Tiga Ciri Bahagia
Tiga Ciri Bahagia
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma
ba'du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi orang yang bahagia adalah cita-cita
setiap insan. Meskipun demikian banyak orang yang tidak mengetahui jalan dan kaidah
untuk meraih kebahagiaan. Bagi sebagian orang bahagia dimaknakan dalam bentuk
kemewahan dunia. Bagi sebagian lainnya, kebahagiaan diartikan dengan popularitas
dan ketinggian kedudukan di mata manusia.
Perbedaan sudut pandang itulah yang menggiring manusia untuk menempuh jalan yang
berbeda-beda dalam mencari kebahagiaan yang mereka sangka. Bagi mereka yang
memandang harta sebagai kunci bahagia maka mengejarnya dengan cara apapun adalah
jalan untuk menggapainya. Bagi mereka yang menilai bahwa kebahagiaan ada pada
kedudukan dan jabatan maka segala cara untuk mendapatkan tampuk kekuasaan dan
kepimpinan adalah jembatan menuju bahagia menurut mereka.
Bagi insan beriman, tentu saja kebahagiaan itu ada pada nilai-nilai ibadah dan
penghambaan kepada Allah ta'ala. Sebab Allah telah menjadikan kebahagiaan dan
ketentraman bagi orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah ta'ala juga menegaskan (yang artinya), Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang
akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.
(QS. Al-An'aam: 82)
Allah 'azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), Barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS. Thaha: 123)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Ibadah kepada Allah, ma'rifat, tauhid, dan
syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan
tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang
yang memang layak untuk mendapatkannya... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala atTafsir [5/97])
Tonggak-tonggak kebahagiaan itu berporos pada tiga perkara:
1. Bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya
2. Bersabar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa
3. Memohon ampunan dari dosa-dosa yang dilakukan
Sebelumnya patut untuk kita ketahui, bahwa pada dasarnya sabar itu mencakup sabar
ketika tertimpa musibah dan juga sabar ketika mendapatkan nikmat. Sabar ketika
mendapatkan nikmat maksudnya adalah tidak menggunakan nikmat itu kecuali dalam
ketaatan. Termasuk di dalamnya adalah sabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allah dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan nikmat tersebut. Inilah sabar
yang menjadi senjata untuk menangkal fitnah syahwat.
Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu'anhu berkata, Kami diuji dengan kesulitan maka
kami pun bisa bersabar, akan tetapi tatkala kami diuji dengan kesenangan maka kami
tidak bisa bersabar. (lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hal.
342)
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah
karena mendahulukan pemikiran di atas syari'at dan mengedepankan hawa nafsu di atas
akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan
sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa
ditepis dengan keyakinan [ilmu], sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan
kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam
agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), Dan Kami
menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami. (QS. asSajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan dicapai
kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya
(yang artinya), Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati
untuk menetapi kesabaran. (QS. al-'Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran
merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk
menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat... (lihat Ighatsat
al-Lahfan hal. 669)
Yang dimaksud sabar ketika tertimpa musibah adalah sebagaimana dikatakan oleh Abu
Ali ad-Daqqaq rahimahullah. Beliau berkata, Hakikat sabar adalah tidak memprotes
sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa
selama bukan untuk berkeluh-kesah (karena merasa tidak puas terhadap takdir, pent)
maka hal itu tidaklah meniadakan kesabaran. (lihat Syarh Muslim [3/7])
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Benar-benar Kami akan menguji kalian
dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan
sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.
Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, 'Sesungguhnya
kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya'. Mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka
itulah orang-orang yang diberikan petunjuk. (QS. al-Baqarah: 155-157)
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan
dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan
berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala sesuatu Maha
Mengetahui. (QS. at-Taghabun: 11).
'Alqomah berkata tentang maksud ayat ini, Dia adalah seorang yang tertimpa
musibah, maka dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun
merasa ridha dan pasrah. (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 345-346)
Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah
baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila
mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya.
Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya.
(HR. Muslim)
Pengaruh Sabar dan Syukur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab
seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan
kepadanya. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh
iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba
sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara,
ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah
dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan
syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan
bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih
memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan
pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat
baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali. (lihat adhDhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [1/145])
Istighfar dan Taubat
Allah taala berfirman (yang artinya), Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha pengampun
lagi Maha penyayang. (QS. Az-Zumar [39] : 53).
Allah taala berfirman (yang artinya), Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang rajin bertaubat dan (Allah) mencintai orang-orang yang suka membersihkan
diri. (QS. Al-Baqarah [2] : 222).
Allah taala berfirman (yang artinya), Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada
Allah dan meminta ampunan-Nya. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS. AlMaaidah [5] : 74).
Allah taala berfirman (yang artinya), Bertaubatlah kalian semua kepada Allah
wahai orang-orang yang beriman, agar kalian berbahagia. (QS. An-Nur [24] : 31).
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari tujuh puluh kali. (HR. Bukhari. Lihat
dalam Riyadhush Shalihin, hal. 49-50 tahqiq Syaikh Ali al-Halabi)
Dari al-Agharr bin Yasar al-Muzani radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah dan
mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari seratus kali.
(HR. Muslim. Lihat dalam Riyadhush Shalihin, hal. 50 tahqiq Syaikh Ali al-Halabi)
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah
tenggelamnya niscaya Allah akan menerima taubatnya. (HR. Muslim. Lihat dalam
Riyadhush Shalihin, hal. 50 tahqiq Syaikh Ali al-Halabi)
Dari Ibnu
bersabda,
berada di
Shalihin,
Abu Dzar radhiyallahu'anhu berkata, Tidakkah engkau melihat umat manusia, betapa
banyaknya mereka? Tidak ada yang baik diantara mereka kecuali orang yang bertakwa
atau orang yang bertaubat. (lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya',
hal. 225)
Masruq rahimahullah berkata, Semestinya seorang memiliki kesempatan-kesempatan
khusus untuk menyendiri lalu mengingat-ingat dosanya dan memohon ampunan kepada
Allah atasnya. (lihat Min A'lam as-Salaf [1/23])
Muhammad bin Wasi' rahimahullah mengatakan, Kalau seandainya dosa-dosa itu
mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk
bersamaku. (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 82)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,