Anda di halaman 1dari 35

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

MATA KULIAH TEORI HUKUM


KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019
DISUSUN OLEH:
EDWITH YOGI PRATAMA
15/387574/PHK/08680
YOGYAKARTA
2016

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
berkat dan rahmat-Nya karya tulis ini dapat diselesaikan dengan lancar dan tepat
waktu.

Karya

MAHKAMAH

tulis

dengan

KONSTITUSI

judul

KAJIAN

NOMOR

TEORITIS

PUTUSAN

14/PUU-XI/2013

TENTANG

PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019 disusun pada mata kuliah Teori


Hukum pada Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
Berbagai kendala penulis hadapi selama proses penyelesaian karya tulis ini.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut
membantu hingga selesainya penyusunan karya tulis ini. Terutama kepada Dosen
Teori Hukum, Ibu Linda Yanti Sulistiawati, S.H., M.Sc.,Ph.D. dan Bapak Dr.
Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. atas ilmu yang bermanfaat selama
proses pembelajaran di kelas. Terimakasih saya sampaikan kepada kawankawan di kelas Magister Hukum Angkatan 35 untuk diskusi dan ilmunya sehingga
menambah pengetahuan penulis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak terlepas dari kekurangan.
Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun guna
perbaikan dan lebih memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
ilmu hukum.

Yogyakarta, 11 Januari
2016

Edwith Yogi Pratama

ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Prakata ................................................................................................................ ii
Daftar Isi

.........................................................................................................iii

Abstrak............................................................................................................ ... iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Identifikasi Masalah .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
C. Metode Penelitian...................................................................................... 4
5

1. Jenis Penelitian..................................................................................... 4
2. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 5
3. Bahan Hukum ...................................................................................... 6
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ................................................ 7
5. Pengolahan Bahan Hukum................................................................... 7
6. Analisis Bahan Hukum ........................................................................ 7

BAB II. PEMBAHASAN .................................................................................... 8


A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari
Tujuan Hukum Keadilan ........................................................................... 8
5

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari


Tujuan Hukum Kepastian Hukum ............................................................18
C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari
Tujuan Hukum Kemanfaatan ....................................................................23

BAB III. PENUTUP ............................................................................................26


A. Kesimpulan ................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27

iii

KAJIAN TEORITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR


14/PUU-XI/2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019
Edwith Yogi Pratama

ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013 mengabulkan
uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyangkut
pemilihan umum tidak serentak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki
keganjilan, putusan ditunda keberlakuanya hingga Pemilihan Umum 2019. Dalam
hal ini, Mahkamah Konstitusi diindikasikan melanggar 47 Undang-Undang 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan putusannya,
sehingga memunculkan permasalahan apakah putusan a quo sudah sesuai dengan
teori hukum, tujuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam hal Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, amar putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut harus dipahami utuh yang merupakan bentuk positive
legislature Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Akibat hukum terhadap
pemiliham umum di Indonesia ketika putusan tersebut berlaku pada tahun 2019
adalah pelaksanaan pemilihan umum serentak dan mewajibkan pembentuk undangundang membuat sistematika presidential threshold seperti yang diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kata Kunci: Pemilihan Umum Serentak, Mahkamah Konstitusi

iv

BAB I
PENDAHULUAN
A. Identifikasi Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis.1 Dalam
konteks negara demokrasi berdasarkan hukum, Pemilu sebagai salah satu
mekanisme demokrasi dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang
berpuncak kepada konstitusi sebagai the supreme of the land. Dalam
masyarakat demokratis, pemilu merupakan suatu unsur pergantian
kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi.2 Pemilihan umum adalah sarana
demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak
menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan/atau eksekutif.
Melalui pemilu rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih
dapat menjatuhkan pilihan kepada figur yang dipercaya yang akan mengisi
jabatan di atas.3
Sistem demokrasi memerlukan konstitusi untuk menegakkan
kerangka pemerintahan demokratis yang adicita-citakan. Konstitusi dalam
konteks demokrasi cara dan waktu penyelnggaraan pemilihan umum untuk
menentukan pejabat dan wakil rakyat.4 Legislasi melekat dalam aturan
perundangan yang diberi interpretasi hukum positif dengan menjadikannya
mengalir dari kehendak rakyat. Posisi kedaulatan diambil alih oleh

1945

Lihat Pasal 1 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional, Yogyakarta,


Total Media, Hal. 98.
3
Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung, Fokus
Media, hlm: 173.
4
Gene Sharp, 1997, Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan; Kerangka Konseptual Untuk
Pembebasan, Sugeng Bahagijo, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 91
2

kekuasaan konstitusi sebagai kekuatan penabsah yang melandasi aturan


konstitusional.5
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan menguji undangundang terhadap UUD berperan memastikan, berdasarkan permohonan
yang diterima, bahwa ketentuan terkait dengan pelaksanaan Pemilu tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.6 Pengujian undang-undang atau Judicial review secara umum
adalah pengujian oleh lembaga yudisial atas perundang-undangan terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (di sini mencakup
kompetensi Mahkamah Agung atau MA dan Mahkamah Konstitusi atau
Mahkamah Konstitusi), sedangkan constitutional review adalah pengujian
oleh lembaga yudisial khusus untuk konstitusi undang-undang terhadap
UUD (di sini yang dimaksud adalah khusus kompetensi Mahkamah
Konstitusi yang merupakan bagian khusus dari judicial review dalam arti
umum).7
Pemilihan umum merupakan hak dari warga negara yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diatur lagi dalam Undang-Undang terkait. Definisi hak hukum sebagai
kepentingan yang dilindungi oleh hukum, atau keinginan yang diakui
hukum, diragukan dengan adanya kenyataan bahwa tidak akan ada hak
hukum sebelum adanya hukum. Sepanjang suatu hak belum dijamin oleh
aturan hukum maka belum menjadi hak hukum. Maka hal ini berarti bahwa
hukum mendahului, atau bersamaan dengan hak.8

Carl Joachim Friedrich, 2014, Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Raisul Mutaqqien
(Penerjemah), Bandung, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 128
6
Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 70
7
Moh. Mahfud MD, 2011, Membagun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, hlm: 122.
8
Jimly Asshiddiqie, dan Ali Safaat, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta,
Konstitusi Press, hlm: 64-65.
5

Dalam kaitannya dengan pemilu dan peraturan perundang-undangan


yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa
sebagian pasal yang berkaitan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan secara
terpisah adalah inkonstitusional. Hal ini tidak lain adalah dengan
Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi (judicial review) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang diajukan pemohon Effendi Gazali.
Putusan itu mulai berlaku pada Pemilu 2019, tetapi Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 tersebut diucapkan Kamis
tanggal 23 Januari 2014. Mahkamah berpendapat, putusan ini tidak dapat
diterapkan untuk 2014 karena pemilu yang sudah terjadwal.9 Dengan
dikabulkannya gugatan ini, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan
Presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak.
Permasalahannya adalah penundaan putusan Mahkamah Konstitusi
yang baru diberlakukan pada Pemilu 2019 bertentangan dengan Pasal Pasal
47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, jika ditafsirkan ialah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde, dalam arti
mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, serta sikap tindakan
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10 Kemudian,
9
Lihat <http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1916301/MPR.Kritik.Putusan.MK.
soal.Pemilu.Serentak.2019> diakses 25 Juni 2014, Pkl 21.55 WIB
10
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 5

dalam putusan pengadilan seharusnya mencerminkan tujuan hukum yaitu


keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Dalam

negara

demokrasi,

pemerintahan

berlangsung

atas

persetujuan dari yang diperintah. Penyelenggaraaan negara, khususnya


pimpinan anggota eksekutif dan anggota legesilatif dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum.11 Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya adalah tatanan sosial
berbangsa yang didasarkan atas prinsip demokrasi, yaitu kedaulatan berada
di tangan rakyat, dengan hukum yang dihasilkan melalui melalui
mekanisme dan proses demokrasi menjadi acuan utama dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara,12 sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi ini sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis tertarik
untuk

mengangkat

masalah

tersebut

dalam rumusan masalah

Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013


ditinjau dari tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan?
C. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan penulis merupakan penelitian
hukum normatif atau penelitian penelitian hukum doktriner yaitu
sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian
hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya

11
Merphin Panjaitan, 2013, Logika Demokrasi: Manyongsong Pemilihan Umum 2014,
Jakarta, Permata Aksara, hlm: 134.
12
Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik
Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta, antonyLib-Indonesia & LHSP-Indonesia, hlm: 1.

peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.13


Pada penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas
hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan
patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas. Penelitian
tersebut dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum.14
Serta dimungkinkan untuk menggunakan bahan hukum tertier15, yakni
bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia,
dan lain sebagainya guna menjawab isu permasalahan yang menjadi
fokus penelitian.16
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach)
dan pendekatan konseptual konseptual (conceptual approach).17
Pendekatan yang penulis gunakan, dilakukan dengan menelaah
peraturan perundang-undangan yang terkait, terkhusus pada Konstitusi
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
serta regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Selain itu pendekatan
kasus (case approach) yang penulis gunakan dalam permasalahan ini
adalah guna mengetahui apa yang menjadi alasan-alasan hukum hakim
untuk sampai kepada putusannya, yang mana penulis angkat sebagai
permasalahan ini, dan pendekatan konseptual yang beranjak dari
13

51.

Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Alfabeta, hlm.

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2010 Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm: 62.
15
Dyah Ochtorina Susanti dan Aan Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research),
Jakarta, Sinar Grafika, hlm: 89.
16
Ibid hlm: 13
17
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm: 93.
14

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam


ilmu hukum guna mengetahui bagaimana akibat dari putusan
Mahkamah Konstitusi dalam rangka pemilihan umum serentak.
3. Bahan Hukum
a. Sumber bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau
badan-badan pemerintahan yang dilakukan secara resmi oleh aparat
negara.18 Sumber bahan hukum primer adalah sumber data yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
b. Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, adalah sebagai berikut:
1) Hasil karya pakar hukum, seperti beberapa Jurnal Mimbar
Hukum dan Jurnal Konstitusi
2) Teori-teori hukum .

18

hlm: 81.

Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode, Malang, Sentra Press,

3) Situs Resmi dari Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan


Umum, dan beberapa Blog Sarjana Hukum.
4) Buku-buku bacaan sebegaimana yang terdapat pada daftar
pustaka.
5) Skripsi atau Karya Tulis Ilmiah yang terkait membahas tentang
permasalahan.
c. Sumber bahan hukum tertier
Sumber bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur yang digunakan penulis berupa studi dokumentasi
yaitu pedoman yang digunakan berupa catatan catatan untuk memuat
kutipan. Prosedur pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
melakukan pengumpulan bahan literatur hukum baik itu bersifat offline
maupun online.
5. Pengolahan Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh baik bahan hukum primer,
sekunder maupun tertier disusun secara sistematis. Selanjutnya bahan
hukum dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
6. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer, sekunder dan tertier disusun secara
sistematis kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil analisis
dipaparkan secara naratif (uraian) untuk menjawab permasalahan yang
dikaji.19

M. Abdi, (et al), 2013, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1),
Bengkulu Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, hlm: 65.
19

BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan hukum biasanya dipelajari pada Filsafat Hukum, dengan adanya
tujuan maka hukum yang ditegakkan haruslah sesuai dengan apa yang dituju.
Tujuan hukum digunakan untuk mengetahui apakah putusan Mahkamah Konstitusi
No. 14/PUU-XI/2013 apakah sudah sesuai dengan tujuan hukum secara teoritis.
Idealnya, hukum harus mengakomodasi tiga tujuan, yaitu keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan. Putusan hakim sedapat mungkin merupakan resultante
dari ketiganya.20 Muhamad Erwin mengutip pendapat G. Radbruch yang
menyatakan bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Tujuan ini
merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada
tiga, yaitu:21
1. Keadilan untuk keseimbangan;
2. Kepastian untuk ketepatan;
3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan.
Untuk dapat mengetahui tujuan hukum yang ideal, penulis menelaah satu persatu
apa yang menjadi tujuan dari hukum tersebut.
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari
Tujuan Hukum Keadilan
1. Keadilan
Keadilan adalah sebuah kata yang sangat sulit didefinisikan.
Banyak pendapat dan aliran dari filsafat hukum yang membahas
masalah ini, tetapi di sini penulis hanya akan merangkum intisarinya
untuk mengupas makna dari keadilan.

20
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm: 155.
21
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, hlm:123.

Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,


dalam artian memberikan seseorang hak yang semestinya memang
miliknya atau memberikan secara tepat apa yang menjadi hak dan
kewajiban yang ditetapkan kepada orang pada bagiannya masingmasing. Tetapi apabila keadilan dipandang dari segi hak tersebut,
meskipun pada dasarnya hak manusia adalah sama, tetapi dalam
penafsiran akan hak itu sendiri tentu akan berbeda-beda pada setiap
orang. Tentu saja harus ada tolak ukur untuk menjadi sebuah standar
dari definisi keadilan itu sendiri, maka untuk menjawab dari persoalan
di atas, diperlukan pendalaman yang lebih dengan mengkaji beberapa
aliran filsafat hukum.
a. Aliran Hukum Alam
Begitu banyak teori yang membahas aliran hukum alam, Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi.
Menilik sumbernya, hukum alam ada yang bersumber dari Tuhan
(irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia.22
Jika menilik hukum alam yang bersumber pada Tuhan, M.
Shodiq Dahlan berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang
digambarkan berlaku abadi sebagai hukum yang norma-normanya
berasal dari Tuhan Yang Mahaadil, dari alam semesta dan dari akal
budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi sebegitu jauh
tidak terikat oleh waktu dan tempat, sebagai hukum yang sanggup
menyalurkan kebenaran dan keadilan dalam tingkatan yang
semutlak-mutlaknya kepada segenap manusia. Oleh karenanya
hukum alam memiliki sifat yang lebih sempurna dan mempunyai

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung, Mandar
Maju, hlm: 53
22

derajat yang lebih tinggi daripada jus contitutum ataupun jus


constituendum.23
Lebih lanjut, M. Shodiq Dahlan mengutip pendapat Cicero
yang disunting oleh S. Tasrif yang mengatakan bahwa tidak ada satu
hal yang lebih penting untuk dipahami selain bahwa manusia itu
dilahirkan bagi keadilan dan bahwa hukum dan keadilan tidak
ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam.24 Muhamad
Erwin berpendapat bahwa tolak ukur aliran hukum terhadap esensi
hukum terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan
kepentingan alam adalah kebaikan.25 Oleh karena esensi hukum
menurut hukum alam adalah kepentingan alam yang berupa
kebaikan maka jelas tolak ukurnya terletak pada moral. Tujuan
hukum menurut aliran hukum alam harus mengandung nilai-nilai
moralitas yakni menuntun masyarakat menuju kebaikan dan menaati
hukum karena merasa wajib secara moral sehingga dapat membuat
masyarakat yang baik secara moral.26
b. Aliran Positivisme Hukum
Istilah positif dalam aliran hukum positif/aliran positivisme
hukum dipakai untuk memberikan maksud bahwa hukum itu
ditetapkan dengan pasti tegas, dan nyata. Penggunaan istilah ini juga
bermaksud untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal
dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidaknya.27
Aliran ini sangat membedakan sesuatu yang nyata dan tidak
nyata, maka aliran positivisme hukum ini memandang perlu untuk
memisahkan secara tegas antara hukum dan moral atau antara
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), 1989, Filsafat Hukum Mazham dan Refleksinya,
Bandung, Remadja Karya, hlm: 17
24
Ibid, hlm: 26-27
25
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:141
26
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:141
27
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm:153
23

10

hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das
sollen).28
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu
sebagai a command of Lawgiver (perintah dari pembentuk undangundang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari
moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak
didasarkan

atas

pertimbangan

atau

penilaian

baik-buruk.

Selanjutnya John Austin membagi hukum atas29:


1) Hukum ciptaan Tuhan, dan Hukum yang dibuat oleh manusia,
yang terdiri dari:
a) Hukum yang dalam artian sebenarnya, yaitu hukum yang
disebutkan juga hukum positif, dirinci menjadi hukum yang
dibuat oleh penguasa, seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan lain-lain; dan hukum yang disusun atau
dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan
untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
b) Hukum dalam artian yang tidak sebenarnya, yaitu hukum
yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis
hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan
berdaulat yang berwenang.
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk
dinamakan sebagai hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat

28
29

Muhamad Erwin, Loc.Cit.


Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm: 56-57

11

unsur tersebut bukaqnlah merupakan hukum positif, melainkan


hanya sebagai moral positif.
Aliran positivisme hukum ini mementahkan pendapat dari
aliran hukum alam. Dalam aliran ini yang menjadi patokan dalam
hukum adalah segala peraturan yang dibuat oleh penguasa atau
pejabat berwenang. Maka moral atau apa yang dianggap baik oleh
manusia dengan berpatokan pada kepentingan alam bukanlah
merupakan keadilan. Keadilan di sini merupakan taat kepada hukum
yang dibuat, jadi apapun hukum yang dibuat oleh penguasa
merupakan bentuk dari keadilan. Penilaian baik-buruknya penilaian
manusia dalam ajaran ini hanyalah moral, bukan tolak ukur keadilan
dari hukum, sehingga dalam perkembangannya memunculkan
pendapat yang menyempurnakan aliran positivisme hukum ini.
Thomas Aquinas dalam pendapatnya yang dikutip oleh Muhamad
Erwin dari H.L.A Hart, mengemukakan bahwa hukum positif yang
adil memiliki daya ikat melalui hati nurani subyek hukum. Hukum
positif akan disebut adil jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:30
1) Diperintah atau diundangkan demi kebaikan umum;
2) Ditetapkan oleh legislator yang tidak menyalahgunakan
kewenangan legislatifnya;
3) Hukum positif memberikan beban yang setimpal demi
kepentingan kebaikan umum.
Penjelasan S. Tasrif dalam menjelaskan keadilan adalah
keadilan harus meninjau tentang tindakan-tindakan macam apakah
yang termasuk dalam lingkungannya. Beliau berpendapat bahwa
hukum adalah hal yang berada di tengah-tengah dari tindakan-

30

Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm: 162

12

tindakan tersebut. Selanjutnya, dijelaskan bahwa keadilan adalah


adil menurut hukum dan apa yang sebanding dan semestinya. Orang
menaati hukum dapat dianggap sebagai adil, di mana adil yang
menurut hukum disini diartikan sebagai apa yang secara tegas
diharuskan oleh pembentuk undang-undang. Undang-undang yang
berbeda-beda, apa pun isinya jika dibuat dengan tujuan kebaikan
bagi masyarakat secara keseluruhan atau subyek hukum tertentu,
maka dapat dikatakan adil. Disamping itu, peraturan yang dibuat
haruslah menentukan bagaimana caranya subyek hukum harus
bertingkah laku.31
Berdasarkan penjabaran di atas, penulis menyimpulkan
bahwa keadilan adalah sesuatu hal yang berada di tengah-tengah di
antara hak dan kewajiban subyek hukum. Hak dan kewajiban ini
berpatokan pada apa yang telah ditetapkan hukum atau peraturanperaturan yang berlaku, tanpa mengesampingkan bahwa hukum
yang dibuat oleh penguasa yang berwenang atau dari apa yang telah
ditetapkan baik-buruknya sesuatu oleh Tuhan, dan akal budi
manusia (moral) serta melihat pula rasa adil yang telah diakui oleh
masyarakat pada umumnya .
2. Substansi
Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam suatu sistem.32 Substansi hukum merupakan susunan
peraturan-peraturan dan ketentuan tentang bagaimana institusi- institusi
(penegak

hukum)

bertingkah

laku.33 Hukum

tersebut

disebut

S. Tasrif, 1987, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta, Abardin, hlm: 96-98
Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar (American
Law: An Introduction), Penerjemah oleh Wishnu Basuki, Jakarta, PT. Tatanusa, hlm. 7
33
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum; Prespektif Ilmu Sosial, M Khozim
(Penerjemah), Cetakan III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 16
31
32

13

dikatakan memaksa jika memiliki daya paksa yang tinggi (coercive)34


dan dianggap kedudukan lebih tinggi dari norma sosial lainnya.35
Hukum bergerak di antara dua (2) dunia yang berbeda, baik
dunia nilai maupun dunia sehari-hari (realitas sosial). Akibatnya
sering terjadi ketegangan di saat hukum itu diterapkan. Ketika hukum
yang sarat dengan nilai-nilai itu di hendak diwujudkan, maka ia
harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi
dari lingkungan sosialnya.36
Substansi hukum juga terdapat pada dogmatik hukum yang
merupakan cabang ilmu hukum yang mempelajari hubungan antara
peraturan-peraturan hukum positif yang tujuannya adalah pemecahan
masalah-masalah hukum konkret.37 Obyek dogmatik hukum pada
hakikatnya meliputi asas hukum, peraturan hukum konkret, sistem
hukum dan penemuan hukum.38
Hukum-hukum dari poin di atas merupakan hukum positif yang
mengutamakan

kebenaran,

keharusan39 dan

sanksi

(punitif).40

keberadaan Mahkamah Konstitusi dilandasi oleh pemikiran Hans


Kelsen. Kelsen menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum
tertinggi dalam suatu sistem hukum nasional sekaligus sebagai sumber
validitas dari norma hukum yang di bawahnya. Untuk menegakkan
konstitusi diperlukan adanya jaminan bahwa peraturan yang berada di
bawah konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Untuk

34
Hans Kelsen, 2008, Pure Theory of Law, Fifth Printing, University of California Press,
New Jersey, hlm. 54
35
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya, hlm. 85
36
Esmi Warassih, 2011, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Dipenogoro, hlm. 70
37
Sudikno Metrokusumo, 2012, Teori Hukum Edisi Revisi, Yogyakarta, Cahaya Atma
Pustaka, hlm. 38
38
Ibid, hlm. 44
39
Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Siwi Purwandari (Penerjemah), Bandung,
Nusa Media, hlm. 69
40
Phillippe Nonet & Phillip Selznick, 2003, Hukum Responsif; Pilihan di Masa Transisi,
Rafael Edi Bosco (penerjemah), Jakarta, The Ford Foundation Huma, hlm. 40

14

menjamin hal tersebut, diperlukan adanya lembaga peradilan yang


diberi tugas menguji konstitusionalitas produk hukum serta memiliki
kewenangan untuk membatalkan jika produk hukum dimaksud
bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan ini sebenarnya dapat saja
diberikan kepada pengadilan biasa, namun putusannya terbatas pada
penolakan untuk menerapkan norma hukum yang dinilai tidak
konstitusional, sedangkan jika diberikan kepada lembaga peradilan
konstitusi itu sendiri, kewenangannya juga meliputi pembatalan atau
penghapusan norma sehingga tidak lagi dapat dilaksanakan oleh organ
negara yang lain.41
Dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk melaksanakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.42 Pada prinsipnya, dalam
menjalankan kewenangannya, terutama menguji undang-undang,
Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya bersandarkan pada semangat
legalitas formal peraturan-peraturan tertulis, melainkan harus mampu
menggali dan menghadirkan nilai keadilan substantif bagi masyarakat.
Semangat menegakkan nilai-nilai keadilan substansial tersebut dijawab
Mahkamah Konstitusi dengan putusan-putusan yang tidak terpasung
oleh keterbatasan normatif undang-undang, misalnya dengan putusan
konstitusional bersyarat, tidak konstitusional bersyarat, putusan sela,
putusan yang berlaku surut dan lain sebagainya.43

Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,


Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 10-11
42
Ahmad Fadlil Sumandi, 2013, Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi:
Aktualisasi Konstitusi dalam Praktis Kenegaraan, Malang, Setara Press, hlm: 41-42.
43
Martitah, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legsilature ke Postivie Legislature,
Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 183
41

15

3. Struktur Hukum
Sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi
materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan
ideologi negara Pancasila, UUD 1945 dan dapat juga bersumber pada
hukum lain asal tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD
1945, serta berlaku di seluruh Indonesia. Ketika berbicara mengenai
sistem hukum, maka ada tiga komponen penting yang juga perlu dilihat,
yaitu legal structure, legal substance, dan legal culture. 44
Dalam hal ini struktur dalam sistem hukum merupakan
institusi-institusi penunjang yang menjadikan hukum dapat berjalan
memenuhi tugasnya.45 Struktur tersebut dalam aktivitas hukum adalah
hakim, pengacara, polisi dan lain sebagainya yang diberikan
kewenangan untuk menjadi penegak hukum. Dalam kajian ini,
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penegak hukum, yakni sebagai
penegak dan penafsir terakhir konstitusi (The Guardian and Final
Interpreter of Constitution).
Mahkamah Konstitusi dalam hal melaksanakan kewenangannya
terhadap pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan Pasal 24C Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah

dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta
Pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang salah satu kewenangan
44
Lihat <https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistemhukum-di-indonesia/> diakses pada 27 Desember 2015, Pkl 22.50 WIB
45
Lawrence M. Friedman dalam bukunya The Legal System: A Sociology Science
Perspective, dalam Soerjono Soekanto, et. all., 1986, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 129

16

konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar.46
Ketentuan hukum mengenai acara Mahkamah Konstitusi
sebagian termuat dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sebagian lainnya di dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 28
sampai dengan Pasal 85. Selebihnya diatur di dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi (Peraturan Mahkamah Konstitusi) di dalam
praktek. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 86 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang memberikan
kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Pasal 28 sampai
dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi memuat ketentuan hukum acara yang bersifat
umum untuk seluruh kewenangan Mahkamah Konstitusi. Selebihnya
merupakan ketentuan hukum tentang acara yang berlaku untuk setiap
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 50 sampai dengan Pasal 60
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
untuk Pengujian Undang-Undang.47
4. Budaya Hukum
Penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang
berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor
(interchange) dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman
terhadap hukum tidak sekedar sebagai sesuatu rumusan hitam putih
(blue print) yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundangundangan . Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat
diamati di dalam masyarakat antara lain melalui tingkah laku warga
Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
46

47

17

masyarakatnya.48 Dalam hal ini Lawrence M. Friedman menyatakan


bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah berupa kategori
nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi
bekerjanya hukum,49 sehingga terpenuhinya rasa keadilan dan
kemakmuran masyarakat sebagai diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari


Tujuan Hukum Kepastian Hukum
1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum menurut M. Solly Lubis ialah kepastian
mengenai batas-batas hak dan kewajiban para pihak (rechtenplicht,
right and duty) dalam hubungan hukum yang mereka lakukan
(bentrokkene rechtspersonen).50 Pendapat ini bila ditelaah, maka semua
kebijakan dalam bidang hukum harus dibuat agar dapat mengakomodir
tentang hak dan kewajiban subyek hukum dalam suatu hal tertentu
dengan pasti. Utrecht berpendapat bahwa tugas hukum itu menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan yang dalam pergaulan
kemasyarakatan. Terjadi kepastian dicapai oleh karena hukum.51
Kepastian

hukum

yang

pertama

berarti

kepastian

dalam

pelaksanaannya, yang dimaksud adalah bahwa hukum yang resmi


diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian
hukum bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, bahwa setiap
pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut

Esmi Warassih, Op.Cit., Hlm. 61


Esmi Warassih, Op.Cit., Hlm. 72
50
M. Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public
Policy), Bandung, Mandar Maju, hlm: 24
51
Ibid, hlm: 23
48
49

18

hukum juga. Keputusan pengadilan harus bebas dari pengaruh


kekuasaan. Kepastian hukum menuntut agar dalam perkara hukum,
kekuasaan eksekutif, pemerintah, di bawah kekuasaan yudikatif dan
dapat dipaksa untuk bertindak sesuai dengan hukum.52
Kepastian

pelaksanaan

hukum

mengandaikan

kepastian

orientasi. Hukum harus jelas, sehingga masyarakat dan hakim dapat


berpedoman padanya. Ini berarti bahwa setiap istilah dalam hukum
harus dirumuskan dengan jelas dan berarti bahwa setiap istilah dalam
hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak ada
keragu-raguan dalam tindakan yang dimaksud. Kepastian orientasi
menuntut agar ada prosedur pembentukan dan peresmian hukum yang
jelas dapat diketahui umum.
2. Substansi
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Amar putusan tersebut
apabila dibaca satu persatu secara terpisah, maka terdapat rentetan
masalah dari dilanggarnya Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum yang timbul dari
satu putusan hakim jika menyangkut terhadap undang-undang yang
diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi Undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan
yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini
berarti, putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

52

Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm: 63

19

mengikat. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak
putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 47
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
Selain itu, akibat hukum timbul dari berlakunya satu undang-undang
sejak yaitu diundangkan sampai diucapkannya putusan

yang

menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum


yang mengikat, tetap sah dan mengikat.53 Pengkajian putusan
Mahkamah Konstitusi a quo apabila hanya melihat dari segi undangundang, maka Mahkamah Konstitusi tidak dapat dibenarkan menunda
berlaku putusan yang pasal-pasalnya sudah tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum
terhadap Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang sebagian pasalnya sudah dianggap
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum akibat dari
tafsir tersebut, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa amar putusan
tersebut harus dibaca sebagai satu kesatuan dalam pemafhumannya,
dengan mempertimbangkan aspek-aspek hukum dan non hukum dari
berlakunya putusan tersebut.54 Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa pasal-pasal Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat dan berlaku pada Pemilu 2019 dan seterusnya adalah
semata-mata untuk mengatasi adanya kevakuman hukum. Kevakuman
hukum itu akan terjadi apabila putusan tersebut berlaku seketika sejak
diucapkan, dikarenakan Pemilu 2014 yang telah terjadwal tidak
53
Mauruar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, hlm: 218-219
54
Dokumentasi Indonesia Lawyer Club, <https :// www.youtube.com/ watch ?v= g iLa
QynoDwo>, diakses 21 Juli 2014, Pkl 13.00 WIB

20

mungkin dapat diatasi dengan menunggu pembentuk undang-undang


(DPR dan Presiden) untuk merubah Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 yang sebagian Pasal telah dikabulkan pengujiannya, termasuk
untuk menunggu Presiden yang mempunyai hak untuk menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang guna mengisi
kevakuman hukum tersebut, maka Mahkamah Konstitusi dalam hal ini
mempunyai pandangan sendiri dengan menunda berlakunya putusan
tersebut sebagai pertimbangan permasalahan yang akan timbul dari
putusan tersebut apabila tetap harus berlaku saat diucapkan (Pasal 47
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi)
yang memungkinkan ketidakpastian hukum terhadap Pemilu 2014
karena kehilangan dasar hukum dalam pelaksanaannya.
3. Struktur Hukum
Putusan tersebut harus dibaca dan dipahami sebagai satu
kesatuan, dan melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi secara lebih
dalam dalam putusan tersebut. Mahkamah Konstitusi menimbang
bahwa pelaksanaan putusan segera pada Pemilu 2014 tidak dapat
dilakukan karena seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun
Pemilu

Anggota

Lembaga

Perwakilan,

telah

dibuat

dan

diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapanpersiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan
peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai
pada tahap akhir, sehingga apabila Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara
dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam
perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang
saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat,
terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat
21

menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014


mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang
justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.55 Dasar pertimbangan
yang telah Mahkamah Konstitusi jelaskan membuat Mahkamah
Konstitusi harus keluar dari konteks undang-undang yang dalam hal ini
adalah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden demi mendapatkan
putusan yang adil, mempunyai kepastian hukum dan berguna bagi
Pemilu 2014.
4. Budaya Hukum
Selanjutnya,

Penulis

berpendapat

bahwa

amar

putusan

mengadili pada angka 2 yang menyatakan bahwa "Amar putusan dalam


angka 1 tersebut di atas berlaku untuk pelaksanaan pemilihan umum
tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya, merupakan satu kesatuan
dari putusan Mahkamah Konstitusi, yang mana bagian tersebut juga
merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini erat kaitannya
dengan teori bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat bersifat
positive legislature dalam artian merupakan pembentukan sebuah
norma atau ketentuan baru yang dilakukan demi mencari kebenaran
substantif yang dalam hal ini berdasarkan pertimbangan hukum yakni
demi menjamin kepastian hukum pelaksanaan Pemilu 2014 dan dengan
mempertimbangkan beberapa aspek hukum maupun non hukum
mengenai kesiapan teknis KPU dalam melaksanakan Pemilu Serentak.56

55
56

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013


Martitah, 2013, Op.Cit., hlm. 174-175.

22

C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Ditinjau dari


Tujuan Kemanfaatan
1. Kemanfaatan
Kemanfaatan hukum ini sendiri banyak dibahas pada aliran
filsafat hukum utilitirianisme. Aliran ini meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruknya atau adil tidaknya suatu
hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kepada
manusia atau tidak.57
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap
individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut
(the greatest happiness for the greatest number of people).58
Pendapat Jeremy Bentham dikutip oleh Lili Rajidi dan Ira
Thania Rasjidi yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang
hendaknya

dapat

melahirkan

undang-undang

yang

dapat

mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang


pada prinsip tersebut, maka peraturan perundang-undangan
hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi
sebagian besar masyarakat.59
2. Substansi
Dalam kaitanya dengan substansi dari aspek kemanfaatan,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut
menimbang aspek kemanfaatan dengan diberlakukannya tidak saat
diucapkan. Hal ini mempertimbangkan bahwa untuk memperoleh
kemanfaatan maka diperlukan waktu bagi pembentuk undang-undang
untuk membuat undang-undang pemilu yang baru.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm: 117.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Loc.Cit.
59
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm: 61
57
58

23

Peraturan perundang-undangan sebagai komponen penting


dalam kesatuan sistem hukum nasional, dengan demikian harus dengan
harus dibangun secara terintegrasi untuk memberikan jaminan bahwa
pembangunan nasional dapat berjalan teratur, ada kepastian hukum dan
memberikan kemanfaatan bagi terpenuhinya rasa keadilan dan
kemakmuran masyarakat sebagai dimanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.60
3. Struktur Hukum
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pelaksanaan putusan
segera pada Pemilu 2014 tidak dapat dilakukan karena seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan
pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa.
Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh
penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh
masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila
Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres
yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera
setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan
pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan
menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar
hukum. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan
umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan
ketidakpastian

hukum

yang

justru

tidak

dikehendaki

karena

Ahmad Yani, 2013, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif,


Jakarta, Konstitusi Press, hlm: 2
60

24

bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.61


4. Budaya Hukum
Dasar pertimbangan yang telah Mahkamah Konstitusi jelaskan
membuat Mahkamah Konstitusi harus keluar dari konteks undangundang yang dalam hal ini adalah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
demi mendapatkan putusan yang adil, mempunyai kepastian hukum dan
bermanfaat bagi Pemilu 2014.
Mahkamah Konstitusi keluar dari konteks undang-undang
formal dengan menimbang berbagai aspek yang mempengaruhi
penyelenggaraan pemilu yang akan segera dilaksanakan. Menurut
pendapat penulis, pertimbangan dengan menimbang aspek kemanfaatan
seperti yang telah dijelaskan sudah tepat, karena apabila hanya terpaku
dalam hukum positif yang membelenggu sehingga tidak dapat
menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat serta kemanfaatan
hukum yang ada, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak
dapat mencapai tujuan hukum.
Di samping hal tersebut, mengingat budaya hukum pemilu di
Indonesia yang telah mempersiapkan pemilu yang sudah menjadi
agenda lima tahun sekali sudah memasuki tahap akhir dalam Pemilu
2014

lalu,

maka

secara

teori

hukum,

putusan

ini

sangat

mempertimbangkan kemanfaatan dan budaya hukum yang ada baik


dalam ketatanegaraan maupun masyarakat Indonesia.

61

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013

25

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/13 tidak
hanya bersandarkan pada semangat legalitas formal peraturan-peraturan
tertulis, melainkan juga telah menggali dan menghadirkan nilai keadilan,
kepastian

dan

kemanfaat

substantif

bagi

masyarakat.

Semangat

menegakkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan


substansial tersebut dijawab Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang
tidak terpasung oleh keterbatasan normatif undang-undang, Mahkamah
Konstitusi mampu menghadirkan putusan yang bersifat positive legislature
dengan mempertimbangkan aspek-aspek hukum maupun non-hukum yang
berakibat kepada pemilihan umum di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Menurut kajian penulis, berdasarkan substansi dari putusan tersebut
untuk pemilu, struktur hukum yang ada di Indonesia dan Budaya hukum
yang ada di dalam masyarakat, pertimbangan aspek hukum yakni dengan
menunda putusan tersebut berlaku dan memasukkan penundaan tersebut
sebagai salah satu putusannya merupakan penemuan hukum yang hal
tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Kemudian bahwa
pertimbangan akan terjadinya kekosongan hukum apabila segera
diberlakukan pada saat Pemilu 2014 yang saat itu persiapan sudah
mendekati tahap akhir sehingga tidak memungkinkan bagi pembentuk
undang-undang pemilu yang baik sesuai dengan tujuan hukum maupun apa
yang dikehendaki oleh konstitusi merupakan bukti bahwa Mahkamah
Konstitusi telah menimbang tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan.

26

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel
Ahmad Fadlil Sumandi, 2013, Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi: Aktualisasi Konstitusi dalam Praktis Kenegaraan,
Malang, Setara Press
Ahmad Yani, 2013, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
Responsif, Jakarta, Konstitusi Press
Carl Joachim Friedrich, 2014, Filsafat Hukum; Perspektif Historis, Raisul
Mutaqqien (Penerjemah), Bandung, Pustaka Sinar Harapan
Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional,
Yogyakarta, Total Media
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama
Dyah Ochtorina Susanti dan Aan Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal
Research), Jakarta, Sinar Grafika
Esmi Warassih, 2011, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro
Gene Sharp, 1997, Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan; Kerangka
Konseptual Untuk Pembebasan, Sugeng Bahagijo, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan
Hans Kelsen, 2008, Pure Theory of Law, Fifth Printing, University of
California Press, New Jersey
----------------,

2009,

Pengantar

Teori

(Penerjemah), Bandung, Nusa Media

Hukum,

Siwi

Purwandari

Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung,


Fokus Media
Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press
Jimly Asshiddiqie, dan Ali Safaat, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Jakarta, Konstitusi Press
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), 1989, Filsafat Hukum Mazham dan
Refleksinya, Bandung, Remadja Karya
------------- dan Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum,
Bandung, Mandar Maju
Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar
(American

Law:

An Introduction), Penerjemah oleh Wishnu

Basuki, Jakarta, PT. Tatanusa Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem


Hukum; Prespektif Ilmu Sosial, M Khozim (Penerjemah), Cetakan
III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
M. Abdi, (et al), 2013, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana
Hukum (S1), Bengkulu Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
M. Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy
and Public Policy), Bandung, Mandar Maju
Martitah, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legsilature ke Postivie
Legislature, Jakarta, Konstitusi Press
Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi
Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta,
antonyLib-Indonesia & LHSP-Indonesia
Mauruar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika

Moh. Mahfud MD, 2011, Membagun Politik Hukum Menegakkan


Konstitusi, Jakarta, Rajagrafindo PersadaMerphin Panjaitan, 2013,
Logika Demokrasi: Manyongsong Pemilihan Umum 2014, Jakarta,
Permata Aksara
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum,
Jakarta, RajaGrafindo Persada
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana
Phillippe Nonet & Phillip Selznick, 2003, Hukum Responsif; Pilihan di
Masa Transisi, Rafael Edi Bosco (penerjemah), Jakarta, The Ford
Foundation Huma Janedjri M. Gaffar, 2013, Hukum Pemilu Dalam
Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press
S. Tasrif, 1987, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta, Abardin
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada
---------------------, et. all., 1986, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta,
Ghalia Indonesia
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode, Malang,
Sentra Press
Sudikno Metrokusumo, 2012, Teori Hukum Edisi Revisi, Yogyakarta,
Cahaya Atma Pustaka
Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung,
Alfabeta,1 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2010 Penelitian
Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, RajaGrafindo
Persada

B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan

Mahkamah

Konstitusi/2005

Konstitusi

Nomor

tentang Pedoman

06/Peraturan
Beracara

Mahkamah

dalam

Perkara

Pengujian Undang-Undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.

C. Website
Dokumentasi Indonesia Lawyer Club, <https :// www.youtube.com/ watch
?v= g iLa QynoDwo>, diakses 25 Desember 2015, Pkl 13.00 WIB
Kompas Nasional. MPR Kritik Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilu
Serentak 2019 dalam http://www.nasional.kompas.com/ read/ 2014/
01/ 23/ 1916301/ MPR. Kritik. Putusan. Mahkamah Konstitusi. soal.
Pemilu. Serentak. 2019 diakses 25 Desember 2015, Pkl 21.55 WIB.
Ngobrolin Hukum. Sekilas Mengenai Sistem Hukum di Indonesia dalam
<https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-

mengenai-sistem-hukum-di-indonesia/> diakses pada 27 Desember


2015, Pkl 22.50 WIB

Anda mungkin juga menyukai