Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KERATITIS
Oleh:
Wiratmoko Radeta
205.121.0026
Pembimbing :
dr. Muhdahani, Sp. M
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat sebagai salah
satu tugas dalam menempuh Program Kepaniteraan Klinik.
Referat ini berisi tinjauan pustaka mengenai Keratitis. Penulis berharap laporan
kasus ini dapat berguna dan menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan ataupun kekeliruan. Karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun guna penyempurnaan laporan kasus ini
selanjutnya.
Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam pelaksanaan Program Kepaniteraan Klinik dan penyusunan referat
ini. Semoga bermanfat bagi semua pihak. Amin.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar
DAFTAR ISI..........................................................................................i
BAB 1 Pendahuluan................................................................................1
BAB 2 Status penderita...........................................................................2
BAB 3 Definisi oprasional......................................................................7
3.1 Anatomi dan Histologi..............................................................7
3.2 Fisiologi Kornea........................................................................9
3.3 Keratitis.....................................................................................9
3.4 Etiologi dan Faktor Pencetus.....................................................10
3.5 Tanda dan Gejala.......................................................................10
3.6 Kelasifikasi Keratitis.................................................................10
3.7 Patofisiologi Gejala...................................................................11
3.8 Diagnosa....................................................................................11
3.9 Terapi.........................................................................................13
BAB 4 Penutup........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PENDERITA
IDENTITAS
Nama
: Tn. Z
Umur
: 34 tahun
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
:-
Status Perkawinan
: Sudah menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Blitar
Suku
: Jawa
Tanggal Periksa
: 17 7 2012
ANAMNESIS
1.
2.
3.
ANAMNESIS SISTEM
1. Kulit
2.
: sakit kepala (-), pusing (-), rombut rontok (-), luka (-),
Kepala
benjolan (-)
3.
Mata
4.
Hidung
5.
Telinga
6.
Mulut
7.
Tenggorokan
8.
Pernafasan
9.
Kardiovaskuler
10.
Gastrointestinal
11.
Genitourinaria
12.
Neurologik
13.
Psikiatrik
14.
Muskolokeletal
15.
Ekstremitas atas
16.
Ekstremitas bawah : bengkak (-), sakit (-), telapak kaki pucat (-), kebiruan
(-), luka (-)
PEMERIKSAAN FISIK
1.
Keadaan umum
: kesan cukup
2.
Tanda vital
: Tidak dilakukan
3.
Kulit
4.
Kepala
5.
Mata
6.
Hidung
7.
Mulut
8.
Telinga
9.
Tenggorokan
10.
Leher
11.
Thorax
12. Abdomen
Inspeksi :perut tidak tampak besar, venektasi (-), massa (-), bekas jahitan (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tdk teraba, turgor baik, massa (-), asites (-)
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
Auskultasi : peristaltik (+) normal
13. System Collumna Vertebralis (tidak diperiksa) :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
13. Ekstremitas : palmar eritem (-)
Akral dingin
Oedem
fungsi motorik
5
Kekuatan
tonus
Ref.Fisiologis
Ref.Patologis
RESUME
Dari anamnesa didapatkan pasien datang dengan keluhan Pasien datang
dengan keluhan mata kanan terasa ngganjel, ada bintik putih di mata, 2 hari
yang lalu pasien mengatakan kalau matanya terkena abu pembakaran padi.
DIAGNOSA KERJA
Keratitis Numularis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Slit lamp
PENATALAKSANAAN
Antibiotik oral dan salf
BAB III
TINJAUANPUSTAKA
3.1 Anatomi dan Hitologi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 m m horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada s istem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, ko rnea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu or gan tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh b anyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar , saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam str oma kornea, menembus membran Bowman
melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis ep itel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Kr ause ditemukan pada daerah limbus
(Ilyas, 2005). Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk,
merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya,
merupakan lapis dari jaringa n yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas : 1. Epitel Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis
sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel
gepeng. Teba l lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan
kornea. Epit el dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media
penglihatan. Pada se l basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng,
sel basal berikat an erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melal ui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan
membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem
Keratitis
adalah
infeksi
pada
kornea
yang
biasanya
diklasifikasikan menurut lapi san kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis
apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau
pasien
penting
pada penyakit
juga dapat diindikasikan j ika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma
dengan jaringan atasnya tidak terlibat. Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat
dilakukan dengan bantuan Slit Lamp a tau mikroskop operasi. Setelah anestesi
topikal, gunakan sebuah pisau untuk meng ambil sepotong kecil jaringan stroma,
yang cukup besar untuk memungkinkan pembel ahan sehingga satu porsi dapat
dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histo patologi. Spesimen biopsi harus
disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
3.9 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat , yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi: 1. Belum diidentifikasi jenis jamur
penyebabnya. 2. Jamur berfilamen. 3. Ragi (yeast). 4. Golongan Actinomyces
yang sebenarnya bukan jamur sejati. Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B
1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), N atamycin > 10 mg/ml, golongan
Imidazole. Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%,
Natamycin 5% (o bat terpilih), econazole 1% (obat terpilih). Untuk golongan III :
Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrima zole 1%,
fluoconazol 2 % (Jack, 2009). Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai
jenis Antibiotik. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi
awal. Diberika n juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior
untuk menguran gi uveitis anterior. Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan
lamanya terapi; kriteria penyembuhan ant ara lain adalah adanya penumpulan
(blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ire guler pada tepi ulkus, menghilangnya
lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar
tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus.
Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi
tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan.
Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan ke sabaran, ketekunan dan ketelitian
dari kita semua (Grayson, 1983).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, da n jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya
yaitu k eratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan
obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivit
is menahun. Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sent ral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratiti s dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan. Manajemen yang tepat dapat
mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan memba tasi kerusakan kornea.
Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan terhadap
terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan pengli hatan ini dapat
dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan se cara dini dan
diobati secara memadai.
4.2 Saran
1. Dilakukan penelitian epidemiologi tentang penatalaksanaan secara empiris pada
kasus keratitis bakteri, virus dan jamur di Indonesia khususnya di tiap-tiap
daerah
2. Dilakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasila n
terapi keratitis bakteri, virus serta jamur
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, N.R., M. Srinivasan, J. Mascarenhas, et al. "The Steroid Controversy
in Bacterial Keratitis." Arch Ophthalmol. 127.9 Sept. 2009: 1231.
American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San Frans
isco 2007
American Academy of Ophthalmology Cornea/External Disease Panel, Preferred
Practice Patterns Committee. "Bacterial Keratitis." San Francisco:
American Academy of Ophthalmology (AAO), 2008.
Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper &
Row Publisher, 1987.
Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C . V.
Mosby Company, 1983.
Ilyas, Sidarta. 2000.Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakart a :52.
Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI J akarta.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media A
esculapius FKUI. Hal: 56
Morgan, P.B., N. Efron, N.A. Brennan, et al. "Risk Factors for the Development
of Corneal Infiltrative Events Associated With Contact Lens Wear."
Invest Ophthalmol Vis Sci. 46.9 Sept. 2005: 3136-3143.
Poggio, E.C., R.J. Glynn, and O.D. Schein. "The Incidence of Ulcerative
Keratitis Among Users of Daily-Wear and Extended-Wear Soft
Contact Lenses." N Engl J Med. 321.12 Sept. 21, 1989: 779-783.
Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious ker atitis.
INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56 9. Vaughan, Daniel.
Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medik a Jakarta,
2009