Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

MANAJEMEN PERPAJAKAN

SINTA AYU LESTARI


B1C1 11 017

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HALU OLEO

TAX PLANNING
PPh PASAL 21/26
I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Pajak merupakan salah satu alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan Negara untuk mendapatkan penerimaan baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat ,guna membiayai pengeluaran rutin serta
pembangunan social dan ekonomi masyarakat.Pertimbangan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus
memperhatikan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan keabsahan
tersebut,perlu diperhatikan asas-asas atau prinsip pemungutan pajak yang baik dan benar .Meskipun asas atau prinsip
menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk menjalankan roda pemerintahan ,tetapi
hendaknya dalam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai
terlalu tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.Dengan demikian diperlukan adanya suatu
kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi produksi masyarakat ,kesempatan kerja dan inflasi,disamping itu juga
untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan tidak berhak dikenakan pajak guna mewujudkan kelangsungan dan
peningkatan pembangunan nasional
Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-langkah manajemen
perpajakan yang baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya sistemtis yang meliputi perencanaan.
Pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian dibidang

perpajakan untuk mencapai penemuan kewajiban

perpajakan yang minimum. Jadi manajemen perpajakan merupakan upaya untuk mengimpletasikan fungsi menajemen
agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
Sedangkan perencanaan perpajakan atau tax planning merupakan tahap awal untuk melakukan analisasi secara
sitematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan
minimum. Perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak, salah satunya dengan
merekayasa agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin, misalnya dengan memperbesar biaya-biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan (deduction) sehingga penghasilan kena pajak menurun atau memanfaatkan hal-hal yang
belum diatur dalam peraturan perpajakan namun tidak melanggar peraturan perpajakan yang ada. Tidak ada yang
salah dengan melakukan perencanaan unutk menghindari pajak asalkan menggunakan metode yang legal.

Untuk dapat melakukan penghematan terhadap pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dan
badan dapat dilakukan dengan perencanaan pajak pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan bagi
karyawan, salah satunya adalah pada pemberian penghasilan kepada karyawan. Ada tiga metode yang dapat
digunakan untuk melakukan pemungutan terhadap PPh Pasal 21 yaitu: Metode Net, Metode Gross, dan Metode Gross
Up.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi
subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan
dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak
Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), akan dikenai PPh Pasal 26.

1.2 MASALAH
1.Dari ketiga metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemungutan PPh 21 manakah metode yang baik?

II
PEMBAHASAN

2.1 REVIEW PPh PASAL 21


PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,upah,honorarium,tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi.Subjek pajak dalam negeri,sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

1.
1.
2.
3.
4.
a.

Pemotong PPh Pasal 21


Yang termasuk pemotong pajak PPh Pasal 21 adalah:
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang
Bendahara atau pemegang kas pemerintah
Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
Orang pribadi yang melakukan kegitan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk juga tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas

nama persekutuannya;
b.
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
c.
5.

dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri;
Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang
Penyelenggara kegiatan

Yang tidak termasuk sebagai pemeberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 a
1.
2.
3.

Kantor perwakilan negara asing


Organisasi-organisasi internasional yang telah diterapkan oleh Menteri Keuangan
Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
2. Dasar Hukum

Ada pun dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku umum tahun 2009 adalah:
1.

Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentangPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun Dan Tunjangan Hari Tua Atau
Jaminan Hari Tua

2.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah


beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan

3.

Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.


UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

4.

Umum dan Tata Cara Perpajakn (KUP).


UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan (PPh).
5. PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau biaya Biaya Pensiun yang
6.

Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.


PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan

7.

Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.


PMK. No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tetap Lainnya yang Tidak

Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.


8. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan
PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009.
9. PP No. 68 Tahun 2009 Pasal 4 tentang Tarif Pajak PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan
Sekaligus
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus.
11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
2.2 Review PPh 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
3. Subjek Potongan PPh Pasal 21/26
Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut subjek pemotongan adalah orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau
kegitan, yang meliputi:
1. Pegawai;
2. Penerima uang pesangon, pensuin atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
c.
d.
e.
f.

penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;


Olahragawan;
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk tekhnik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada

g.
h.
i.
j.
k.
l.
4.

suatu kepanitiaan;
Agen iklan;
Pengawas dan pengelola proyek;
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
Petugas penjaja barang dagangan;
Petugas dinas luar asuransi;
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya;
Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:


a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olehraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya;

b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;


c. Peserta atau keanggotaan dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. Peserta kegiatan lainnya.

4. Objek PPh Pasal 21


Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, adalah:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima
pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lein sejenis;
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan
imbalan sejenis dengan nama apa pun;
6. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang diberikan oleh:
a. bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

5.Non Objek PPh Pasal 21


Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPPh Pasal 21 adalah:
1. Pembayaran menfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan,
jiwa,dwiguna, dan asuransi beasiswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kecuali natura atau
kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan
PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
menteri keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima pelh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.
Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau
diperoleh WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam
negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, di
kecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan
istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau pengurus dari wajib pajak pemberi
beasiswa
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditangguang oleh pemberi kerja.
Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja adalah pajak terutang atas penghasilan
keryawan tetap yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi pemberi kerja, sehingga
termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian
tunjangan pajak.

2.2Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21


Dilihat dari siapa yang menenggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan PPh Pasal
21 dapat dipilih oleh Wajib Pajak, adalah:
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan
ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering
digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan
ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan

tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh
Pasal 21. Perhitungan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung
perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak termasuk
sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjangi)
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka
jumlah tunjangan tersebut akan menambah beban penghasilan keryawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam
hal ini perhitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan
jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.
Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena penghasilan
karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun beban perusahaan
tersebut akan tereleminasi, karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.
Di samping memberi tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang untuk masingmasing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang
besarnya berbeda dengan PPh terutang.
Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal 21, maka
kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya
ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses

2.3 Terapan Tax Planning Terkait dengan PPh Pasal 21


Klausal pajak dalam perjanjian/kontrak kerja
Dalam beberapa kasus timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal
26 yang dilakukan dari penghasilan orang pribadi penerima penghasialn, sewaktu dilaksanakan
pemotongannya pihak, yang dipotong pajak tidak menerima sehingga terjadinya dispate.
Secara normatif undang-undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek atau pemberi
kerja melaksanakan pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pembri
jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan pada saat perjanjian atau kontrak kerja
disepakati, masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati
sudah tidak dipotong pajak lagi (net)! Secara hukum, alasan pihak kontraktor memiliki justifikasi hukum yang
kuat, sehingga bila pada akhirnya pemilik proyek atau pemb pemilik proyek eri kerja harus menanggung

pajaknya, tentu ini menjadi tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi
pemilik proyek atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang signifikan yang akan mengerus keuntungan
perusahaan.
sebelum kontrak kerja ditandatangani harus pastikan:

Pembuatan kalusal pajak dalam peerjanjian atau kontrak kerja, yang


mensyaratkan pejak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar
harga pokok barang), yakni dikenakan dari nlai bruto kontrak, dan untuk PPh

Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.
Kalusal pajak eksplisit menyatakan siapa yang harus menaggung PPh Pasal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada
klausal tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat
pemeriksaan pajak,maka perusahaan akan dikenai kewajiban membeyar PPh Pasal 21yang terutang, ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2%sebulan dari pokok pajak.
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam perusahaan pemilik
proyek atau pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan atau logistik, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk
menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang terkait
harus mempertimbangkan aspek perpajakan atau klausal perjanjian atau kontrak kerja yang hendak dibuat seperti
beban pajak yang teruatang dan siapa yang akan menaggung pajaknya.
Pajak ditanggung pemberi kerja atau tunjangan pajak secara Gross-up?
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausal yang menyatakan bahwa nilai kontrak sudah net, tidak
termasuk pajak, atau pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja. Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara
hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pmebebanan biaya di PPh Badan.
Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung oleh
perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengkakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan
atau pemberi kerja tidak dapat dibayarkan di SPT PPh Badan (non-deductible expense)
Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan,maka penghitungan PPh harus
menggunakan metode gross up.PPh hasil penghitungan gross up tersebut dimasukkan ke dalam
nilai kontrak (termasuk invoice dan faktur pajak)atau menambah penghasilan dari pihak yang

memperoleh penghasilan.Dengan kata lain diberikan tunjangan pajak sebesar PPh yang
terutang

III
PENUTUP

3.1 .KESIMPULAN
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahan dimulai dengan strategi mengefisiensikan beban
pajak ( penghematan pajak ).Selain itu apa yang dilakukan perusahaan harus bersifat legal (tax avoidance ) supaya
terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari..Jadi metode yang baik bagi perusahaan untuk memugut PPh 21
menurut saya adalah Metode Gross Up karena dapat upaya penghematan pajak dalam mengefisiensikan beban
pajak terutang,penghasilan kena pajak yang lebih rendah,dan PPh badan yang lebih efisien.
Penggunaan metode gross up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan.Dengan
menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh
perusahaan.Dengan demikian karyawan merasa lebih diperhatikan.Meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan
akan meningkatkan produktivitas mereka.Semua metode ini diperbolehkan di Undang-Undang dan peraturan
perpajakan.Jadi tinggal pilih mau menggunakan metode mana yang paling efisien bagi perusahaan dan
menguntungkan karyawan

3.2 SARAN
Agar perencanaan pajak sesuai dengan yang diharapkan ,perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metodemetode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan,serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dapat
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai