yang bertanggung jawab;
(c) berisi sebagai sebuah perangkat rujukan untuk membantu negara-negara dalam
menetapkan atau meningkatkan kerangka kelembagaan dan hukum yang
diperlukan bagi berlangsungnya perikanan yang bertanggung jawab dan dalam
perumusan serta pelaksanaan langkah yang sesuai;
(d) menyediakan tuntunan yang bisa digunakan, bila diperlukan; dalam : perumusan
dan pelaksanaan perjanjian internasional berikut perangkat hukum lain, baik yang
bersifat mengikat maupun sukarela;
(e) memberi kemudahan dan memajukan kerjasama teknis, pembiayaan dan
pengelolaan serta pembangunan perikanan;
(f) meningkatkan kontribusi perikanan bagi ketahanan pangan dan mutu pangan,
memberikan prioritas untuk kebutuhan gizi komunitas lkal;
(g) meningkatkan upaya perlindungan sumber daya hayati akuatik serta
lingkungannya dan kawasan pesisir;
(h) menggalakkan perdagangan ikan dan produk perikanann sesuai dengan aturan
internasional yang relevan dan penghindari penggunaan langkah yang
merupakan hambatan terselubung bagi perdagangan tersebut;
(i) memajukan penelitian mengenai perikanan, demikian pula mengenai ekosistem
terkait dan faktor lingkungan relevan;

10

(j) menyediakan standar pelaksanaan untuk semua sektor yang terlibat dalam
perikanan.

5.

Badan-badan Pengarah FAO merekomendasikan CCRF


dalam bentuk rumusan tatalaksana perikanan bertanggung jawab terdiri dari 12 Article/
Pasal sebagai berikut :
Article 1 Nature and Scope of The Code
Pasal 1 - Sifat dan Ruang Lingkup
Article 2 - Objectives of The Code
Pasal 2 .- Tujuan Tatalaksana Article 3 - Relationship with Other International Instrument
Pasal 3 .- Keterkaitan dengan Perangkat Hukum Internasional Lain
Article 4 - Implementation, Monitoring and Updating
Pasal 4 - Pelaksanaan, Pemantauan dan Pemutakhiran
Article 5 - Special Requirements of Developing Countries
Pasal 5 - Kebutuhan Khusus Negara Berkembang
Article 6 - General Principles
Pasal 6 - Prinsip-prinsip Umum/Dasar
Article 7 - Fisheries Management
Pasal 7 - Pengelolaan Perikanan
Article 8 - Fishing Operations
Pasal 8 - Operasi Penangkapan Ikan
Article 9 - Aquaculture Development
Pasal 9 - Pembangunan Akuakultur/Pembudidayaan
Article 10 - Intregation of Fisheries Into Coastal Area Management
Pasal 10 - Integrasi Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir
Article 11 - Post-Harvest Practices and Trade
Pasal 11 - Praktek Pasca Panen dan Perdagangan
Article 12 - Fisheries Research
Pasal 12 - Penelitian Perikanan

6.

CCRF ditafsirkan dan diberlakukan sesuai dengan hukum


internasional yang mempunyai keterkaitan; seperti UNCLOS 1982 (Hukum Laut
Internasional), Karantina ikan, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) , Konservasi
(Stok Ikan Peruaya jauh) dll. Untuk itulah maka semua negara mempunyai kuwajiban moral
menerapkan dan melaksanakan CCRF ini sesuai dengan situasi dan kondisi masingmasing.

7.

Pelaksanaan CCRF secara luas dilakukan dengan penuh


kehati-hatian melalui upaya pendekatan secara bertahap; sehingga masyarakat luas
semakin memahami betapa penting upaya konservasi, pengelolaan dan pengusahaan
sumber daya hayati akuatik guna melindungi dan melakukan konservasi akuatik dengan
memperhatikan data yang akurat, maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(ilmiah).

8.

Alat tangkap dan cara penangkapan ikan yang selektif dan


ramah lingkungan harus dikembangkan dan diterapkan untuk : memelihara
keanekaragaman hayati, konservasi struktur populasi dan ekosistem akuatik, serta
melindungi mutu ikan. Alat penangkap ikan dan cara penangkapan ikan yang selektif dan
ramah lingkungan harus diberikan prioritas dikembangkan demi kelestarian. Pemanenan,
penangkapan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk perikanan harus dilakukan
dengan cara mempertahankan nilai gizi, mutu dan keamanan produk perikanan,
mengurangi limbah dan meminimumkan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Habitat
perikanan yang dalam keadaan kritis di dalam ekosistem laut, air tawar; misalnya hutan

11

bakau, terumbu karang, daerah asuhan dan pemijahan ikan sejauh mungkin harus
dilindungi dan direhabilitasi.

9.

D.
1

E.

Perdagangan ikan dan produk perikanan lainnya


dilakukan sesuai azas, hak dan kuwajiban yang ditetapkan dalam Perjanjian Organisasi
Perdagangan Sedunia (WTO) dan persetujuan internasional. Adalah menjadi kuwajiban
setiap negara menjamin kebijakan program yang terkait dengan pemasaran/perdagangan
hasil perikanan yang tidak bertentangan dengan hukum dan kebijakan yang mengakibatkan
dampak penurunan mutu lingkungan atau dampak sosial termasuk gizi secara negatif.
Latar Belakang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Ada kecenderungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami
kerusakan akibat aktivitas manusia memanfaatkan sumber daya maupun akibat bencana
alam. Akumulasi kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral atau dampak kegiatan di
hulu wilayah pesisir walaupun didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering
menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan
perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi tanpa memperhatikan
kelestariannya. Kesadaran terhadap nilai strategis dari adanya pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif masih
kurang. Hak masyarakat adat/lokal yang sudah berkembang di masyarakat seperti panglima
laot, awig-awig, ternyata peranserta masyarakat masih terbatas; hal ini menunjukkan bahwa
prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan
kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
Sistem pengelolaan pesisir belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan
dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati dapat pulih kembali secara
alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh karena itu,
keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi rentan berkembangnya konflik dan
terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat perlu dikelola secara baik agar supaya
dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan
untuk konservasi. Masyarakat perlu dimotivasi untuk mengelola wilayah pesisir dengan baik
dan yang telah berhasil perlu diberi insentif tetapi yang merusak perlu diberi sanksi
Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disusun dalam lingkup
perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan
memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain
seperti keberadaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma pengelolaannya difokuskan pada
norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan ini akan
memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku
kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan
internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum,
pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sebagai
bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Untuk itu harus
diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum
bagi upaya pengelolaannya
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWP3K)

1 Tujuan penyusunan Undang - Undang PWP3K adalah:


a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak
dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi

12

pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional


terkait;
b. membangun sinergi dan saling memperkuat antar lembaga Pemerintah baik di pusat
maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta
kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik
pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil;
c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat
menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan
lain, termasuk pihak pengusaha

Ruang Lingkup Undang-Undang PWP3K diberlakukan di Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan,
ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut
sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari
tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian,

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang
mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga
terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan
mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen.
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat
mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah
tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan


terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara
optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk
kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian
dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian
sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam
empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv)
rencana aksi.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan


kebijakan pengaturan sebagai berikut:
a. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan
melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin
pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
kewenangan masing-masing instansi terkait.
b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau
zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
c. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari
perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak
dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan
penyelesaian konflik.

13

d. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan
memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya
dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi.

6 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, demikian sebagian besar
penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap sumber daya
yang menjadi sumber penghidupan. Apabila hal ini diabaikan berimplikasi meningkatnya
kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Masih ada kecenderungan bahwa
industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering
kali memarginalkan penduduk setempat, oleh karenanya perlu norma-norma pemberdayaan
masyarakat.

7 Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi
melalui pengelolaan yang rasional agar supaya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu ada kebijakan dalam
pengelolaan sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya hanya
untuk kepentingan ekonomi, tanpa mengorbankan kepentingan dan kebutuhan generasi
yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.

8 Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:


a. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi,
rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan
kualitas ekosistem pesisir;
b. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;
c. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti
pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau
ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.
d. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini
merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang lain.

9 Undang-Undang ini mempunyai hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain


seperti:
a. undang-undang yang mengatur perikanan;
b. undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;
c. undang-undang yang mengatur kehutanan;
d. undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi;
e. undang-undang yang mengatur penataan ruang;
f. undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;
g. undang-undang yang mengatur pelayaran;
h. undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem;
i. undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;
j. undang-undang yang mengatur perairan;
k. undang-undang yang mengatur kepariwisataan;
l. undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;
m. undang-undang yang mengatur sumber daya air;
n. undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan
o. undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

14

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP3K dapat dijadikan sebagai landasan
pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor
terkait; dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan.
F. Rencana Zonasi

1. Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan
antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah
darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berasaskan: keberlanjutan; konsistensi; keterpaduan; kepastian hukum; kemitraan;
pemerataan; peran serta masyarakat; keterbukaan; desentralisasi; akuntabilitas; dan
keadilan.

2. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) ditujukan untuk melindungi,
mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya
dimaksudkan sebagai upaya menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam
UU ini ditengarai untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan;dan sekaligus akan
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta
Masyarakat dalam pemanfaatannya.

3. PWP3K meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian


terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya serta proses alamiah
secara berkelanjutan dalam upaya NKRI. Dari itu pelaksanaannya dilakukan dengan
mengintegrasikan kegiatan: (a) antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b) antarPemerintah Daerah; (c) antarsektor; (d) antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
(e) antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan (f) antara ilmu pengetahuan dan prinsipprinsip manajemen.

4. Perencanaan terdiri atas: (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RSWP-3-K); merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka
panjang setiap Pemerintah Daerah (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang (RZWP-3-K); merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (c)
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan (d)
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K).

5.

RPWP-3-K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya 1 (satu) kali; berisi :
(a)
kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan
sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;
(b)
skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
(c)
jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi
publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan
tujuan dan perizinan;
(d)
mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin
tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta

15

(e)

ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk


mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.
Sedangkan RAPWP-3-K berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun. dilakukan dengan
mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan
rencana strategis.

6. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3).meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pemberian HP-3 wajib
mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. HP-3
dapat diberikan kepada: (a) Orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) Badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; (c) Masyarakat Adat.

7. HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. dapat diperpanjang tahap kesatu
paling lama 20 (dua puluh) tahun. dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3 dan HP3
berakhir karena : (a) jangka waktunya habis dan tidak diperpanjanglagi; (b) ditelantarkan;
atau (c) dicabut untuk kepentingan umum. HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan
Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

8. Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan


ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya;
diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan: (a) konservasi; (b) pendidikan dan
pelatihan;(c) penelitian dan pengembangan; (d) budidaya laut (e) pariwisata; (f) usaha
perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari (g) pertanian organik; dan/atau
(h) peternakan.

9.

Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
c. menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

10.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang memenuhi


persyaratan wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya. Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya yang telah digunakan kepentingan kehidupan Masyarakat,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah
dengan masyarakat yang bersangkutan. Dalam kaitan ini bupati/walikota memfasilitasi
mekanismenya secara musyawarah. Dalam pada itu pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri

11.

Dalam upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibentuk Mitra Bahari sebagai forum kerja sama antara
pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha. Mitra Bahari difasilitasi oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dunia usaha.Adapun kegiatan Mitra Bahari
difokuskan pada : (a). pendampingan dan/atau penyuluhan; (b). pendidikan dan pelatihan;
(c). penelitian terapan; serta (d). rekomendasi kebijakan.

G. Beberapa istilah :

16

1. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan
laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
2. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan WP3K serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungan sumber dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
3. Kawasan Konservasi di WP3K adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri
khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan WP3K secara berkelanjutan.
4. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan
perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda
dari kondisi semula.
5. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
6. Daya Dukung WP3K adalah kemampuannya untuk mendukung peri kehidupan manusia
dan makhluk hidup lain.
7. Mitigasi Bencana adalah upaya mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik
melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di WP3K.
8. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya P3K yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber dayanya; seperti
nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha
perikanan, dan masyarakat pesisir.
9. Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
10. Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan seharihari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya P3K tertentu.
11. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
12. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga,
pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan
rekomendasi kebijakan.
Bahan Bacaan :
1. Burke, W.T, 1982, Fisheries Regulations Under Extended Yurisdiction and International Law,
(Peraturan Perikanan Sesuai Peluasan Yurisdiksi dan Hukum Internasional) Terjemahan
Zarochman, Bagian Proyek Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang Tahun Anggaran
1993/1994, Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, 1994.
2. Budiarto, M. SH, Wawasan Nusantara, Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara RI,
Ghalia Indonesia, Jakarta.

3.

Chairul Anwar, SH,DR, 1995, Zona Ekonomi


Eksklusif Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.
4.
Frans E Likadja,SH dan Daniel F Bessie, Drs 1988,
Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

17

5.

Hamzah A, Dr SH, 1988, Laut Teritorial dan


Perairan Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.
6.
Undang Undang Nomor 4 Prp.Tahun 1960 Tentang
Perairan Indonesia
7.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang
Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia
8.
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang
Perikanan
9.
Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia
10.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan
11.
14
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
12.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor :PER.17/MEN/2006
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007
14.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor :PER.05/MEN/2008
15.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
PER.01/MEN/ 2009 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

dtribawono@yahoo.com

18

Anda mungkin juga menyukai