Anda di halaman 1dari 53

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA

Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
The Indonesian Association Againts Tuberculosis

DAFTAR ISI :

EVALUASI METODEFASTPlaqueTBTM UNTUKMENDETEKSI


Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI
BEBERAPAUNITPELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTAINDONESIA
HUBUNGAN
DUKUNGANSOSIALDENGANKUALITASHIDUPPADAPENDERITA
TUBERKULOSISPARU(TBPARU) DI BALAI
PENGOBATANPENYAKITPARU

(BP4) YOGYAKARTAUNITMINGGIRAN

RAPIDTBTEST

MEROKOKDAN TUBERKULOSIS

TUBERKULOSISDANHIV-AIDS

TUBERKULOSISNOSOKOMIAL

Vol. 8- Maret 2012


ISSN 1829 - 5118

JURNAL
TUBERKUL
OSIS
INDONESIA

Diterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum

Ketua Umum PP PPTI

Penanggung Jawab

Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP

Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat Redaksi

Pemimpin
Redaksi

Drs. Sumardi

Alamat
Sekretariat Redaksi
& Iklan

Jl. Sultan
Iskandar Muda No.
66A Kebayoran Lama
Utara, Jakarta 12240
Telp. 021 - 7397494

Fax. 021 - 7397494


http://www.ppti.info, email: ppti66@yahoo.com

Terbit pertama kali Agustus 2004

Petunjuk Untuk Penulis

Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Jurnal Tuberkulosis


Indonesia (JTI) dalam bahasa Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pedoman Umum
Naskah adalah karangan asli
Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam bentuk dan media/jurnal
apapun
Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis
Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan seluruh isinya tidak dapat
direproduksi kembali untuk publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi
Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan naskah, dalam bentuk
gaya, bentuk, tampilan, dan kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah
Redaksi berhak unt uk memint a penulis unt uk memperbaiki isi dan bentuk
tulisan
Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada penulis apabila ada
permintaan sebelumnya
Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang efektif dan efisien. Atau
dalam keadaan tertentu, naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan
ejaan yang standar

Naskah
Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak tepi- tepi kertas 2,5 cm dan
menggunakan ukuran kertas A4 (21x 30 cm)
Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket berupa copy file dari
naskah tersebut

Kelengkapan Naskah
Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Tuberkulosis Indonesia:
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Utara Jakarta 12240,
Telp. (021) 7397494, atau via email: jt i _indonesi a@yahoo.com

Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out) yang tersusun sesuai
urutan: 1) halaman judul, 2) abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris
termasuk key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) daftar pustaka,
7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi dan foto berikut keterangannya
Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan program MS-Word

Halaman Judul dan Penulis


Judul makalah dit ulis lengkap, dan t idak menggunakan singkatan
Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis
Nama departemen dan institusi
Alamat korespondensi penulis

Abstrak
Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara terstruktur yang memuat
inti pendahuluan; subjek dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak tidak
lebih dari 250 kata.

Tabel dan Gambar


Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah, dan telah disebutkan
letaknya dalam narasi naskah
Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel
Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai urutan alfabet berupa
catatan kaki di bawah tabel at au gambar.
Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara informative sehingga
mudah untuk dimengerti
Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan biaya reproduksi

Daftar Pustaka
Daft ar rujukan dibuat sesuai dengan ket ent uan Vancouver.
Daf t ar rujukan t idak lebih dari 25 buah, dan merupakan rujukan t erbaru
dalam sat u dekade terakhir.
Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam narasi naskah.
Nama jurnal disingkat sepert i tercant um dalam Index Medicus.
Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun belum diterbitkan dalam
satu jurnal ditulis sesuai aturan dan ditambahkan: In Press

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Contoh Penulisan Daftar Rujukan


1. Art ikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS, Tuberkulosis, Diagnosis,
Terapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO
Collaborating Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.
2. Organisasi sebagai penul is. Contoh: Bureau of Tu- berculosis Control. Clinical
policies and protocols. 3rd ed. New York, NY: New York City Department of
Health, 1999
3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South Africa (editorial). A Kalvin
1993; 74:5
4. Penuli s perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary pulmonary tuberculosis in
chilhood.; 2nd ed. California: Aicon Publishers; 1985
5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condi- tion of the Vaginal and
Urethra, te Lindes Opera- tive Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;
1995. p. 911-938

EDITORIAL

Sekali lagi tentang TB- MDR. Siapa yang


salah ?

Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu


menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini penderitaan yang harus saya jalani,
pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!

Begitulah keluhan yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis


sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti
tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga pasien harus
menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari
selama 6 bulan dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih
sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah konversi. Untuk menjamin ketaatan
minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum dihadapan
petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang
mampu atau bahkan sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien
dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga,
sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri
yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.

Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan wabah


TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg
resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi sumber
penularan t erus menerus, (3). Pasien dengan TB resist en obat yang tidak bisa
disembuhkan, akan meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat
meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang tidak adekuat mengakibatkan
penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya
resistensi primer maupun sekunder.

Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC)


standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat
pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten obat, dan
prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan
bahwa pasien gagal pengobat an dan kasus kronik selalu dipant au kemungkinan
terjadi resist ensi obat . Untuk pasien dengan kemungkinan resist ensi obat ,
biakan dan uji sensitiviti obat t erhadap isoniazid, rifampisin dan etambut ol
seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman
resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus
yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan
empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18
bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara
pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus
dilakukan.

Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam


melaksanakan Program TB Nasional tidak diragukan lagi. Puskesmas mempunyai
infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga angka putus
obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tet api jangkauan Puskesmas untuk
menjaring pasien TB terbatas, hanya sekitar 30 40%, selebihnya pasien TB
ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah swasta dan rumah sakit
pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat
yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi
hipotesis yang memprediksi bahwa kesalahan yang dapat berakibat timbulnya
wabah TB-MDR ada pada dokter praktek swasta dan unit kesehatan tersebut.

ii
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

Sungguh sangat
maka secara nasional
tersebut. Sehubungan
oleh dua mahasiswa

ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti,


harus diambil kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal
dengan hal tersebut, sangat menarik studi yang dilkukan
peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal

Afganistan yang berjudul Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB
Epiemics in Indonesia.

Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang
program TB Nasional, utamanya yang berhubungan dengan MDR- TB secara tidak
langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan pustaka yang
membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam
dengan tujuan agar diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque
adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk dkk. Penelitian lain tentang
Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya
dipaparkan dalam tulisan Nita Yuniarti R.

Ach
mad
Hud
oyo
Sp
P(K)

iii

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK


MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI
BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTAINDONESIA

Leli
Saptawati,dr.,
Sp.MK,
Mardiastuti,dr
.,M.Sc.,Sp.M
K(K),

Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K),
Cleopas Martin Rumende,dr.,DR.,Sp.PD KP.,FINASIM.,FCCP

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lamadikenal dan sampai
saat ini masih menjadi penyebab utamakematian di dunia.1 Prevalensi TBdi Indonesiadan
negara- negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun 2006, kasus baru di
Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada
dalamusia produktif (1555 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300
orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan
bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting
untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang
definitif.

Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosisTBadalah berdasarkan


pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan
hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur memiliki peran penting untuk
menegakkan diagnosis TBkarena mempunyai sensitivitasdan spesifisitasyang lebih baik
daripada pewarnaan t ahan asam.5 Kult ur Lowenst ein- Jensen (LJ) merupakan baku emas
metode identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitasdan spesifisitasmasingmasing 99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil kultur
cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7 Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang
bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5 Secara umum, metode penegakan

diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik
diagnosisbaru, yang dapat mendiagnosisTBdengan lebih cepat dan akurat.8

Amplifikasi
asam
nukleat
merupakan
teknik
identifikasi
cepat
Mycobacteriumtuberculosisyang telah banyakdigunakan di negara-negara maju beberapa tahun
terakhir ini. Sayangnya, secara t eknis met oda ini t idak mudah dikerjakan dan memerlukan
biaya yang cukup mahal.4 Metodadiagnosiscepat yang baru dikembangkan yaitu penggunaan
Mycobacteriophage. Mycobact eriophage akan menginfeksi Mycobact eri um tuberculosis
hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium

tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda, yaitu menggunakan


luciferase reporter phage (LRP) dan menggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM
(Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode cepat yang memiliki
prinsip kerja berdasarkan teknologi amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap
13 penelit ian phage based assay menunjukan bahwa nilai sensitivitas uji FASTPlaqueTBTM
masih memiliki rentang nilai sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 2194% dan rentang
nilai spesifisitasnya 83 100%.10 Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di
Indonesia untuk mengetahui efektivitasmetodeFASTPlaqueTBTM.

Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan akurat saat ini sangat diperlukan
untuk meningkatkan cakupan TB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk
menguj i met ode FASTPl aqueTBTM dal am mendet eksi Mycobacteriumtuberculosispada
sputum. Diharapkan metode ini dapat membantu penegakan diagnosisTByang cepat, akurat,
mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia.

METODEA

Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari 18 pasien yangberobat jalan di
poli paru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta,
satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta, 3 pasien yang berobat di
Puskesmas Menteng Jakarta dan 24 pasien yang berobat di Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang memenuhi
kriteria inklusi dan t elah menandatangani informed consent. Kriteria inklusi yang
digunakan adalah pasien usia e15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB paru
ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau lebih gejala sebagai berikut :
gangguan di saluran nafas (batuk e 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),
terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan).11 Pengambilan sputum dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum
dari masing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3

1
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

kali, yaitu sputum sewaktu-pagi-sewaktu.Perhitungan besar sampel menggunakan


rumus perkiraan perbedaan 2 proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukanselama2periode
yaitu bulan AprilJuli 2009 dan OktoberDesember 2010.

Pewarnaan
dengan metodeZNdilakukan sebelumdan sesudah dekontaminasi
sputum. Dekontaminasi dilakukan dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep) dan
disentrifus dengan kecepat an minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan
beberapa saat, kemudian supernatan dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml
FASTPlaqueTB (FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg
selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapasaat, kemudian supernatan dibuang
(sisakan sekitar 0,51 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM Plus.
Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan pembuatan preparat unt uk
pemeriksaan mikroskopis. Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril
yangsudah tersediadalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasi selama1824 jam.
Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan biakan padamediaLJdan Lowenstein JensenPnitrobenzoic acid (LJ-PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke dalam media LJ
dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di media LJ- PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir
pada tabung LJdan LJ-PNBdilonggarkan dan media diletakkan di dalam inkubator dengan

posisi miring 30 selama24 jam. Setelah itu tutupulir dirapatkan kembali dan tabung
diinkubasi pada posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16

Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjuk pada manual dari Biotec
Laboratories Ltd., Ipswich, UK . Padasetiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol
positif. Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah diinkubasi selama24
jampadasuhu 35-37C, kontrol negatif dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan
faga dan diinkubasi selama60 menit padasuhu 3537C.Setelah inkubasi, masing-masing
tabung ditambah 0,1 ml larutan virusid. Tabung didiamkan selama5 menit pada suhu ruang,
kemudianmasing-masingtabungditambah5ml
larutanFPTB
MediumTM
Plusuntuk
menetralisasi efek virusid.Selanjutnya ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah
itu ditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dan dituangkedalam petri steril.
Diamkan hinggaagar mengeras (sekitar 30 menit pada suhu 2025C). Petri kemudian
diinkubasi semalam pada suhu 3537C. Keesokan harinya petri diambil dari inkubator dan
dihitung jumlah plak yang terbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d 10 plak,
kontrol positif harus terbentuk e 20 plak. Pada petri spesimen, hasil dikatakan negatif
apabila ditemukan 019 plak dan dikatakan positif apabila terdapat e 20 plak.17

HASIL

Selama2 periodepengumpulan sampel diperoleh 95 dan 69 sampel sputum. Pada


periode I, 50 dari 95 sampel tidak dapat digunakan karena :
a. Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang diperiksa disertai perubahan
warna pada media LJ dari hijau menjadi biru atau coklat.
b. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14
sampel sputum.
c. Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji
TM
FASTPlaqueTB
d. Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan mengenai gejalaklinik.

Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampel tidak dapat digunakan
karena :
a. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8 sampel sputum.
b.Lima sampel mengalami kont aminasi pada uji
TM
FASTPlaqueTB
c. Duasampel
mengalami kontaminasi baik padakultur LJ maupun uji
FASTPlaqueTBTM
d. Duasampel mengalami perubahan warnapadamedia kul t ur LJ dan kont ami nasi
pada hasi l uj i FASTPlaqueTBTM.

Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164 sampel sputum,
sedangkan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 97 sampel.

Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa jumlah tersangka TB paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43 tahun
dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan 33 orang (33/46) berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjenis
kelamin perempuan.

Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM, 52 sampel tumbuh


Mycobacterium tuberculosis dan 38 sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel
NTM yang dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi posi t i f ol eh FASTPlaqueTBTM dan 5
sampel
terdeteksi
negatif.
Analisis
hanyadilakukanterhadap
kultur
Mycobacteriumtuberculosis dan kultur negatif.

Hasil pemeriksaan mikroskopis

Pada90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl
Neelsen. Hasil pewarnaan setelahprosesdekontaminasi menunjukkan bahwasebanyak 52
sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Hasil pemeriksaan kultur

Set el ah di l akukan pemeriksaan mi kroskopi s, selanjutnya sampel ditanam


pada media LJ dan LJ-PNB. Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam
anali si s lebi h lanj ut . Sebanyak 52 sampel (57,8%) menunjukkan hasil kultur LJpositif
dan 38 sampel (42,2%) menunjukkan hasil kultur negatif.

Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM

Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua spesimen juga diperiksa


dengan menggunakan metode FASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53
sampel (58,9%) menunjukkan hasi l posi t if dan 37 (41,1%) memberikan hasil negatif.
Analisisstatistik pewarnaan Zehl Neelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJsebagai
baku emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.

Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi dibandingkan dengan
Kultur LJ.

Ziehl Neelsen

Kultur LJ

Positif Negatif

P
N

Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK


(
(%)
%) (%) pos neg

(%)

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK
neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan Kultur LJ.

FASTPlaqueTB

Kultur LJ

Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK

Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen langsung dan uji


FASTPlaqueTBTM

Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan unt uk pelayanan sehari- hari laboratorium


di Indonesia adalah pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan panduan
DepkesRI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui kesesuaian hasil
antara pewarnaan langsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil padapewarnaan langsung
dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun 2006.18

Di antarasampel dengan hasil kultur positif (52 sampel), 8 sampel menunjukkan hasil
negatif pada pewarnaan langsung, 2 sampel menunjukkan 19 BTA/100 lapang pandang, 18
sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan hasil +2, dan 16 sampel
menunjukkan hasil +3 (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil
sebesar e90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur LJpositif dapat
diperoleh mulai dari hasil +1.

Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38 sampel), 33 sampel menunjukkan
hasil negatif padapewarnaan langsung, satu sampel menunjukkan 19 BTA/100 lapang
pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel menunjukkan hasil +2, dan tidak
adasampel yang menunjukkan hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa
kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur
LJnegatif diperoleh padapewarnaan langsung yang menunjukkan hasil negatif.

Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji

FASTPlaqueTBTM dan kultur LJ positif

Po
Ne

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP


; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos
; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio
kemungkinan negatif.

(%)

(%)

78,9

84,9

Tabel 3. Analisis statistik kombinasi


pemeriksaan Ziehl Neelsen setelah
dekontaminasi dan/atau
FASTPlaqueTBTM dibandingkan
dengan Kultur LJ.

Penaw
aran langsung

Negati

1-9
BTA/100

Kultur LJ

Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji

dekontaminasi

FASTPlaqueTBTM dan kultur LJ negatif

dan/atau
FASTPlaqueTB

Positif Negatif

U
ji
FASTPl
aqueTBTM

4 (50,0)
1 (50,0)
17
(94,4)
18
15

Kultur LJ
positif

4 (50,0)
1 (50,0)

1 (5,6)

0 (0,0)
1 (6,3)

ZN setelah

lapang
+1

U
ji
FASTP
laqueTBTM

Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK

(%)

P
N

(%)

(%)

(%)

pos

neg

71,0

81,0 90,0

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP


; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos
; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio
kemungkinan negatif.

aran
langsung

Negati

1-9
BTA/100

3
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

lapang

U
ji

U
ji

Penaw

FASTP
Positif
5
0 (0,0)

FASTPl
Negatif

1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)

27 (81,8)

1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)

PEMBAHASAN

Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 46 pasien baru, belum pernah
mendapat atau sedang dalam terapi OAT(obat antituberkulosis). Beberapapenelitian yang
dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol, Filipina dan Turki, menunjukkan
bahwa terapi OAT dapat menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.
Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di bawah 60%.10

33

Jurnal

Ku

ltur LJ
negatif

1 (100)

Dat a yang di perol eh pada penel i t i an i ni memperlihatkan bahwa responden t


erbanyak adalah kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang(12/45). Datatersebut sesuai dengan
laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555 tahun
).3 Data yang dikeluarkan oleh DepkesRI (2001) juga menunjukkan bahwa75% penderita
TBparu berada padakelompok usiaproduktif (1550 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi

yang rendah.18 Kondisi t ersebut t ent u saj a akan sangat berdampak pada perekonomian
keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosi al bahkan dikucilkan oleh masyarakat .20
Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyakdalampenelitianini berjeniskelamin lakilaki yaitu 33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB
memang cenderung lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara
lain disebabkan karenafaktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan
risikoinfeksi TBparu sebanyak 2,2 kali.21

Hasil
pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi
menunjukkan sebanyak 58% (52/90) sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai
dengan kenyat aan bahwa di perki rakan set engah hi ngga tigaperempat kasus TB aktif
menunjukkan BTA (+) dan sisanya BTA (- ). Hasil kultur juga menunjukkan data yang
sama,yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJpositif dan sisanya menunjukkan hasil
kultur negatif.4

FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metodediagnostik yang mudah dikerjakan dan


dapat memberikan hasil dalam waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ,
metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas 78,9%, Ni l ai duga posit i f dan
negat if met ode FASTPlaqueTBTM adal ah 85,0% dan 81,0%. Rasi o kemungkinan positif
dan negatif uji ini adalah 4,14 dan 0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian
ini sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta analisis t erhadap 13 penelit
ian. Penelit ian t ersebut

menyi mpulkan bahwa phage- based assays memi liki sensitivitasantara21


94%.Luasnyarentangnilai sensitivitas pada penelitian meta analisis tersebut,
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan, riwayat
terapi OATpada responden, perbandingan jumlah sampel BTA positif dan BTA
negatif pada seluruh sampel yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.Pada
meta analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan spesimen sputum
namun jugamenggunakan jenisspesimen lain.Selain itu,sebanyak 5penelitian
menyertakan responden yang sedang dalam terapi OAT.10

Apabiladilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis set el ah homogeni sasi


dekont ami nasi dan/at au FASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar
94,0%, spesifisitas71,0%, nilai dugapositif 81,0%, nilai duga negatif 90,0%, rasio
kemungkinan positif 3 dan rasio kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa
kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopisdan FASTPlaqueTBTM mampu meningkatkan
sensitivitas, namun tidak dapat meningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan oleh
Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi pemeri ksaan mi kroskopi s dan
FASTPlaqueTBTM memperlihatkan
nilai
sensitivitasnya
mencapai
90%
dan
spesifisitasnya93%.4

Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkan dengan kultur LJ, ditemukan 8
sampel yang menunjukkan hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTAnegatif dan 2
sampel menunjukkan hasil BTApositif). Dengan data tersebut dapat dilihat bahwa6 sampel
BTAnegatif terdeteksi positif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yang
menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya faga yang berada di luar sel,
karena proses destruksi faga oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya
faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga. Faga yang masih bertahan di luar sel
tesebut kemudian akan menginfeksi Mycobacteriumsmegmatisdanakanmembentuk plak
pada mediadan memungkinkan terjadinya hasil positif palsu.5 Interpretasi hasil uji
FASTPlaqueTBTM sangat bersifat subyektif dan memerlukan kehati-hatian, terutama dalam
membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini terkadang cukup menyulitkan,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yangdapat
menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu.

Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu pada uji FASTPlaqueTBTM
sebanyak 7 sampel. Empat sampel merupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA positif.
Hasil negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM dalam mendeteksi
keberadaan Mycobacterium sp pada sputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan
kemampuan infeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Prosesinfeksi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain struktur kimia dan
biologis sputum23 dan kemampuan replikasi pejamu.22

Salahsatu hal yangmenjadi perhatian padapenelitian ini adalah tingginya angka


kontaminasi pada hasil uji FASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yangdiperoleh padaperiode
ke-2, 34 di antaranya(34/69) mengalami kontaminasi pada media FASTPlaqueTBTM.
Duapuluh
lima
sampel
di
antaranya
mengalami
kontaminasi
berupageneralizedgrowthsehingga mediamenjadi keruh, dan 9 sampel mengalami
kontaminasi berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh permukaan
mediasehingga menyulitkan interpretasi hasil. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada
saat pengambilan dan pemeriksaan sampel atau karena prosesdekontaminasi kurang
adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi, pada penelitian ini dilakukan proses
dekontaminasi ulang padasampel yangterkontaminasi dan selanjutnyadilakukan uji
FASTPlaqueTBTM ulang.

Set elah dilakukan pengujian, diket ahui bahwa sebagian besar bakteri
kontaminan adalah batang positif Gram berspora (Bacillussp) diikuti oleh kokuspositif
Gram. Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram, di antaranya
Enterobacter aerogenesdan Pseudomonas sp. Dominasi Bacillusspsebagai bakteri
kontaminanmemperkuat dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan
pemrosesan spesimen.Penundaan pengiriman spesimen juga dapat meningkatkan risiko
terjadinyakontaminasi.

Pengulanganprosesdekontaminasi dapat menurunkan kontaminasi dari 49,3%


menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/ 69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002)
juga menunjukkan adanyakontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM sebesar 18,6%,
kontaminan terbesar adalah bakteri positif Gram khususnya Bacillus sp dan
Staphylococcussp. Untuk menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan
penisilin pada medium pert umbuhan FASTPlaqueTBTM. Penambahan penisilin t ersebut
mampu menurunkan kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi
sensitivitasdan
spesifisitasnya.SupayaFASTPlaqueTBTM
dapat
diaplikasikansecaraefektif,hal pentingyang harusdilakukan adalah pengendalian bakteri
kontaminan. Hal ini terutama perlu dilakukan di negara-negarasedangberkembang,terkait
dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak selalu dapat dilakukan dalam
kondisi ideal.4

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat dilihat bahwauji
FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitas yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih
rendah apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelsen set el ah
homogeni sasi dan dekont ami nasi . FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri
hidup

sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan ant ara bakt eri hidup dan
mat i.24 Hal tersebut dapat membantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasien
dengan kondisi klinismembaik namun hasil pewarnaan Ziehl Neelsen positif. Kombinasi
pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas.
FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudah dikerjakan.Selain itumetodeini
memberikan keamanan yang lebih baik bagi petugaslaboratorium karenamenggunakan
Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen. Replikasi fagajugaakan
menyebabkan lisisbakteri, sehingga bakteri tidak lagi bersifat infeksius.Hasilnyadapat
diperoleh dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan tersebut, uji
FASTPlaqueTBTM
memiliki
beberapakelemahan
antaralain
tidak
spesifik
untukMycobacterium tuberculosis, memiliki risiko kontaminasi yangtinggi,dan interpretasi
hasil dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam membedakan hasil negatif
dan positif lengkap.

Beberapakekurangan padapenelitian ini antaralain adalah sampel yang diuji belum


mampu mewakili seluruh strain Mycobacteriumtuberculosisdi Indonesia,karenahanya

diambil dari beberapatempat pelayanan kesehatan di Jakarta. Selain itu, penelitian ini tidak
melakukan identifikasi hingga spesiesbakteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBCSedunia 2007 .


www.depkes.go.id 2007.

2. Naning R. TuberculosisInfection in Infant and Children Who HaveContact with


PositiveSputumAdult Tuberculosis.htt p:/

/puspasca.ugm.ac.id. 2003.

3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari
TBSedunia: Lembar Fakta Tuberkulosis. www.t bcindonesia.or.id. 2008.
4. Muzaffar R, Batool S, AzisA, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of t he FASTPLAQUETB Assay
for Direct Det ect i on of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J Tuberc
Lung Dis. 2002; 6(7): 635- 40.

5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance


of a Rapid Phage-based test, FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary
Tuberculosisfrom Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6):
529 37.

6.

FarniaP, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J, Bahadori M et al.


Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosistreatment: a study with a simple
colorimetric assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972- 76.

5
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

7. Levi nson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,The


McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164.

8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.

www.f k.ui.ac.id 2008.

9.

Pai M, Kalant ri SP. Bact eriophage- based t est s for tuberculosis. Editorial. 2005;
23(3):149- 50.

10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL. Bact eri ophage- based t est
s f or t he det ect i on of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and metaanalysis. BMCInfect Dis, 2005; 5(59).

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis.Pedoman Diagnosis dan Pedoman


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan Mikroskopis Tuberkulosis.


Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13
14,17,21.

13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Harry PS. Perkiraan Besar
Sampel. Dalam : Sastroasmoro: Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis.Edisi ke-2.Jakarta

: CVSagung Seto, 2002. Hal. 273.

14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The Research Institute of
Tuberculosis. 2001: p.16-18.
15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa Mycobacterium culture
method modified for higher sensitivity employing concentrated samples. Tropical
Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.

16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple met hod t o dif ferent i at e
bet ween Mycobact erium tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly on
clinical specimens. Southeast Asian JTrop Med Public Health. 2007; 38(1): 111-4.

17. Bi ot ec Laborat ori es Lt d. FASTPlaqueTBTM a rapi d bacteriophaga assay for the


detection Mycobacterium tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available
from: www.biot ec.com.

18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor- faktor yang berhubungan dengan Kejadian
TB paru pada usia dewasa (Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit
paru pat i ). Undi p websi t e. 2006. Hal . 2. ht t p: / / eprint s.undip.ac.id/5283/.

19. Suharjana
BS,
Krist
iani,
Trisnantoro
L.
Pelaksanaan
Penemuan
PenderitaTuberkulosis di PuskesmasKabupaten Sleman.KMPKUniversitasGadjah
Mada. 2005. Hal. 5.ht t p:/

/ ww w.l r c- kmpk.ugm.ac.i d/ i d/ UP PDF/ _w or ki ng/ No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

20. DepkesRI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

2009. ht t p://www.t bindonesia.or.i d/pdf /BPN_2007.pdf

2009.
21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis(TB paru TBC). 2011.
htt p://www.kesmas.t k/2011/05/f akt or- f akt or- resiko- t uberkulosis- t b.ht ml.

22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14 Mycobacteriophagesin


Mycobacterium
ulceransand
seven
other
mycobacteria
including
Mycobacteriumtuberculosis

- application for identification and susceptibility testing. Journal of Medical Microbiology.


2006; 55(pt 1): 3742.

23. StellaEJ,DeLaIglesiaAI,Morbidoni HR.Mycobacteriophages asversatile toolsfor genetic


manipulation of mycobacteria and development of simple methods for diagnosis of
mycobacterial diseases. Revista ArgentinadeMicrobiologa. 2009; 41: 45- 55.

24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish alive and dead mycobacteria


by fluorescent staininga trial for solving the biohazard problem in TB laboratories.
Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIALDENGAN KUALITAS


HIDUPPADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)
DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU (BP4)
YOGYAKARTAUNIT MINGGIRAN

Nita Yunianti Ratnasari


AKPER Giri Satria Husada Wonogiri

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis(TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi


masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusiaatau sepertigapenduduk
dunia terinfeksi penyakit ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 jut a penderit a baru Tbdengan
kemat ian sebesar 3 jut a orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari
keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah
ditemukannyakuman penyebabTB. Kematian tersebut padaumumnyadisebabkan
karenatidak terdeteksinyakasus dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan
Tuberkulosis(P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasusdari tahun ketahun.
Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil
menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Masalah yang dijumpai adalah kesul i t an penemuan penderi t a TB paru BTA(+),
ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus TB yang tidak terobati tersebut
akan terus menjadi sumber penularan.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpabantuan


oranglain.Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan,
pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman,
perasaanreligiusitas), tidakmungkin terpenuhi tanpabantuan orang lain. Apalagi jikaorang

tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. Padasaat itu seseorang
akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehinggadirinya
merasadihargai, diperhatikan dan dicintai.

Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis seperti TBparu perlu mendapat
dukungan sosial lebih,karena dengan dukungan dari orang- orang tersebut secara tidak
langsung dapat menurunkan beban psikologissehubungan dengan penyakit yang
dideritanyayang pada akhirnyaakan meningkatkan ketahanan tubuh sehinggakondisi fisik
tidak

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita penyakit kronik sebab
dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa
cemas, tidak berdaya dan put us asa, yang pada akhi rnya dapat meningkatkan
status kesehatan. Meningkatnya st atus kesehat an berarti akan meningkat kan
kualitas hidup penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil
besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan
pemberian semangat terhadap penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO)
tersebut dapat
berasal
dari
petugas kesehatan, masyarakat
atau
keluargapenderita.

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi
pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara
berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronismulai
menggantikandominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih
lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga
kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomenadi masyarakat
sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan
seseorang yang disangka menderita TB paru, sehinggamuncul sikap berhati-hati
secaraberlebihan, misalnya mengasingkan penderit a, enggan mengajak berbicara, kalau
dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan
sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan,
sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial yangsangat dibutuhkan tidak
didapatkannyasecaraoptimal.

Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan status


kesehatan penderita serta pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita
penyakit kronis,makapeneliti merasatertarik untukmengkaji kedua hal tersebut. Balai
Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian
karena selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi

7
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan
berbagai penel i t i an yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit
Minggiran adalah pusat administrasi dan angka penemuan kasus baru penderita TB paru
di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada periode
Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%, penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan
di Minggiran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menget ahui hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup penderitaTBparu, karakteristik penderitaTBparu, besarnya
dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB paru yang berobat di BP4
Yogyakarta Unit Minggiran serta besarnyakontribusi karakteristik responden
terhadapkualitas hidup penderita TB paru.

METODE PENELITIAN

Penelitianini merupakan penelitian noneksperimental yang bersifat kuantitatif


dengan metode deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50
orangpenderitaTBparu
yangberobat
di
BP4
Unit
Minggiran
yangmemenuhi
kriteriayangditentukan yaitu : terdiagnosis medismenderitaTBparu BTA(+), telah melewati

faseintensif program pengobatan minimal 2 bulan dengan OATKategori I, penderita


usiaproduktif yaitu antara 1555 tahun, dapat membaca dan menulis. Data diambil dengan
pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April 2004.Data dianalisis
secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas
hidup pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment
Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah


penderitausiaproduktif, usiarata-rata 2130 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 3140
tahun dan usia 4150 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7 orang (14%). Jumlah
penderita laki-laki dan perempuan berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23
orang

(46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%) t amat SLTA, 14 orang


(28%) tamat SLTP, sedangkan responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak
tamat maupun tamat SD masing- masing 3 orang (6%). Pekerjaan responden mahasiswa
14 orang (28%), tidak bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat pengobat
an sebanyak 33 orang (66%) responden menyatakan tidak pernah mencari pengobatan
sebelumnya

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan pernahmenjalani


pengobatan lainsebelumdi BP4Minggiran.

2. Dukungan Sosial

Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang pemberi dukungan dan
kepuasan responden atasdukungan sosial t ersebut . Sebanyak 18 orang (36%) mendapat
dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedangdan rendah masingmasingsebanyak 22 orang(44%) dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para
penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga.

3. Kualitas Hidup

Penilaian terhadap kualitashidup meliputi 5 aspek yaitu : tingkat aktivitas,


kehidupan sehari-hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang
(68%) dapat beraktivitasnormal, 14 orang(28%) dalamberaktivitas perlu bantuan orang lain
dan 2 orang (4%) menyatakan tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat
melakukan kehidupan sehari- hari dengan normal, 9 orang (18%) dalam melakukan
kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak
mampu menjalani kehidupan sehari- hari sama sekali. Sebanyak 25 orang (50%)
merasasehat pada sebagian besar waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasalesu,
serta 4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa sakit.Sebagian besar
penderitaTBparu mendapat dukungan kuat dari keluargadan teman yaitu 43
orang(86%),penderita yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang
(12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang mendapat dukungan dari orang-orang
sekitarnya. Sebanyak 40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang (18%) merasa sedih
dan hanya 1 orang (2%) betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar
sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup baik, kualitashidup kategori sedang
sebesar 30% dan hanya ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.

4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup

Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct MomentPearson diperoleh


hubungan antaradukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r
sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa adahubungan yang sangat bermakna antara
dukungan sosial dengan kualitashidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial
yangditerima, makakualitashidupjugasemakin meningkat. Interpretasi kekuatan hubungan
termasuk kategori tinggi.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup

Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden (umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan
kualitashidup penderita TBparu. Didapatkan hasil analisis: variabel umur (r=0,468;
p<0,05), jenis kelamin (r=0,077; p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan
(r=0,141; p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari analisis tersebut diket
ahui bahwa variabel umur dan pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang,
masing- masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hal
ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan
kualitashidup.Sedangkan variabel lainnyayaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat
pengobatan tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitashidup.

Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitashidup


penderitaTBparu, didapat variabel umur (=0,519; p<0,05) dan pendidikan (=0,378;
p<0,05)
memberikan
kontribusi
bermaknaterhadapkualitas
hidup.Variabel
lainnyayaitujeniskelamin (=0,260; p=0,753), pekerjaan (=0,155; p=0,260) dan riwayat
pengobatan (= 6,25; p=0,417) t idak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup
penderita TB paru.

PEMBAHASAN

Frekuensi penderita TBparu yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4
Yogyakarta Unit Minggiran terbanyak adalah usiaproduktif, antara2130 tahun, sebesar
52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda, antara 1544
tahun. Sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75%
diantaranyaadalah usiaproduktif.

Jumlahpenderitalaki-laki lebihtinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini


sesuai dengan hasil penelitian tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa
yang menyat akan bahwa l aki - l aki mempunyai kecenderunganlebih rentan terhadap
faktor risiko TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak melakukan
aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.

Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA sebesar 46%. Diasumsikan


bahwaorang dengan pendidikan lebih t inggi akan sadar t ent ang perilaku sehat dan
pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan
pendidikan tinggi belum

tentu
individu
tersebut
mempunyai
kesadaran
lebih
baik tentang
penyakitnyadibanding merekayangberpendidikan lebih rendah. Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian Studi Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta
19961999 yang menyatakan bahwa rendahnya t i ngkat pendi di kan akan menyebabkan
rendahnya pengetahuan dalam hal menjagakebersihan dan kesehatan lingkungan yang
tercermin dari perilaku sebagian besar penderita yang masih membuang dahak serta
meludah sembarang tempat.

Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28%. Dari hasil


wawancara didapat bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari
luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat hunian (seperti
kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyat aan
mengenaibeberapahal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan TB paru
adalah terkait perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan
hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial. Rumah atau
ruangan yang terlalu padat penghuninya akan kekurangan O sehingga menyebabkan
menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya penularan penyakit.

Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66% penderita belum pernah mencari


pengobatan sebelumnya kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah
menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih memilih unt uk berobat di inst
ansi t ersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal ini
berkaitan erat
dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program
pengobatannyayaitu selama 6 bulan. Tingkat keberhasilan pengobatan TBparu sangat
dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yangdiberikan.
Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan
gratissehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar t erat ur
berobat sesuai dengan j adwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam
pelaksanaannya banyak penderit a yang t i dak t ekun menyel esai kan pengobatannya.

Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini diperoleh 44% dari
keseluruhan responden mendapatkan dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti
penderita TBparu yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup mendapatkan
dukungan sosial dari orang-orang di sekitar penderita. Dukungan sosial pentinguntuk
penderitapenyakit kroni s, sebab dengan dukungan t ersebut akan mempengaruhi perilaku
individu, seperti penurunan rasa

9
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnyadapat
meningkatkan statuskesehatan penderita.

Kualitas hidup penderita TBparu yang berobat jalan di BP4 Yogyakartaterkait


aktivitaspadasatu minggu terakhir t ergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderit a
menyatakanbahwamerekadapat
bekerjaatau
belajar
dengan
normal.Sebaliknya,
penderitayangmenyatakan tidak mampu bekerjaatau belajar dalam keadaan apapun
sebesar 4%. TB paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan
(anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri
otot, dan keringat malam) dan dapat menurunkan produktivitaskerjapenderita.

Kualitas hidup penderita TBparu yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait
kehidupan sehari- hari pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden
menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian sendiri, naik kendaraan umum
tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti
mengurusdiri sendiri sertadapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam
kualitashidup terkait kapasitas fungsional.

Kualitas hidup penderita TBparu yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait
kesehatan pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden
merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang merasatidak sehat sebanyak 4
orang (8%) lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.
Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam
dan berkeringat, hilangnya nafsu makan, napaspendek serta sering flu.

Kualitas hidup penderita TBparu yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait
dukungan dari keluarga dan t eman- t eman di peroleh sebanyak 43 orang (86%)
menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan memperoleh dukungan kuat
dari angggotakeluargaatau dari teman. Penderitayang kurang mendapat dukungan dari
keluargamaupun temannyalebih disebabkan karenapenyakit yang dideritanya. Mereka telah
menyadari bahwa TB paru mudah sekali menular, sehinggasebagian merasa lebih baik
mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana orang-orang sekitar penderita
sengaja membatasi kontak dengan penderit a, karena takut tertular. Sebaliknya,
dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu
proses penyembuhan penyakit TBparu.Misalnyaterkait dengan kepatuhan minum obat yang
berlangsung selama6 bulan. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar
dalammeningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam
minumobat sertaterkait pemberiansemangat padapenderita.

Harapan hidup penderitaTBparu yang berobat jalan di BP4 tergolong baik.


Sebanyak 40 orang (80%) penderita mempunyai harapan positif serta mampu
menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekit ar. Sebagian besar responden yang
mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwameski tergolongberat namun
penyakit TBparu dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah
ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang yang dipercaya baik oleh penderita sendiri
maupun oleh petugaskesehatan, yangakan ikut mengawasi pasien minum seluruh obat nya
diharapkan akan sangat membant u penderita untuk berperilaku positif sehingga
mendukung prosespenyembuhannya.

Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara
dukungan sosial dengan kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif
menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitashidupnya akan semakin
meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah
satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh
padastresyang dihadapi individu, dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi
self esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan jiwaseseorang.

Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai
sebesar (=0,519; p<0,05). Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya kualitashidup akan menurun
seiring dengan meningkatnya umur.

Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap
kualitashidup dengan nilai (=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisis
Kronikdi RSUP dr. Sardjito Yogyakartayang menyatakan bahwajeniskelamin ternyata tidak
berpengaruh terhadap kualitashidup penderitagagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani
hemodialisis kronik. Disebutkan pula bahwalaki-laki mempunyai kualitashidup lebih jelek
dibandingkan perempuan.

Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup


(=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi
sikapnyadalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikanakan bersifat
semakin memacu kearah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga
berpengaruh terhadap perawatan kesehatannya.

Hasil analisismultipel regresi antarapekerjaan dengan kualitas hidup penderita


diperoleh (=0,155; p=0,260).

10

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Dapat diartikan bahwapekerjaantidak memberikankontribusi t erhadap kualit as


hidup penderi t a TB paru. Hal ini dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden
dalam penelitian ini hanyadiambil secaradeskriptif. Lebih banyak 50% responden
adalah mahasiswadan sisanyamasih dibagi lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan
yang lain, sehingga jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak
mewakili profesi.

Pada penelit ian ini diketahui bahwa t idak ada hubungan antara riwayat
pengobatan dengan kualitashidup penderita TB paru, didapatkan nilai (=6,25, p=0,417).
Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan ketaatan berobat penderita,
sehubungan dengan program pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk
menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

KESIMPULAN

Adahubungan yangsangat bermaknaantaradukungan sosial dengan kualitas hidup


penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial makasemakin tinggi
kualitashidup.Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadapkualitashidup.Variabel lainnya, yaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat

pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitashidup penderita TB


paru.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta : Hal : 715
719. 1990.

Brehm, S., Kassin, S., Social Psycology. New Jerset : Houghton Mifflin.
Princetor. 1990.

BP4 Yogyakarta., Laporan Triwulan TB Paru. BP4 Unit Minggiran. Yogyakarta.


2003.

Cohen, S; Syme, S.L., Social Support and Health. London


: Academic Press Inc. 1985.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., Clinical Tuberculosis. 2nd Ed. London : The
Macmillan Press Ltd. 1999.

DepkesRI., Pedoman Nasional Penanggulangan TB.Cetakan ke-5. Jakarta. 2000.


DepkesRI., Pedoman Tuberkulosisdan Penanggulangannya.
Jakarta. 1994

Depkes RI., Pedoman Penyaj i t Tuberkul osi s dan Penanggulangannya. Ditjen


P2M & PLP. DepkesRI, Jakarta. 1999.

Faisal,
A.,
Penampilan
Kelainan
Radiologik
Pada
Koch
PulmonumOrangDewasa.MajalahRadiologi IndonesiaTahun ke-2, No 2 : 3135. 1991.

Gitawati, R., Sukasediati, N., Studi KasusHasil Pengobatan TBParu di 10


Puskesmasdi DKI Jakarta1996 1999.Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 1720. 2002.

Hamdani, F., Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Berobat Penderita


KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito. KTI FK UGM. Yogyakarta. 1994.

Handayani, S., Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB Paru. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 137 : 33 36. 2002.

Kuntjoro, Z.S., Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5 Oktober 2003: Available
from : ht t p://www.e- psikologi.com/ lain-lain/zainuddin.htm.2002

Mansjoer, A., Wardhani,W.I., Setiowulan, W., KapitaSelekta Kedokteran. Ed. 3.


Cet. 1. Jakarta: MediaAesculapius. 1999.

Notoatmodjo, S., Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Rineka Cipta : Jakarta. 1996.
Sugiyono., Statistik untuk Penelitian. Bandung : CV. Alfabeta. 1999.

Smeltzer, Suzanne C., Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth / editor. Ed 8. Vol 1. Jakarta : EGC. 2001.

Siswanto,A., KualitasHidupPenderitaGagal Ginjal Terminal Yang Menjalani


Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Tinjauan Pustaka dan
Laporan Penelitian. FK UGM Yogyakarta. 1992.

Subowo, D., KualitasHidup Penderita DermatitisKontak di RSUD Sragen, Jawa


Tengah. Tesis Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. 2001.

Priambodo, R., Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita TuberkulosisParu dengan


Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) di RSUPDr. Sardjito Tahun 1991
1996. KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.

Prasetyo, I.E., Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Terminal
dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta. KTI FKL UGM. 2003.

WHO. TuberculosisControl. New Delhi, WHORegional For South East Asia. 1993.


Woerjandari, A., Manajemen Pengobat an Penderit a Tuberkulosis Paru Dengan
Sistem DOTS Di Puskesmas dan BP4 Kota Yogyakarta. Tesis Program Pasca Sarjana
UGM. Yogyakarta. 2001.

11
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

RAPID TB TEST

Apri Lyanda

Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Persahabatan,
Jakarta
PENDAHULUAN

Indonesi a merupakan negara dengan pasi en tuberkulosis(TB) terbanyak ke-3 di


dunia setelah India dan Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien
TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga(SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan penyebabpertamadari
golonganpenyakit infeksi. Hasil survei prevalens TBtahun 2004 menunjukkan angka
prevalens TB BTAposi t i f secara nasi onal 110/100.000 penduduk. Berdasarkan datadi
atasTBmasih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.1

DiagnosisTBparu
yangdigunakansaat ini secararutin dilaboratorium termasuk
rumah sakit dan puskesmasadalah diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis
bakteri tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi
diagnosis,teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain
memerlukan waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh hasil juga diperlukan
fasilitas laboratorium khusus untuk kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin
keamanannya. Teknik mikroskopisBTAdapat dilakukan dalam waktu relatif cepat tetapi
sensitivitasdan spesifitasteknik ini lebih rendah dibanding dengan teknik kultur.2

DiagnosisTBparu ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis,


gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan
mikrobiologis yaitu identifikasi mikroorganismedalamsekret atau jaringan pasien
merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB, meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan
mempunyai keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop memerlukan
kuranglebih 5000kuman/ml sputumsedangkan untuk mendapat kan kuman positif pada
biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50100 kuman/ml sputum.1,2
Pulasan BTA sput um mempunyai sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang
memberikan kepositifan 10% padapasien dengan gambaran klinis TB parudan 40%
penyandang TB paru dewasa

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil kultur memerlukan waktu


tidak kurang dan 68 minggu dengan angka sensitivitas 18 30%. Foto polos toraks
memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada negara berkembang.2,3 Bila
terdapat gambaran infiltrat di lobus atas dan kavit as pada fot o polos t oraks, maka
kemungkinan TB paru 8085%.4 Oleh karena terdapat beberapa kekurangan dan
membutuhkan
waktu
yang
lama
dalammenentukan
diagnosispasti
TBparu,
makadibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitasdan spesifitasyang
tinggi untuk memperbaiki metodadiagnostik yang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB

Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di Mesir


menemukan sisa tulang belakangmanusiadengan tandaspondylitistuberculosadari tahun
3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit yang sama. Hippocrates
berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan.Galenusdokter di zaman Romawi

berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut
berbagai ahli kedokteran. Villamin (1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB
adalah penyakit menular t et api penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada t
anggal 24 Maret 1882 menemukan basil TBdan semuapihak menerima TBadalah penyakit
menular. Laennec t ahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani
hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum penemuan Robert Koch.
Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan sinar-Xsehingga makin melengkapi diagnosis
TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis lain TB dengan uji tuberkulin.
Penemuan Von Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan
kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke-20
semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga
sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih ditekankan untuk diagnosis
yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenagaahli lain.

12

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS

DiagnosiscepatTB(rapid diagnosisTB)adalah diagnosis cepat M.tb kurang dari 1


jam. Diagnosis laboratoriumTB secaratradisional didasarkan padaapusan mikroskopis,
kultur dan ident ifikasi fenot ipe. Meskipunmetoda t ercepat , termudah dan termurah
yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (4580%
kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutamadi daerah dengan insidensTB
rendah dan pada bent uk ekst rapul moner TB sert a pada pasi en t eri nf eksi
HIV.5,6Pemeriksaan apusmemiliki spesifisitasyangbaiktetapi nilai prediktif positif yang
rendah (580%) didaerah dengan insidenstinggi M. non- TB.4,6,7Teknik kultur masih
dianggap sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas lebih baik dibanding
pemeriksaan BTA.

Pert umbuhan lambat bakt eri M.t b merupakan hambatan besar untuk
diagnosiscepat penyakit. Duadekade terakhir telah terdapat perkembanganmetodakultur
melalui penggunaan media baru dan sistem otomatisseperti Bactec 460TBbuatan pabrik
Becton Dickinson Diagnostics, Sparks Amerika, MB/BacT ALERTdi buat ol eh bi oMri
eux, MarcylEtoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton Dickinson
DiagnosticsdanVersaTREKproduksi TrekDiagnostic System, Westlake, Amerika.Semua
pemeriksaan tersebut masih membut uhkan waktu beberapa minggu unt uk mendapatkan
konfirmasi laboratorium final dan bahkan waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi
fenotipe kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat iniuntuk diagnosis cepat
TB aktif dengan teknik terbaik sepertigenotipeatau molekuler.7,8 Beberapametodadiagnosis
cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini. Contoh uji kultur dapat dilihat pada
gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.

Dikutip dari (2)

Metoda kromatografi

Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan deteksi asam tuberkulostearat


(TBSA), baik sendiri maupun dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel
mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif telah dikembangkan, salah satu
yang paling menarik adalah fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11

Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb dan


deteksinyamemerlukan
diagnosisbanding
antaraspesies
Mycobacterium,Nocardiadanbasil gram(+) lainnyayangjuga memiliki asamdan
jenislipidyangsama. Diantarakomponen- komponen ini, asam heksakosanoat dalam
kombinasi dengan TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11
Meskipunmetodakromatografi
dapat
memiliki
manfaat untuk
identifikasi
mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan antigen MPT64, namun metoda ini
tidak mewakili altenatif bermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik

Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan afinitasspesifik terhadap


mikobakteriumtelah bermunculan untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe
bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat pentingdalam manipulasi
genetik mikobakterium. Manfaat klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan
bakteriofagyangdikembangkan,bernamaLuciferaseReporter Phage Assay (LRP)dan Phage
Amplified Assay (PhaB). Perbedaan terpent ing antara ke- 2 metoda ini adalah mengenai
deteksi sel mikobakt erium yang t erinfeksi bakteriofag. Luciferase Reporter PhageAssay
mendasarkan pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux) yang dimasukkan
kedalam genom bakteriofag. Sedangkan PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang
rentan setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada

M. smegmatis.13-15

Luciferase Reporter Phage Assay telah t erbukti bermanfaat untuk membedakan


M. t bdari kultur dan terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan
rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan dengan nama dagang
FASTPlaque- TB, digunakanuntuk mendiagnosisTBpadasediaaansaluran pernapasan
jugatelah diteliti untuk uji sensitifitasterhadapantimikrobaM.tb.Teknik ini secara umum cepat
dan sederhana, membutuhkan sedikit latihan dan tidakmahal. Metodaini menunjukkan
spesifisitas yang baik tapi kurangsensitifit. Karenahal itu,aplikasi rutin metoda ini sedikit
terhambat dan masih dalam observasi mengenai manfaat dalamdiagnosisTBatau deteksi
resistensi obat antituberkulosis (OAT).14-16

Metoda Genotipe

Berbagai teknik molekuler aplikasinyasaat ini tersedia untuk diagnosis mikrobiologi


infeksi micobakt erium.16 PenandaDNAmerupakan inovasi pertama dalam diagnosis
molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis

M. tbdan mutasi spesifikyangberhubungan dengan resistensi

yangmembutuhkan dasar amplifikasi sekuensspesifik asam

13
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa keunt ungan sepert i wakt u
kembali yang cepat dan kemungkinan untuk automatisasi. Beberapakerugian mucul saat
pengaplikasian metodaini secaralangsung padasediaan klinis,yaitu masalahdengan
inhibitor,sensitifitaspadasampel apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18

Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas dan bukti kuat tetapi
implementasinyabelum tercapai. Hal ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat
luas dan kurangnyastandarisasi antarapenelitian satu dengan lainnya menggunakan kultur
sebagai baku emasyang secarateoritis memiliki sensitifitasyangrendah dibandingkan uji
amplifikasi NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada kebanyakan penelitian
telah mengakibatkan beberapa kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan
menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan terbaru tentang penggunaan uji
NAA untuk mendiagnosa tuberkulosismenyatakan bahwa:
a) metodaini dapat secaracepat mendeteksi keberadaan
M.tb pada 5085% sediaaan BTA apus negatif dan kultur positif
b) nilai prediktif positif padaspesimen BTAapuspositif
lebih tinggi (>95%)
c) secara umum, met oda mol ekul er i ni dapat mendiagnosisTB beberapa minggu
lebi h awal dibandingkan kultur pada 8090% pasien dengan kecurigaan TB yang
tinggi.19,20
Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non komersial dengan pemeriksaan
ekstraksi asam nukleat dan amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai
target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16SrDNA atau MBP64. Meskipun uji
amplifikasi non- komersial telah berkembang pada beberapa t ahun t erakhi r yang

direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang memiliki level standarisasi dan
reprodusibilitas yang lebih baik.20Semua met oda NAA membut uhkan anal i si s
postamplifikasi yanglebihjauhdengan observasi elektroforesis fragmen teramplifikasi atau
hibridisasi, rest riksi at au sekuensing.18,20Unt uk diagnosis TBmetoda yang paling
berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan padauji

hibridisasi(Tabel 1).

Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase Chain Reaction (PCR)

Uji amplifikasiM. tbbuatan RocheDiagnostic System Inc., Basel Swiss adalah salah
satu alat uji diagnosis cepat tertuaberdasarkan PCRstandar. Uji ini adalah uji DNAyang
mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA16Sdilanjutkan dengan hibridisasi dan deteksi
kolorimetrik.Metodaini dapat

diautomatisasi dan disetujui padatahun 1996 oleh USFood and Drug


Administration (FDA) untuk digunakan pada sediaanapus saluran pernapasan yang
memiliki BTA(+).21 Berbagai studi telah melaporkan sensitifitasyang tinggi pada
spesimenapussaluran pernapasan positif (87100%), lebih rendah pada kasus apus negatif
(4073%) dan sampel ekstrapulmoner (2798%). Spesifisitas metoda ini berkisar
antara91100%.20,21

Uji

Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi

Metoda
amplika

arget

Deteksi

Vol
samp

Wakt
u

P
I
r
2
1
r
I
1
1

Automati IAC
s

Dikutip dari (20)

Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA)

AmplifikasiM.tbuji
langung buatan pabrikGen-Probe Inc., San Diego
Amerikamerupakan alat TMAmenggunakan met oda isot hermal cepat dengan suhu
420Cdengan amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar transkriptase
terbalik
digunakan
untuk
menyalin
rRNA
menjadi
hibrid
cDNARNAsertametodachemiluminiscent untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda
DNA spesifik.Amplifikasi M.TBuji langungmerupakan uji pertama yang disetujui FDApada
tahun 1995, untuk sediaansaluran pernapasanapuspositif dan tahun2000 dengan
rekomendasi FDAdiperluashinggasampel apusnegatif.21 Saat ini terdapat bukti bahwa AMTD
menunjukkan spesifisitas tinggi (95 100%) dan sensitifitastinggi (91100%) untuk sampel
apus saluran napaspositif, meskipun sensitifitasini lebih rendah untuk sampel apus negatif
(6593%) dan ekstrapulmoner (63100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya
kontrol amplifikasi int ernal (AIC) dan tidak t erdapat kemungkinan otomatisasi.20,21

Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR)

Ligase chain reaction merupakan metodaamplifikasi DNAsemiotomatisuntuk


deteksi langsung M.TBdari sampel klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b
M. tb. Meskipun spesifisitas (90100%) dan sensitifitas (65 90%) yang baik dilaporkan
padabeberapa penelitian sampel pernapasan,produk ini ditarik dari pasaran
Eropapadatahun

2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena ongkosproduksi


pembuatan yang meningkat menyebabkan

14

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8


hargaalat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di produksi oleh Abbot
laboratorium, Chicago Amerika.

Strand Displacement Amplification (SDA)

Diperkenalkan padatahun1998 sebagai suatu teknik semiotomatisdalam deteksi


M.tbpadasampel saluran napas. Metodaini merupakanprosesamplifikasi enzimatikisotermal
menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa salinan urutan target IS6110 dan
gen rRNA16Syang produk amplifikasinyaterdeteksi dengan metodafluorosen. Evaluasi
pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90 100% pada sampel apus positif
dan 3085% pada sampel apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90100%).20 Alat uji ini
diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.

Uji Hibridisasi Fase Padat / solid- phase hybridization

Dikutip dari (21

Metoda baru lainnya

Gambar 2.
Al at
di agnosi s
cepat genexpert

assay
Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji

Loop mediated isothermal amplification (LAMP) buatan Eiken Chemical Co.


Jepang dan FIND Diagnostics,

hibridasi fasepadat yaitu Innogenetics,Gent Belgiadan Hain Lifescience, Nehren


Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat
untuk mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain dapat mendeteksi
kuman M. tbdapat juga mendeteksi MycobacteriumOthersThan Tuberculosis(MOTT)
antaralain M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense. 21

Real Time PolymeraseChain Reaction(RT- PCR)

Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan berbagai target DNAdan deteksi
fluorimetrik.Uji ini memiliki sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan
masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini dikarenakan prosessetelah
ekstraksi DNAterjadi padatabung tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR
sudah banyak memproduksi seperti CobasTaqMan MTBtest buatan Roche Diagnostic
System dengan sensitifitas dan spesifisitasumum yangtinggi,terutamapadasampel saluran
napas. Diant ara berbagai al at yang t elah diprodusi menggunakan t eknik ini,
GeneXpert buatan Cepheid, SunnyvaleAmerikadan FINDDiagnostics, JenewaSwissbaru
saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT- PCR semi kuantitatif yang
mengintegrasikan dan mengotomatisasi pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam
catridge sekali pakai. Waktu hinggadidapatkannyahasil kurang dari 2 jam dan
hanyapelatihan minimal yang dibutuhkan untuk menggunakan uji ini. Penelitian
pendahuluan menyatakan sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran
pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh, WHO telah mendukung
penggunaan sistem ini sebagai uji diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan
pasien dengan kecurigaan klinistinggi memiliki TBatau seseorang dengan multidrug
resistant (MDR) TB(Gambar 2).21

Genewa,Swissadalahteknik amplifikasi isotermal yangrelatif baru.21 Uji LAMP dapat


mensintesis sejumlah besar target DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan
produk amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditasatau kolorimet rik dan
fluorimet rik. Meskipun memiliki keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal
memberikan hasil yangmenjanjikan dan uji ini memiliki keuntungancepat hanyadalam
waktu 2 jamdan relatif tidak mahal yangdapat bermanfaat pada kondisi terbatasnyasumber
daya.20,21

Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan saluran napas adalah
GenoQuick MTB test buatan Hain Lifescience yang didasarkan pada PCR dan
hibridisasi lanjutan.21

Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB

Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan dengan pemeriksaan yang rutin
dilakukan sekarang terlihat lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb
jikadihitunglebihmendalamakan terlihat bahwamempunyai banyak keunt ungan dan hasil
akhirnya lebih murah. Penelit ian yang dilakukan WHO di beberapa negara
berkembangmempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih banyak biaya dan waktu
dibanding caralama.20,21 Sosialisasi pembiayaan yang lebih murah ini terusdilakukan oleh
WHO unt uk memcepat diagnosis M.t b maupun MDR- TB. Pembelianawal alat uji
merupakanbiayatermahal yangharus dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert
dengan metoda PCR-RTdibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21 Perbandingan
biayapemeriksaan dengan beberapametoda dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

15
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB

Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: ASM Press; 2007. p. 54372.

Metoda Uji

Biaya

Kesimpulan

Uji resisten

Uji resisten

Vincent V, Gutirrez MC. Mycobacterium: Laboratory characteristics of slowly


growing mycobacteria. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA,
editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: American Society for
Microbiology; 2007. p. 573- 88.

Sal f i nger M, Pf yf f er GE. The new diagnost i c mycobacteriology laboratory. Eur


JClinMicrobiol Infect Dis. 1994;13:961-79.

Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB. Identification of
Mycobacterium tuberculosis and M. aviumcomplex directly from smear-positive
sputum
specimensandBACTEC12Bculturesby
high-performance
liquid
chromatography with fluorescencedetection and comput er- dri ven pat t ern
recogni t ion model s. J

$)

MOD
MGIT
BACT
LJ
Micro
MAB
PCR-

BTA
sputum
Dikuti

(US

0,7
7,0

1,7
35,0

2,5
0,1
0,2
1,2

0,9
0,1

obat

12,7
1,6
1,6
5,6

4
6.
obat

1,80
63,03
23,00
1,57
2,92
7.

6,87

8.

1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman

M.tb kurang dari 1 jam


2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan bermacam metoda

3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya dantidakperlu tenagaahli


karenadapat dikerjakansecara automatisasi
4. Diagnosiscepat M.tbyangterbaik dan direkomendasikan WHO adalah PCR-RT

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional: penanggulangan


tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8- 14.
2. Young DB, PerkinsMD, Duncan K, CEBarry. Confronting thescientific obstaclesto
global control of tuberculosis. J Clin Invest. 2008;118:1255- 65.
3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce deLen A, Daley CL, et al.
Transmission of Mycobacterium tuberculosisfrom patientssmear-negativefor acid-fast
bacilli. Lancet. 1999;353:444-9.
4. American Thoracic Society; Centersfor Disease Control and Prevention; Council of
theInfectiousDiseaseSociety of America. Diagnostic standards and classification of
tuberculosisin adultsand children. Am JRespirCrit Care Med. 2000;161:1376- 95.
5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics, laboratory detection, and
stainingprocedures. In: Murray PR,BaronEJ, Jorgensen JH,Landry ML,Pfaller
MA,editors.

ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7.
9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis of fatty acids in sputum from
patients with pulmonary t ubercul osi s usi ng gas chromat ography- mass
spectrometry preceded by solid-phase microextraction and postderivatization on the
fiber. J Chromatogr A. 2009;1216:1450- 7.
10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method for the identification of
Mycobacterium tuberculosisin sputum and cult ures based on t hermally assisted
hydrol ysi s and met hylat i on f ol l owed by gas chromatography-mass
spectrometry. J Chromatogr A. 2009;1216:6319- 25.
11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH, et al. Evaluation of an
immunochromatographic assay kit for rapid identification of Mycobacterium
tuberculosis complex inclinical isolates.JClinMicrobiol.2009;47:481-4.
12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G, SosneG, et al. Rapid
assessment of drug susceptibilities of Mycobacterium tuberculosis by means of
luciferase reporter phages. Science. 1993;260:819- 22.
13. Alcaide F, Gal N, Domnguez J, Berlanga P, Blanco S, Orus P, et al. Usefulness of
a new mycobacteriophage- based technique for rapid diagnosis of pulmonary
tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867- 71.

16

14. Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A. Bact eriophage- based t est
s for t he det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis. 2005;5:59.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

15. Gal N, Domnguez J,


Blanco S, Prat C, Alcaide F,
Coll P, et al. Use of
amycobacteriophage-based
assay for rapid assessment
of suscept ibilit ies of
Mycobact
erium
tuberculosis isolates to
isoniazid and influence of
resistance level on assay

performance.
J
ClinMicrobiol. 2006;44:2015.
16.
McNerney
R,
Kambashi BS, Kinkese J,
Tembwe
R,
GodfreyFaussett P. Development
of a bacteriophage phage
replication
assay
for
diagnosis of pulmonary
tuberculosis.
JClinMicrobiol.
2004;42:2115- 20.
17. AlcaideF. New methodsfor
mycobacteriaidentification.
EnfermInfeccMicrobiolClin.
2006;24Suppl 1:53-7.
18.Domnguez J, Blanco S,
Lacota A, Garca-Sierra N, Prat
C, Ausina V. Ut il it y of molecul ar bi ology in t he
microbiological diagnosis of
mycobacterial infections.
EnfermInfectMicrobiolClin.
2008;26Suppl 9:33-41.
19. Palomino
JC.
Nonconventional and new
methodsin the diagnosisof
tuberculosis: feasibility and
applicability in the field.
EurRespir. 2005;26:339- 50.
20. DinnesJ, DeeksJ, Kunst H,
Gibson
A,
CumminsE,
Waugh N, et
al. A
systematic review of rapid
diagnostic
tests
for
thedetectionof
tuberculosisinfection.
Health Technol Assess.
2007;11:1- 96.

21. PolominoJC.
Molecular
detection,identification
anddrug
resistance
detection in Mycobacterium
tuberculosis.
J
Med
Microbiol. 2009;56:103- 11.

17
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

Agung Ari Wijaya

Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Persahabatan,
Jakarta
PENDAHULUAN

Merokok dan t uberkulosis(TB) merupakan dua masalah besar kesehatan di


dunia,walaupun TBlebih banyak ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS
meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di seluruh dunia dan bertanggung
jawab terhadap lebih dari satujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakau
khususnyamerokok, secaraluastelah diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat yang
utama dan menjadi penyebab kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada
tahun 1985, 3 jutapadatahun 1990 dan telah diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta
pada 2020.1 Jumlah perokok di dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan
sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7 milyar perokok pada t ahun
2025. Sebanyak 6585% tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk rokok
yang menyebabkan kematian setiap detik.2

Data World Health Organization (WHO) menunjukan Indonesia sebagai negara


dengan konsumsi rokok terbesar ke- 3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan
Amerika. Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi ke-4 setelahCina,
Indiadan Amerika.Berbedadengan jumlah perokok Amerika yang cenderung menurun,
jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun t erakhir. Pertumbuhan rokok
Indonesia pada periode 20002008 adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang
dihubungkan dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler, diabetes,
penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis, impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan
lain-lain.2,3 Paru merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah akibat merokok.
Hubungan antaramerokok dan TBpertama kali dilaporkan padaawal abadke-20. Walaupun
mekanisme yangpasti belumsepenuhnyadiketahui namun telah banyak penelitian
mengenai hubungan antara merokok danTB.4

MEROKOK

Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda sekitar 2 abad yang


lalu dan penggunaannya pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal
Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang

kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga menggantikan mengunyah


sirih yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa
belanda roken. Merokok adalah t indakan seseorang menghisap rokok (tembakau).
Bahaya merokok t elah dibicarakan dan diakui secaraluas.Penelitian yangdilakukan para
ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok dan terjadinya penurunan fungsi paru
pada perokok dan orang diseki t arnya. Worl d Heal t h Organi zat i on memperkirakan
bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4
jutajiwa di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari benuaAsia.Diperkirakan
bahwapadatahun 2030 lebih dari 80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi
pada negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7

Asaprokok mengandunglebih dari 4.500 bahan kimia yang memiliki berbagai efek
racun, mut agenik dan karsinogenik.Isi dan konsentrasi bahan kimiadapat bervariasi dalam
merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan berbagai komponen baik di
kompartemen seluler dan ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan gas.
Zat- zat yang mempunyai efek merugikan adalah nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida,
karbondioksida, f ormaldehi d, akrol ei n, aset on, benzopyrenes, hydroxyquinone, nitrogen
oksidadan kadmium. Banyak zat yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel
namun tar dan nikot in telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi
responskekebalantubuhbawaan dari pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi. Bahan farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi adalah nikotin
yang merupakan partikel padat dan sangat mudahdiserapoleh selaput lendir hidung,mulut

danjaringan paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan obat adalah pengguna
obat yang selalu terdorong untuk menggunakan, terdapat efek psikoakt if dan t erbiasa
menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin efek terhadap sistem
imun juga bertambah besar.8

Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian secara global karena


membunuh lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan
faktor risikopenting untuk terjadinyapenyakit kardiovaskular serta

18

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh duniayaitu serebrovaskular, infeksi


saluran napasbawah, PPOK, TB, dan kanker saluran napas.9 Merokok tetap
menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti merokok
dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat individu dan sosial.Mengingat
prevalensmerokok upayabesar telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi
untuk membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi untukberhenti
merokok memiliki keberhasilan yangberagam. Berhenti merokok diperlukan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan
menghentikan kebiasaannya.Usahadengan intervensi secara psikososial dan
penggunaan obat telah digunakan untuk tujuan tersebut.10

Dilaporkanbahwapenggunaantembakau
dengancara merokok lebih berbahaya
dibandingkan dengan cara lain dan perokok akt if lebih menimbulkan beragam penyakit
dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif secarasubstansial
jugaberkontribusi menimbulkanbermacam penyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di
seluruh dunia, lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Cina
memiliki produksi dan konsumsi tembakau terbesar di dunia. Di berbagai negarasekitar 49%
laki-laki dan 8%perempuan diatasusia15tahunmerokok,berbedadengan 37% pria dan 21%
perempuan yang berasal dari negara berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal
di hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika Serikat,Jepang, Brasil,
Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsi per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang
dihisap perhari dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah menurunlebihdari
50%dalam2-3dekadeterakhir di Amerika, Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan
tinggi lain. Sebaliknya,prevalensmerokokpadalaki-laki meningkat tajam di negara-negara
dengan
penghasilan
rendah
dan
menengah
seperti
CinadanIndonesia.Peningkatanyangnyataterjadi
pada
laki-laki
usiamuda.Perbedaanantaraperempuan
danlaki-laki
berhubungandenganperbedaan
penggunaantembakau,dalam hal prevalenspenggunaan,durasi penggunaanyanglebihsingkat
ataufrekuensi penggunaanyanglebihrendah padaperempuan. Penelitian di Brasil
mendapatkanhasil terjadi penurunanyang nyataperokok padamasyarakat dengan
penghasilan rendah.1113

Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab kematian utama yang


meningkat dengan cepat. Diperkirakan bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta
kematian pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar peningkatan kematian
yang berhubungan dengan tembakau akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika
Selatan. Studi yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan dengan14
batangperhari ternyatatetapmeningkatkanangka kematian.9,14,15

Secarakeseluruhan meskipun tingkat merokok telah menurun selamabertahuntahun, lebih dari seperlimaorang Amerikaadalah perokok. Padatahun 2004 sekitar 21%
orang dewasa, 22% merupakan siswasekolah. Akibatnyamerokok menjadi penyebab
kematian dini di Amerika. Setiap tahun sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan
meninggal akibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yang berhubungan dengan
merokok yaitu biaya medis dan kehilangan produktivitasmelebihi 167 milyar dollar
Amerika per tahun.8

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi
Mycobacteriumtuberculosiscomplex dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di Indonesia. M.tuberculosisberbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3 , tidak
membentuk spora dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteriadapat diberi pewarnaan seperti
bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi warna oleh
pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh
karena itu, maka mycobacteriadisebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada dinding sel
mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya.
Struktur ini menurunkan permeabilit as dinding sel sehingga mengurangi ef ekt i vi t as t
erhadap ant i bi ot i k. Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel
mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan M.
tuberculosisdapat bertahan hidup di dalam makrofag.16

Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai global emergency.


Tuberkulosis saat ini banyak menyerangusiaproduktif dan meningkatkan angkakematian
terutamadi negaraberkembang. Padatahun 2010 dilaporkan insidens TB didunia sebesar
8,8 juta (8,59,2 juta), 1,1 juta (0,91,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif
ditambah 0,35 juta (0,320,39 juta) penderita TB dengan HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan
terjadi 2,4 juta kasus baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi dengan
penderitaHIVsebesar 1,1 jutajiwa. kematian akibat infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa
(380.000 perempuan), termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700 kematian
pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun.
Delapan puluh persen kasus TB akt if yang dit emukan di 22 negara berkembangsebagian
besar dari merekadi Asia(dengan 55% kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari
beban kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat, di Rusia dilaporkan
kasusTByang resisten obat menyumbang lebih dari seperlima semua kasus TB baru di
tahun 2008. Padatahun 2008 sebanyak 1,4 jutaorang yanghidupdengan

19
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

HIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudah t eri nf eksi cenderung
resi st en t erhadap obat dan meningkatkan angka kematian. India menempati urutan
pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang sekitar seperlimadari seluruh
jumlah kasusdi duniadengan angkakematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian
di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0,4- 0,59 juta),
Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi
penurunan yang bermakna, padatahun 1945 dilaporkan 73/

100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi

dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di Ni geria dilaporkan kej
adian TB sebesar 14,4% dan diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasusTBbaru
set i ap t ahun j auh l ebi h besar dari st andar yang direkomendasikan WHOyaitu
sebesar 3%.3,16-18

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,


pemeriksaan bakteriologi yang mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari
dahak,cairanpleura,cairan serebrospinal,bilasan bronkus, bi lasan l ambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,fasesdan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologi dengan pemeriksaan standar
fototoraksPA(posteroanterior), pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic,
oblik at au CT- Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya diantaranyaanalisiscairan pleura,
pemeriksaan histopatologi jaringan dan pemeriksaan darah.GejalaklinisTBdapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bilaorgan yang terkenaadalah
paru maka gejalalokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
Gejalarespirasi diantaranyaadalah batuk 2 minggu, batuk darah,sesak napasdannyeri
dada. Gejalarespiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosispadasaat medical
check up. Bilabronkusbelum terlibat dalam prosespenyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnyabatuk
diperlukan untuk membuang dahak keluar. Gejalasistemik yangditimbulkan akibat infeksi

TB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada
TBparu, kelainan yang didapat tergantungluaskelainan struktur paru.Padapermulaan(awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru padaumumnyaterletak di daerah lobussuperior terutamadaerah apeksdan segmen
posterior (S1 dan S2), sertadaerah apekslobusinferior (S6). Padapemeriksaan jasmani
dapat ditemukan antaralain suara napasbronkial, amforik, suaranapasmelemah, ronki
basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. PadapleuritisTB,


kelainan pemeriksaan fisistergantung dari banyaknya cairan di ronggapleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitisTB, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor),kadang-kadangdi daerahketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi cold abscess.1

PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI

Rokok
telah menunjukkandampak yang luasterhadap mekanismekekebalan
inangnya. Terdapat banyak penelitian kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat
merokok, kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi, kelembaban udara dan
pekerjaan yang dapat memodifikasi penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan
pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu
partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosisjugamerekrut sel imun lain. Merokok
secara langsungmembahayakan integritasbarier fisik, meningkatkan permeabilitasepitel
pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut
mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan sehinggamenyebabkan perubahan bentuk sel epitel.1,19
Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi dan imunosupresif padasistem
kekebalan tubuh. Makrofag mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag alveolar
mempunyai peran kunci dalam merusak dan mengeliminasi agen mikrobial padasaat awal
bilaadainfeksi. Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel epitelial dan
mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive
Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan mekanisme
seluler
yang
menghubungkan
rokok
dengan
inflamasi
dan
kerusakan
jaringan.Serupadengan ini merokok berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar
untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang sama, rokok juga
mengganggu mekanisme pertahanan alamiahyangdimediasi olehmakrofag, sel epitel, sel
dendritik (DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan dan
durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam hubungannyadengan peningkatan penyakit
hinggmenjadi lebih berat ditandai dengangangguan kemampuan makrofag untuk
membunuh bakteri atau virus, hilangnyakemampuan untuk membersihkan sel-sel mati,
degradasi dan modifikasi secarakimiawi dari matriksekstraseluler, peningkatan retensi sel
TCD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor sekresi sel T. Setelah pajanan
rokok jangka panjang, daerah

20

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

agregasi limfosit dengan sel Tdan sel Bbisa terbentuk pada sisi tersebut,
membantu produksi antibodi patogen dan menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya
pertahanan mukosadapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang terjadi pada 30%
perokok jangka panjang dengan PPOK.19

Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok

Dikutip dari (19)

Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran dalam pertahanan bawaan dalam
melawan agen mikrobial dan prot eksi ant i t umor. Hal i ni di lakukan dengan
sitotoksisitaslangsungyang mencetuskan apoptosis,sitokin pro inflamasi dan pelepasan
kemokin. Beberapa studi menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan

aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan perokok. Pajanan asap rokok
melemahkan aktivitassitotoksik danproduksi sitokin sel NKpada manusiadan tikus, dengan
demikian hubungan defek sel NKmenyebabkan peningkatan risiko infeksi dan kanker. Pada
paru sel dendritik (DCs) merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan
untukinisiasi sel Tdandidugamemiliki kerentanan yangtinggi terhadap rokok karena
posisinyadidalamlumen dan berada langsung dibawah epitel paru. Studi klinis
menunjukkan bahwajumlah DCsberkurangpadasebagian besar jalan napas pasien ppok
yangmerokok.Setelah berhenti merokok jumlah DCsmakinmeningkat dan serupadengan
kontrol orangsehat yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan terdapatnya
penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe sist em pajanan rokok. Proses otoimun
berperan pada timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok. Merokok juga dapat
menurunkan level semua kelas imunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan coba
didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen berkurang secaranyata akibat
pajanan kronik asap rokok.19

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS

Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dil aporkan pada t ahun
1918.Mekanisme past i yang menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya

dipahami,namun
adabanyak
bukti
menurunnyapertahanan
saluran
napasberpengaruh padakerentanan terhadapinfeksi TB pada perokok. Trakea, bronkus dan
bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru memberikan
garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok
terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru yangmerupakan
pertahanan utamaterjadi penurunan fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada
individu yang merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan
berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokinsitokin ini sangat penting untuk responsawal pertahanan lokal untuk infeksi kuman
termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok aktif
berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif berhubungan
dengan peningkatan kejadian TB pada anak dan usia muda.4,20,21

Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada160 kasusantarabulan April 2007


hinggaApril 2008 didapatkan bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap
pemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yang sedang mendapat t erapi obat
antiTB. Penelit ian lain menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita TB yang
merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien BTA positif dengan 333 kontrol yang
dilakukan di India pada bulan Sept ember 2004 hingga Agust us 2005 didapatkan
peningkatan terjadinyainfeksi TBpadaperokok sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak
merokok dan berhubungan dengan jumlah rokok, indeksmassatubuh dan statussosial
ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah rokok juga berpengaruh terhadap
perkembangan TB.24

Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai merokok sebagai faktor risiko
untuk infeksi TB. Di antara yang paling penting adalah prevalensrendah infeksi TBpada
populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di Amerika merokok menjadi
semakin terkonsentrasi pada populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada
faktor risikolain untuk TBseperti HIV, tunawisma,peminum alkohol, dan heterogenitas
antar kelompok risiko TB. Saat ini lebih dari 50% pasien TBdi Amerikaberasal dari beragam
negaradalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktor- faktor risiko untuk TBberbeda
antara penduduk pendatang dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan t
erhadap penduduk asli dan pendat ang di Aust ralia menunjukkan bahwa angka kejadian
TB cenderung lebih tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan sosial
ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan merokok yang tinggi.9,25

21
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara merokok dan


TB, banyak dari mereka didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitian

penelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti desain kasus control atau
potong lintang ukuran sampel kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol,
infeksi HIV dan fakt or yang berpengaruh lainnya. Di HongKong merokok dan TB
merupakan dua kondisi yang umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada
laki- laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki dewasa adalah perokok aktif dan
kejadian TB sebesar 100 per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada laki-laki
dengan usiadiatas65 tahun. Merokok berhubungan dengan peningkatan kerentanan
terhadap influenza dan TB. St udi dengan hewan coba t ikus yang mendapat kan
pajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksi int erferon (IFN )oleh sel T
akan menurun dengan penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN pada
tikus yang diberi pajanan asap rokok. St udi ini memberikan demonstrasi
pertamabahwapajanan asaprokok secara langsung menghambatr esponsselTuntuk M. TB
dan virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap kedua patogen.26,27

Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangat tinggi, sebanyak sembilan kali
lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu
merekaberhenti,
risikoberkurangsecarasubstansial
danmirip
denganmerekayangtidakpernah merokok. Berhenti merokok memiliki manfaat bagi perokok
jauh melampaui mengurangi risiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TBdan mengurangi beban kesehatan masyarakat dan
dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertigadari kematian akibat TB.Risiko
TBdapat dikurangi dengan hampir duapertiga jikaseseorang berhenti merokok adalah bukti
kuat dalam peran penting dari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokok
bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian akibat TB di Taiwan (37,7%).
Pengendalian penggunaan tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TBdan mengurangi hampir sepertiga (30,7%) dari beban
kesehatan masyarakat yang telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak
kesehat an
yang
besar
pada
peningkat an
kesehat an masyarakat
terutamabiladiterapkankenegara-negaraseperti Cina, India yang memiliki prevalensi
merokok dan angka kejadian TBlebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan untuk
mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatan pengetahuan dan penelitian tentang
manfaat dari berhenti merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua pertiga dari
laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta

kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penanganan yang baik terus


dilakukan. Merokok secara substansial memperburuk risiko kematian padamereka dengan
riwayat infeksi TB, kematian padapenderitayang merokok dilaporkan sebesar 61% di India
dan 32,8% di Hongkong.21,28 Sebuah penelitian yangmenghubungkan pengaruh vitamin
terhadap penderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemen vitamin E menyebabkan
peningkatan sementara dalam kejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupan
vitamin E. Vitamin Adan Etidak meningkatkan respon imun padapenderita TByang
merokok. Penelitian ini menemukan bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut
dapat meningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-laki perokok. Sebaliknya
vitamin E t ampaknya cenderung meningkatkan kejadian TBpadapesertayang merokok
berat dan telah mendapatkan diet asupan vitamin Csebesar 90mg/ hari atau lebih .29

KESIMPULAN

1. Merokok dan TBmasih menjadi masalah kesehatan yang penting dinegaramaju dan
negaraberkembang.
2. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan imunosupresif padasistem imun
saluran pernapasan.
3. Merokok
meningkatkan
risiko
infeksi
Mycobacterium
tuberculosis,risikoperkembangan penyakit dan kematian pada penderita TB.
4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis control dan mengurangi kematian
pada penderita TB.

DAFTAR PUSTAKA


1.
2.
3.

4.
5.

22

Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F, Smith KR. Risk oft
uberculosis from exposure to tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335- 42.
Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of tobacco smoking on human
health besides the oral health ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84.
World Health Organization. WHOreport on theGlobal tuberculosis control report.
(Online); 2011(cited 2011 November 17). Avai l abl e f rom: URL: ht t p//
www.whql i bdoc.who.i nt / publ i cat i ons/ 2011 / 9789241564380_eng.pdf.
Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan WM, et al. Passive smoking
and tuberculosis. Arch Intern Med. 2010;170:287- 92.
Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience, Mumbai, India; Indonesia
smoking control foundation. 2009.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

6.

Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ. Excess lung function decline
in gold miners following pulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5.
7. PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan untuk dokter Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12
8. Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking and innateimmunity. Inflamm
ResJ. 2008;57:497503.
9. Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P, Davison P, Moore L, Thompson
S. Smoking cessation in indigenous populations of Australia, New Zealand,
Canada, andthe United States: Elements of effective interventions. Int. J. Environ.
Res. Public Health. 2011; 8: 388-410.
10. Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacy of pharmacot herapi es f
orshort - t erm smoki ng abstinance: A systematic review and meta- analysis.
Harm Reduction Journal. 2009; 6:25.
11. WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/
2008.393.
Geneva:
World
Health
Organization;2008.
Availableonlineat
htt p://www.who.int /t b/publicat ions/
globalreport/2008/en/index.html(Accessed
September 9, 2011).
12. Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality from smokingin developed
countries, 19502005. University of Oxford Clinical Trial Service Unit [online],
http:// www.ct su.ox.ac. uk/~tobacco (2009).
13. Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning A,GuptaP, et
al.Tobaccoand tuberculosis: aqualitative systematic review and meta-analysis.
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 1049 61.
14. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and tuberculosis in China: intervention
is needed for smoking cessation among tuberculosis patients. BMC Public Health.
2009; 9:292.
15. Bjartveit K, Tverdal A. Health consequencesof smoking 14 cigarettesper day.
Tobacco Control. 2005;14:315
20.
16. PDPI. Tuberkul osi s. Pedoman di agnosi s dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19
17. UdwadiaF, Finto L. Why stop Tb isuncompletewithout quit smoking. Indian J
ChestAllied Sci.2011;53;9- 10.
18. Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default among tuberculosis patients on
directly observed therapy in

rural primary health carecentresin Ogun


InfectiousDiseasesand Immunity.2011; 3(5): 90- 5.

State,

Nigeria.

Journal

of

19. Stmpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews immune responsestopromote


infection, lung disease and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9
20. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor air pollution and tuberculosis:
A systematic review and meta-analysis. PLoSMedicine.2007:173-89.
21. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai SP. Ther reduction of
Tuberculosis risks by smoking cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156.
22. Siddiqui UA, OToole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N, KaneM,et
al.Smokingprolongstheinfectivity of patients with tuberculosis. Ir Med J.2010;
103(9):278-80.
23. BatistaJ, Pessoa M, XimenesRA, RodriguesL. Smoking increasestherisk of
relapseafter successful tuberculosis treatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51.
24. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A case- control study of tobacco
smoking and tuberculosis in India Ann Thorac Med. 2009;4(4): 20810.
25. DaviesP, Yew WW, Ganguly D, Davidow AL, Reichman L, Dheda K, et al.
Smoking and tuberculosis: t he epidemiological association and immuno
pathogenesis. Transactions of the royal society of tropical medicine and hygiene .
2006; 291-8.
26. Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, et al. Smoking and
tuberculosisamongtheelderly in Hong Kong. Am JRespir Crit Care Med. 2004;170:
102733.
27. Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X, et al. Exposure t o
cigaret t e smoke inhibit s t he pulmonary T-Cell response to influenza virus and
Mycobacterium tuberculosis infection and immunity. 2011;79(1): 229- 37.
28. Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effects of smoking and solid-fuel use
on COPD, lung cancer, and tuberculosisin China: a time-based, multiple risk factor,
modelling study.Lancet . 2008; 372(9648): 147383.
29. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may transiently increase
tuberculosis risk in males who smoke heavily and have high dietary vitamin intake.
British Journal of Nutrition. 2008;100:896902.

23
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

TUBERKULOSIS DAN HIV- AIDS

Arief Riadi

Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Persahabatan,
Jakarta
PENDAHULUAN

The World Health Organization (WHO) memprediksi bahwapenyebab kematian


orang dengan Acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) paru
sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yang diduga menginhalasi droplet
yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun
membatasi multiplikasi basil tuberkel 212 minggu setelah infeksi. Kondisi basil tuberkel
persisten selama bertahun- tahun berubah menjadi Latent TuberculosisInfection (LTBI).
Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak menularkan. Tuberkulosis paru
dapat berkembang segera setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari
LTBI (Reactivation Disease).Penyakit primer berjumlah sekitar 1/3 atau lebih kasus pada
populasi dengan TB-HIV(Human Immunodeficency Virus).1

KasusTBparu di Amerikarata-rata menurun menjadi 46 kasus baru TB paru per


100.000 populasi (total 13767 kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi
prevalensi kasusLTBI 4.0% padaseluruh populasi. Persentase kasus TB paru dengan HIV

juga menurun dari 15% (2003) menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasusTBparu
dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7% (2005) menjadi 31,7% (2006),
mungkin merefleksikan kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil
pemeriksaan HIV.2

Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB paru aktif sebesar 12,9% per
1000 orang pertahun dari hasil observasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif pada
orangdengan infeksi HIVberkisar antara35162/1000orang/ t ahun observasi.2 Pada
daerah endemik TB t erdapat hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation)
dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang dengan HIVyangbekerjapadatempat
berisikotinggi seperti fasilitas kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma
dapat
meningkatkan
risikoterkena
TBparu.3
TBparu
menjadi
penyebabutamakematianpadaorangdewasayangterinfeksi HIV. Kematian akibat penyakit
ini pada beberapa negara meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah
diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan

diagnosisTBparu mungkin menjadi kontributor yangpenting dalam menyebabkan


tingginya angkakematian.16

Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB paru per 100.000 penduduk
dengan estimasi prevalens HIV diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional
(berdasarkan laporan WHO2007). Survei yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien
dengan koinfeksi TB- HIV pada umumnya ditemukan di RS (Rumah Sakit) dan Rutan
(Rumah Tahanan) atau Lapas (LembagaPemasyarakatan) di beberapapropinsi ditemukan
TB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di RS. Saat ini belumadaangka
nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertama
tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data
dari RSpropinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40
pasien
TBternyatapositif
HIV.
Dataklinik
PPTI
(Perkumpulan
PemberantasanTuberkulosisIndonesia)di Jakartasejak2004 2007 menunjukkan prevalens
HIV pada pasien dugaan TB paru dengan faktor risiko antara 35% dan prevalenspada
pasien Tb paru antara 510% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Human Immunodefi ciency Virus adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA
(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases (kb). VirusHIVpertamakali
diidentifikasi oleh Luc Montainer di Inst itut Past eur Paris t ahun 1983 disebut HIV- 1.
Karakteristik virus sepenuhnyadiketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di
San Fransisco tahun 1984. Tahun 1986 HIV- 2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika
Barat.4

Pemeriksaan mikroskopelektron memperlihatkan HIV memiliki banyak tonjolan


eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelopevirusyaitu glikoprotein (gp) 120 di
sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein 120 memiliki
afinititastinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehinggabertanggung jawabpada

24

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

awal int eraksi dengan sel t arget , sedangkan gp 41 bertanggung jawab


dalamprosesinternalisasi atau absorbsi

(Gambar 1).4
Gambar 1. Struktur HIV

Dikutip dari (4)

CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi infeksi HIVyang
mempunyai afinitastinggi tehadap

HIVterutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh


yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T.Infeksi
HIVdimulai dengan penempelan viruspada reseptor CD4 limfosit-Tsetelah
penempelanterjadi fusi kedua membran (HIVdan limfosit)sehinggaseluruh
komponen virus masuk kedalam sitoplasmasel limfosit-T.4

PATOGENESIS TB- HIV

Perjalananinfeksi HIVdi dalamtubuh manusiadiawali interaksi


gp 120 pada
selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang
mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit, mikroglia, monosit- makrofag,
limfosit, Langerhans dan dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIVdengan CD4.
Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp 41
menjalankan fungsinya sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini keduaadalah chemokinereseptor 5 (CCR5) dan chemokine reseptor 4
(CXCR4).4
Prosesinternalisasi limfosit Toleh HIVselain terjadi

perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIVjuga membangkitkan


timbulnyaprotein strestemasukheat shock protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi
mengakibatkan limfosit Tterpacu sehinggamengalami stresdengan berbagai
perubahan.Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43 (sialophorin)
padapermukaan limfosit T.Reseptor CD43 yang terekspresi tersebut menjadi
aktivator baik terhadap limfosit T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan
aktivitas limfosit T-CD4 yangterinfeksi HIVakan menginduksi T-helper 1 (Th-1)
mensekresi Interleukin (IL)-1, IL-2, Tumor necrosis factor (TNF)- dan Interferon
(IFN)-sehinggakadar didalam darah meningkat.4

Human immunodefisiency virusyangberadadi dalam limfosit T-CD4 akan teraktivasi


oleh pengaruh reseptor CD43 danakan menginduksi pembentukankompleksT-cell reseptor

(TCR) CD43 kemudian bersama- samaCD28 mempengaruhi HIVmenjadi lebih


aktif.Produksi HIVselamainfeksi mencapai 109-1011 partikel virusperhari bilaberlangsung
tanpaupaya pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai 500-1.000.000 kopi
HIV-RNA per ml. Viremia yang terus meningkat akan berusaha menyerang limfosit TCD4 berikutnya.Faseakut akan terjadi penurunan dramatiskadar CD4 sampai kurang dari
1000/mm3 dan naik kembali saat serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/l
setiap tahunnya. Bilajumlah CD4 mencapai atau melampaui bataskritisd 200 sel/mm3
berarti telah memasuki stadium AIDSdengan atau tanpamanifestasi klinik. Manifestasi
klinik dapat terjadi padajumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4 e 500 sel/mm3) atau
terjadi penurunan sedang (CD4 d 200 sel/mm3). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka
dari waktu kewaktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendah membukapeluang infeksi
sekunder dan muncul manifestasi klinik AIDShingga sepsis (Gambar 2).4

Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS

Dikutip dari (4)

Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb yang akan mengekspresikan


TNF- bersamaan dengan Monocyt e Chemot act i c Prot ei n 1 (MCP- 1) yang
mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat (LTR) HIV mengandung 2 NFkB. TNF- menginduksi replikasi HIVdimediasi dengan peningkatan aktifitasNF-kB di sel
mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit
dan monosit. M. tuberculosisjugamengaktifkan replikasi HIV-1 padaCD4 T limfosit yang
terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat menyebabkan
berkembang menjadi infeksi laten HIV- 1 (Gambar 3).8

25
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

pneumocystispneumonia,tok
soplasmosisotak,
penyakit
sitomegalovirus, infeksi virus

herpes,
kandidiosis
pada
esofagus, trakea, bronkus,
paru, infeksi jamur seperti
histoplasmosis. Dapat juga
dit
emukan
keganasan
termasuk keganasan kelenjar
getah bening dan sarkoma
kaposi.

Gambar 3. Patofisiologi TB-HIV

Dikutip dari (8)

GEJALA KLINIK HIV


Gejalaklinik HIVmerupakan gejaladan tandainfeksi

Derajat dan berat penyakit dit ent ukan sesuai ketentuan WHOmelalui stadium
klinik pada orang dewasa. DiagnosisAIDSdi Indonesia dibuat bila terdapat uji HIVpositif dan
sekurang-kurangnya didapatkan satu gejalamayor dan satu gejala minor (Tabel 1).4,5

Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV

Karakteristik

virusakut, keadaan asimptomatisberkepanjangan hinggga manifestasi AIDS berat.


Gejala klinik HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu :4

Gejala

1. Tahap pertama

Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala tapi tidak spesifik.
Tahap ini muncul 6 minggu pertamasetelah pajanan HIVberupademam, rasa letih, nyeri
otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran kelenjar getah bening.

2. Tahap kedua

Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala dan keluhan menghilang.
Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi tetapi penderita masih normal.

3. Tahap ketiga

Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderitalebih spesifik dengan gradasi


sedangsampai berat. Berat badan

Mayor

Minor

DIAGNOSIS
Berat badan menurun lebih 70% dalamsatu bulan.
Diare kronik lebih dari satu bulan Demam lebih 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan saraf Enselopati HIV

Batuk menetap lebih satu bulan Dermatitisgeneralisata Herpeszoster


berulang Kandidiasisorofaringeal

Herpessimpleks Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat kelamin

perempuan

Retinitiskarena virussitomegalo

Dikutip dari (8)

menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut terjadi sariawan berulang,
infeksi bakteri pada saluran napasatas, namun penderita dapat melakukan aktifitas
meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur.

4. Tahap keempat

Merupakan tahap lanjut atau tahapAIDS. Gejalayang muncul berupaberat badan


turun lebih 10%, diarelebih 1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsungselama 1 bulan, kandidiasisoral, oral hairy leukoplakia,TBparu.
Penderitahanyaberbaringditempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan
terakhir. Dapat t erj adi berbagai macam i nf eksi berupa

Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB paru termasuk dengan


menanyakan tentang kombinasi dari gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak
hanya menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan obat anti retrovirus dan
terapi preventif dengan izoniazid dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,
namun pemeriksaan kultur mikobakteriumtetapdikerjakan.16

a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)

Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya diperiksa LTBI. Seseorang dengan
hasil pemeriksaan LTBI menunjukkan negatif, infeksi HIVlanjut (CD4+ < 200 cell/

L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI

seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi

26

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

ART dan kadar CD4+ e 200 cell/ L. Pada umumnya uji rutin untuk LTBI direkomendasikan
untuk orang terinfeksi HIV yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau
terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan faktor risiko terinfeksi HIV,
pecandu aktif, atau memiliki faktor risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien
dengan HIV dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan evaluasi klinik
untuk TB aktif.8
Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua pendekatan. Uji tuberkulin
dengan metode Uji Mantoux, dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan
indurasi e 5 mm yang timbul setelah 4872 jam setelah penyunt ikan secara int radermal
0,1 mL. Sekarang ini penggunaan met oda in vit ro dengan mendet eksi IFN- dilepaskan
untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides telah dikembangkan untuk mendiagnosis
LTBI.9

Test for LTBI (e.g., tuberculin test or interferon- release assay) in HIV-infected person

Negative

Posit ive

Contact to a case of active tuberculosis

Pada
keadaan HIVdengan immunosupresi lanjut TST danIGRAsdapat
menunjukkanhasil negatif palsu.12 Frekuensi terjadinyanegatif palsu dan tidak dapat
digunakannyahasil IGRA meningkat
secara paralel
dengan
berlanjut nya
imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yangsesuai dengan TBkadang secara insidental ditemukan
pada gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji
diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada keadaan yang telah diketahui
sebelumnya telah mendapat terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur
seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan gejala. Pada pasien HIV dengan
CD4+ <200 cell/ L dengan lesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto t oraks
dan t i dak ada ri wayat t erapi sebai knya dipertimbangkan infeksi TBdengan
mengabaikan hasil dari uji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi
empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14

b) Diagnosis TB Paru Aktif

Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB seharusnya dilakukan pada


pemeriksaan foto toraks yang merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit.
Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari

No

Chest radiography Clinical evaluation

Yes

pasien dengan gejalaparudankelainan gambaran fototoraks. Gambaran normal foto


toraks tidak dapat menyingkirkan kemungkinan TBaktif ketika kecurigaan terhadap
penyakit

Evaluate for active tuberculosis (obtain samples for AFB smear and culture)

ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan. Hasil pengambilan dahak
3 hari lebih disarankan pagi hari dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur.
Lebih dari dari pasien HIVdengan penyakit TBparu menunjukkan hasil negatif
palsu.12
Serost at us HIV t idak mempengaruhi hasil dari
Retest for LTBI once ART started and CD4+ T- lymphocyte

count > 200

Yes

Symptoms (e.g., fever, cough, weight loss) OR abnormal chest radiograph

No

No symptoms and normal chest radiograph

CD4+ T-lymphocyte count > 200

Treatment for LTBI not indicated


Retest annually if on going high risk of
tuberculosis exposure (endemic area, congregate setting, etc.)

Alternative cause identified for symptoms and abnormal chest radiograph


Active tuberculosis excluded with negative smears and cultures in the setting of low suspicion

Initiate treatment for LTBI

Moderate to high suspicion or evidence for active tuberculosis

Initiate four-drug regimen for active tuberculosis

pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih sering didapatkan
padapenyakit paru dengan kavitas. Hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan
kultur yang berasal dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien
imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yangtidak terinfeksi.16 Uji Nucleic
acid amplication (NAA), jugadisebut Direct Amplification Test dapat langsung
diterapkan pada

Gambar 4. Diagram alur diagnosisLTBI-HIV

Dikutip dari (10)

Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron Gamma Relation Assay (IGRA)
lebih konsisten dan tinggi spesifitasnya (9297%) dibandingkan dengan Tuberculin
Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 5695%, hubungan korelasi yang baik akan menggantikan
pengukuran terpajannyaM. tb dan kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus
Calmette- Guerin (BCG) at au t erpajan nontuberculous mycobacteria lainnya
dibandingkan dengan TST.11,15

spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam proses evaluasi pasien
dengan hasil hapusan dahak positif. Hasil positif NAApadahapusan dahak sangat
merefleksikan TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negat if atau penyakit ekstraparu
makapenggunaan
NAAharusdigunakan
dan
diinterpretasikan
sesuai
dengan
penyebabnya.9

Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi jarum halusatau biopsi dari lesi
kulit, kelenjar limfe, cairan pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari
mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda penyebaran penyakit atau
perburukan imunodefisiensi. Hasil

27
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum halus, biopsi jaringan)
mewakili beberapa bentuk penyakit mikobakterium namun tidak selalu TB.16

Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa
Referral to higher level

Tujuan utamaalgoritma diagnosisadalah membantu keputusan klinik di daerah


dengan prevalensi HIVtinggi dan mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.
Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada diagnosis TB paru dengan
HIV/AIDS dan akan membantu penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan
pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 23

facility

Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d

Sputum AFB and culture b

HIV test b,c

CXR b

Immediate referral not possible

Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d


Consider treatment for PCP e Sputum AFB and culture b HIV test b,c

HIV+ or unknow f

minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19


No tuberculosis
Treat tuberculosis
AFB-positive g

AFB-negative

Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signs

Improvement after 3-5 days

No Improvement after 3-5 days

AFB
HIV testb

HIV+ or status unknownc

Reassess for other HIV-related disease


TB unlikely
Reassess for tuberculosis h
Start TB treatment Complete antibiotics Refer for HIV and tuberculosis care

AFB-positived

AFB-negatived

1s
t

vi

Diagramalur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengan kondisi jelek

GEJALA KLINIK TB- HIV

Treat for TB CPTd

HIV assessmentf

3r
d

vi

Treat for PCPi HIV assessmentf

Response j

TB likely

No or partial response

Reassess for TB

CXRg
Sputum AFB and cultureg Clinical assessmentg

Dikutip dari (19)

TB unlikely

Treat for bacterial infectionh HIV assessmentf

CTPe

Response j

2n
d

vi

Individu yang terinfeksi HIVpada TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh derajat
imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350 cell/ L gejala klinik TB sesuai dengan
pasien TB tanpa HIV.7 Gejala mayor terbatas pada paru dan biasanya gambaran foto toraks
lobus atas berupa gambaran infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8 Gejala
ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan pada pasien yang tidak terinfeksi
HIV, walaupun manifestasi klinik antara pasien terinfeksi HIVdengan tidak terinfeksi HIV tidak
secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut gambaran fototorakspadapasien TBparu
berbedadibandingkan dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih

4t
h

vi

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasien rawat jalan

Dikutip dari (19)

Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk kepusat rujukan atau yang
memiliki fasilitaslebih lengkap. Apabilatindakan rujukan tidak dapat dilakukan segeramaka
pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan pemeriksaan dahak segera
dikerjakan. Apabila hasil pemeriksaan HIVnegatif, gejalaklinik HIVkurang nyatadan
apabiladaerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi HIVyang tinggi makadilanjutkan
penegakan diagnosissesuai dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan pasien
berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi maka penegakan diagnosissesuai
algoritma (Gambar 4).19

rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat milier lebih biasa dan
kavitas lebih jarang. Limfadenopati mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan
gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIVdan TBparu dapat memberikan hasil dahak
yang positif dan hasil kultur.8
Peningkatan
derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu (limfadenitis, pleuritis,
pericarditisdan meningitis) dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor
dengan jumlah CD4+ < 200 cell/ L. Pada beberapa pasien TB dapat menjadi penyakit sistemik
yang berat dengan demam tinggi, progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga
dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi relatif imun terdapat tipikal
inflamasi granulomatosa yang diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan
imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi, penyakit TB dapat menjadi subklinik
atau oligoasimptomatis.8
Gejalaklinik TBparu padapasien dengan HIVtergantung dari derajat imunosupresi
sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien

28

4.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikan manifestasi TB paru
dibandingkan dengan ekstraparu. Pada pasien ini gambaran foto toraks akan
seperti pada orang dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering
memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang semakin berat akan
membuat gejala ekstraparu semakin menjadi lebih sering (Tabel 2).8
Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB- HIV
Nasronudin.HIV& AIDS: Pendekatan biologi molekuler klinik dan sosial. Airlangga
University Press 2007; p.1-309.

5. NahimanaA, Rabodonirina M, BilleJ, Francioli P. Mutations of Pneumocystisjiroveci


dihydrofolatereductaseassociated wit h failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and
chemotherapy 2004; 48:4301-5.
6. Bat ungwanayo J, Taelman H, Hot e R. Pulmonary t uberculosis in Kigali, Rwanda.
Impact of human immunodef ici ency vi rus inf ect ion on cli nical and

Late

karakteristik

HIVInfection

Early HIVInfection

radiographic presentation. Am Rev Respir Dis,


7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in HIV-infected patients. Clin Infect
Dis2004; 38(8):p.1159-66.

TB paru : TB ekstraparu Gejala klinik

Foto toraks
Intratoraks limfadenopati
Lobus bawah Kavitas
Alergi tuberculin Pemeriksaan dahak Reaksi obat Kambuh setelah pengobatan

50:50
Sering seperti TB primer
Sering Sering
Jarang
Sering Jarang Sering Sering

80:20
Sering seperti TB post primer

Jarang Jarang
Sering
Jarang Sering Jarang Jarang

8.

KESIMPULAN

Dikutip dari (8)

Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology, diagnosis &


management. Indian JMed Res 2005; 121, pp 550- 567
9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advancesin the diagnosisand treatment of tuberculosis.
Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1):

p.103-10.
10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent tuberculosisinfection.NEngl
JMed2002; 347(23): p.1860-6.
11. MenziesD, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujitsfor the diagnosis of latent
tuberculosis infection: Areas of uncertainty and recommendations for research. Ann
Intern Med 2007; 146(5): p. 340- 54.
12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the QuantiFERON- TB Gold ujit for
detecting Mycobacterium tuberculosisinfection, United Stauji. MMWRRecommRep

1. Penyebab kematian terbesar padaAIDSadalah TBparu.


2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak memberikan
gejalaasimptomatis.
3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus

ditanyakan gejala lainnyatidak hanyabatuk saja.


4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering menunjukkan negatif palsu.
5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV menunjukkan hasil -nya adalah
negatif.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Centersfor DiseaseControl andPrevention (CDC), American ThoracicSociety and


InfectiousDiseasesSociety of America, Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep
2003; 52(RR-11):p.1-77
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trendsin tuberculosisincidence
United Stauji, 2006. MMWRMorb Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245- 50.
3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent tuberculosis infection in the
United Stauji. N Engl J Med 2004; 350(20): p.2060-7.

2005; 54(RR-15):p.49- 55.


13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosisin HIV posit ive, diagnosed by the M.
tuberculosis specific interferon-gamma ujit. Respir Res2006; p.1;7:56.
14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon- gamma assays for tuberculosis: is anergy the
Achilles heel?Am JRespir Crit Care Med 2005; 172(5):p.519-21.
15. Luetkemeyer AF, CharleboisED, FloresLL. Comparison of an interferon-gammarelease
assay with tuberculin skin ujiting in HIV-infected individuals.AmJRespir Crit Care Med
2007; 175(7): p.737- 42.
16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral tuberculous lymphadenitis in
adults: current clinical and diagnostic issues. Clin Infect Dis1995; 20(4): p.876-82.
17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M.
An Algorithmfor
TuberculosisScreeningand Diagnosisin People with HIV. N Engl J Med 2010;362:707- 16.
18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama, Departemen Kesehatan RI,
2007.
19. Improving the diagnosisand treatment of smear-negative pulmonary and
extrapulmonary tuberculosisamong adult and adolecent. WHOrecomendation 2006.

29
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL

Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro

Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Persahabatan,
Jakarta
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yangpaling


serius.Saat ini TBmerupakan masalah kesehatan di dunia dan penyebabutamakematian di
negara berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat, ditunjang oleh beberapafaktabahwaIndonesiamerupakan negaradengan
pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 5
setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan
nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.1

Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan cukuptinggi


sebelumeraantibiotikatetapi menurun dengan cepat setelah tahun 1950 dikarenakan
menurunnyainsidens penyakit dalam populasi dan terdapatnyaterapi yangefektif.
Perubahan ini berakibat padakurangnyapengawasan infeksi di rumah sakit. Zat yang
terhirup di tempat kerja terutama di rumah sakit dapat menjadi penyebabpenyakit paru
kronik. Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas kebersihan di rumah sakit
yang menangani penderita TB merupakan kelompok risikotinggi. Untuk petugaskesehatan
saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi pengaruh kerja terhadap suatu
penyakit penting dilakukan sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan
pekerjaan.1,15

Tuberkul osis disebabkan oleh Mycobact eri um tuberculosis (M. tb) dan
menyerang organ pernapasan walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya
penyakit human immunodefi ciency virus (HIV) dan pertambahan kasus TB kebal obat
(MDR- TB), masalah TB yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga
pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi bertambah rumit.3 Tinjauan
pustaka ini akan membahas mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat
dicegah dengan caramenerapkan pengendalian infeksi yang efektif. Center for Disease
Control and Prevention (CDC) merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa

pengontrolan
administratif,
teknik
dan
alat
pelindung pernapasan.
Tatalaksanapemberantasan TBdapat dilakukan dengan berbagai cara dan hal ini telah
berhasil dilakukan di beberapanegaramaju.4

PENULARAN TUBERKULOSIS

Mycobacterium tuberculosismerupakan kuman yang hidup sebagai parasit


intraselular dan berkembang biak di dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita
ke oranglain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 15

m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di

keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat bicara atau batuk dan
menular ke orang lain saat terjadi kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam- jam
bahkan beberapa hari sampai akhirnyaditiup angin. Infeksi t erjadi apabil a orang
menghirup percik renik yang mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat
setelah infeksi dan padaumumnya respons imun terbentuk dalam 212 minggu setelah
infeksi.4,5

Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama pajanan,jumlah percik renik,


ukuran dan konsentrasi kuman mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi
penderita TB yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain terdapatnya
TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan asam (BTA) positif, tampak kavitas
pada foto toraks, saat batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi
antiTByangtidak tepat dan teratur,sertamenjalani prosedur yang menginduksi batuk
seperti induksi batuk, bronkoskopi dan suction.1,6 Tuberkulosisdimulai dari infeksi
primer yang sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat sembuh sendiri
sehinggauji tuberkulin berubah dari negatif menjadi positif.7

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT

Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan kejadian luar biasa di daerah
tersebut.8 Terapi TB dapat diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan
penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat beratnya penyakit, efek samping
obat, penyakit penyerta

30

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

dan indikasi lainnya.9 Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa tuberkulosisdi
beberaparumah
sakit
di
Amerika.Pengaturan
aliran
udaradi
ruangan
yangkurangbaik, pembuangan udara t idak adekuat dan penggunaan ulang
sirkulasi udara merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian tersebut.10

Petugaskesehatan dengan angka kesakitan TB yang termasuk kelompok risiko


tinggi adalah dokter, perawat, petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis.
Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi, intubasi endotrakea, penyedotan
lendir di ruang rawat,irigasi abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya yang
dapat menginduksi batuk jugaberisiko tinggi untuk terjadi penularan nosokomial. Beberapa faktor
lainnya yang dapat meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi kontak
langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak dengan penderita yang belum
terdiagnosisdan belum diobati.6

Tabel 1. Risiko kesakitan TBpada kelompok pekerjaan

sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin berhubungan secara
bermakna dengan pekerjaan sebagai petugaspatologi dan ini merupakan indikator
keterlambatan diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan udara
ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan infeksi M. tb petugas
laboratorium hampir sama dengan klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari
penderitaTB yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang meninggal
akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan otopsi.12 Pasien yang dirawat
dengan indikasi yang tidak tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar,
petugas kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai
fasilitaspengendalian infeksi, meningkatkan risikopenularan untuk petugas dan
penderita itu sendiri.4
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA

PencegahanTBnosokomial merupakanhal yangpaling pent i ng.7 Ri si ko penul aran


dapat dikurangi dengan pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan

Kelompok pekerjaan
Kasus Teramati
Kasus

Diharapkan SMR

peralatan yang berpot ensi sebagai media penularan, walaupun proses penularan
masih dapat terus terjadi.12 Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap
pekerjayang

(IK 95%)

Bidang kesehatan

- Dokter
- Petugas register
- Perawat inhalasi
- Petugas laboratorium
- Perawat
- Pekarya, pembantu perawat

321

20

68

15
26

150

336,1

50,9

56,2

2,4

16,8

24,1

115,7

1,0

0,4

1,2

2,9

0,9

1,1

1,3

(0,9-1,1)

(0,2-0,6)

(0,9-1,5)

(1,2-6,0)

(0,5-1,5)

(0,7-1,6)

(1,1-1,5)

akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja meliputi riwayat TB


sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG, gejala-gejalaTB,jaringan parut BCG,uji
tuberkulin dan foto toraks(Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala dan
tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus dijelaskan bahwa sebelumnya
sudah terpajan M. tb dan disarankan secepatnyamelapor bilatimbul gejala.9

Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi dan memperbaiki sirkulasi
udara sedangkan untuk tenaga medisyang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya
tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi lat en. Sejumlah kuman M. tb tetap
dorman dan bertahan hingga berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut
dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak menunjukkan gejala apapun
dan tidak menjadi sumber penularan. Diagnosis TB yang t epat dan cepat sangat
diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau terjadi kesalahan diagnosis
maka konsekuensinya akan terjadi penularan.13

Pekerjaan
yang

berhubungan
dengan binatang

Pelayanan
makanan

debu
Pekerjaan

52

1,8

565

Pekerjaan
yang berhubungan
dengan anak-anak,

Pelayananan

53,5

2,2

(
2,0-2,4)

1,0

54,7

92

(
0,8-1,3)

(
0,3-0,4)

0,4

Dikutip dari (11)

Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko penularan infeksi M. tb cukup t


inggi walaupun tidak berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali pet ugas t i
dak menget ahui bahan yang di peri ksa mengandung M. tb. Tigabelaspersen
petugaslaboratorium mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah bekerja
14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan

Pengendalian infeksi TBbertujuan untuk deteksi dini penderita TB, memberi


pengobatan dan mencegah orang lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan
langkah khususyang bertujuan untuk mengurangi penularan M.TB. Terdapat 3 langkah
pengendalian infeksi meliputi :4

1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi pajanan petugas kesehatan dan


penderita dengan M. tb.

31
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jurnal

2. Pengat uran l i ngkungan bert ujuan mengurangi konsentrasi percik renik yang
infeksius.
3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada daerah dengan konsentrasi
percik renik yang tidak dapat diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.

Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus dilakukan dengan pemakaian


perlengkapan pelindung, fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8
Diagnosi s yang cepat
dan
akurat
dapat mencegah penyebaran lebih
luas.Petugaskesehatan yang baru diangkat harus diperiksa kemungkinan menderita TB,
pemeriksaan secaraberkaladilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga lamaatau saat

timbul gejalapenularan TB.4Petugaskesehatan dengan uji tuberkulin negatif harusdilakukan


vaksinasi BCG. Risiko TBpadapekerjayang terpajan oleh penderitaTBlebih tinggi
padaorangdengan uji tuberkulin negatif dibandingkan pada orang yang memiliki uji
tuberkulin positif. Vaksinasi BCGdapat mengurangi risiko penyakit TBtetapi hal ini tidak
terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksiskurang disetujui dan hanya digunakan
pada keadaan tertentu.6,8

Anamnesis sebelum penerimaan pekerja

Curiga

Padaruang rawat jalan, pasien dengan batukproduktif dan dicurigai menderita TB


tidak dibenarkan ikut antrian dengan pasien lainnyadan sebaiknyadilayani lebih dahulu.
Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang benar dan diberi masker atau
tisu untuk menutup mulut dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di ruang
tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu juga wadah khusus yang sudah diberi
desinfektan untuk menampung dahak yang dibatukkan pasien.Masker dapat menghalangi
penyebaran partikel yang mengandung T. tb yang bersumber dari mulut atau hidung
pasien. Tempat sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu bekaspasien.4

Antararuang rawat penderitaTBdengan ruangrawat penderita nonTB harus


dibedakan, terutama ruang rawat penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan
imunosupresi. Sebaiknya keduaruang perawatan ini berada pada bangunan yang berbeda
dengan ventilasi yang baik. Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan
secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial. Pasien MDRTBdirawat di ruang isolasi sehingga kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela
dan pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara dapat mengalir sert a
penggunaan kipas angin untuk mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk
pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan

ya
tidak
Pem. Fisis

ya Normal

tidak

dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara. Pengaturan ventilasi ruang


rawat inap, ruang pemeriksaan dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus
baik (Gambar 1- 3).4,6,15

tidak
Bekerja dgn pasien atau spesimen

ya

Parut BCG

Ruang Periksa
Pintu

Kantor

Area
Terb uka

ya

ya

Derajat 0/1

tidak
Ruang Tunggu

tidak

Uji tuberkulin

Sisi C

Sisi A

tidak

Curiga
ya Pem. Fisis

Apotik

Pintu

ya

Pintu

tidak
Rencana Tampilan
Sisi B
Dinding dengan daerah atas terbuka
Klinik

Tanpa

BCG

Penyuluhan
Klinik

Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan rawat jalan

32

Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja.

Dikutip dari (13)

Dikutip dari (4)


Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Jendela terbuka Aliran udara

Jendela Terbuka

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang tidak benar

Tempat Tidur

Angin

Angin

Angin

Angin

Angin
Pintu

Buruk
Pengaturan yang baik

Angin

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar

Normal

Aliran udara dari bawah pintu

Ruang Pendingin

Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus dipersiapkan secara baik dan
aman pada saat pemeriksaan,

Aliran udara masuk

Tempat Tidur

AC

Aliran udara
masuk
Pintu Aliran udara

pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan TB di antara pekerja


laboratorium.7 Pengambilan dahak dilakukan di areaatau ruangan terbukadan jauh
dari banyak orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang tertutup
namun bila tidak memungkinkan pengambilan dahak dapat dilakukan di ruang
berventilasi dengan risiko pajanan yang rendah terhadap petugasdan pasien.
Induksi

Aliran udara dari bawah pintu: tekanan negatif yang berhubungan dengan koridor

Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap, A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi


tekanan negatif

Dikutip dari (4)

Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak adekuat , vent ilasi mekani s
dapat di gunakan unt uk mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas
kesehatan.Sumber energi bersumber dari sistem pompayang kuat diperlukan untuk
mengalirkan udara bersih ke dalam ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali
udaratersebut ke luar gedung. Aliran udara harusmelintasi ruangan yaitu dari pintu
kejendelaatau ventilasi didepannya bukan masuk dan ke luar dari jendela yang sama agar
percik renik yang dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3). Arah aliran udara diatur
agar mengalir dari udara bersih, melewati petugas kesehat an kemudian melewat i pasien
sampai akhirnyakeluar ruangan kembali. Sumber udarabersih harus t erhindar dari daerah
pembuangan agar udara yang terkontaminasi tidak masuk kembali keruangan (Gambar 4).

sputum,terapi inhalasi dantindakan bronkoskopi merupakan t imdakan yang dapat


menimbulkan bat uk sehingga meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan petugas kesehatan menggunakan
perlindungan masker yang direkomendasikan yaitu masker N- 95.4,6

Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan respirator (Gambar 5). Masker
bedah terbuat dari kertas at au kain yang t idak dapat mencegah penyebaran
mikroorganismedari pemakainya karenahanyamenangkap partikel basah berukuran besar
disekitar hidung atau mulut dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik renik
di udara, namun pemakaian masker bedah dapat mengurangi percik renik atau aerosol
yang berasal dari penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada penderita TB
pada saat meninggalkan ruang isolasi ke tempat pemeriksaan lainnyadi rumah sakit.
Masker bedah tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari resiko t erhirupnya
M.t b karena masker mempunyai keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah
disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol

M. Tb t et ap masuk. Respi rat or dapat memberikan perlindungan lebih baik


daripada masker bedah.6,15

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar

arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar

Pintu

Angin

Jendela

Angin

Angin

Baik

33
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Gambar 5. Respirator (kiri) dan


masker (kanan)
Dikutip dari (16)
Jurnal

Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik


M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1. Alat ini paspadawajah
dan mencegah kebocoran dari bagian pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak
tepat, percik renik yang terinfeksiustetap akan masuk ke saluran napas. Jenis yang
direkomendasikan adalah respirator dengan kemampuan filtrasi 95% terhadap
partikel berukuran 0,3. Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas
di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15

Pet ugas kesehat an dengan keadaan imunokompromaisyang menghadapi pasien


TB atau MDR- TBharusmendapat pengawasan khususagar tidak terpajan,
terutamapetugasyangmempunyai keluhanrespirasi. Petugas ini sebaiknya ditugaskan di
tempat dengan risiko pajanan

M. tb yang rendah. Petugasyang menderita TBharussegera diterapi dan untuk


sementaradinonaktifkan sampai terbukti tidak menjadi sumber penularan atau
sputum BTA negatif. Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderita
dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais akibat kontak dengan
penderita MDR-TByang infeksius.6,14

Gambar 6. Masker N-95

Dikutip dari (16)

Tenaga medis yang t erkena TB di rumah sakit diberikan pengobatan yang tidak
berbeda dengan penderita TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukup tinggi
maka penggunaan obat antituberkulosis(OAT) sangat ditekankan untuk menggunakan obat
yang masih sensitif berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga medisdengan
TByang mendapat pengobatan adekuat tidak akan menularkan kepekerjalainsetelah
pengobatanbeberapa minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap akan
mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9

KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di tempat kerja khususnya di
rumah sakit, munculnya epidemi HIVdan MDRTBmenyebabkan kasusini muncul
kembali.

2. Li ngkungan rumah saki t dan pekerja it u sendi ri mempengaruhi penularan


tuberkulosisnosokomial.
3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TBadalah deteksi dini penderitaTB, pemberian
pengobatanantituberkulosis dan mencegah penularan.
4. Risikopenularan nosokomial tuberkulosisdapat dikurangi dan dicegah dengan
pengendalian infeksi, diagnosisdini, pemberian t erapi secepat nya pada penderit
a TB, perlindungan dan prosedur kerja yang baik.
5. Pengobatan TBpadatempat kerja tidak berbeda dengan pengobatan yang
biasanyatetapi perlu diperhatikan juga penyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional : Penanggulangan
tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14
2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C. Tuberculosis. Lancet. 2003;
362:887- 99.
3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC. Global burden of
tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.
4. World Health Organization. Guidelinesfor prevention of tuberculosisin health
carefacilitiesin resource-limited settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited
2011
September
5);Available
from:
htt p://whqlibdoc.who.int /
hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf

34

5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J, editors.


Respiratory infections, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott William& Wilkins;
2001.p.475-86.
6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R. Gui del i nes f or prevent i ng
t he t ransmissi on of Mycobacteriumtuberculosisin health-caresetting,2005.
MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.
7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors.
Occupational disordersof the lung. Recognition, management and prevention.
London: WB Saunders;2002.p.257- 63.
8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question t hat need answer. Am J
Respi r Cri t Care Med.1996;154:553- 4.
9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Control and
prevention of tuberculosis in the Uni t ed Ki ngdom: Code of pract i ce 2000.
Thorax.2000;55:887- 901.
10.Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital ventilation and risk for
tuberculosisinfection in Canadian health care workers. Ann Intern
Med.2000;133:779-89.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

11. McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The

association between occupation and


tuberculosis. Am J Respir Crit Care
Med.1996;154:587- 93.
12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald
JM. Factors associated with tuberculin
conversion in Canadian microbiology and
pathology workers. Am J Respir Crit Care
Med.2003;167:599- 602.
13. Raitio M,TalaE. Tuberculosisamonghealth
careworkers during three recent decades.
Eur Respir J. 2000;15:304- 7.
14. Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E.
Tuberculosis infection control in resourceslimited setting in the era of expanding HIV
care and treatment. The Journal of
InfectiousDiseases.2007;196:S10813
15.Departemnt of Health and Human Services.
Center for Disease Control and Prevention.
TB facts for health care workers2006.
Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011
September 8); Available from: URL:ht t p://

www.t pchd.org/f iles/library/9638ba2e8c3a090c.pdf.


16. Niosh Approved N95 Particulate Filtering
Facepiece Respirators.(cited 2011
September 5);Availablefrom:
URL:htt p:// www.cdc.gov/ni osh/nppt l /t opics
/ respirators/disp_part.html

35

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Anda mungkin juga menyukai

  • Pemeriksaan Fisik
    Pemeriksaan Fisik
    Dokumen1 halaman
    Pemeriksaan Fisik
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Resume
    Resume
    Dokumen1 halaman
    Resume
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • CR Cephalgia Roy
    CR Cephalgia Roy
    Dokumen37 halaman
    CR Cephalgia Roy
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 8
    Ppok 8
    Dokumen3 halaman
    Ppok 8
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • VVki
    VVki
    Dokumen1 halaman
    VVki
    apieko
    Belum ada peringkat
  • Lo Diagnosis Emfisema
    Lo Diagnosis Emfisema
    Dokumen3 halaman
    Lo Diagnosis Emfisema
    Widi Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Patogenesis Dan Patologi Ppok
    Patogenesis Dan Patologi Ppok
    Dokumen2 halaman
    Patogenesis Dan Patologi Ppok
    Indah Rosita Syafruddin
    Belum ada peringkat
  • Cover Cephalgia
    Cover Cephalgia
    Dokumen1 halaman
    Cover Cephalgia
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 9
    Ppok 9
    Dokumen1 halaman
    Ppok 9
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 7
    Ppok 7
    Dokumen5 halaman
    Ppok 7
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • TB
    TB
    Dokumen33 halaman
    TB
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Posyandu Roy
    Laporan Posyandu Roy
    Dokumen3 halaman
    Laporan Posyandu Roy
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 6
    Ppok 6
    Dokumen2 halaman
    Ppok 6
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 2
    Ppok 2
    Dokumen1 halaman
    Ppok 2
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ppok 3
    Ppok 3
    Dokumen1 halaman
    Ppok 3
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ps
    Ps
    Dokumen1 halaman
    Ps
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Referat Carsinoma Recti
    Referat Carsinoma Recti
    Dokumen1 halaman
    Referat Carsinoma Recti
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • DD
    DD
    Dokumen1 halaman
    DD
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Khairani DKK., 2012)
    Khairani DKK., 2012)
    Dokumen1 halaman
    Khairani DKK., 2012)
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Akalasia Esofagus
    Akalasia Esofagus
    Dokumen10 halaman
    Akalasia Esofagus
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Referat Akalasia Esofagus
    Referat Akalasia Esofagus
    Dokumen20 halaman
    Referat Akalasia Esofagus
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Referat Carsinoma Recti
    Referat Carsinoma Recti
    Dokumen1 halaman
    Referat Carsinoma Recti
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Referat Akalasia Esofagus
    Referat Akalasia Esofagus
    Dokumen1 halaman
    Referat Akalasia Esofagus
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Referat Akalasia Esofagus
    Referat Akalasia Esofagus
    Dokumen1 halaman
    Referat Akalasia Esofagus
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Ds
    Ds
    Dokumen1 halaman
    Ds
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • DF
    DF
    Dokumen1 halaman
    DF
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Odang Proton
    Belum ada peringkat
  • DG
    DG
    Dokumen1 halaman
    DG
    RoiHolan
    Belum ada peringkat
  • BN
    BN
    Dokumen1 halaman
    BN
    RoiHolan
    Belum ada peringkat