PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian
berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri
mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan,
hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun
yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai
ciri alami dan budaya.
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan
kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang
surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5
juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Lahan Pasir pantai merupakan tanah yang
mengandung lempung,debu,dan zat hara yang sangat minim. Akibatnya, tanah
pasir mudah mengalirkan air, sekitar 150 cm per jam. Sebaliknya, kemampuan
tanah pasir menyimpan air sangat rendah,1,6-3% darI total air yang
tersedia.Angin dI kawasan pantai itu sangat tinggi,sekitar 50 kper jam.Angin
dengan kecepatan mudah mencerabut akar dan merobohkan tanaman.Angin Yang
kencang dipantai bisa membawa partikel-partikel garam yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Suhu di kawasan pantai siang hari sangat panas. Ini
menyebabkan proses kehilangan air tanah akibat proses penguapan sangat tinggi
(Prapto dkk., 2000).
II.TINJAUAN PUSTAKA
Nama podsolik merah kuning, yang menjadi sangat terkenal di Indonesia
sampai masyarakat awam ikut mengucapkannya, diperkenalkan untuk pertama
kali dalam pustaka ilmu tanah Indonesia oleh Dudal & Soepraptohardjo (1957).
Nama ini digunakan dalam
(1938). Nama tanah ini akhirnya begitu teguh melekat dalam pikiran kebanyakan
orang Indonesia, baik yang berurusan maupun yang merasa berurusan dengan
tanah, sehingga nyaris tidak tergoyahkan oleh nomenklatur baru menurut sistem
klasifikasi tanah yang lebih baik. Sebelum nama podsolik merah-kuning masuk ke
Indonesia, tanah itu masuk dalam golongan tanah lateritik. Van der Voort (1950)
lebih suka menyebutnya tanah lateritik terdegradasi, yang menunjukkan
persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames (1955)
memakai nama tanah lateritik terpodsolisasi, yang juga mencerminkan suatu
pendapat bahwa tanah tersebut telah menjalani proses pemunduran kesuburan.
Memang banyak juga orang Indonesia, terutama yang awam, menyamakan tanah
ini dengan tanah tanpa harapan. Dalam sistem klasifikasi tanah USDA terbaru
yang masih terus dikembangkan dengan kerjasama internasional untuk
kesempurnaannya, tanah podsolik merah-kuning secara umum masuk dalam ordo
ultisol. Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah yang berasal
dari sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung
dan lengkap. Hal ini disebabkan karena setiap sistem klasifikasi menggunakan
seperangkat kriteria kelas yang berbeda. Andaipun kriteria sama akan tetapi
hierarki penerapannya berbeda, hasil pembentukan kelas berbeda pula. Dalam
sistem FAO/UNESCO tanah yang disebut ultisol terpilihkan menjadi dua satuan
tanah utama, yaitu akrisol dan nitosol. Akrisol ialah kelompok yang lebih buruk,
sedang nitosol ialah yang lebih baik. Penggantian nama tanah atau pemakaian
nama tanah baru karena perubahan sistem klasifikasi, bukan sekedar pengubahan
sebutan menuruti mode atau selera, atau suatu ulah akademik, melainkan suatu
pernyataan pembaharuan persepsi dan konsepsi tentang tanah (Sanchez,1981)
Pengapuran adalah pemberian kapur kedalam tanah yang pada umumnya
bukan karena kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam
(Hardjowigeno, 1987). Pengapuran adalah pemberian kapur ke tanah yang
bertujuan menetralkan kemasaman tanah dan meningkatkan atau menurunkan
ketersediaan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Pengapuran adalah
pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan
unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu
dinaikkan agar unsur-unur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan
Al dapat dihindarkan (Sukra, 1986)
Pengapuran dinyatakan sebagai teknologi yang paling tepat dalam
pemanfaatan tanah masam di dasarkan atas beberapa pertimbangan. pertama,
reaksi kapur sangat cepat dalam menaikkan pH tanah dan menurunkan kelarutan
Al yang meracun. Kedua, respons tanaman sangat tinggi terhadap pemberian
kapur pada tanah masam. Ketiga, efek sisa kapur atau manfaat kapur dapat
dinikmati selama 3 sampai 4 tahun berikutnya. Keempat, bahan kapur cukup
tersedia dan relatif murah, termasuk di Indonesia (Rahardis, 2007).
III.METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah tanah podsolik merahkuning, kapur pertanian (0,2,4 gr/ 3 kg), dolomite (0,2,4 gr/ 5 kg), NPK mutiara
25 gr/ 5 kg dan benih kangkung darat.
Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah polybag, screenhouse,
timbangan, ember, gayung dan alat tulis.
B. Prosedur Kerja
1. Tanah top soil merah dan kuning disiapkan dengan menimbang sejumlah
yang dibutuhkan sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Tanah top
soil yang dibutuhkan = jarak tanam x kedalaman akar x BV tanah top soil.
Penimbangan dilakukan sebanyak yang dibutuhkan dengan ketentuan setiap
unit percobaan terdiri atas 27 polybag.
2. Dosis perlakuan pemberian kapur pertanian dan dolomit ditentukan. Ada 3
taraf dosis pada masing-masing kapur yang dibuat, yaitu 0, 2, 4 gr/5 kg.
3. Kapur pertanian dan dolomit diberikan sesuai dengan taraf dosis yang telah
ditentukan, dicampur hingga merata dengan tanah top soil yang telah
disiapkan.
4. Bibit atau benih ditanam pada masing-masing polybag, sebelum ditanami
polybag disiram sampai kapasitas lapangan.
5. Untuk memudahkan pengamatan, semua perlakuan diatur dengan rancangan
lingkungan RAKL 4 ulangan.
6. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman sejumlah air yang
dibutuhkan.
7. Pengamatan dilakukan terhadap variabel tinggi pertumbuhan tanaman.
kemasaman tanah dan kandungan Aldd dalam tanah tinggi, sehingga pemberian P
dalam jumlah yang cukup tidak direspon oleh tanaman, karena banyak yang
terfiksasi akibatnya P tidak tersedia bagi tanaman (Nursyamsi et al,1995). Usaha
dibidang pertanian dan perkebunan di lahan yang demikian tidak akan
menghasilkan produk yang optimal.
Podsolik Merah Kuning (PMK) sering diidentikkan dengan tanah yang tidak
subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial,
asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada
pada Podsolik Merah Kuning (PMK) ternyata dapat merupakan lahan potensial
apabila iklimnya mendukung.
Menurut klasifikasi lama Soepraptohardjo (1961), Podsolik Merah Kuning
(PMK) mempunyai sifat fisik dan sifak kimia yaitu warna tanah pada horizon
argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 36 dan kroma
48. Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik
yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi
ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta
oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga
merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan
makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit .Tekstur tanah
Podsolik Merah Kuning (PMK) bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya. Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dari granit yang kaya akan
mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir
,sedangkan tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dari batu kapur, batuan andesit,
dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus .
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) umumnya mempunyai struktur
sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al.
2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah
mempengaruhi tekstur Podsolik Merah Kuning (PMK). Bahan induk yang
didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir,
cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral
mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung
menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.
Ciri morfologi yang penting pada Podsolik Merah Kuning (PMK) adalah
adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang
disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan
peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat
dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang
profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap
perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat
menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et
al. 1993).
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) kebanyakan memiliki sifat tanah
yang masam, karena material di dalam profil tanah banyak mengandung mineral
kuarsa dan seskuioksida besi (Fe) dan aluminium (Al), sementara mineralmineral lainnya amat sedikit. Berdasarkan hal ini ditambah beberapa ciri lainnya.
tanah. Deposit kapur di lapangan tidaklah murni, namun terdapat oksida atau
hidroksida dari senyawa lain, seperti zeolit, dolomit, dan kalsium silikat.
Dolomit adalah pupuk tunggal berkadar Magnesium tinggi digunakan baik
untuk tanah pertanian, tanah perkebunan, kebutuhan industri dan bahkan untuk
perikanan/tambak. Bahan bakudolomit berasal dari batuan dolomit yang
ditambang.Sedangkan, Kapur Pertanian (Kaptan) adalah bahan alamiah atau suatu
produk yang mengandung senyawa utamaKalsium (CaCO) yang dapat digunakan
untuk mengubah sifat keasaman tanah.
Perbedaan dolomit dan kapur pertanian (kaptan) terdapat dari kandungan
dari kaptan sendiri hanya mengandung unsur Ca dalam bentuk CaCO3. Kemudian
dalam pengaplikasiaannya dolomit harus dihaluskan terlebih dahulu serta
memiliki unsur campuran CaCO3 dan MGO3 dimana kadarCaCO3 nya lebih
banyak.
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum acara pengapuran pada tanah
marginal ini dengan perlakuan pada masing-masing polybag dengan dosis
pemberian dolomit dan kapur pertanian yaitu dengan tiga taraf dosis yang pada
masing-masing kapur dibuat, yaitu 0, 2, 4 gr/5 kg atau untuk memudahkan saat
pengamatan bisa dengan diberi tanda berdasarkan perlakuan yang dilakukan yaitu
K, D1, D2, Kp1, dan Kp2 dengan perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil
pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada K ulangan 1 yaitu 20,5, ulangan 2
yaitu 10,11, ulangan 3 yaitu 26,1, dan ulangan 4 yaitu 25,4 sehingga diperoleh
rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada K yaitu 20,525.
pertimbangan. pertama, reaksi kapur sangat cepat dalam menaikkan pH tanah dan
menurunkan kelarutan Al yang meracun. Kedua, respons tanaman sangat tinggi
terhadap pemberian kapur pada tanah masam. Ketiga, efek sisa kapur atau
manfaat kapur dapat dinikmati selama 3 sampai 4 tahun berikutnya.
Menurut Soepraptohardjo (1961) di dalam tanah yang lembab (udik) atau
mengalami jenuh air (akuik), kandungan Ca dan Mg relatif sangat kecil sekali
dibandingkan dengan ion H dan Al yang biasanya menguasai kompleks koloid.
Oleh karena itu tanah-tanah demikian bereaksi masam. Kemudian tidaklah tepat
menggunakan bahan kapur (Ca dan Mg) dari senyawa oksida asam, seperti
CaSO4 atau MgSO4. Karena kalsium dan magnesium sulfat tersebut akan
meningkatkan ion H dan oksida asam sulfat dalam larutan tanah. Jadi meskipun
jumlah ion kalsium dan magnesium meningkat, namun kemasaman tanah tidak
berkurang bahkan bertambah masam. Dan ditambah dengan pemberian pupuk
NPK mutiara yang diberikan secara langsung mengenai tanaman bisa
mengakibatkan tanaman semakin tercekam keadaan masam.
Menurut Santoso (2006) Pengapuran merupakan cara yang tepat untuk
menaikkan nilai pH tanah yang rendah. Pemberian kapur selain memperbaiki nilai
pH tanah, juga menambah unsure Ca, Mg, ketersediaan P dan Mo serta
mengurangi keracunan yang disebabkan oleh Al, Fe dan Mn. Khasiat dari kapur
mempunyai daya susul atau residu dalam kurun waktu selama 2-3 tahun. Menurut
Soepardi (1983), senyawa-senyawa kalsium dan magnesium biasanya disebut
kapur pertanian dan memiliki keuntungan meningkatkan residu yang tidak
merugikan dalam tanah. Kapur pertanian yang biasa dijumpai dapat berupa kapur
kalsit (CaCO3) dan kapur dolomit CaMg(CO3)2
dilakukan dengan teliti agar data pengamatan yang didapatkan lebih tepat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1986. Perbaikan Lahan Kritis
dengan Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.
Handayanto, E., Hairiyah,K .2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah
Sehat. Pustaka Adipura.
Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo
Persada.Jakarta . pp 139-165.