Anda di halaman 1dari 12

Resusitasi Jantung Paru

Sunaryo
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP/RS Dr. Kariadi
Semarang

Pendahuluan
Consensus science. CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation =
Resusitasi Jantung Paru ) adalah kombinasi antara kompresi jantung dan
pemberian nafas bantu dengan perbandingan 30 : 2.
Konsensus CPR tahun 2005 dimuat secara simultan pada majalah
Circulation and Resuscitation bulan Nopember 2005.Konsensus tersebut
menyatakan bahwa perabaan nadi karotis merupakan metode yang tidak
akurat untuk menyatakan tidak adanya sirkulasi.;demikian juga tidak ada
bukti bahwa adanya gerakan tubuh ,pernafasn,atau batuk (tanda-tanda
sirkulasi)
merupakan diagnosa superior, sedangkan agonals gasps
merupakan hal biasa pada stadium awal henti jantung .Sering terjadi
penolong awam melaporkan bahwa korban masih bernafas sewaktu
penderita agonal gasps,dan hal ini dapat menyebabkan penundaan CPR bagi
penderita yang mungkin waktu tersebut masih berguna sehingga
kemungkinan penderita tertolong.
American Heart Association ( AHA ) memberi pedoman untuk
Resusitasi Jantung Paru ( CPR ) dan Emergency Cardiovascular Care
( ECC ). Semuanya memberi perubahan mendasar baik pada pedidikan
maupun manifestasinya pada pelatihan. Seperti kita ketahui penolong
pertama penderita henti jantung tidak hanya dokter tetapi orang awam dan
awam khusus dan mereka ini perlu mendapat pengetahuan baru dengan
harapan dapat menurunkan angka kematian pasca henti jantung mendadak.
Faktor yang mempengaruhi perubahan.
Menurut pedoman AHA 2005 pada pelaksanaan CPR dan ECC
ditekankan pentingnya kwalitas kompresi dada ( adekwasi kecepatan dan
dalamnya,jedah setelah kompresi dada, dan sedikitnya selingan tindakan
kompresi dada ). Publikasi publikasi sebelumnya dan sejak 2005
ditunjukkan bahwa (1) kompresi dada dilanjutkan untuk mendapatkan
perbaikan,; (2) ada beberapa pertimbangan terhadap kelangsungan hidup

penderita; dan (3) sebagian besar penderita henti jantung

mendadak yang terjadi di luar rumah sakit tidak mendapat


pertolongan tepat.
Kelanjutan Penekanan Kwalitas CPR yang tinggi.
Pedoman AHA 2010 terhadap CPR dan ECC ditekankan pada
perlunya kwalitas CPR , antara lain :
1.Kecepatan kompresi paling sedikit 100 X / menit ( perubahan dari kirakira 100X/menit)
2.Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
dalamnya kompresi paling sedikit sepertiga dari diameter antero-posterior
dada infant dan anak ( kira-kira 1,5 inchi ( 4 cm) pada infant dan 2 inchi
pada ( 5 cm ) pada anak.
3.Kesempatan complete chest recoil setelah setiap kompresi dada.
4.Memperkecil setiap interupsi pada waktu kompresi dada.
5.Hindari ventilasi berlebihan
Dalam petunjuk AHA 2010 tidak ada perubahan rasio 30:2 antara
kompresi dan ventilasi untuk penolong tunggal bagi penderita dewasa, anakanak dan infant ( kecuali bayi baru lahir ). Pertolongan nafas bantu diberikan
dalam kurun waktu satu detik.Sekali advanced airway terpasang, selanjutnya
kompresi dilanjutkan ( dengan kecepatan paling sedikit 100X/menit) dan
tidak berkutat dengan ventilasi. Setiap 6 sampai 8 detik diberi nafas bantu.
( kira-kira 8 sampai 10X per menit). Ventilasi berlebihan hendaknya
dihindari.
Perubahan dari A-B-C ke C-A-B.
Pedoman AHA 2010 untuk resusitasi paru jantung ( CPR) dan ECC
dianjurkan perubahan dalam Basic Life Support (BLS) dari A-B-C ( Airway,
Breathing, Chest compressions) untuk dewasa, anak-anak, dan infant
( kecuali bayi baru lahir). Perubahan fundamental CPR tersebut akan
memerlukan pembelajaran kembali pada setiap orang yang telah belajar
resusitasi.
Perubahan perlu dilakukan mengingat bahwa sebagian besar penderita henti
jantung terjadi pada orang dewasa, dan survival rate tertinggi terjadi
sewaktu kejadian diketahui dan dimulai dengan irama fibrilasi ventrikel atau
hilangnya nadi pada penderita ventrkel takhikardi. Pada saat kejadian tesebut
elemen kritis BSL adalah kompresi jantung dan defibrilasi dini. Pada
langkah A-B-C kompresi jantung sering terlambat sedangkan penolong
sibuk membuka jalan nafas untuk melakukan nafas bantu dari mulut ke
mulut atau memberikan nafas bantu dengan peralatan lain. Dengan
mengubah langkah ke C-A-B, kompresi dada dapat dimulai lebih dini dan
keterlambatan ventilasi dapat diminimalkan ( yaitu hanya waktu melakukan

kompresi dada 30X, atau sekitar 18 detik; dan bila penolong dua orang pada
waktu melakukan resusitasi pada infant atau anak keterlambatan bisa lebih
pendek ). Sebagian besar penderita henti jantung terjadi di luar rumah sakit
dan tidak ditolong oleh tenaga yang tahu CPR. Kemungkinan banyak
penyebab tetapi rintangan mungkin dari langkah A-B-C yang dimulai
dengan sulitnya penolong, terutama langkah membuka jalan nafas dan
memulai memberi nafas. Dengan memulai kompresi dada mendorong
penolong memulai CPR.
Penolong bekerja dalam team, misalnya satu penolong melakukan kompresi
jantung, sedangkan penolong lain mempersiapkan automated external
defibrillator (AED) dan meminta pertolongan, dan penolong ketiga
membuka jalan nafas dan memberi ventilasi.
Kompresi dada.
Perubahan tahun 2010: bila penolong tidak terlatih dalam CPR,
sebaiknya menggunakan kompresi dada saja pada penderita tiba-tiba
roboh dihadapan penolong dengan penekanan pada push hard and fast
pada tengah dada, atau segera EMS (emergency medical services) system.
Penolong meneruskan kompresi dada saja sampai AED tiba sehingga segera
bisa dipakai atau menggunakan EMS atau penolong lain mengambil alih
pertolongan. Semua penolong terlatih minimal memberikan kompresi dada
pada penderita henti jantung. Sebagai tambahan bila penolong mampu
memberi nafas bantu, lakukan kompresi dada dan nafas bantu dengan
perbandingan 30:2.
Kompresi dada saja lebih mudah dilakukan pada penolong tidak terlatih
dan dapat dipandu lewat telepon.
Kompresi dada memungkinkan jantung dan otak mendapat aliran darah, dan
studi henti jantung di luar rumah sakit menunjukkan bahwa survival rate
lebih tinggi kalau penolong melakukan suatu tindakan bila dibandingkan
dengan tidak melakukan tindakan sama sekali. Percobaan binatang
menunjukkan bahwa keterlambatan atau interupsi pada tindakan kompresi
dada mengurangi survival, sehingga keterlambatan atau interupsi harus
diminimalkan dalam rangkaian resusitasi. Kompresi dada dapat segera
dimulai, sedangkan melakukan bantuan nafas dengan segala rangkaian
tahapan membutukan waktu. Setiap penundaan memulai kompresi dada
dapat dikurangi bila dua penolong sudah ada: penolong pertama memulai
kompresi dada , dan penolong kedua membuka jalan nafas dan siap
memberikan nafas bantu segera setelah penolong pertama selesai kompresi
dada 30X . Baik dengan satu atau lebih penolong, memulai kompresi dada
menjamin bahwa penderita mendapat tindakan darurat dini.
Meniadakan Look, Listen and Feel

Tahun 2010: Look, Listen and Feel ditiadakan dari rangkaian


tindakan CPR. Setelah melakukan kompresi dada 30X , penolong tunggal
membuka jalan nafas penderita dan memberi nafas bantu 2X.
Kompresi dada lebih dahulu dalam rangkaian CPR dikerjakan pada
penderita dewasa tidak bernafas atau tidak bernafas normal atau hanya
gasping. CPR dimulai dengan rangkaian C-A-B. Bagaimanapun juga
pernafasan segera dicek sebagai bagian pengecekan terhadap henti jantung;
setelah set pertama kompresi dada, jalan nafas dibuka, dan penolong
melakukan nafas bantu dua kali.
Dalamnya kompresi dada.
Sesuatu yang memungkinkan bahwa penolong dapat melakukan
kompresi dada paling sedikit 100X/menit. Jumlah kompresi dada per menit
selama CPR penting menentukan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) dan
survival dengan fungsi neurologi baik.Jumlah kompresi dada yang diberikan
per menit ditentukan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah dan durasi
interupsi dalam kompresi ( misalnya, membuka jalan nafas, memberi nafas
bantu, atau analisa AED ). Pada kebanyakan studi menunjukkan bahwa
lebih banyak melakukan kompresi dada maka makin meningkat survival
rates.Ketentuan kompresi dada adekwat membutuhkan suatu tekanan tidak
hanya pada adekwatnya kecepatan kompresi tetapi juga minimnya
interupsi.Suatu kecepatan kompresi tidak adekwat atau banyaknya interupsi
( atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per
menit.
Kedalaman kompresi.
Sternum dewasa dapat ditekan paling sedikit sedalam 2 inchi (5
cm).Kompresi dada menyebabkan aliran darah primer dengan meningkatkan
tekanan intrathoraks dan langsung menekan jantung. Kompresi
menghasilkan aliran darah darurat dan oksigen dan energy ke jantung dan
otak. Penolong sering tidak melakukan kompresi dada cukup meskipun ada
anjuran melakukan push hard.Penelitian menunjukkan bahwa kedalaman
kompresi paling sedikit 2 inchi ( 5 cm ) lebih efektif bila dibandingkan
dengan kedalaman 1,5 inchi. Dengan alasan itu pedoman AHA 2010 untuk
CPR dan ECC menganjurkan kedalaman minimum tunggal kompresi pada
dewasa.
Kapan CPR dimulai ?

CPR dimulai bila korban :


1. tidak sadar

2. tidak bergerak
3. tidak bernafas (ignoring occasional gasps)
Pada waktu nafas bantu dengan cara mouth to - mouth dengan
udara kamar atau oksigen, penolong memberikan setiap kali
pernafasan dalam satu detik dan melihat apakah dada korban naik
atau tidak.
Perlu ditekankan dalam melakukan CPR:
1. Pemijatan(kompresi) jantung luar harus keras dan
kecepatannya paling sedikit 100 X/menit,sesedikit mungkin
melakukan sela waktu.
2.
Penolong tunggal pada korban infant (kecuali
newborns),sampai anak,atau dewasa gunakan rasio kompresi
dan ventilasi 30:2, tujuannya untuk menyederhanakan
pembelajaran, memungkinkan ketrampilan tidak cepat hilang.
Menaikkan jumlah kompresi yang diberikan,dapat
mengurangi waktu sela selama kompresi.Resusitasi paru
jantung dengan dua penolong pada infant atau anak,
penolong menggunakan rasio kompresi : ventilasi sebanyak
15 :2 .
3. Selama CPR korban dengan advanced airway terpasang
(misalnya pipa endotrakhea,combitube ,laryngeal mask
airway[LMA]),ventilasi dengan kecepatan 8 10 X /menit
pada infant (kecuali newborn),anak dan dewasa,tanpa
istirahat selama kompresi dada .
Sewaktu melakukan resusitasi dan penolong membuka airway
dengan menggunakan cara head tilt-chin lift.Penolong
menggunakan jari untuk membersihkan mulut penderita tidak
sadar dengan dugaan obstruksi jalan nafas (hanya bila material
penyumbat berbentuk padat dan tampak di dalam orofaring).
Ventilasi mouth to- mouth dengan udara ekshalasi atau ventilasi
bag-valve-mask dengan udara kamar atau oksigen. Tiap pernafasan
satu detik inspiratory time dapat menyebabkan dinding dada
naik.Sesudah advanced airway terpasang, pompalah paru korban
dengan oksigen sehingga dinding dada tampak naik.Selama CPR
pada korban dengan advanced airway,pemompaan paru dengan

rate 8 10 kali per menit tanpa istirahat.Gunakan volume tidal dan


rate mula yang sama pada korban dengan henti jantung.Orang
awam dan tenaga kesehatan profesional pada waktu melakukan
resusitasi,maka tangan yang dominan terletak pada pusat dada
korban (dewasa),sedang tangan tidak dominan berada diatasnya.
Penolong awam dan penolong terlatih dapat melakukan kompresi
dada paling sedikit sebanyak 100 X/menit dan kompresi dada
dapat menekan dada sedalam paling sedikit 5 cm.Penolong harus
mengawasi pengembangan dan pengempisan dada korban secara
lengkap,setiap kompresi.
Korban cardiac arrest harus diletakkan pada posisi supine pada
tempat yang datar ( misalnya, papan tulis atau lantai ) selama
kompresi untuk mengoptimalkan efektifitas kompresi.
Gambar 1,2,3.
Cara melakukan kompresi dada dari luar.

Keadaan khusus.
Cedara tulang belakang

Korban dengan dugaan cedera tulang belakang, perlu waktu


tambahan untuk mengevaluasi pernafasan dan sirkulasi secara hati
hati ,dan mengubah posisi korban dari posisi tengkurap ke posisi
in-line spinal stabilisation, suatu metoda efektif untuk mengurangi
risiko cedera spinal lebih lanjut.
Semua tindakan membuka jalan nafas dapat menyebabkan gerakan
spinal.Studi pada mayat menunjukkan bahwa baik chin lift (dengan
atau tanpa head tilt) dan jaw thrust menunjukkan keadaan yang
sama,yaitu gerakan pada vertebra servikalis .Penggunaan in-line
stabilisation manual atau spinal collars tidak mencegah gerakan
spinal.Studi lain menunjukkan bahwa aplikasi MILS selama
tindakan membuka jalan nafas mengurangi gerakan spinal ke
keadaan fisiologik.
Mempertahankan jalan nafas dan ventilasi adekwat merupakan
prioritas utama dalam menangani penderita dengan curiga cedera
tulang belakang. Pada korban dengan curiga cedera tulang
belakang dan obstruksi jalan nafas, cara head tilt-chin lift atau jaw
thrust (dengan head tilt) memungkinkan dan mungkin efektif
untuk membersihkan jalan nafas.Kedua cara tersebut dapat
menyebabkan gerakan cervical spinal.Penggunaan MILS untuk
meminimalkan gerakan kepala adalah layak bila tersedia sejumlah
penolong dengan latihan yang adekwat .
Korban yang telungkup dan tidak respon perlu segera dibalikkan
secara hati hati ke posisi supine untuk mengecek pernafasan.

Penderita tenggelam harus dikeluarkan dari air dan diresusitasi


dengan cepat.Hanya korban dengan faktor-faktor risiko atau tanda
tanda klinik cedera atau tanda-tanda neurologis fokal harus
diterapi sebagai korban dengan suatu potensial cedera tulang
belakang, dengan immobilisation cervical dan thoracic spine.
Proteksi diri.

Boneka (manikin) untuk latihan,setiap kali selesai dipakai,sebelum


dipakai untuk latihan orang berikutnya,harus dibersihkan,atau
sebelum kita latihan juga harus dibersihkan sehingga melatih
kebersihan,karena kemungkinan kita menghadapi korban dengan
infeksi serius (misalnya,HIV,tuberculosis,HBV atau SARS).
Chest thrusts,back blows,atau abdominal thrusts merupakan
tindakan efektif untuk mengeluarkan benda asing pada korban
dewasa dan anak (> 1 tahun ) yang masih sadar.Tindakan macam
apa yang harus didahulukan, masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.Teknik teknik tersebut harus diaplikasikan dengan cepat
sampai obstruksi jalan nafas dapat dikeluarkan,perlu dilakukan
lebih dari satu macam teknik.Penderita tidak sadar perlu CPR.
antara lain,jari penolong dapat digunakan untuk membersihkan
mulut korban yang mengalami obstruksi jalan nafas dengan benda
padat yang tampak di jalan nafas.Belum ada rekomendasi yang
tepat untuk penanganan pasien obesitas atau ibu hamil yang
mengalami obstruksi benda asing.
Precordial thump mungkin perlu dipertimbangkan pada korban
cardiac arrest bila defibrillator tidak segera didapatkan dengan
catatan penderita termonitor baik atau adanya ventrikel takhikardi
yang tidak stabil tetapi jangan memperlambat CPR.
CPR 1.5 3 menit sebelum dilakukan defibrilasi dapat dikerjakan
pada korban prahospital dengan VF atau pulseless VT dan EMS
response (call to arrival) interval >4-5 menit.Belum ada bukti yang
mendukung atau menolak melakukan CPR sebelum penggunaan
defibrilator pada cardiac arrest penderita rawat inap.
Untuk meningkatkan survival rates dianjurkan penggunaan AEDs
(automated external defibrilators) pada penderita cardiac arrest
oleh awam terlatih dan tenaga profesional.Penggunaan AEDs di

tempat
umum
(airport,casinos,sports
facilities),dimana
kemungkinan cardiac arrest dapat terjadi,berguna dan efektif bila
dikerjakan ditempat.
Perlu rencana dan latihan penanggulangan termasuk maintenance
peralatan latihan ,koordinasi dengan sistem EMS lokal,dan
program monitoring,sehingga bila terjadi kegawatan sewaktu
waktu dapat segera diatasi secara maksimal.
Program AED harus mengoptimalkan fungsi AED (Rhythm
analysis and shock) , batetry dan kesiapan pad,dan sistem
penampilan (misalnya mock codes,time to shock,outcomes).
Penggunaan AED layak untuk menfasilitasi defibrilasi dini di
rumah sakit.
Gelombang syok biphasic, aman dan efektif untuk mengatasi VF
bila dibandingkan dengan gelombang syok monophasic.
Dengan defibrilat or biphasic, dosis yang kita gunakan 150 200 J
atau 120 J dengan rectilinier biphasic pada shock mula.Dengan
menggunakan defibrilator monophasic,dosis mula yang digunakan 360 J.
Nonescalating-dan escalating-energy biphasic bentuk gelombang defibrilasi
penggunaannya aman dan efektif untuk menghilangkan VF baik durasi
pendek maupun durasi panjang.
Prioritas dalam penanganan resusitasi harus meliputi penilaian dini atas
kebutuhan defibrilasi, perlengkapan CPR sampai defibrilator tersedia dan
meminimalkan sela kompresi dada.Penolong dapat mengoptimalkan
keberhasilan defibrilasi dengan mengoptimalkan CPR, timing pemberian
shock dengan CPR,dan kombinasi bentuk gelombang dan energy levels.A
one-shock strategy mungkin dapat memperbaiki outcome dengan cara
mengurangi interupsi pada kompresi dada.
Cricoid pressure.
Secara rutin sudah tidak dianjurkan lagi. Cricoid pressure dapat
menghambat/mencegah pemasangan jalan nafas, selain itu masih
memungkinkan terjadi aspirasi. (AHA 2010).
Perkembangan terpenting dalam advanced life support (ALS) sejak review
ILCOR terakhir tahun 2000 meliputi:
Medical emergency teams perlu ada di dalam rumah sakit
Perlu tambahan data data klinik dalam penggunaan vasopressin pada
cardiac arrest
Beberapa alat baru untuk membantu sirkulasi selama CPR

Penggunaan terapi hipotermi untuk memperbaiki outcome neurologi


sesudah cardiac arrest akibat fibrilasi ventrikel (VF)
Kontrol glukose sesudah cardiac arrest sangat potensial.
Drugs dan fluid untuk cardiac arrest
Obat obat dan cairan yang didiskusikan pada consensus conference
2005 dikatagorikan sebagai berikut:
1. Vasopresor
2. obat lain dan cairan
3. anti aritmi dan
4. alternative routs of delivery
1.Vasopresor.
Adrenalin merupakan standar vasopresor pada cardiac arrest.Masih
kurang bukti bukti untuk memakai atau menolak penggunaan vasopresin
sebagai alternatif atau kombinasi dengan adrenalin pada tiap irama cardiac
arrest.Dosis adrenalin 1 mg, diberikan secara intravena,dan boleh diulang
tiap 3-5 menit.
Untuk refractory VF/VT perlu dipertimbangkan penggunaan amiodaron.
Pemberian amiodaron bolus 300 mg intravena.Bila VF/VT masih tetap ada
sesudah 3 x syok (pemakaian 3x defibrilator),maka perlu penambahan 150
mg intravena,dan dilanjutkan dengan infus 900 mg selama 24 jam.Kadang kadang amiodaron belum tersedia,sebagai penggantinya penderita dapat
diberi lidokain dengan dosis 1 mg/kg berat badan.Pemberian lidokain total
jangan melebihi 3mg/kg. Lidokain jangan diberikan bila sebelumnya sudah
mendapat amiodaron.
2. Obat lain dan cairan
Atropin secara rutin tidak dianjurkan lagi pada penderita dengan
PEA/asistol dan dicoret dari ACLS Cardiac Arrest Algorithm (AHA 2010).
Tidak ada bukti bahwa pemberian secara rutin obat obat semacam
buffer,aminnopillin,atropin,kalsium dan magnesium selama cardiac arrest
dapat meningkatkan survival di rumah sakit.Ada beberapa laporan
keberhasilan penggunaa fibrinolitik selama cardiac arrest,terutama bila
penyebab cardiac arrest adalah emboli paru.
Pemberian natrium bikarbonas secara rutin selama cardiac arrest dan CPR
(terutama cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit) atau sesudah
ROSC (Recovery of Spontaneous Circulation ) tidak dianjurkan.Natrium
bikarbonas pemberiannya dianjurkan pada penderita yang terancam jiwanya

akibat hiperkalemi atau cardiac arrest akibat hiperkalemi,adanya metabolik


asidosis,atau overdosis antidepresan tricyclic.
Cairan .
Cairan diberikan bila penderita mengalami hipovolemia.Belum ada
publikasi yang membandingkan pemberian cairan secara rutin dengan yang
tidak pada penderita cardiac arrest dengan keadaan normovolemik.
Analisa gas darah
Monitor analisa gas darah selama cardiac arrest memungkinkan untuk
memperkirakan derajat hipoksemi dan seberapa adekwat ventilasi selama
CPR tetapi bukan indikator perluasan jaringan yang mengalami asidosis.
Tekanan perfusi koroner dapat digunakan sebagai pedoman terapi selama
cardiac arrest.Di intensive care unit terdapat monitor untuk mengetahui
langsung tekanan arteria dan tekanan vena sentral,sehingga dapat dihitung
CPP secara rutin.
Penderita yang mengalami bradikardi perlu pemberian atropin 0.5 1 mg
i.v,diulang tiap 3-5 menit,sampai total 3 mg.Pada penderita yang tidak
respon terhadap atropin,segera persiapkan transcutaneous pacing (atau
second line drugs bila hal ini tidak menghambat manajemen definitif)
Pacing juga direkomendasikan untuk beberapa gejala simptomatik,terutama
bila blok berada di atau dibawah level His Purkinje.Second-line drugs
untuk bradikardi simptomatik termasuk dopamin,adrenalin,isoproterenol,dan
theophyllin.Perlu dipertimbangkan pemberian glucagon IV bila beta
blockers atau calcium channel blockers penyebab potensial bradikardi.Pada
penderita transplantasi jantung tidak dianjurkan pemberian atropin.
Selama CPR,aliran darah ke paru berkurang,maka rasio ventilasi-perfusi
adekwat dapat dipertahankan dengan volume tidal rendah dan respiratory
rates lebih dari normal.Selama CPR cardiac output berkisar 25 % sampai
33% dari normal,dengan demikian oxygen uptake paru dan CO2 delivery ke
paru juga berkurang.Sebagai akibatnya,terjadi low minute volume (volume
tidal dan respiratory rates lebih rendah dari normal) dapat mempertahankan
oksigenasi efektif dan ventilasi selama CPR.
Selama beberapa menit pertama sesudah cardiac arrest non-asphyxial
oxygen content darah tetap tinggi,dan oxygen delivery miokard dan cerebral
sedikit,hal ini disebabkan karena berkurangnya cardiac output dan bukan
karena tidak adanya oksigen didalam paru.Oleh sebab itu pemberian
ventilasi kurang penting bila dibandingkan dengan kompresi jantung. CPR
pada dewasa sebaiknya dimulai dengan kompresi jantung,sebab kebanyakan
penolong tidak mau melakukan nafas bantu dari mulut ke mulut dengan
berbagai alasan,termasuk takut infeksi dan penyakit.

Perbedaan cara melakukan resusitasi paru jantung antara European Council


Guideline for Resuscitation dan American Heart Association 2005.

Keberhasilan
Resusitasi paru jantung kemudian diikuti defibrilasi dalam kurun waktu 2-3
menit sesudah penderita kolaps maka angka keberhasilan lebih dari
50%.Setiap keterlambatan satu menit,angka keberhasilan turun sebesar 7-10
%.
Daftar pustaka.
1.Hazinski MF, Chameides L, Elling B,Hemphill R,editors.Highlights of the
2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Currents in Emergeny
Cardiovascular Care. Volume 16 Number 4 Winter 2005-2006
2.AHA 2010 ,Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care

SN

Anda mungkin juga menyukai