MANAJEMEN PERPAJAKAN
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HALU OLEO
TAX PLANNING
PPh PASAL 21/26
I
PENDAHULUAN
perpajakan yang minimum. Jadi manajemen perpajakan merupakan upaya untuk mengimpletasikan fungsi menajemen
agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
Sedangkan perencanaan perpajakan atau tax planning merupakan tahap awal untuk melakukan analisasi secara
sitematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan
minimum. Perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak, salah satunya dengan
merekayasa agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin, misalnya dengan memperbesar biaya-biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan (deduction) sehingga penghasilan kena pajak menurun atau memanfaatkan hal-hal yang
belum diatur dalam peraturan perpajakan namun tidak melanggar peraturan perpajakan yang ada. Tidak ada yang
salah dengan melakukan perencanaan unutk menghindari pajak asalkan menggunakan metode yang legal.
Untuk dapat melakukan penghematan terhadap pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dan
badan dapat dilakukan dengan perencanaan pajak pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan bagi
karyawan, salah satunya adalah pada pemberian penghasilan kepada karyawan. Ada tiga metode yang dapat
digunakan untuk melakukan pemungutan terhadap PPh Pasal 21 yaitu: Metode Net, Metode Gross, dan Metode Gross
Up.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi
subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan
dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak
Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), akan dikenai PPh Pasal 26.
1.2 MASALAH
1.Dari ketiga metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemungutan PPh 21 manakah metode yang baik?
II
PEMBAHASAN
1.
1.
2.
3.
4.
a.
nama persekutuannya;
b.
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
c.
5.
dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri;
Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang
Penyelenggara kegiatan
Yang tidak termasuk sebagai pemeberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 a
1.
2.
3.
Ada pun dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku umum tahun 2009 adalah:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentangPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun Dan Tunjangan Hari Tua Atau
Jaminan Hari Tua
2.
3.
4.
Penghasilan (PPh).
5. PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau biaya Biaya Pensiun yang
6.
7.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
3. Subjek Potongan PPh Pasal 21/26
Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut subjek pemotongan adalah orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau
kegitan, yang meliputi:
1. Pegawai;
2. Penerima uang pesangon, pensuin atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
4.
suatu kepanitiaan;
Agen iklan;
Pengawas dan pengelola proyek;
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
Petugas penjaja barang dagangan;
Petugas dinas luar asuransi;
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya;
Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kecuali natura atau
kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan
PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
menteri keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima pelh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.
Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau
diperoleh WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam
negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, di
kecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan
istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau pengurus dari wajib pajak pemberi
beasiswa
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditangguang oleh pemberi kerja.
Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja adalah pajak terutang atas penghasilan
keryawan tetap yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi pemberi kerja, sehingga
termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian
tunjangan pajak.
tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh
Pasal 21. Perhitungan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung
perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak termasuk
sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjangi)
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka
jumlah tunjangan tersebut akan menambah beban penghasilan keryawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam
hal ini perhitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan
jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.
Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena penghasilan
karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun beban perusahaan
tersebut akan tereleminasi, karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.
Di samping memberi tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang untuk masingmasing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang
besarnya berbeda dengan PPh terutang.
Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal 21, maka
kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya
ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses
pajaknya, tentu ini menjadi tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi
pemilik proyek atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang signifikan yang akan mengerus keuntungan
perusahaan.
sebelum kontrak kerja ditandatangani harus pastikan:
Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.
Kalusal pajak eksplisit menyatakan siapa yang harus menaggung PPh Pasal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada
klausal tersebut.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat
pemeriksaan pajak,maka perusahaan akan dikenai kewajiban membeyar PPh Pasal 21yang terutang, ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2%sebulan dari pokok pajak.
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam perusahaan pemilik
proyek atau pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan atau logistik, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk
menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang terkait
harus mempertimbangkan aspek perpajakan atau klausal perjanjian atau kontrak kerja yang hendak dibuat seperti
beban pajak yang teruatang dan siapa yang akan menaggung pajaknya.
Pajak ditanggung pemberi kerja atau tunjangan pajak secara Gross-up?
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausal yang menyatakan bahwa nilai kontrak sudah net, tidak
termasuk pajak, atau pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja. Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara
hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pmebebanan biaya di PPh Badan.
Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung oleh
perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengkakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan
atau pemberi kerja tidak dapat dibayarkan di SPT PPh Badan (non-deductible expense)
Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan,maka penghitungan PPh harus
menggunakan metode gross up.PPh hasil penghitungan gross up tersebut dimasukkan ke dalam
nilai kontrak (termasuk invoice dan faktur pajak)atau menambah penghasilan dari pihak yang
memperoleh penghasilan.Dengan kata lain diberikan tunjangan pajak sebesar PPh yang
terutang
III
PENUTUP
3.1 .KESIMPULAN
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahan dimulai dengan strategi mengefisiensikan beban
pajak ( penghematan pajak ).Selain itu apa yang dilakukan perusahaan harus bersifat legal (tax avoidance ) supaya
terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari..Jadi metode yang baik bagi perusahaan untuk memugut PPh 21
menurut saya adalah Metode Gross Up karena dapat upaya penghematan pajak dalam mengefisiensikan beban
pajak terutang,penghasilan kena pajak yang lebih rendah,dan PPh badan yang lebih efisien.
Penggunaan metode gross up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan.Dengan
menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh
perusahaan.Dengan demikian karyawan merasa lebih diperhatikan.Meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan
akan meningkatkan produktivitas mereka.Semua metode ini diperbolehkan di Undang-Undang dan peraturan
perpajakan.Jadi tinggal pilih mau menggunakan metode mana yang paling efisien bagi perusahaan dan
menguntungkan karyawan
3.2 SARAN
Agar perencanaan pajak sesuai dengan yang diharapkan ,perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metodemetode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan,serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dapat
tercapai.