Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian
berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri
mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan,
hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun
yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai
ciri alami dan budaya.
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan
kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang
surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5
juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Lahan Pasir pantai merupakan tanah yang
mengandung lempung,debu,dan zat hara yang sangat minim. Akibatnya, tanah
pasir mudah mengalirkan air, sekitar 150 cm per jam. Sebaliknya, kemampuan
tanah pasir menyimpan air sangat rendah,1,6-3% darI total air yang
tersedia.Angin dI kawasan pantai itu sangat tinggi,sekitar 50 kper jam.Angin
dengan kecepatan mudah mencerabut akar dan merobohkan tanaman.Angin Yang
kencang dipantai bisa membawa partikel-partikel garam yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Suhu di kawasan pantai siang hari sangat panas. Ini
menyebabkan proses kehilangan air tanah akibat proses penguapan sangat tinggi
(Prapto dkk., 2000).

Karakteristik lahan pasir pantai adalah kandungan pasir melebihi 95%,


struktur tanah kurang baik, konsistensi lepas, kurang kuat menahan air,
permeabilitas dan drainase sangat cepat, serta miskin hara. Pemberian bahan
organik atau pupuk kandang, dan perbaikan sifat tanah dapat memperbaiki sifat
fisik tanah, terutama agregat, yang pada nantinya akan meningkatkan kelembapan
tanah. Apalagi kawasannya yang terbuka dengan angin laut yang memiliki
kandungan garam dan lembab.
Upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kesuburan lahan pertanian
di kawasan pasir pantai yang secara alami kurang produktif dapat dilakukan
melalui penerapan teknologi dan pemberdayaan masyarakat. Pemberian masukan
tertentu misalnya lempung, kapur, zeolite atau kompos dapat dilakukan ke dalam
tanah dengan tujuan perbaikan sifat fisika, kimiawi dan biologi tanah.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
1. Mempelajari cara pengapuran pada tanah marginal.
2. Mempengaruhi pengaruh pemberian beberapa jenis kapur pada lahan
marginal.

II.TINJAUAN PUSTAKA
Nama podsolik merah kuning, yang menjadi sangat terkenal di Indonesia
sampai masyarakat awam ikut mengucapkannya, diperkenalkan untuk pertama
kali dalam pustaka ilmu tanah Indonesia oleh Dudal & Soepraptohardjo (1957).
Nama ini digunakan dalam

sistem klasifikasi tanah susunan Baldwin dkk.,

(1938). Nama tanah ini akhirnya begitu teguh melekat dalam pikiran kebanyakan
orang Indonesia, baik yang berurusan maupun yang merasa berurusan dengan
tanah, sehingga nyaris tidak tergoyahkan oleh nomenklatur baru menurut sistem
klasifikasi tanah yang lebih baik. Sebelum nama podsolik merah-kuning masuk ke
Indonesia, tanah itu masuk dalam golongan tanah lateritik. Van der Voort (1950)
lebih suka menyebutnya tanah lateritik terdegradasi, yang menunjukkan
persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames (1955)
memakai nama tanah lateritik terpodsolisasi, yang juga mencerminkan suatu
pendapat bahwa tanah tersebut telah menjalani proses pemunduran kesuburan.
Memang banyak juga orang Indonesia, terutama yang awam, menyamakan tanah
ini dengan tanah tanpa harapan. Dalam sistem klasifikasi tanah USDA terbaru
yang masih terus dikembangkan dengan kerjasama internasional untuk
kesempurnaannya, tanah podsolik merah-kuning secara umum masuk dalam ordo
ultisol. Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah yang berasal
dari sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung
dan lengkap. Hal ini disebabkan karena setiap sistem klasifikasi menggunakan
seperangkat kriteria kelas yang berbeda. Andaipun kriteria sama akan tetapi
hierarki penerapannya berbeda, hasil pembentukan kelas berbeda pula. Dalam

sistem FAO/UNESCO tanah yang disebut ultisol terpilihkan menjadi dua satuan
tanah utama, yaitu akrisol dan nitosol. Akrisol ialah kelompok yang lebih buruk,
sedang nitosol ialah yang lebih baik. Penggantian nama tanah atau pemakaian
nama tanah baru karena perubahan sistem klasifikasi, bukan sekedar pengubahan
sebutan menuruti mode atau selera, atau suatu ulah akademik, melainkan suatu
pernyataan pembaharuan persepsi dan konsepsi tentang tanah (Sanchez,1981)
Pengapuran adalah pemberian kapur kedalam tanah yang pada umumnya
bukan karena kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam
(Hardjowigeno, 1987). Pengapuran adalah pemberian kapur ke tanah yang
bertujuan menetralkan kemasaman tanah dan meningkatkan atau menurunkan
ketersediaan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Pengapuran adalah
pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan
unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu
dinaikkan agar unsur-unur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan
Al dapat dihindarkan (Sukra, 1986)
Pengapuran dinyatakan sebagai teknologi yang paling tepat dalam
pemanfaatan tanah masam di dasarkan atas beberapa pertimbangan. pertama,
reaksi kapur sangat cepat dalam menaikkan pH tanah dan menurunkan kelarutan
Al yang meracun. Kedua, respons tanaman sangat tinggi terhadap pemberian
kapur pada tanah masam. Ketiga, efek sisa kapur atau manfaat kapur dapat
dinikmati selama 3 sampai 4 tahun berikutnya. Keempat, bahan kapur cukup
tersedia dan relatif murah, termasuk di Indonesia (Rahardis, 2007).

Menurut Wijaya (2011) kapur merupakan bahan yang mengandung Ca yang


dapat meningkatkan pH tanah, ketersediaan unsur fospor (P) dan Molibdenum
(Mn). Dolomit merupakan batuan sedimen laut yang terangkat ke permukaan yang
lebih sering di sebut batu gamping yang umum berwarna putih. Kapur untuk
keperluan tanah pertanian biasanya berupa serbuk putih yang memiliki unsur
campuran CaCO3 dan MgO3 dimana kadar CaCO3 nya lebih banyak.

III.METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah tanah podsolik merahkuning, kapur pertanian (0,2,4 gr/ 3 kg), dolomite (0,2,4 gr/ 5 kg), NPK mutiara
25 gr/ 5 kg dan benih kangkung darat.
Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah polybag, screenhouse,
timbangan, ember, gayung dan alat tulis.
B. Prosedur Kerja
1. Tanah top soil merah dan kuning disiapkan dengan menimbang sejumlah
yang dibutuhkan sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Tanah top
soil yang dibutuhkan = jarak tanam x kedalaman akar x BV tanah top soil.
Penimbangan dilakukan sebanyak yang dibutuhkan dengan ketentuan setiap
unit percobaan terdiri atas 27 polybag.
2. Dosis perlakuan pemberian kapur pertanian dan dolomit ditentukan. Ada 3
taraf dosis pada masing-masing kapur yang dibuat, yaitu 0, 2, 4 gr/5 kg.
3. Kapur pertanian dan dolomit diberikan sesuai dengan taraf dosis yang telah
ditentukan, dicampur hingga merata dengan tanah top soil yang telah
disiapkan.
4. Bibit atau benih ditanam pada masing-masing polybag, sebelum ditanami
polybag disiram sampai kapasitas lapangan.
5. Untuk memudahkan pengamatan, semua perlakuan diatur dengan rancangan
lingkungan RAKL 4 ulangan.
6. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman sejumlah air yang
dibutuhkan.
7. Pengamatan dilakukan terhadap variabel tinggi pertumbuhan tanaman.

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Terlampir
B. Pembahasan
Pengapuran adalah pemberian kapur ke tanah yang bertujuan menetralkan
kemasaman tanah dan meningkatkan atau menurunkan ketersediaan unsur-unsur
hara bagi pertumbuhan tanaman (Sukra, 1986).Pengapuran adalah pemberian
kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca
tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu dinaikkan agar
unsur-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat
dihindarkan.
Menurut Rahardis (2007), manfaat pengapuran sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Menaikkan pH tanah atau mengurangi derajat kemasaman tanah.


Meningkatkan jumlah Ca dan Mg sampai kondisi netral.
Mengurangi kadar besi dan fosfor dalam tanah.
Mengurangi keracunan logam Al dan pH rendah.

Program pengembangan pertanian dan perkebunan oleh pemerintah


diprioritaskan ke luar pulau jawa, terutama dilahan podsolik merah kuning (PMK)
dan pasangsurut (Santoso, 2006). Menurut Mulyani dan Hidayat (1988) lahan
PMK di Indonesia seluas 48,3 juta ha yang tersebar di Kalimantan, sumatra,
sulawesi, jawa barat dan irian jaya. Permasalahan yang dihadapi pada lahan PMK
adalah pH termasuk masam, tingkat ketersediaan C-organik rendah sampai
sedang, P sedang sampai tinggi, K, basa-basa, C, Mg, Na, Kapasitas tukar kation
(KTK) dan kejenuhan basa (KB) semuanya rendah (Santoso et al, 1993). Kriteria

kemasaman tanah dan kandungan Aldd dalam tanah tinggi, sehingga pemberian P
dalam jumlah yang cukup tidak direspon oleh tanaman, karena banyak yang
terfiksasi akibatnya P tidak tersedia bagi tanaman (Nursyamsi et al,1995). Usaha
dibidang pertanian dan perkebunan di lahan yang demikian tidak akan
menghasilkan produk yang optimal.
Podsolik Merah Kuning (PMK) sering diidentikkan dengan tanah yang tidak
subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial,
asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada
pada Podsolik Merah Kuning (PMK) ternyata dapat merupakan lahan potensial
apabila iklimnya mendukung.
Menurut klasifikasi lama Soepraptohardjo (1961), Podsolik Merah Kuning
(PMK) mempunyai sifat fisik dan sifak kimia yaitu warna tanah pada horizon
argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 36 dan kroma
48. Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik
yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi
ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta
oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga
merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan
makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit .Tekstur tanah
Podsolik Merah Kuning (PMK) bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya. Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dari granit yang kaya akan
mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir

,sedangkan tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dari batu kapur, batuan andesit,
dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus .
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) umumnya mempunyai struktur
sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al.
2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah
mempengaruhi tekstur Podsolik Merah Kuning (PMK). Bahan induk yang
didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir,
cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral
mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung
menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.
Ciri morfologi yang penting pada Podsolik Merah Kuning (PMK) adalah
adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang
disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan
peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat
dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang
profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap
perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat
menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et
al. 1993).
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) kebanyakan memiliki sifat tanah
yang masam, karena material di dalam profil tanah banyak mengandung mineral
kuarsa dan seskuioksida besi (Fe) dan aluminium (Al), sementara mineralmineral lainnya amat sedikit. Berdasarkan hal ini ditambah beberapa ciri lainnya.

Mineral-mineral tersebut memiliki kapasitas menahan hara (KTK) yang rendah,


demikian pula potensi kandungan hara rendah.
Sedangkan sifat kimia tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) yaitu memiliki
tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Munir, 1996). Tanah Podsolik Merah Kuning
(PMK) memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen
kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah
umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat
ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum
melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau pada daerah-daerah yang kaya akan
basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian lebih bawah solum
(Hakim,dkk. 1986).
Di dalam tanah yang lembab (udik) atau mengalami jenuh air (akuik),
kandungan Ca dan Mg relatif sangat kecil sekali dibandingkan dengan ion H dan
Al yang biasanya menguasai kompleks koloid. Oleh karena itu tanah-tanah
demikian bereaksi masam, dan sudah sewajarnya membutuhkan penambahan
kation-kation basa (pengapuran). Selain untuk meningkatkan jumlah kation basa
juga mempunyai efek terhadap peningkatan pH atau menurunkan tingkat
kemasaman tanah.
Mekanisme reaksi pengapuran pada lahan masam yaitu dengan menghindari
efek yang kurang baik, tidaklah tepat menggunakan bahan kapur (Ca dan Mg) dari
senyawa oksida asam, seperti CaSO4 atau MgSO4. Karena kalsium dan
magnesium sulfat tersebut akan meningkatkan ion H dan oksida asam sulfat
dalam larutan tanah. Jadi meskipun jumlah ion kalsium dan magnesium

meningkat, namun kemasaman tanah tidak berkurang bahkan bertambah masam.


Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
H Misel + CaSO4 < == > Ca = Misel + 2H+ + SO4=H
Pada tanah bereaksi netral dapat digunakan kalsium dan magnesium sulfat,
karena diperlukan banyak Ca dan Mg tetapi tidak menaikkan pH tanah. Dalam
parkteknya di lapangan senyawa magnesium karbonat, oksida atau hidroksidanya
jarang dipergunakan. Karena selain efeknya lebih rendah dibandingkan dengan
Ca, juga deposit magnesium karbonat, oksida atau hidroksidanya sangat kecil dan
sukar diperoleh.
Lazimnya senyawa kalsium dan magnesium karbonat terdapat sebagai
deposit dolomit yang perbandingan Ca-karbonat dan Mg-karbonatnya bervariasi
sekali. KarenaCaCO3 dan dolomit banyak digunakan di sektor pertanian maka
bahan tersebut disebut sebagai kapur pertanian. Dua senyawa ini memberikan
keuntungan, dan tidak meninggalkan efek yang merugikan dalam tanah. Reaksi
langsung antara CaCO3 dan CaO dengan sumber asam tanah, secara sederhana
dapat ditunjukkan sebagai berikut:
H
Misel + CaCO3 <===> Ca=Misel + CO2 + H2OH
H
Misel + CaO <===> Ca=Misel + H2OH
Kalau kedua reaksi itu bergeser ke kanan, akan terjadi netralisasi atau peniadaan
ion H dan peningkatan kalsium dapat ditukar (Ca d.d.). Hal ini mengakibatkan
peningkatan persentase kejenuhan basa sejalan dengan peningkatan pH larutan

tanah. Deposit kapur di lapangan tidaklah murni, namun terdapat oksida atau
hidroksida dari senyawa lain, seperti zeolit, dolomit, dan kalsium silikat.
Dolomit adalah pupuk tunggal berkadar Magnesium tinggi digunakan baik
untuk tanah pertanian, tanah perkebunan, kebutuhan industri dan bahkan untuk
perikanan/tambak. Bahan bakudolomit berasal dari batuan dolomit yang
ditambang.Sedangkan, Kapur Pertanian (Kaptan) adalah bahan alamiah atau suatu
produk yang mengandung senyawa utamaKalsium (CaCO) yang dapat digunakan
untuk mengubah sifat keasaman tanah.
Perbedaan dolomit dan kapur pertanian (kaptan) terdapat dari kandungan
dari kaptan sendiri hanya mengandung unsur Ca dalam bentuk CaCO3. Kemudian
dalam pengaplikasiaannya dolomit harus dihaluskan terlebih dahulu serta
memiliki unsur campuran CaCO3 dan MGO3 dimana kadarCaCO3 nya lebih
banyak.
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum acara pengapuran pada tanah
marginal ini dengan perlakuan pada masing-masing polybag dengan dosis
pemberian dolomit dan kapur pertanian yaitu dengan tiga taraf dosis yang pada
masing-masing kapur dibuat, yaitu 0, 2, 4 gr/5 kg atau untuk memudahkan saat
pengamatan bisa dengan diberi tanda berdasarkan perlakuan yang dilakukan yaitu
K, D1, D2, Kp1, dan Kp2 dengan perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil
pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada K ulangan 1 yaitu 20,5, ulangan 2
yaitu 10,11, ulangan 3 yaitu 26,1, dan ulangan 4 yaitu 25,4 sehingga diperoleh
rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada K yaitu 20,525.

Kemudian pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada D1 ulangan 1


yaitu 16,6, ulangan 2 yaitu 27,5, ulangan 3 yaitu 13,9, dan ulangan 4 yaitu 22,03
sehingga diperoleh rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada D1 yaitu 20,0075.
Kemudian pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada D2 ulangan 1
yaitu 23,9, ulangan 2 yaitu 22,3, ulangan 3 yaitu 16,7, dan ulangan 4 yaitu 19,1
sehingga diperoleh rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada D2 yaitu 19,1.
Kemudian pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada Kp1 ulangan 1
yaitu 19,6, ulangan 2 yaitu 18,1, ulangan 3 yaitu 22,6, dan ulangan 4 yaitu 25,3
sehingga diperoleh rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada Kp1 yaitu 21,4.
Kemudian pengamatan tinggi pertumbuhan tanaman pada Kp2 ulangan 1
yaitu 16,3, ulangan 2 yaitu 23,5, ulangan 3 yaitu 25,9, dan ulangan 4 yaitu 17,9
sehingga diperoleh rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada Kp2 yaitu 20,9.
Setelah diperoleh data dari masing-masing tinggi tanaman kemudian
dilanjutkan dengan perhitungan pada bobot tanaman, panjang akar terpanjang
tanaman, dan pH tanah yang dilakukan pada terakhir pengamatan. Berdasarkan
pengamatan keseluruhan yang telah diperoleh maka selanjutnya dilakukan analisis
data berupa uji anova per variabel berdasarkan tinggi tanaman dan bobot basah
tanaman dan uji hasil lanjut berdasarkan tinggi tanaman dan bobot basah tanaman
yaitu bahwa pada variabel tinggi tanaman dan bobot basah tanaman pemberian
dolomit dan kapur pertanian tidak memberikan pengaruh maka tidak dilakukan uji
lanjut.
Menurut Rahardis (2007), pengapuran dinyatakan sebagai teknologi yang
paling tepat dalam pemanfaatan tanah masam di dasarkan atas beberapa

pertimbangan. pertama, reaksi kapur sangat cepat dalam menaikkan pH tanah dan
menurunkan kelarutan Al yang meracun. Kedua, respons tanaman sangat tinggi
terhadap pemberian kapur pada tanah masam. Ketiga, efek sisa kapur atau
manfaat kapur dapat dinikmati selama 3 sampai 4 tahun berikutnya.
Menurut Soepraptohardjo (1961) di dalam tanah yang lembab (udik) atau
mengalami jenuh air (akuik), kandungan Ca dan Mg relatif sangat kecil sekali
dibandingkan dengan ion H dan Al yang biasanya menguasai kompleks koloid.
Oleh karena itu tanah-tanah demikian bereaksi masam. Kemudian tidaklah tepat
menggunakan bahan kapur (Ca dan Mg) dari senyawa oksida asam, seperti
CaSO4 atau MgSO4. Karena kalsium dan magnesium sulfat tersebut akan
meningkatkan ion H dan oksida asam sulfat dalam larutan tanah. Jadi meskipun
jumlah ion kalsium dan magnesium meningkat, namun kemasaman tanah tidak
berkurang bahkan bertambah masam. Dan ditambah dengan pemberian pupuk
NPK mutiara yang diberikan secara langsung mengenai tanaman bisa
mengakibatkan tanaman semakin tercekam keadaan masam.
Menurut Santoso (2006) Pengapuran merupakan cara yang tepat untuk
menaikkan nilai pH tanah yang rendah. Pemberian kapur selain memperbaiki nilai
pH tanah, juga menambah unsure Ca, Mg, ketersediaan P dan Mo serta
mengurangi keracunan yang disebabkan oleh Al, Fe dan Mn. Khasiat dari kapur
mempunyai daya susul atau residu dalam kurun waktu selama 2-3 tahun. Menurut
Soepardi (1983), senyawa-senyawa kalsium dan magnesium biasanya disebut
kapur pertanian dan memiliki keuntungan meningkatkan residu yang tidak

merugikan dalam tanah. Kapur pertanian yang biasa dijumpai dapat berupa kapur
kalsit (CaCO3) dan kapur dolomit CaMg(CO3)2

V.KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini adalah
1. Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan
karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh
karena itu pH tanah perlu dinaikkan agar unsur-unsur hara seperti P mudah
2.

diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan.


Pengaruh pemberian beberapa jenih kapur yaitu dolomit dan kapur pertanian
berdasarkan praktikum ialah tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi
tanaman yang diamati.
B. Saran
Saran untuk praktikum ini adalah praktikum selanjutnya pengukuran

dilakukan dengan teliti agar data pengamatan yang didapatkan lebih tepat lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1986. Perbaikan Lahan Kritis
dengan Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.
Handayanto, E., Hairiyah,K .2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah
Sehat. Pustaka Adipura.
Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo
Persada.Jakarta . pp 139-165.

Hardjowigeno, S. 1987. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika


Pressindo, Jakarta. 273 p.
Mulyani, A. dan Hidayat. 1988. Podsolik Merah Kuning. Pusat Penelitian Tanah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Hal:1-8
Nursyamsi, D., O. Soepandi, D. Erfandi, Sholeh dan I.P.G. Widjaja. 1995.
Penggunaan bahan organik, pupuk P dan K untuk peningkatan
produktivitas tanah Podsolik. Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Risalah Seminar. 2: 47-52.
Rahardis. 2007. Teknologi Pengapuran. Erlangga. Jakarta
Sanchez, P.A., & J.G. Salinas., 1981. Low-input technology for managing oxisols
and utisols in tropical America Dalam: Advances in agronomy Vol. 34
Academic Press, Inc. New York. h 279-406.
Santoso, B., A. Satrosupadi dan Djumali. 1993a. Effect of the rates of N,P,K
fertilizer,lime and blotong on yield of kenaf in South Kalimantan. Industrial
Crop Research, Journal 5(2):9-12.
Santoso, budi. 2006. Pemberdayaan Lahan Podsolik Merah Kuning dengan
Tanaman Rosela ( Hibiscus sabdariffa L.) di Kalimantan Selatan.
Perspektif. Volume 5 Nomor 1: 01-12.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor.
Soepraptohardjo, M. 1961. Tanah Merah di Indonesia. Contr. Gen. Agric. Res.
Sta. No. 161. Bogor.
Wijaya, A. 2011. Pengaruh Pemupukan dan Pemberian Kapur Terhadap
Pertumbuhan dan Daya Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogaea). Skripsi
Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian. Istitut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai