Anda di halaman 1dari 2

Pemeriksaan penunjang BPH

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), Gula darah
b. Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis, sedimen
2. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang
dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung kemih atau
ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui
adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
(trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam
potongan.
3. Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya kontraksi otot detrusor,
tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak
laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik.
b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan
apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk
membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan
memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin
dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.

Pemeriksaan Penunjang Nefropati Diabetik


A. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah
Kadar glukosa darah
Sebagaimana halnya penyakit diabetes melitus, kadar glukosa darah akan meningkat. Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa pada tahap lanjut yaitu bila terjadi gagal ginjal, kadar gula darah bisa normal atau
malahan rendah. Hal ini disebabkan menurunnya bersihan ginjal terhadap insulin endogen maupun

eksogen.
b. HbA1C
c. Ureum
d. Creatinin ( jumlahnya dapat meningkat pada kerusakan ginjal lanjut)
e. BUN
2) Urine
a. Urin rutin ; tampak gambaran proteinuria
b. Aseton
c. Dipstik untuk albumin/ mikroalbumin
d. Penentuan protein dalam urin secara kuantitatif
3) Mikrobiologis untuk kultur urin terhadap mikroorganisme dan uji kepekaan kuman terhadap antibiotic.
B. Opthalmoskop untuk pemeriksaan fundus mata
C. Biopsi ginjal
Merupakan diagnosis pasti untuk nefropati diabetikum. Kebanyakan ahli nephrologists tidak perlu
melakukan biopsy ginjal pada kasus dengan proteinuria yang progresif sepanjang waktu dan adanya
retinophaty diabetic pada pemeriksaan retina mata. Untuk menutupi kecurigaan dalam menegakkan
diagnosis, biopsy injal merupakan salah satu cara untuk menegakkan diagnosis dan sebagai penunjang
pendidikan
D. USG ginjal
Untuk mengamati ukuran ginjal, biasanya ukuran meningkat pada tahap awal dan kemudian menurun
atau menyusut pada gagal ginjal kronik. Dapat juga untuk menggambarkan adanya obstruksi, sebagai
study Echogenisitas pada gagal ginjal kronik.
E. Serum dan electrophoresis urine ditujukan untuk menyingkirkan multiple myeloma dan untuk
mengklasifikasikan proteinuria (dimana predominan pada glomerolus pada nephropati diabetic).
Referensi
1. Purnomo B Basuki. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto; 2008.p.69-85

Anda mungkin juga menyukai