Anda di halaman 1dari 8

ABSES HATI

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi
dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Dan sering timbul
sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu. (Robins, et al,
2002).
Bakteri ini bisa sampai ke hati melelui: 1) kandung kemih yang
terinfeksi. 2) Luka tusuk atau luka tembus. 3) Infeksi didalam perut., dan
4) Infeksi dari bagian tubuh lainnya yang terbawa oleh aliran darah.
Gejalanya berkurangnya nafsu makan, mual dan demam serta bisa terjadi
nyeri perut. (Schoonmaker, D., 2003).
Pada umumnya abses hati dibagi dua yaitu abses hati amebik (AHA)
dan abses hati pyogenik (AHP). AHA merupakan komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang sering dijumpai di daerah tropik/ subtropik, termasuk
indonesia. Abses hepar pyogenik (AHP) dikenal juga sebagai hepatic
abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess. (Aru, W. S., 2002)
Abses Hati Amebik (AHA)
Defenisi
Abses hati amebik adalah bentuk infeksi pada hati yang
disebabkan karena infeksi Entamoeba histolytica yang bersumber dari
intestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi
atau sel-sel darah dalam parenkim hati (Wenas & Waleleng, 2006).
Prevalensi
Perbandingan jumlah penderita liver abses menurut jenis kelamin
adalah pria lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan wanita dan

menurut prevalensi jumlah penderita paling banyak pada usia dekade


keempat sampai kelima. Di negara yang sedang berkembang abses hati
amebik lebih sering didapatkan secara endemik dibanding dengan abeses
hati piogenik.
Etiologi
Etiologi abses hati amebic adalah protozoa pseudopodia amoeba
intestinal yang patogen yakni Entamoeba histolytica. Protozoa ini memiliki
dua bentuk dalam siklus hidupnya yakni kista dan trofozoit yang dapat
bergerak. Bentuk trofozoit merupakan bentuk vegetatif yang tidak tahan
terhadap suasana asam dan kering. Trofozoit sangat aktif bergerak,
memiliki kemampuan memangsa eritrosit (haematophagous trophozoite),
serta mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase
yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Bentuk kista merupakan bentuk infektif E.histolytica. Kista resisten
terhadap suasana kering dan asam, juga bisa bertahan di luar tubuh
manusia. Bentuk kista terdiri atas dua macam yakni kista muda dan ksita
dewasa. Kista muda berinti satu mengandung gelembung glikogen dan
badan-badan kromatioid berbentuk batang yang berujung tumpul. Kista
dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai di lumen usus
dan tidak dapat dibentuk di luar tubuh serta tidak dapat dijumpai di
dinding usus dan jaringan tubuh di luar usus.
Patogenesis
E. histolytica masuk ke dalam tubuh manusia melalui kista yang
tertelan.

Dikarenakan

sifatnya

yang

reisten

terhadap

asam

dan

lingkungan, kista yang keluar dari tubuh melalui feses, dapat menempel di
daun tanaman, di air, dan tanah sehingga apabila higienitas seseorang
kurang baik, maka kontak dengan hal-hal tersebut dapat menjadi sarana
masuknya kista ke dalam tubuh. Kista kemudian masuk ke dalam tubuh
hingga menuju usus besar. Kista berkembang menjadi trofozaoit yang
pada awalnya hidup sebagai komensal. Trofozoit kemudian membentuk
koloni dan melepaskan protease yang menyebabkan ulserasi. Faktor

penyebab berubahnya sifat trofozoit ini kemungkinan adalah kerentanan


pejamu

(host)

yakni

kehamilan,

malnutrisi,

penyakit

keganasan,

penggunaan imunosupresan, bahkan konsumsi alkohol jangka panjang;


faktor virulensi ameba dan faktor lingkungan.

Gambar 1 : Siklus Hidup E.histolytica


Selanjutnya, kerusakan sawar intestinal akibat lisisnya sel epitel
mukosa usus dan sel-sel inflamatorik mengakibatkan trofozoit dapat
masuk

melalui

vena-vena

kolon

seperti

venula

mesentrica

yang

merupakan cabang vena porta hepatica. Selanjutnya, lewat aliran vena


tersebut trofozoit dapat mencapai parenkim hati. Parasit ini di hati
mengakibatkan akumulasi netrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi

granulomatosa.

Pada

awalnya

terbentuk

mikroabses

yang

kemudian membesar dan terbentuk jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini


kemudian dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini
dapat terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya
amebic intestinal dan dapat terjadi tanpa didahului oleh riwayat disentri
amebiasis sebelumnya.

Abses lebih sering terjadi di lobus kanan hati dibandingkan di lobus


kirnya. Hal ini sesuai dengan aliran vena porta di lobus kanan yang lebih
dominan berasala dari vena mesentrica superior, sementara lobus kiri
lebih banyak menerima aliran dari vena splanchnicus (Brailita, 2008)
Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis:
Pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri abdomen kanan atas.
Nyeri dirasakan seprti tertusuk dan ditekan. Nyeri dapat dirasakan
menjalar hingga ke bahu dan lengan kanan. Pasien merasa semakin nyeri
apabila batuk, berjalan, menarik napas dalam, dan berbaring miring ke
sisi tubuh sebelah kanan. Pasien juga merasa lebih nyaman berbaring
miring ke sisi tubuh sebelah kiri.
Demam dijumpai pada 87-100% kasus, mual dan muntah ditemukan
pada 32-85% kasus, dan dapat dijumpai pula penurunan berat badan.
Keluhan diare dijumpai pada sepertiga kasus, bahkan pada beberapa
kasus dijumpai riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya (Brailita,
2008).
Hal lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis adalah riwayat sakit
kuning sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid ( lembaran putih di
pakaian dalam) dengan tujuan menyingkirkan diagnosa banding.
b. Pemeriksaan fisik:
Dari pemeriksaan tanda vital umumnya ditemukan demam. Pada
mata ditemukan konjungtiva palpebra inferior pucat. Selain itu juga dapat
dijumpai sklera ikterik akibat abses yang multiple ataupun abses yang
meluas hingga menekan duktus biliaris. Pada pemeriksaan thorax dapat
dijumpai peningkatan batas paru hati relatif/absolut tanpa peranjakan.
Selain itu, suara pernapasan dapat melemah pada lapangan paru kanan
bawah. Ditemukannya friction rub pada pemriksaan thorax menunjukkan
rupture abses ke pericardium dan nilai mortalitasnya sangat tinggi.
Dari pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali yang nyeri
tekan. Hepar meiliki tepi yang regular dengan permukaan licin dan teraba
adanya fluktuasi. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan Ludwig

sign, yakni menekan sela iga ke-6 setentang linea axilaris anterior,
apabila terdapat nyeri tekan maka menguatkan dugaan abses hati. Nyeri
tekan di kuadran kanan atas umumnya dijumpai. Nyeri tekan pada region
epigastrium menggambarkan kemungkinan abses di lobus kiri dan
keadaan ini harus diwaspadai mengingat kecenderungan abses di lobus
kiri menyebabkan efusi pericardium. Nyeri tekan yang menjalar ke lumbal
kanan menimbulkan dugaan letak abses di postoinferior lobus kanan hati.
Apabila terdapat akut abdomen dan bising usus menghilang maka
dipertimbangkan kemungkinan perforasi ke peritoneum.
c. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan laboratorium yang pertama dipertimbangkan adalah
pemeriksaan darah rutin dimana akan ditemukan leukositosis ( 11.00025.000/mm3) dengan neutrofil batang >70% dan anemia normokromik
normositer. Akan tetapi, pada kasus yang kronik, leukosistosis dapat saja
tidak ditemui dan dijumpai anemia hipokrom mikrositer.
Pada pemeriksaan feses rutin dapat dijumpai leukosit, kista, dan
bentuk trofozoit yang mengandung eritrosit.
Pemeriksaan

fungsi

hati

perlu

dilakukan

untuk

menyingkirkan

diagnosa banding, dan mengetahui kronisitas penyakit. Pada abses hati


yang akut dapat dijumpai peninggian SGOT. Sementara itu, pada kasus
yang kronik SGOT cenderung normal, akan tetapi terjadi peningkatan
SGPT. Akan tetapi pada beberapa kasus yang dilaporkan, tidak dijumpai
peninggian SGOT dan SGPT. Hiperbilirubinemia jarang terjadi kecuali
abses mengakibatkan kolestasis.
d. Radiologis:
Pada foro thorax dijumpai dome diafragma yang meninggi, hal ini
dimungkinkan akibat penekanan abses. Pada USG abdomen didapati lesi
berbentuk bulata atupun oval, tunggal, berbatas tegas dan hipoekoid.
USG abdomen juga dapat mengkonfirmasi letak lobus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnose
banding selanjutnya adalah alfafetoprotein (AFP) dimana nilai normalnya
0-20ng/ml. Apabila didapati AFP > 400ng/ml maka nilai ini sangat sugestif
untuk penegakan diagnosa hepatoma.

e. Kriteria Penegakan Diagnosis ;


Terdapat

beberapa

acuan

penegakan

diagnosis

yakni

kriteria

Ramachandra, kriteria Sherlock, juga kriteria Lamont dan Pooler.


Kriteria Ramachandran ditegakkan abses hati bila didapatkan tiga
atau lebih dari:
-

Hepatomegali yang nyeri tekan


Riwayat disentri
Leukositosis
Kelainan radiologis
Respons terhadap terapi amoebisid
Kriteria Sherlock yakni :

Hepatomegali yang nyeri tekan


Respon yang baik terhadap terapi amoebisid
Leukositosis
Peninggian diafragma kanan dengan pergerakan yang kurang
Aspirasi pus
Pada USG ditemukan rongga dalam hati
Tes hemaglutinasi positif
Kriteria Lamont dan Pooler ditegakkan abses hati bila didapatkan tiga
atau lebih dari:

Hepatomegali yang nyeri


Kelainan hematologis
Kelainan radiologi
Pus amoebik
Tes serologi positif
Kelainan sidikan hati
Respon yang baik terhadap terapi amoebisid
f. Diagnosa banding
Diagnosa banding abses hati amebic adalah:

Abses hati piogenik: umumnya disebabkan apendisitis dan infeksi


pada saluran empedu. Dengan demikian, pada anamnesis perlu ditanyakn
riwayat

nyeri

abdomen

kanan

bawah

dan

riwayat

sakit

kuning

sebelumnya
Kolesistisis
Kista hidatid : perlu ditanyakan kebiasaan makan dan adanya

pengeluaran proglotid
Kolelitiasis ; perlu ditelusuri gambaran nyeri, sclera ikterik dan Murphy

sign
Karsinoma sel hati primer

Penanganan
Terapi

untuk

pasien

dengan

abses

hati

amebic

berupa

medikamentosa, aspirasi terapeutik, dan pembedahan.


Pemberian

derivat

nitroimidazole

seperti

metronidazole

masih

merupakan lini pertama pengobatan abses hati amebik dengan dosis


3x750 mg selama 5-10 hari. Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai
agen amebiasis ekstraluminal. Akan tetapi obat ini tidak poten terhadap
kista

(bentuk

Paramomycin

intraluminal)
dengan

dosis

sehingga

perlu

4X500mg.

dikombinasikan

Pilihan

lainnya

dengan

dapat

pula

ditambahkan atau diganti dengan kloroquin fosfat dengan dosis 1gr/hari


selama 2 hari dilanjutkan dengan 500mg/hari selama 20 hari. Hal ini
dilakukan apabila setelah terapi metronidazole selama 5 hari tidak
terdapat perbaikan ataupun bila terdapat intoleransi. Obat lini kedua yang
digunakan yakni dihydroemetin 1-1,5mg/kgBB/hari secara intramuskular
(maksimum 99gr/hari) selama 10 hari. Akan tetapi,

yang terakhir

disebutkan relatif toksik sehingga perlu kewaspadaan pemakaian.


Tindakan aspirasi terapeutik diindikasikan apabila :
Abses dikhawatirkan akan pecah ( terutama bila diameter >5 cm)
Tidak ada respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari
- Abses berada di lobus kiri memiliki risiko mudah pecah ke rongga
peritoneum ataupun pericardium
Tindakan pembedahan berupa drainase ataupun lobektomi dilakukan
apabila :
-

Abses disertai komplikasi infeksi sekunder


Abses jelas menonjol ke abdomen atau ruang interkostla
Terapi medika mentosa dan aspirasi tidak berhasil
Rupture abses ke rongga perikardial/pleural/peritoneum
Komplikasi
Komplikasi yang umumnya terjadi dapat berupa:
a. infeksi sekunder yang umumnya terjadi pada 10-20% kasus
b.

ruptur

abses

menyebabkan

perikarditis,

pleuritis

ataupun

peritonitis
c. komplikasi vaskuler berupa ruptur abses ke dalam vena porta
hepatica, saluran empedu, ataupun traktus gastrointestinal

d. parasitemia dan amebiasis serebral dimana parasit masuk ke


alirand arah sistemik dan menginvasi organ lain misalnya otak yang
memberikan gambaran klinik lesi fokal intrakranial.
Tatalaksana
Beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis yakni virulensi
parasit, status imunitas dan keadaan nutrisi pasien, usia pasien dimana
prognosis lebih buruk pada usia tua, kronisitas penyakit dimana tipe akut
memiliki prognosis yang lebih buruk, letak dan jumlah abses, prognosis
lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.
Sejak

digunakannnya

pemberian

obat

seperti

emetine,

metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Penyebab


mortalitas umumnya adalah sepsis ataupun sindrom hepatorenal.

Anda mungkin juga menyukai