Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Polip nasi adalah massa yang tumbuh dalam rongga hidung, sering kali
multiple dan bilateral. Massa ini lunak berwarna keabu-abuan, agak transparan,
permukaan licin mengkilat, bertangkai dan mudah ddigerakkan. Polip yang
sudah lama dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-merahan,
suram dan lebih kenyal. Polip nasi juga merupakan suatu proses inflamasi kronis
pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya massa
yang edematous pada rongga hidung.(1,2,3)
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multiple
dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan
tumbuh kearah belakang, muncul di nasofaring, dimana polip ini disebut juga
dengan polip koana.(1)
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi
atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan
berbagai teori para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi
belum diketahui dengan pasti.(1)
Polip nasi selain menjadi masalah medis juga merupakan masalah sosial
karena dapat menderitanya baik pada mempengaruhi kualitas hidup penderitanya
baik pada pendidikan, pekerjaan, aktivitas harian, serta kenyamanan. Polip nasi
terjadi pada 1% sampai 4% dari populasi. Laki-laki lebih sering menderita polip
nasi dibanding perempuan dan orang dewasa lebih sering dari anak-anak.(2,4)

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah(1, 2):
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pangkal hidung
Dorsum nasi
Puncak nasi
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk pada kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan hidung.(1, 5)
Kerangka tulang terdiri dari:
1. Tulang hidung (os. Nasalis)
2. Prosesus frontalis (os. Maksila)
3. Prosesus nasalais (os. Frontal)
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian hidung:(1, 2)
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor
3. Kartilago ala minor
4. Tepi anterior kartilago septum

Gambar1. hidung tampak dari dorsal dan inferior.(1)

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi dibagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.(5)
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior yang disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kalenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrisae. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.(5)
Dinding medial hidung ialah septum nasi, septum nasi dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.(5)

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan


periosteum pada bagian tulangnya. Bagian luar dilapisi mukosa hidung. Pada
bagian dinding lateral terdapat empat buah konka yang terbesar sampai terkecil
yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka
suprema ini biasanya disebut rudimenter.(5)
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media,superior, dan supreme
merupakan bagian dari labirin etmoid.(5)
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
disebut meatus yang terdiri dari meatus inferior, meatus media, dan meatus
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus
frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoidalis anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoidalis posterior dan sinus sphenoid.(5)
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari artero
etmoid

anterior

dan

posterior

yang

merupakan

cabang

dari

arteri

oftalmika,sedangkan arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna.(5)

Gambar 2. Hidung tampak dari lateral, B:tampak dari potongan coronal, C:tampak dari potongan lateral
hidung.(1)

Ga
mbar 3.Septum nasi.

2.1.1

(1)

Vaskularisasi Hidung
5

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri


maksilaris interna, di antaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media.(5)
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (littles area). Pleksus ini letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber
perdarahan atau epistaksis terutama pada anak-anak.(5)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Venavena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.(5)

Gambar 4. Hidung potongan horizontal(1)

Gambar 5.Hidung potongan koronal.(1)

2.1.2

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat

persarafan

sensoris

dari

nervus

maksila

melalui

ganglion

sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan


sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari nervus maksila,
serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.(5)
Nervus olfaktorius, saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berkahir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(5)

Gambar 6. Saraf pada hidung.(1)

2.2 FISIOLOGI HIDUNG


Hidung adalah pintu masuk ke saluran pernapasan bagian bawah serta
sebagai indra penciuman. Dalam perjalanan masuk melalui hidung, udara yang
masuk akan melewati kantong alveolar. Mukosa hidung berfungsi sebagai
membersihkan diri dan mengatur kondisi udara tersebut. Peranan hidung sebagai
resonator kepada semua orang yang pernah menderita pilek.(1)
a. Sebagai jalur napas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudia turun ke bawah ke arah nasofaring
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi
udara masuk melalui koana dan mengikuti jalan yang sama seperti udara
insprirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah sebagian lagi
kembali kebelakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.(5)
b. Pengatur kondisi udara
Mengatur kelembapan udara, fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir kering oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin sebaliknya.(5)
Mengatur suhu, fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
8

luas,sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian


suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37C.(5)
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna unruk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri yang dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir
(mucosa blanket), dan enzimyang dapat menghancurkan beberapa jenis
bakteri disebut lysozime.(5)
d. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.(5)
e. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular, dan pernapasan. Contohnya iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti.(5)

BAB III
POLIP NASI
3.1 DEFINISI POLIP NASI
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi
bukan merupakan penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari
berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis
alergi, fibrosis kistik dan asma. (6)
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi
pada setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang
besar ataupun polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan
suatu

keganasan

seperti:

glioma,

hemangioma,

papiloma,

limfoma,

neuroblastoma, sarcoma, karsinoma nasofaring dan papiloma inverted.(6)


Kita harus mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel
yang dihubungkan dengan fibrosis kistik dan asma.

10

Gambar 7. Nasal Polyp

Tempat asal
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus
etmoid. Di tempat inilah mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas
pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.
(7)

3.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini
meningkat pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%.
Insiden pada orang dewasa adalah 1-4% dengan rentang 0,2-28%.
Insiden di seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di Amerika. Polip
nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pria dan wanita
pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak anak tidak dilaporkan.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi
dihubungkan dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan
insiden polip nasi yang nyata diantara bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis
kelamin. Polip multipel yang jinak biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan
lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip nasi jarang ditemukan pada anak
usia dibawah 10 tahun.(8,9)
3.3 ETIOLOGI
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke
dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung
saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan

11

jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala
dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1

Alergi terutama rinitis alergi.

Sinusitis kronik.

Iritasi.

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi


septum dan hipertrofi konka(10)

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :
1

Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan


sinus.

Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa


hidung.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui

tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari daerah yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip juga
dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali
bilateral dan multipel.(11)
3.4 PATOFISIOLOGI
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu
peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus medius.
Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar dan kemudian turun kedalam rongga hidung sambil membentuk
tangkai, sehingga terjadilah polip. (11)

12

Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan


epitel merupakan patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen,
polutan dan agen infeksius. Sel melepaskan berbagai faktor yang berperan dalam
respon inflamasi dan perbaikan. Epitel polip menunjukan hiperplasia sel goblet
dan hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi hidung dan rinorea. (11)
Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga
timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus. (11)
Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada dinding
lateral mukosa hidung atau sinus sebagai akibat interaksi virus-host bakteri atau
sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan kasus, polip berasal dari
daerah meatus media, terutama celah sempit di kawasan ethmoid anterior yang
menciptakan aliran turbulen, dan terutama bila dipersempit oleh peradangan
mukosa. Ulserasi atau prolaps dari submucosa dapat terjadi, dengan
reepithelialization dan pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini, polip
dapat dibentuk dari mukosa akibat proses inflamasi tinggi sel epitel, sel endotel
pembuluh darah, dan fibroblas mempengaruhi integritas bioelectric saluran
natrium di permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung.
Respon untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan
pembentukan polip. (11)
Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor atau epitel rusak.
Teori

ketidakseimbangan

vasomotor

mendalilkan

bahwa

peningkatan

permeabilitas vaskuler dan peraturan produk menyebabkan detoksifikasi


vaskular mast-sel (misalnya, histamin). dampak jangka panjang produk dalam
stroma polip ditandai edema (terutama dalam polip gagang bunga) yang
diperburuk oleh terhalangnya drainase vena. Teori ini didasarkan pada sel stroma
miskin dari polip, yang buruk dan tidak memiliki saraf vasokonstriktor
vascularized. (11)
Teori pecah epitel menunjukkan bahwa pecahnya epitel mukosa hidung
yang disebabkan oleh peningkatan jaringan turgor pada penyakit (misalnya,
alergi, infeksi). Pecah menyebabkan mukosa lamina propria prolaps, membentuk

13

polip. Cacat yang mungkin diperbesar oleh efek gravitasi atau obstruksi drainase
vena, menyebabkan polip. Teori ini, meskipun mirip dengan Bernstein,
memberikan penjelasan yang kurang meyakinkan untuk pembesaran polip teori
natrium fluks didukung oleh data Bernstein. Baik teori benar-benar
mendefinisikan memicu peradangan.(11,7)
Makroskopis(7)
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,agak
bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila
ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan
karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip.bila
terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi
kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi
kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal
tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan
sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat
asal tangkai polip dapat dilihat. (11)
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar dinasofaring,
disebut polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila
dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang
berasal dari sinus etmoid. (12,7)
Mikroskopis(7)
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan
kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia
epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau
gepeng berlapis tanpa keratinisasi.

14

Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2,


yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.

Gambar 8.Gambaranendoskopicavumnasikiri, menunjukkanpolippadaprosesusuncinatus.


Tampakjelaspolipberada di tengah, berwarnapucatdanputihberkilau

Antrochoanal polip adalah polip soliter yang tumbuh dari antrum maxila.
Killian 1906 adalah orng pertama yang menemukan antrochoanal polip.
Walaupun etiologinya blm diketahui secara pasti, namun alergi dapat dijadikan
salah satu faktor pencetus. Polip tersebut keluar dari antrum maxila dan dapat
prolaps melalui ostium asesorius kedalam kavum nasi dan membesar ke arah
posterior choana dan nasofaring.(11)

Gambar 9.Polipantrochoanalkiri yang menggantung pada orofaring

15

3.5 GEJALA KLINIS


Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan
di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau
anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya
akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore. (7)
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan
hidung yang meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan
drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri pada muka jarang
ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip
dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar
memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang
kronik.(7)
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala
obstruktif hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu
atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala akut,
rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapa polip
dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran udara tidak
terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus. Dalam hal ini dapat
timbul perasaan penuh di kepala, penurunan penciuman, dan mungkin sakit
kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung terinfeksi, sehingga
menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada hidung. (7)
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu
pemeriksaan rutin. Polip yang terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi pada
waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada daerah

16

dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan menghambat


aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren. (7)
Gejala Subjektif:

Hidung terasa tersumbat


Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
Nyeri kepala
Rhinore
Bersin
Iritasi di hidung (terasa gatal)
Post nasal drip
Nyeri muka
Suara bindeng
Telinga terasa penuh
Mendengkur
Gangguan tidur
Penurunan kualitas hidup

Gejala Objektif:

Oedema mukosa hidung


Submukosa hipertropi dan tampak sembab
Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
Bertangkai (7)

3.6 GRADING POLIP NASI


Stadium 0

: Tidak ada tampak polip nasal

Stadium 1

: Terdapat jaringan polipoid yang berbatas pada meatus


media

Stadium 2

: Terdapat polip multiple yang mengisi meatus media

Stadium 3

: polip meluas hingga melewati meatus media

Stadium 4

: Polip secara total mengobstruksi cavum nasi

Stadium 5

: Polip meluas hingga menyentuh dasar cavum nasi

17

Gambar 10. Polyp Grading Sistem

3.7

DIAGNOSIS
3.7.1 ANAMNESIS
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung

tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat.
Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar
membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder
dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa: adanya apost
nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh,
mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus
di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat serta makanan.(10)
3.7.2 PEMERIKSAAN FISIK
1. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas
septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan
polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi
inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan
efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah
akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal
dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.(11)
2. Rinoskopi Posterior
18

Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada


kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang
menandakan adanya rinosinusitis.
3.7.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Naso endoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus
baru. Polip stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga
sering dapat terlihat tangkai polip yang berasal dari ostium assesorius sinus
maksila.

Gambar 11.Gambaran endoskopi anterior sinistracavumnasi, tampak septum di sebelah kiri dan tampak
polip antralchoanal pada bagian tengah gambaran endoskopi.

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat
memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan
informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di
daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
19

apakah ada proses radng, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa,jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai
potongan koronal,sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan
aksial.
Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat
alergi lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
Laboratorium
Untuk membedakan polip alergi atau non alergi. Pada polip alergi
ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada polip non alergi
ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.
Temuan histologis

Pseudostratified ciliated columnar epithelium

Epithelial basement membrane yang menebal

Oedematous stroma

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya
sebagai berikut:

Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
nyeribiladitekandenganpinset
mudahberdarah
dapatmengecilpadapemakaianvasokonstriktor (kapas adrenalin)

Polip
Bertangkai, dapat digerakkan

Polipoid Mukosa
Tidak bertangkai, sukar digerakkan

20

Konsistensi lunak
Tidak nyeri bila ditekan
Tidak mudah berdarah
Berwarna putih kebiruan
Tidak
mengecil
pada

Konsistensi keras
Nyeri pada penekanan
Mudah berdarah
Berwarna merah muda
pemberian Mengecil pada pemberian vasokonstriktor

vasokonstriktor (adrenalin)
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan
polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah
yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung
lainnya.(5,11)
3.9 PENATALAKSANAAN
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi,
maka penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik.
Pada terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat
diberikan secara sistemik ataupun intranasal. (7,12)
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam
waktu yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan
kontraindikasi.

Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk

pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki
efektivitas paling baik dalam mengurangi inflamasi polip.(7,12)
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang
kecil, tetapi secara relatif tidak efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal
paling efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi
relaps. (7,12)
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada
polip yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan
antihistamin oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah

21

terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka
dapat diberikan antibiotik. (7,12)
Pengobatan Medikamentosa
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada
nasal polip. Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan
sedikit keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan
rhinitis alergi, tapi bila di gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip
yang telah ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi
bakteri. (7,12)
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal
maupun sistemik. Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food
and Drug Administrationkarena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan
kehilangan penglihatan unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan
kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat
molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit
yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam
pembuluh darah.(13)
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal
polipoid. Pada dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg)
selama 4-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anakanak, tetapi maksimum biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan
selama 1-3 minggu. (13)
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya
eosinofilia, jadi pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya
respon dengan pengobatan ini. (13)
Pasien dengan polip yang sedikit eosinofil mungkin tidak respon terhadap
steroids. Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena
efek sampingnya yang merugikan (seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes
Melitus, hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma,
osteoporosis). Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena

22

lebih sedikit efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena


bioavaibilitasnya yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis
tinggi dan kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan
hipotalamus-pituari-adrenal aksis, pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan,
perdarahan hidung, dan pada jarang kasus terjadi perforasi septum. (13)
Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa diberikan padapasien
polip hidung. Namun, memberikan efek samping yang serius seperti perdarahan
usus bila diberikan dalam dosis yang besar dan dalam waktu yang lama. Inhibitor
COX-2 juga mempunyai efek anti inflamasi dan dikenal tidak memberikan efek
samping pada gastrointestinal.(14)
Pembedahan dilakukan jika:
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal
pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi
belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk
memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi
atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery)
merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga
membuka celah di meatus media,yang merupakan tempat asal polip yang
tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan. Surgical
micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan
jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih
baik.(6,15)
Keputusan atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus
paranasal sebelum operasi. Anterior ethmoidectomy, posterior ethmoidectomy,

23

antrostomy meatus medius dan pembersihann resesus frontalis dapat dilakukan


pada semua pasien.

3.9 PROGNOSIS
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel.
Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps. Polip
hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.(13)

24

DAFTAR PUSTAKA
1

Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi VII cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta

2012
Jahromi,A.M, Pour,A.S. The Epidemilogical and Clinical Aspects of
Nasal Polyps that Require Surgey. Iran : Iranian Journal of

Otorhinolaryngology. 2012. P.75-78


Assanasen, P. Naclerio,R.M. Medicaland Surgical management of nasal

polyp. Chicago. 2001. P. 27-34 (3)


Haro,J.I,dkk, Clinical Aspects of Patients with Nasal Polyposis. Sao

Paolo. 2009. P. 259-263


Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal
Sinuses. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th ed.
Ontario: BC Decker; 2003. p. 547-55.

Kevin T Kavanagh. Nasal polypectomy.All Rights Reserved www.entusa.com

Soepardi Efiaty S, Iskandar Nurbaiti, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,

Jakarta 2007.hal 123-125


J. Gulia, S. P. S. Yadav, N. Sharma, H. & A. Hooda. Ectopic Tooth In
Osteomeatal Complex Presenting With Nasal Polyps: A Case Report. The

Internet Journal of Otorhinolaryngology. 2010 Volume 12 Number 1


Bangladesh J Otorhinolaryngol,Article by :Abu Hena Mohammad Parvez
Humayun1, AHM Zahurul Huq2, SM Tarequddin Ahmed3, Md. Shah
Kamal4, Kyaw Khin U3, Nilakanta Bhattacharjee. Vol. 16, No. 1, April

2010
10 Bechara Y Ghorayeb. Nasal polyps. http : //
www.otolaryngologyHouston.html
11 Alper Nabi Erkan, MD, zcan akmak, MD, and Nebil Bal,
MD.Frontochoanal

polyp

article

by

All

Rights

Reserved

http://www.entjournal.com

25

12 John E McClay GOOD. Nasal Polyps. Associate Professor of Pediatric


Otolaryngology, Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,
Children's Hospital of Dallas, University of Texas Southwestern Medical
School. update Oct 22, 2008.http://www.medicine.com
13 Immunologic factors in patients with chronic polypoid sinusitis.
Nikakhlagh

S, Ghafourian-Boroujerdnia

M, Saki

N, Soltan-Moradi

MR, Rahim F.Niger J Med. 2010 Jul-Sep;19(3):316-9.


14 Fransina, R.Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul Qadar
Punagi Ear Nose Throat Departement, Medical Faculty,Hasanuddin
University, Makassar. The Indonesian Journal of Medical Science
Volume 1 No. 1 July-September 2008.
15 S. P. Gulati, Anshu, R. Wadhera & A. Deeo : Efficacy of Functional

Endoscopic Sinus Surgery in the treatment of Ethmoidal polyps . The


Internet Journal of Otorhinolaryngology. 2007 Volume 7 Number 1

26

Anda mungkin juga menyukai