Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR ISI

HALAMAN
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Prinsip-Prinsip konsumsi.......................................................................................2
B. Maslahah dalam konsumsi.....................................................................................2
C. Fungsi Kesejahteraan, Maximizer,dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali.................3
D. Fungsi Utility..........................................................................................................5
E. Optimal Solution...................................................................................................10
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam teori ekonomi, sebuah perekonomian akan berjalan jika unsur-unsur dalam
ekonomi berjalan dan saling memanfaatkan satu sama lain sebab pada prinsipnya manusia adalah
makhluk social yang saling ketergantungan antar sesama. Adanya produsen dikarenakan adanya
konsumen. Begitu pula adanya sesuatu yang dihasilkan karena adanya permintaan dari
masyarakat yang memerlukan, sebab konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang
atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Namun secara
sederhana dapat diartikan sebagai pengguna barang dan atau jasa, Masing-masing konsumen
merupakan pribadi unik dimana antara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki
kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya. Namun,
dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan yakni setiap saat konsumen
akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang
ataupun jasa. Tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut
dengan utilitas.
Kepuasan adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang
memiliki cita rasa yang berbeda namun jika yang diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan
sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak membatasi
konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsumsi sebagai wujud kebersinambungan
antara sang makhluk (hablu minan nas)dan antara sang tuhan (hablu minallah). Konsumsi pada
hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-Prinsip konsumsi
Ada tiga prinsip dasar konsumsi yang digariskan oleh Islam yaitu:[1]
1. Prinsip Halal
2. Prinsip Kebersihan
3. Prinsip Kesederhanaan
B. Maslahah dalam konsumsi
Dalam perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbang kan manfaat dan berkah
yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu
kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhuan kebutuhan fisik atau psikisnya atau
material. Disisi lain, berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang/jasa yang dihalalkan
oleh syariat Islam.
1. Kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi
secara sempurna sedangkan keinginan adalah terkait dengan hasrat atau harapan sesorang yang
jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan keseimbangan funsi manusia ataupun suatu
barang.
Secara umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik,
spiritual, intelektual ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah
kepuasaan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan
seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan mashlahah sekaligus
kepuasaan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan
memberikan manfaat semata.
2. Maslahah dan kepuasan
Mashlahah merupakan suatau akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah,
sedangkan kepuasaan merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan. Meskipun
demikian, terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan terutama jika
kebutuhan tersebut disadari dan diinginkan.
3. Maslahah dengan nilai-nilai ekonomi Islam
Manfaat dan berkah (mashlahah) hanya akan diperoleh ketika prinsip dan nilai-nilai
Islam bersama-sama diterapkan dalam perilaku ekonomi. Sebaliknya, jika hanya prinsip saja
yang dilaksanakan maka akan menghasilkan manfaat duniawi semata. Keberkahan akan muncul
ketika dalam kegiatan ekonomi konsumsi disertai dengan niat dan perbuatan yang baik seperti
menolong orang lain, bertindak adil dan semacamnya.[2]
C. Fungsi Kesejahteraan, Maximizer, dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali
Dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan
mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun
mafasid (disutilits, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ia
mengidentifikasikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat teragantung kepada
pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu: agama, hidup atau jiwa, keluarga atau
keturunan, harta atu kekayaan dan intelek atau akal. Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar
ini terletak pada penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan

perumahan. Namun demikian, Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar demikian


cenderung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup bahkan kebutuhankebutuhan sosiopsikologis.
Kelompok kedua terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima
fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup.
Kelompok ketiga mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar
kenyamanan saja, meliputi hal-hal yang melengkapi, menerangi atau menghiasi hidup
Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi
juga kebutuhannya untuk persiapan di masa depan. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa
jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi
maka hal itu pantas dikutuk. Hal inilah yang membuat orang memandang kekayaan sebagai ujian
terbesar.

[1] Mannan, Ekonomi Islami, Jakarta: Intermasa, 1992, Hlm. 44


[2] P3EI UII Yogyakarta dan BI, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, Hlm. 134

A. Fungsi Utility
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva
indiferen(IC) . biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa)
yang keduanya memang disukai oleh konsumen. Dalam membangun teori utility function,
digunakan tiga aksioma pilihan rasional yaitu:[1]
1. Completeness
Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang
lebih disukainya di antara dua keadaan.
2. Transitivity
Aksioma ini untuk memastikan adanya konsistensi internal dalam diri individu dalam mengambil
keputusan.
3. Continuity
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan A lebih disukai daripada B
maka keadaan yang mendekati A pasti juga disukai daripada B.

[1] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. Hlm. 64-65

Konsekuensi dari adanya aksioma konsistensi dalam pilihan konsumen, maka antara kurva
indiference yang berbeda tidak boleh berpotongan. Jika kurva tersebut berpotongan berarti
terjadi pelanggaran aksioma utility, yaitu tidak adanya konsistensi telah terjadi

1.

1.

Tingkat Substitusi Marginal

Tingkat kesedian untuk menukar komoditas dengan komoditas lain inilah yang disebut tingkat
subtitusi marginal x untuk y atau MRSXY, MRSXY = jumlah unit komoditas y yang harus
dikorbankan untuk mendapatkan tambahan satu unit komoditas x, dalam tingkat kepuasaan yang
sama. Formasi MRSXY dapat kita tuliskan sebagai berikut:
MRSXY= jumlah unit Y yang berkurang
Jumlah penambahan satu unit x
2.

barang Halal, Haram, dan Analisis Kurva Indiference


Tidak semua komoditas mempunyai sifat yang sama, yakni ada yang haram dan ada yang
halal, Konsumsi barang halal dan haram tentu berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah yang
berimplementasi pada pahala yang pada ujungnya akan berpengaruh pada kepuasan. Logikanya,
barang yang kita konsumsi adalah barang yang sah dan halal maka akan membawa terhadap
kemantapan dan kualitas ibadah karena ketika menggunakan tanpa dicampuri dan dibebani salah
sehingga akan diterima dan mendapat pahala untuk bekal hari setelah kematian nanti.[1]
kita tidak dapat memberikan pengertian yang sama terhadap bentuk dan funsi dari kurva
indiferencenya. Utuk menerengkan bagaimana kurva indiference dibentuk dari berbagai
komoditas yang telah memisahkan antara yang halal dan yang haram dari komditas dapat kita
lihat pada gambar dibawah ini:

[1] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, Hlm. 148

1. Increasing Utility
Semakin tinggi IC berarti semakin banyak barang yang dikonsumsi, yang berarti semakin tinggi
tingkat kepuasaan konsumen. Secara grafis tingkat utilitas yang lebih tinggi digambarkan dengan
utility function yang letaknya di sebelah kanan atas. Bagi konsumen, semakin ke kanan atas
utility semakin baik.
Rasulullah saw. Bersabda, Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
daripada orang beriman yang lemah. Dalam hadits lain bermakna: Iri hati itu dilarang kecuali
terhadap dua jenis orang yaitu orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, dan
orang yang kaya yang membelanjakan hartanya di jalan Allah. jadi Dalam konsep Islam pun
diakaui bahwa yang lebih banyak (tentunya yang halal) lebih baik. Secara grafis utility function
antara dua barang (atau jasa) yang halal digambarkan sebagaimana lazimnya.

Dalam konsep Islam sangat penting adanya pembagian jenis barang (atau jasa) antara yang
haram dan yang halal. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menggambarkan hal ini
dalam utility function . utility function untuk dua barang yang saah satunya tidak disukai
digambarkan dengan utility function yang terbalik seakan diletakkan cermin. Semakin sedikit
barang yang tiadak kita sukai akan memberikan tingkat kepuasaan yang lebh tinggi. Hal ini
digambarkan dengan utility function yang semakin ke kiri atas semakin tinggi tingkat
kepuasaannya. Barang yang haram adalah barang yang tidak kita sukai.

1. Budget Constraint
Segala keinginan pasti ada konstrain yang membatasinya, tentu batasan ini akan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dan usaha yang dikeluarkan untuk mendapatkan konstrain yang
lebih tinggi. Dalam teori konsumsi hadits tentang cita-cita dan segala macam hambatan ini bisa
kita gunakan untuk menerangkan tentang batasan seseorang dalam memaksimalkan utility
konsumsinya. Selain faktor norma konsumsi dalam Islam, keinginan untuk memaksimalkan
utility function ditentukan juga oleh berapa dana yang tersedia untuk membeli kedua jenis
barang tersebut,
Kombinasi titik di bawah budget line menunjukkan jumlah dana yang digunakan untuk
mengkonsumsi barang X dan barang Y dan jumlah dana yang digunakan tersebut lebih kecil
daripada dana yang tersedia.
A. Optimal Solution
Sesuai dengan asumsi rasionalitas, maka konsumsi seorang muslim akan selalu bertindak
rasional. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dari seorangg konsumen senantiasa didasarkan
pada perbandingan antarberbagai prefensi, peluang dan manfaat serta madharat yang ada. Untuk
mencapai titik optimalisasi konsumen, seorang konsumen dibatasi oleh garis anggaran dari
pendapatannya atau berbagai komoditas yang dapat dibelinya. Secara matematis optimisasi
konsumen dapat diformulasikan sebagai berikut:

Utilitas marginal X
Harga X

Utilitas marginal X
Utilitas marginal Y
MUx
MUx

utilitas marginal Y
harga Y

=
=

HargaX
Harga Y
Px
Py

Konsumen akan memaksimalkan pilihannya dengan dua cara yaitu:


1. Memaksimalkan utility function pada budget line tertentu
2. Meminimalkan budget line pada utility function tertentu

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yamg penting, bahkan terkadang dianggap paling
penting. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena
ada yang memproduksi, dan kegiatan disribusi muncul karena ada gap atau jarak antara
konsumsi dan produksi. Islam tidak mengakui kecenderungan materialistik semata-mata dari
pola konsumsi modern. Dasar pemikiran pola konsumsi dalam islam adalah untuk mengurangi
kelebihan keinginan fisiologik sekarang ini yang timbul dari faktor-faktor psikologik buatan
dengan tujuan membebaskan energi manusia untuk tujuan-tujuan spiritual.
Islam menuntut manusia untuk sebisa mungkin mengkonsumsi barang-barang yang halal,
meski dalam keadaan tertentu yang diharamkanpun boleh dikonsumsi namun hanya sebatas
untuk memenuhi keberlangsungan yang bersifat sangat terpaksa. Hal ini penting karena manusia
kelak akan menjalani masa kehidupan kembali setelah kematian (akhirat) dan yang menentukan
kebahagiaan diakhirat ditentukan oleh perilaku kehidupan di dunia, termasuk kualitas dan
kuantitas ibadahnya.
Konsumsi barang halal dan haram tentu berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah yang
berimplementasi pada pahala yang pada ujungnya akan berpengaruh pada kepuasan. Logikanya,
barang yang kita konsumsi adalah barang yang sah dan halal maka akan membawa terhadap
kemantapan dan kualitas ibadah karena ketika menggunakan tanpa dicampuri dan dibebani salah
sehingga akan diterima dan mendapat pahala untuk bekal hari setelah kematian nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Chaudhry Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Karim Adiwarman A. 2010. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Mannan. Ekonomi Islam. 1992. Jakarta: Intermasa
P3EI Yogyakarta dan BI. Ekonomi Islam. 2012. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai