Anda di halaman 1dari 36

TRANSAKSI JUAL BELI DALAM ISLAM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan RahmatNya telah
memudahkan kami dalam menyelesaikan tugas Makalah Fiqih Muamalah ini dengan baik.
Serta semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahlimpahkan keharibaan Baginda Nabi
Muhammad SAW.
Makalah berjudul Transaksi Jual Beli ini disusun untuk memenuhi tugas Fiqih
Muamalah.Kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang ada agar
makalah ini tersusun sesuai dengan harapan, maka dalam makalah yang kami susun belum
mencapai titik sempurna.
Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian
makalah ini.Mudah-mudahan makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca dalam
kehidupan sehari-hari.

Malang, 18 April 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH..................................................................................... 1
1.3 TUJUAN.......................................................................................................... 2
BAB II...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Jual Beli....................................................................................... 3
2.1.1 Dasar Hukum Jual Beli............................................................................. 4
2.1.2 Hukum Jual Beli....................................................................................... 4
2.2 Rukun dan Syarat Jual Beli............................................................................ 4
2.3 Khiyar dalam Jual Beli.................................................................................... 7
2.3.1 Pengertian............................................................................................... 7
2.3.2 Tujuan Khiyar.......................................................................................... 8
2.3.3 Macam-macam Khiyar............................................................................. 8
2.4 Badan Perantara (Samsarah)......................................................................15
2.4.1 Pengertian............................................................................................. 15
2.4.2

Rukun dan Syarat Samsarah.............................................................18

2.4.3 Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah.............................19


2.4.4 Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko.............................21
2.4.5 Pengertian Agen.................................................................................... 23
2.5 Lelang (Bay Muzayadah)............................................................................. 24
2.5.1 Hukum Jual Beli Lelang Dalam Pandangan Islam..................................25
2.6 Jual beli yang dilarang................................................................................. 28
BAB III................................................................................................................... 33
PENUTUP.............................................................................................................. 33
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 33
3.2 Saran........................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 34

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan
dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat.
Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi
yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka
agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan
yang sebaik-baiknya aturan.
Secara bahasa katamuamalahadalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILIMU'AMALATAN

yang

berarti

saling

bertindak,

saling

berbuat

dan

saling

beramal."Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan caracara yang telah ditentukan" (Rasyid Ridho) "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Pada dasarnya adapun yang harus kita lakukan dalam bemuamalah dimana yang di
sebut dengan jual beli, dimana dalam jual beli sering menimbulkan masalah dan dalam jual
beli kita harus mengetahui bagaimana tatacara jual beli menurut islam,dan dari alquran dan
sumber-sumber berupa hadist rasullullah saw, sehingga apa yang dilarang dan apa yang di
perbolehkan dalam jual beli dalam bermuamalah, Jual beli dalam muamalah atau apa yang
dianjurkan oleh islam yang banyak pemamahaman yang begitu banyak sehingga akan
menimbulkan masalah dalam jual beli,seperti jual beli barang atau pun yang berbentuk
jasa.tukar menukar barang, jual beli secra kontan, kredit dan lain-lain.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa yang dimaksud dengan jual beli?


Bagaimana rukun dan syarat jual beli?
Bagaimana khiyar dalam jual beli?
Siapa badan perantara?
Apa yang dimaksud dengan lelang?
Apa saja jual beli yang dilarang?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan jual beli.


2. Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat jual beli.
3. Untuk mengetahui bagaimana khiyar dalam jual beli.
1

4. Untuk mengetahui siapa badan perantara.


5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan lelang.
6. Untuk mengetahui apa saja jual beli yang dilarang.

BAB II
PEMBAHASAN
2

2.1 Pengertian Jual Beli

Jual-beli artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang
lain). Kata, al baiu dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,
yaitu kata: as-syari(beli). Dengan demikian kata albaiu berarti kata jual dan sekaligus
juga berarti kata beli.
Secara terminology, terdapat beberapa definisi di antaranya:
Oleh UlamaHanafiyah didefinisikan dengan:
saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu, atau:
tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.
Unsur-unsur definisi yang dikemukakan tersebut adalah, bahwa yang dimaksud
dengan cara yang khusus adalah ijab dan Kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan
barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu, harta yang
diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman
keras dan darah tidak dibenarkan.
Adapun beberapa definisi lainnya ialah sebagai berikut:
Said Sabiq mendefinisikannya:
Saling menukar haarta dengan harta atas dasar suka sama suka.
Oleh Imam An-Nawawi didefinisikan:
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik.
Oleh Abu Qudamah didefinisikan:
Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemiliknya.
Dalam definisi di atas ditekankan kepada hak milik dan pemilikan, sebab ada
tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa.
Kemudian dalam kaitannya dengan harta, terdapat pula perbedaan pendapat antara
mazhab Hanafi dan Jumhur Ulama.
Menurut Jumhur Ulama yang dimaksud harta adalah materi dan manfaat.Oleh itu,
manfaat dari sebuah benda dapat diperjualbelikan.Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan harta (Al-Maal) adalah sesuatu yang
mempunyai nilai.Oleh sebab itu, manfaat dan hak-hak, tidak dapat dijadikan obyek jualbeli.
Pada masyarakat primitive, jual-beli biasanya dilakukan dengan tukar-mrnukar
barang (harta), tidak dengan uang seperti yang berlaku pada masyarakat pada
umumnya.Mereka umpamanya, menukarkan rotan (hasil hutan) dengan pakaian, garam
dan sebagainya yang menjadi keperluan pokok mereka sehari-hari.Mereka belum
menggunakan alat tukar seperti uang.Namun, pada saat ini orang yang tinggal
dipedalaman, sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar.
Tukar menukar barang seperti yang berlaku pada zaman primitive, padamzaman
modern ini pun kenyataannya dilakukan oleh satu Negara dengan Negara lain, yaitu

dengan system barter. Umpamanya, gandum atau beras dari luar negeri ditukar dengan
kopi atau lada dari indonsia yang dalam jumlah yang amat besar.
2.1.1 Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesame manusia mempunyai
landasan yang amat kuat dalam islam.
Dalam Al-Quran Allah berfirman:
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Albaqarah:275)
2.1.2 Hukum Jual Beli
Dari ayat-ayat dan hadist-hadist yang dikemukakan di atas sebagai dasar jual beli, para
ulama fiqih mengambil suatu kesimpulan bahwa jual beli itu hukumnya mubah
(boleh).Namun, menurut imam as-syatibi (ahli fiqih mazhab imam Maliki), hukumnya
bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh dikemukakannya, bila
suatu waktu terjadi praktek ihtikar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan (stok)
hilang dari pasar dan harga melonjak naik.apabila terjadi praktek semacam itu, maka
pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga
pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi
ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga di pasaran.
Malahan, disamping wajib menjual barang dagangannya, dapat juga dikenakan
sanksi hukum, karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat.
2.2 Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda pendapat.Menurut
Mazhab Hanafi rukun jal beli hanya ijab dan Kabul saja.Menurut mereka, yang menjadi
rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual
beli.Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan,
maka diperlukan indicator (qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua
belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan Kabul) atau dalam bentuk
perbuatan, yaitu sasling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut Jumhuh Ulama rukun jual beli itu ada empat:
1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Sighat (lafal ijab dan Kabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
4

Menurut Jumhur Ulama, bahwa syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1). Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus memenuhi
syarat:
a. Berakal
Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal
hukumnya tidak sah.Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang baligh), apabila
akad yang dilakukannya membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah,
wasiat, dan sedekah, maka akadnya sah menurut Mazhab Hanafi.Sebaliknya,
apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan harta
kepada orang lain, mewakahkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan menurut
hukum.
Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung
manfaat dan mudarat sekaligus, seperti jual-beli, sewa menyewa dan perserikatan
dagang, dipandang sah menurut hukum dengan ketentuan bila walinya
mengizinkan setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya.
Jumhur Ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu,
harus akil baligh dan berakal.Apabila orang yang brakad itu masih mumayyiz,
maka akad jual beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
b. Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya,
seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang
bersamaan.
2). Syarat yang terkait
Ulama Fiqih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual-beli adalah
kerelaan kedua belah pihak.Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad
berlangsung.Ijab Kabul harus diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual-beli dan sewa-menyewa.
Terhadap transaksi yang sifatnya tidak mengikat salah satu pihak, seperti wasiat,
hibah atau wakaf, tidak erlu ada Kabul, dan cukup dengan ijab saja.Bahkan
menurut Ibnu Thaimiyah (Mazhab Hanbali) dan ulama lainnya ijab pun tidak
diperlukan dalam masalah wakaf.
Apabila ijab dan Kabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilihan
barang dan uang telah berpindah tangan.
Ulama Fiqih menyatakan bahwa syarat ijab dan Kabul itu adalah sebagai
berikut:
a. Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal

b. Kabul sesuai dengan ijab. Contoh: saya jual sepeda ini dengan harga sepuluh
ribu, lalu pembeli menjawab, saya membeli sepeda ini dengan harga sepuluh
ribu.
c. Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan akad jual-beli hadir dan membicarakan masalah yang sama.
3). Syarat yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut:
a) barang itu ada, atau tidak ada di etmapt, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b) dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c) milik seseorang.
d) dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika akad berlangsung.
4). Syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting.Zaman sekarang
disebut uang.Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulama iiqih membedakan antara attsamn dan as-sir.
Menurut mereka, at-tsamn adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat, sedangkan as-sir adalah modal barang yang seharusnya diterima para
pedagang sebelum dijual kepada konsumen.Dengan demikian ada dua harga yaitu
harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual
pasar).
Disamping syarat yang berkaitan dengan rukun jual-beli, Ulama Fiqih juga
mengemukakan beberapa syarat lain:
a). Syarat sah jual beli
ulama Fiqih menyatakan, bahwa suatu jual beli baru dianggap sah,apabila
terpenuhi dua hal:
1). Jual-beli itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperjualbelikan tidak jelas,
baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga harga tidak jelas, jual beli itu
mengandung unsur paksaan, penipuan dan syarat-syarat lain yang mengakibatkan jualbeli rusak.
2). Apabila barang yang diperjual itu benda bergerak, maka barang itu langsung
dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual. Sedangkan barang yang tidak bergerak,
6

dapat dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan


kebiasaan setempat.
b). Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual-beli
Jual-beli dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan
untuk melakukan jual-beli. Umpamanya, barang itu milik sendiri (bukan milik orang
lain atau hak orang yang terkait dengan barang itu).
Akad jual-beli tidak dapat dilaksanakan, apabila orang yang melakukan akad itu
tidak memiliki kekuasaan secara langsung melakukan akad.1
2.3 Khiyar dalam Jual Beli

2.3.1 Pengertian
Kata khiyar menurut bahasa ialah memilih mana yang lebih dari dua hal atau lebih.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan khiyar adalah para pihak yang melakukan
transaksi diberi hak memilih untuk melangsungkan atau membatalkan transaksinya sesuai
dengan syarat dan sebab-sebab tertentu.2 Menurut Wahbah, khiyar adalah suatu keadaan
yang menyebabkan orang yang berakad (aqid) memiliki hak untuk memutuskan akadnya,
yakni melanjutkan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib atau
ruyah, atau memilih di antara dua barang jika berupa khiyar tayin.3
2.3.2 Tujuan Khiyar
Tujuan dari khiyar menurut syara yaitu memberikan hak kepada para pihak agar tidak
mengalami kerugiam atau penyesalan di belakang hari oleh sebab-sebab tertentu yang timbul
dari transaksi yang dilakukannya, baik mengenai harga, kualitas, atau kuantitas barang
tersebut. Di samping itu, hak khiyar juga dimaksudkan untuk menjamin agar akad yang
diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh dari para pihak yang bersangkutan karena
sukarela itu merupakan asas bagi sahnya suatu akad.

1 M. Ali Hasan (Ciputat, 2002)


2 Muhammad Yusuf Musa, al-fiqh al-islami Madkhal li Dirasatihi, Nidza, al
Muamah fih, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1954),cet.1 hlm. 458.
3 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hlm. 250.
7

2.3.3 Macam-macam Khiyar


Jenis jumlah hak khiyar di kalangan ulama fiqh cukup beragam. Berikut ini penjelasan
khiyar yang sering digunakan, diantaranya:
1. Khiyar Majlis
Khiyar majlis, yaitu hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan
akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah. Keduanya
saling memilih sehingga muncul kepastian dalam akad. 4Khiyar ini dikenal di kalangan
Syafiiyah dan Hanabilah, tetapi tidak dikenal di mazhab lain. Khiyar ini ada pada akad yang
sifatnya pertukaran seperti jual beli, ijarah, dan lain-lain. Khiyar ini berlaku pada saat akad
akan menjadi mengikat (lazim) jika kedua belah pihak telah terpisah atau memilih. Hak pilih
bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih
berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap
sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah
seorang diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.
Dasar hokum dari khiyar majlis bagi yang mengatakan adanya khiyar majlis adalah hadis
rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut.
Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai
hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan (HR. Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar).
Pengertian berpisah badan pada hadis tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Menurut ulama Syafiiyah, diantaranya Imam Nawawi, 5 pengertian berpisah
badan seluruhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat setempat dimana jual beli itu
berlangsung. Bagi ulama Syafiiyah dan Hanabilah bahwa masing-masing pihak yang
melakukan akad berhak mempunyai hak khiyar majlis selama mereka masih dalam satu majlis
akad, sekalipun akad telah sah dengan adanya ijab dan qabul. 6 Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, suatu akad sudah sempurna dengan adanya ijab dan qabul, karena
hal itu sudah menunjukkan kerelaan masing-masing pihak yang melakukan akad. Hal mana
ditegaskan dalam surah An-Nisa (4): 29. Adapun kedudukan Hadis dari Ibn Umar di atas
4 Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hlm. 250.
5 Al-Imam Nawawi, al-Majmu, juz 9, hlm. 192.
6 Lihat Muhammad Asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz II, hlm.259.
8

tidak boleh diterima karena bertentangan dengan firman Allah dalam Surah Al- Maidah (5): 1
yang memerintahkan untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati.
Apabila telah ada kerelaan dan disepakati maka tidak ada peluang untuk membatalkan
akad. Oleh karena itu, menurut dua ulama ini, hadis tersebut hanya bertujuan untuk
menunjukkan selesainya akad jual beli bukan berpisahnya badan masing-masing dari majelis
akad. Dengan demikian, sebelum selesainya akad, masing-masing pihak memiliki hak untuk
meneruskan atau membatalkan jual beli.
2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat diartikan diantaranya adalah suatu keadaan yang membolehkan salah
seorang pihak yang berakad atau masing-masing pihak atau pihak-pihak lain memiliki hak
atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan. Misalnya, saya beli
barang ini dari Anda dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau
membatalkan akad selama 5 hari.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa khiyar sayarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk
memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Khiyar syarat menentukan bahwa baik barang maupun nilai atau harga barang baru dapat
dikuasai secara hukum setelah tenggang waktu khiyar yang disepakati itu selesai.7
Masa waktu tenggang dalam khiyar syarat, menurut mayoritas ahli hukum Islam harus
jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau bersifat selamanya, maka khiyar tidak
sah. Adapun mengenai lamanya tenggang waktu khiyar, di kalangan para ulama berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan tidak lebih dari tiga hari, sesuai dengan HR. Bukhari-Muslim
dari Ibn Umar (Jika engkau berjual beli maka katakanlah, tidak ada penipuan dan berilah
tempo waktu untuk opsi selama 3 hari), dan ada yang mengatakan ditemtukan sesuai dengan
objek yang diperjualbelikan, oleh karenanyatenggang waktu ditentukan oleh para pihak sesuai
dengan kebiasaan.
Akibat hukum dari keberadaan khiyar syarat, menurut ulama fiqh ada dua, yaitu yang
disepakati dan yang tidak disepakati. Yang disepakati adalah bahwa akad yang dilakukan
bersifat tidak mengikat bagi pihak yang mempunyai khiyar. Jual beli itu boleh dibatalkan dan
boleh juga ditegaskan menjadi akad yang mengikat selama tenggang waktu khiyar itu.
Apabila tenggang waktu khiyar habis, tanpa ada pernyataan membeli atau membatalkan jual
7 Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Ibn Qudamah, al-Mughni,
jilid III, hlm. 589.
9

beli dari pihak yang memiliki hak pilih itu, maka akad dianggap mengikat bagi keduanya dan
jual beli itu dipandang sempurna dan sah. Adapun yang tidak disepakati, meurut ulama
Hanafiah dan Malikiyah, khiyar ini menyebabkan terhalangnya akibat hukum yang lahir dari
akad itu.
Objek jual beli tidak berpindah milik dari penjual kepada pembeli dan harga barang juga
belum menjadi milik penjual. Sedangkan menurut ulamaSyafiiyah dan Hanabilah, bahwa
akibat hukum dari jual beli itu tetap berlaku selama masa khiyar sampai barang yang dijual
diserahkan kepada penjual dan pembeli berhak menerima harga barangnya. Berakhirnya
khiyar syarat menurut ahli fiqh sebagai berikut.8

Akad dibatalkan atau dianggap sah oleh pemilikhak khiyar, baik melalui pernyataan

maupun tindakan.
Tenggang waktu khiyar jatuh tempo tanpa pernyataan batal atau diteruskan jual beli itu

dari pemilik khiyar, dan jual beli menjadi sempurna dan sah.
Objek yang diperjualbelikan hilang atau rusak di tangan yang berhak khiyar.
Bertambahnya nilai objek yang diperjualbelikan di tangan pembeli dan hak khiyar ada di

pihaknya.
Wafatnya pemilik hak khiyar karena hak khiyar bukanlah hak yang boleh diwariskan
(menurut Hanafiyah dan Hanabilah), sedangkan menurut Malikiyah dan Syafiiyah
wafatnya pemilik hak khiyar tidak membatalkan hak khiyar karena hak khiyar boleh
diwarisi ahli waris.
3. Khiyar Tayin
Yang dimaksud dengan khiyar tayin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan

barang yang berbeda kualitas. Apabila seorang mengadakan akad jual beli yang objeknya
tidak hanya berupa sebuah barang, tetapi terdapat banyak jenis barang dan pihak penjual
meminta pembeli untuk memilih mana yang disenangi, hak pembeli untuk menentukan
pilihan salah satu barang itu disebut khiyar tayin.9
Menurut Abu Hanifah, khiyr tayin ini diperbolehkan dengan menggunakan dalil hokum
istihsan, sedangkan menurut ahli fiqh lain, tidak menerima keabsahan khiyar tayin. Menurut
mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan harus jelas,
baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar tayin, menurut mereka, seolah8 Ibn Rusyd, Bidayah al-mujtahid, Juz II, h.272; Ibn Qudamah, op.cit., juz III, hlm.
580-590.
9Wahbah al-Zuhaili, ibi., hlm 525.
10

olah kelihatan bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas. Karena hal itu termasuk
kepada jual beli yang tidak jelas identitasnya (bai al-madum).
Menurut ulama Hanafiyah, syarat-syarat khiyar tayin yang harus diperhatikan
adalah:

Pilihan hendaknya dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas,


Barang yang akan dipilih tersebut berbeda harganya,
Tenggang waktu khiyar supaya dibatasi agar pihak penjual dapat jelas kapan akad
mempunyai kepastian, dan barang-barang yang tidak dipilih segera kembali untuk
kemudian dapat diperlakukan oleh penjual.
Khiyar tayin dipandang telah batal bila pembeli menentukan pilihan secara jelas

barang tertentu untuk dibeli, atau pembeli telah memperlakukan barang-barang yang
diperjualbelikan dengan cara menunjukkan bahwa iantelah memilih dan menentukannya.
Apabila sebelum menentukan pilihan, salah satu barangnya rusak di tangan pembeli
setelah menerimanya, barang yang rusak itu merupakan barang yang menjadi objek akad,
dan pembeli harus menyerahkan harganya. Berbeda halnya jika rusaknya barang di tangan
penjualnya, yang menjadi objek khiyar adalah barang yang tidak rusak. Apabila pembeli
meninggalkan sebelum habis waktu khiyar, hak itu dilanjutkan oleh ahli warisnya sebab
hak khiyar tayin dapat diwariskan.10
4. Khiyar Aib
Khiyar aib diartikan sebagai keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad
memiliki hak untuk yang membatalkan akad atau melangsungkannya ketika ditemukannya
kecacatan (aib) dari salah satu dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya
pada waktu akad.11
Dengan kata lain, terdapat hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan , dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung. Dasar
hukum khiyar aib diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya:

10M. Azhar Basyir, Prinsip-Prinsip Muamalat.


11 Wahbah al-Zuhaili, ibid., hlm. 261.
11

Sesama muslim itu bersaudara. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual
barang terhadap muslim lainnya yang mengandung kecacatan, kecuali menjelaskannya
terlebih dahulu. (HR. Ibn Majah dari Uqbah bin Amir).
Para ulama bersepakat bahwa khiyar aib ini berlaku sejak diketahui adanya kecacatan
pada barang yang diperjualbelikan. Adapun cacat yang mengharuskan adanya khiyar menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsure yang menunjukkan adanya kerusakan
terhadap objek akad dan berkurangnya nilai barang tersebut dari nilai aslinyasesuai dengan
adat yang berlaku. Sedangkan menurut ulama Syafiiyah dan Malikiyah adalah seluruh cacat
yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsure yang diinginkan dari
padanya, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan korban,
dan lainnya. Syarat berlakunya khiyar menurut para ulama fiqh diantaranya adalah sebagai
beikut:

Kecacatan itu diketahui sebelum atau sesudah akad, tetapi belum serah terima barang

dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama.


Pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada barang tersebut pada saat akad
berlangsung , dan apabila ia mengetahuinya maka tidak ada khiyar karena dianggap

sudah rela.
Pemilik barang atau penjual tidak mensyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh
dikembalikan, sedangkan apabila penjual mensyaratkan pengembalian, maka tidak ada

khiyar.
Kecacatan itu hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
Dampak dari adanya khiyar aib adalah menjadikan akad tersebut tidak mengikat bagi

yang berhak khiyar, sampai adanya kerelaan pihak pembeli atau melakukan pembatalan akad.
Oleh karena itu, pengembalian barang khiyar aib boleh terhalang disebabkan:

Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang baik ditunjukkan secara

langsung melalui ungkapan atau tidak langsung melalui tindakan.


Hak khiyar digugurkan oleh yang memiliki hak , baik melalui ungkapan atau tindakan,
Objek transaksi mengalami kerusakan karena perbuatan pemilik hak khiyar,
Terjadinya penambahan objek transaksi di tangan pemilik hak khiyar, seperti tanah
sudah dijadikan bangunan atau hewan yang anaknya telah lahir dan sebagainya.
5. Khiyar Ruyah

12

Khiyar ruyah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan belaku atau batalnya
jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad
berlangsung.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan
Zahiriyah menyatakan bahwakhiyar ruyah disyariatkan dalam islam berdasarkan sabda
Rasulullah SAW yang mengatakan:
Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu. (HR. Ad-Daruquthni dai abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka bisa terjadi disebabkan objek yang akan dibeli itu
tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti ikan kaleng.
Khiyar ruyah menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan
dibeli. Akan tetapi menurut ulama Syafiiyah bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah,
baik barang itu disebutkan sifatnya maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka khiyar
ruyah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan. Hal ini sebagaimana
hadis Rasul yang melarang jual beli yang mengandung penipuan. Hadis yang
dikemukakan jumhur di atas, menurut mereka adalah hadis lemah (dhaif) sehingga tidak
bisa dijadikan dasar hukum. Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya
khiyar ruyah, yaitu:

Objek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung,


Objek akad berupa materi, seperti tanah, rumah dan kendaraan,
Akad itu sendiri mempunyai alternative untuk dibatalkan, seperti jual beli dan sewa
menyewa.

Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut jumhur ulama, maka khiyar ruyah
tidak berlaku. Apabila akad itu dibatalkan berdasarkan khiyar ruyah, menurut jumhur ulama,
pembatalan harus memenuhi syarat-syarat berikut: Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli,
pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan hanya dilakukan pada
sebagian objek yang diperjualbelikan, dan pembatalan itu diketahui pihak penjual.
Menurut Jumhur ulama, khiyar ruyah akan berakhir apabila:
Pembeli menunjukkan kerelaanya melangsungkan jual beli, baik melalui pernyataan
atau tindakan,
Objek yang diperjualbelikan hilang atau terjadi tambahan cacat, baik oleh kedua belah
pihak yang berakad, orang lain, maupun oleh sebab alami,
13

Terjadi penambahan materi objek setelah dikuasai pembeli, seperti di tanah yang
dibeli itu telah dibangun rumah, atau kambing yang telah dibeli itu telah beranak,
tetapi apabila penambahan itu menyatu dengan objek jual beli seperti susu kambing
yang dibeli atau pepohonan yang dibeli itu berubah, maka khiyar ruyah bagi pembeli
tidak gugur.
Orang yang memiliki hak khiyar meninggal dunia, baik sebelum melihat objek yang
dibeli maupun sesudah dilihat, tetapi belum ada pernyataan kepastian membeli
darinya.
6. Khiyar Naqd
Khiyar naqd, yaitu jual beli yang dilakukan oleh dua orang dengan syarat apabila
pembeli tidak melakukan khiyar ini dalam waktu tertentu maka tidak terjadi jual beli
antara keduanya. Dengan ungkapan lain, menjual sesuatu barang berdasarkan bahwa si
pembeli akan membayar harga barang tersebut pada masa yang disetujui semasa akad.
Kemudian tiba-tiba si pembeli gagal membayar pada masa yang ditetapkan, maka penjual
berhak membatalkan jual beli tersebut, begitu juga sekiranya si pembeli meninggal dalam
masa berjalannya khiyar naqd, maka akad tersebut dengan sendirinya batal.
7. Khiyar Wasf
Khiyar wasf, yaitu memilih membatalkan (fasakh) atau meneruskan jual beli pada saat
ditemukan bahwa barang yang dibeli tersebut tidak sesuai dengan sifat-sifat yang
dikehendakinya. Dalam hal yang demikian, si pembeli boleh memilih antara membatalkan
akad jual beli itu atau meneruskannya dengan harga yang ditetapkan semasa akad.
Menurut para ahli fiqh, khiyar wasf boleh diwarisi. Oleh karena itu, ketika pembeli
meninggal sebelum melihat barang yang dibelinya, kemudian barang itu diserahkan
kepada ahli warisnya dan terdapat sifat-sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati oleh yang meninggal, maka ahli waris berhak membatalkan akad jual beli
tersebut. Dengan demikian, hak khiyarwasf dengan sendirinya batal sekiranya pembeli
bertindak terhadap barang tersebut sebagaimana hak miliknya sendiri.

2.4 Badan Perantara (Samsarah)

14

2.4.1 Pengertian
Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau
mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual
beli.12
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi perantara antara
pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual beli. 2 Dengan adanya perantara
maka pihak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik transaksi
berbentuk jasa atau berbentuk barang. 13
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi
menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan
kata lain makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan
jual-beli.3 Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang memerlukan
jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya transaksi jual-beli
dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut.14
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa samsarah (makelar) adalah penengah
antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan pembeli untuk melancarkan sebuah
transaksi dengan imbalan upah (ujroh), bonus atau komisi (ji'alah).
Di masa sekarang banyak orang yang disibukkan dengan pekerjaan masing-masing,
sehingga ada sebagian orang tidak memiliki waktu untuk menjual barangnya atau mencari
barang yang diperlukan. Sebagian orang lagi mempunyai waktu luang, mempunyai keahlian
untuk memasarkan (menjualkan), namun tidak memiliki barang yang akan dijualkannya.
Untuk memudahkan kesulitan yang mereka hadapi, saat ini ada orang yang berprofesi
khusus menangani hal-hal yang dikemukakan di atas, seperti biro jasa: di mana kedua belah
pihak mendapat keuntungan (manfaat). Biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa
dari hasil pekerjaannya, sedangkan orang yang memerlukan jasa mendapatkan kemudahan,
karena sudah di tangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Dalam hal ini pihak biro jasalah yang bisa membantu dan menyelesaikan kesulitan yang
dihadapi oleh pemilik barang tersebut, selain pemilik barang dapat menyelesaikan masalahnya
12 M. Ali, Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (figh muamalat), ed. 1., cet.2,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 289


13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12, Bandung: PT Al-Ma'rif, 1996, hlm. 15.

Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup Dalam
Perekonomian, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.hlm. 269
14

15

pihak biro jasa juga mendapat lowongan kerja sehingga pemilik barang dan biro jasa
mendapat keuntungan.
Pekerjaan samsarah / simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam
fiqih Islam termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan
imbalan. Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats
tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).
Ijarah secara sederhana diartikan dengan transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda di sebut
ijarat al-ain atau sewamenyewa, seperti menyewa rumah untuk di tempati bila yang menjadi
objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau
upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian. Keduanya disebut dengan satu istilah dalam
literatur Arab yaitu ijarah..15
Pemilik yang menyewa manfaat disebut mu'ajjir (orang yang menyewakan). Pihak lain
yang memberikan sewa disebut musta'jir (orang yang menyewapenyewa). Dan, sesuatu yang
diakadkan untuk di ambil manfaatnya disebut ma'jur (sewaan). Sedangkan jasa yang
diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).
Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu
merupakan mu'amalah yang telah disyari'atkan dalam Islam. Hukum asalnya adalah boleh
atau mubah bila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Islam.
Kebolehan praktek ijarah berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur'an dan hadist Nabi SAW,
Surat Ath-Thalaq : 6


Artinya :
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."

15

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh, Bogor: PT. Prenada Media, 2003, hlm. 215
16

Berdasarkan ayat di atas, maka menyewa seseorang untuk meyusukan anak adalah boleh,
karena faedah yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama
artinya dengan manfaat (jasa) dan yang lebih penting lagi adalah setelah perempuan
memberikan manfaat bagi anak yang disusunya, jangan sampai tidak diberi upah, karena upah
merupakan hak yang wajib ditunaikan setelah pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.
Persoalan upah mengupah untuk sama-sama mengambil manfaat dari suatu pekerjaan
diperbolehkan, asalkan setelah pekerjaan selesai dilakukan kemudian orang yang mengupah
membayar imbalan yang setimpal. Artinya kerja sama yang dilakukan dibolehkan selama
saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Jadi pekerjaan samsarah dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah memenuhi
akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa samsarah harus segera memberikan
imbalan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. Karena hal-hal seperti itu
sangatlah dibenci oleh Tuhan.
Surat Al-A'raf : 85


Artinya:
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib.
ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul
kamu orang-orang yang beriman".
Dan sesuai hadist Nabi :

Artinya:
" Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )
Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah menunda-nunda upah para pekerja,
apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka bayarlah upah atau jerih payah mereka pada
waktunya karena Allah paling benci bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.
17

Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti
seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya dalam batas waktu tertentu maka ia tidak
mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti
ini tidak benar, karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah
ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang dilakukan oleh
pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah pekerja.
2.4.2 Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa rukun yaitu :
1.

Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)


Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan
pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.

2.

Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)


Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung
maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih dahulu
supaya tidak terjadi salah paham.

3.

Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi

pemakelaran)
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah
aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah
'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran
mengacu pada syarat-syarat umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syaratsyarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat.
Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh
seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan
tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek transaksi dan kompensasi), para
ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal (masyru) dan kompensasi yang telah
ditentukan (ma'lum).16
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah (pemakelaran) adalah
syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan
shigat. Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh
16Abdullah Abdulkarim, Broker/Pemakelaran (samsaroh) dalam Islam, http://ocessss.
blogspot.com/2009/07/07/ brokerpemakelaran-samsarah-dalam-islam-htm

18

seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan
tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun hikmah adanya samsarah adalah dimana manusia itu saling membutuhkan satu
sama lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang yang tidak mengerti cara membeli atau
menjual barang mereka. Maka dalam keadaan demikian, diperlukan bantuan orang lain yang
berprofesi selaku samsarah yang mengerti betul dalam hal penjualan dan pembelian barang
dengan syarat mereka akan memberi upah atau komisi kepada makelar tersebut.
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah itu merupakan suatu
perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak samsarah berhak mendapat upah
(gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal mungkin sehingga tidak ada yang merasa
dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari pihak samsarah sendiri maupun dari pihak
perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan adalah membayar upah para pekerja (simsar)
dimana mereka telah bekerja untuk perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan
adanya samsarah adalah untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul oleh orang yang memakai jasa
tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan hak dan kewajiban, pihak pemakai
jasa harus memberikan kepada makelar yaitu menurut perjanjian yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan atau kezaliman dalam pemenuhan hak dan
kewajiban di antara mereka.

2.4.3 Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam Aqad Samsarah


Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih luas, termasuk jasa pengacara,
jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli
saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk
kerja sama dalam aqad samsarah itu ada dua, yaitu bentuk kerja sama yang menjual barang
dan bentuk kerja sama yang menjual jasa, atau sama dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat al-ain atau sewa
menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak yang menyewa. Sedangkan
bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah,
seperti upah menjahit pakaian atau upah pengacara atau upah para pekerja di perusahaanperusahaan swasta.
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya penipuan dan memakan harta
orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila barang yang nilainya tinggi, sebaiknya
sudah ditetapkan uang imbalanya dan ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah
19

ditandatangani, maka semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji, sebagaimana
firman Allah :
...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman :
....
Artinya:
... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabanya
( Qs al- isra : 34 )
Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah janji hamba kepada
Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang
tertulis dan ada pula yang hanya dengan lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada
adat-istiadat semata-mata. Hal itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri,
sekiranya terjadi pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh, berdasarkan hadist Qays
bin Abi Ghurzah al-Kinani :
, : : -


16

Artinya:
" Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami saat itu kami, para pedagang biasa di
panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai Tujjar (para pedagang),
sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli, campurlah sedekah dalam jualbeli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).
Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa selalu menghadiri jual-beli,
maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan bersedekah supaya jual beli yang para
pedagang lakukan tidak mengandung maksiat dan haram.
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Muthalli, telah
menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal
tersebut, seraya menyatakan: Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa
disimpulkan bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang
berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar
yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah 'ala samsarah tidak diperbolehkan.
20

Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang makelar adalah sebagai
orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari makelar atau dalam istilah lain
samsarah ala' samsarah yaitu makelar menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah
kedudukannya sebagai orang tengah.
2.4.4 Pembagian Keuntungan dan Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam praktek hal ini disebut
courtage. 17Untuk menghindari jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka barang-barang
yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak timbul salah paham, begitu
juga dengan imbalan jasa dan pembagian keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi
nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian di
hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat), bahwa imbalannya tidak
ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu 2,5 % dari nilai transaksi. Ada juga
yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.
Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat, sesuai kaidah hukum Islam.

" Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."
Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah dapat mengatur
suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh
mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga yang di
tentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang berselisih paham maka dari itu
Islam menganjurkan untuk membuat sebuah perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis
supaya kerja sama yang mereka lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan.
Sebagai landasan hukumnya ialah sabda Rasulullah saw. :
, , , , ,

Artinya:
" Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat yang
17 Achmad Ichsan, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hlm. 33


21

mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama muslim itu halal kecuali kerja
sama yang haram tapi di halalkan , seperti menjual minuman keras dan narkotika, maka dari
itu mereka harus berpegang kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya
obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan barang rusak atau pailit.
Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung jawab dari kerusakan dan pailit
tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko lain yang mungkin terjadi.
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian kalau diluar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Sedangkan menurut pendapat lainnya, resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika
terjadi keadaan memaksa, yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa
benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi.
Dengan demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa.
Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan
mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya
tidak di tuntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak
sengaja dan tidak akan merugikan sebelah pihak.
2.4.5 Pengertian Agen
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil, perantara), suatu pihak yang bertindak sebagai
perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar persentase
tertentu dari total hasil penjualannya.18
Berdasarkan penjelasan di atas agen adalah orang yang bertindak sebagai perantara
dalam transaksi jual-beli dengan persentase komisi dari total hasil penjualan. Persentase
komisi tersebut telah disepakati oleh pihak agen dan pemilik barang, apakah persentase dari
total hasil penjualan atau komisi yang berbentuk lain.
Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah wakil tetap, baik yang ditunjuk ataupun tidak
dari suatu perseroan dagang yang diberikan kuasa (penuh) untuk melakukan transaksitransaksi atas nama perseroan yang diwakilinya.19
18 Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta ,
1994, hal. 12

22

Maksud dari penjelasan di atas adalah wakil tetap yang ditunjuk maupun yang tidak
ditunjuk langsung dari perusahaan, yang memberikan kuasa penuh untuk melakukan transaksi
jual-beli atas nama perusahaan yang diwakilinya tersebut, dengan maksud transaksi yang
mereka lakukan akan berjalan lancar seperti yang diinginkan pihak perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agen adalah orang atau perusahaan perantara
yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha, perwakilan, kaki
tangan atau mata-mata negara asing, wakil pengusaha yang merundingkan, memberikan jasa
layanan, atau menutup perjanjian asuransi dengan ketentuan yang ada.20
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa agen
merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak dari suatu perseroan dagang untuk melakukan
transaksi jual-beli dengan imbalan komisi sebesar persentase yang telah ditentukan dari total
hasil penjualan yang mereka lakukan.
Dalam hal ini apabila agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan pihak
principal, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka,
apabila tindakan yang dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati
maka pihak principal akan bertanggung jawab.
Dalam praktek perjanjian yang diadakan kedua pihak ternyata terdapat 3 kemungkinan
variasi yang terjadi, yaitu :
1. Dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak
untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya
persetujuan dari pihak lain. Maksudnya adalah baik pihak principal maupun agen tidak
berhak untuk mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban dari masingmasing pihak tanpa persetujuan dari pihak agen dan principal lainnya.
2. Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak
ketiga, tetapi agen tidak boleh.
3. Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak
ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan
kewajibannya apabila diperoleh persetujuan dari pihak prinsipal. Maksud dari variasi
di atas adalah prinsipal tersebut boleh mengalihkan hak dan kewajibannya pada pihak
lain, tetapi apabila agen yang ingin mengalihkannya maka harus meminta persetujuan
19 Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi lengkap
Semarang, CV. Aneka, hal. 48-49

20 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, ed.3, cet.2 Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, hlm.12
23

dari pihak prinsipal, seandainya tidak ada persetujuan dari pihak prinsipal maka pihak
agen tidak bisa mengalihkannya kepada pihak lain.
Biasanya dalam perjanjian kerja sama tersebut kedua belah pihak merumuskan secara
jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults) antara mereka
untuk memutuskan perjanjian, yang dikategorikan events of defauls adalah :
a. Apabila agen lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada
perjanjian keagenan termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
b. Apabila agen melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan
c. Apabila para pihak jatuh pailit
d. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Dalam praktek perdagangan dijumpai apa yang dikenal dengan nama agen perdangangan,
yaitu seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan
barang-barang keluaran perusahaan lain, umumnya perusahaan luar negeri dan biasanya
mereka mempunyai hubungan tetap.
2.5 Lelang (Bay Muzayadah)

Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang pada awalnya
membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan
kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehingga pada akhirnya penawar dengan harga
yang paling tinggi mendapatkan orang yang dilelangkan. Bentuk-bentuk lelang sendiri
memiliki bentuk yang beragam yaitu tidak terbatas hanya pada barang saja tetapi juga bisa
berupa proyek pembangunan suatu gedung dengan nilai yang sangat besar ataupun proyek
perubahan alih fungsi suatu areal kosong atau hutan. Salah satu bentuk lelang berupa proyek
adalah tender jika dilihat dari segi penawaranya yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh
pentender untuk memperoleh persetujuan mengenai alat bayar sah atau jasa guna melunasi
suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi.
Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh kontraktor
untuk memasok atau memborong barang atau jasa berupa penawaran terbuk di mana para
peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki atau
berupa penawaran tertutup di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan
dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun
kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi sampai pada titik harga yang sesuai
dengan daya beli para peserta.

24

2.5.1 Hukum Jual Beli Lelang Dalam Pandangan Islam


Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah
keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual
akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi
akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. Dalam kitab-kitab fiqih atau
hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai al-muzayadah (adanya
penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap kontropersi yaitu ada
diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang mengatakan makruh hukmnya.
Berdasarkan pendapat tersebut tentunya kita harus merujuk pada sumber yang memang dapat
dipercaya ayitu pada Al-Quran dan Hadits. Rasulullah pernah dalam suatu waktu pernah
melakukan lalang yaitu ketika ada seorang pengemis yang meminta-minta dan disana
Rasulullah melakukan lelang terhadap barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut.
Didalam Surat An-Nisa ayat 29 dan Al-Mulk ayat 15 diterangkan bahwa adanya kebebasan,
keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari
karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling
menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas hak-hak
orang lain secara tidak sah.
Setiap transaksi jual beli baik itu lelang maupun jual beli secara langsung memiliki
ketentuan sebagai berikut :
1. Bila transaksi sudah dilakukan dengan seseorang, maka orang lain tidak boleh
menginvestasikan dan melakukan transaksi kedua.
2. Mempertimbangkan pilihan yang dibolehkan dalam transaksi jual beli, dengan
ketentuan ketentuan yang ditentukan.
3. Transaksi dagang hanya untuk barang yang sudah ada dan dapat dikenali segala
identitasnya.
4. Bersumpah dalam transaksi dagang tidak diperbolehkan
5. Dalam transaksi jual beli dianjurkan ada saksi.
Melihat dari segi pembahasanya lelang merupakan salah satu bentuk jual beli antara
pedagang dengan peserta yang menjadi pembeli tetapi dalam hal ini barang yang dijual tidak
selalu secara nyata dan ini akan dibahas pada uraian selanjutnya.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan juga Ahmad.





25





Bentuk lain dari lelang seperti perebutan proyek yang akan dibangun atau dengan
istilah lainya yaitu tender, dalam dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar
yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw
bertanya kepadanya,Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu? Lelaki itu menjawab,Ada.
Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk
meminum air. Nabi saw berkata,Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku. Lelaki
itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, Siapa yang mau membeli barang ini? Salah
seorang sahabat beliau menjawab,Saya mau membelinya dengan harga satu dirham. Nabi
saw bertanya lagi,Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal? Nabi saw
menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau
berkata,Aku mau membelinya dengan harga dua dirham. Maka Nabi saw memberikan dua
barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada
lelaki Anshar tersebut.(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi).
Makna penawaran tender yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk
memperoleh persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna
melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak
dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh
pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa berupa
penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat bersaing menurunkan
harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup (sealed tender) di
mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat
tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat
menurunkan harga lagi. Tender juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana
pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran
atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai. Biasanya yang
sering terjadi penyimpangan dalam tender di antaranya berupa penawaran cincai/kolusi
(collusive tendering) dengan praktik sogok dan atau cara lainnya yang tidak sehat untuk
memenangkan penawaran atau tendernya.
Meskipun demikian ada sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli
lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,

26

Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar).
Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya
dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang
dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. Namun untuk mencegah
adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang
maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line
yaitu di antaranya:
1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela
2. Objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat
3. Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual
4. Kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya
manipulasi seperti window dressing atau lainnya
5. kesanggupan penyerahan barang dari penjual
6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan
perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan
tender dan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik
lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor
tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat
dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang,
fasilitas ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak
memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya. Dengan demikian hukum profesi
juru lelang dan bekerja di balai lelang diperbolehkan dalam Islam selama memenuhi kriteria
umum yang digariskan syariatnya seperti di atas.21
2.6 Jual beli yang dilarang
1. Jual Beli yang Menyebabkan Jauh/Melalaikan dari Ibadah
21 Kumpulan Artikel Muamalah, Lelang dalam Pandangan Islam, diakses dari
http://rafiqatul-hanniah.blogspot.co.id/2012/03/lelang-dalam-pandanganislam.html, pada tanggal 20 April 2016 pukul 12.30
27

Salah satu jual beli yang dilarang dalam islam ialah menyebabkan jauh dari ibadah,
Maksudnya ketika telah masuk waktu beribadah, penjual masih sibuk dengan urusan
dagangannya sehingga mengakhirkan sholat berjamaah di masjid (bagi laki-laki), (Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Alih Bahasa: Ummu Abdullah, Forbidden Business Transaction
in Islam, Maktabah Raudhotul Muhibbin, hal: 7, 2008). Penjual sengaja melakukan perbuatan
tersebut, hal ini telah di larang oleh Allah S.W.T dalam firmannya
)





(

Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat,
Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.(Q.S Al jumuah [62]: 9-10).
Dan di dalam ayat lainnya Allah S.W.T berfirman juga:


Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah
orang-orang yang merugi. (Q.S Al munafiqun [63]: 9)
Pada ayat di atas Allah menyatakan bahwasanya merugi orang-orang yang
melalaikan dari mengingat Allah, walaupun hartanya berlimpah.Ini di maksudkan merugi
di dalam urusan akhirat, indikator sebuah sukses adalah tidak hanya sebatas harta tetapi
sukses yang sebenarnya adalah di akhirat kelak dan lebih baiknya adalah sukses dunia
maupun akhirat.Jadi jelaslah mengapa jual beli yang dapat melalaikan dari Allah di
haramkan dan tidak ada keberkahan di dalamnya.
2. Menjual Barang-Barang yang Diharamkan

Kemudia jual beli yang dilarang dalam islam lainnya adalah menjual barangbarang yang diharamkan. Ketika barang yang telah Allah tetapkan haram, maka untuk
menjualnya pun diharamkan (Ibid, hal: 10), sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W :

28


Artinya: Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan
sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya.(HR. Abu Daud no. 3488 dan
Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari hadits diatas sudah jelas, setiap barang yang telah di haramkan maka haram
juga untuk menjualnya karena mendukung dan menyebabkan sebuah kemudharatan
terjadi, walaupun penjual tidak menggunakan barang haram tersebut, sebagaimana
sebuah kaidah fiqh (Dr. Syeikh Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, hal: 32, PT Bina Ilmu:
1993) : Apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram. Hal
ini telah di jelaskan dalam sebuah hadits yang membahas bahwasanya orang yang tidak
melakukan aktifitas haram tetapi membantu terlaksananya perbuatan tersebut, maka
haram pula :
:
:


Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW melaknat tentang khamr
sepuluh

golongan:

meminumnya,

1.yang

4.yang

memerasnya,

mengantarkannya,

2.yang
5.yang

minta
minta

diperaskannya,

3.yang

diantarinya,

6.yang

menuangkannya, 7.yang menjualnya, 8.yang makan harganya, 9.yang membelinya, dan


10.yang minta dibelikannya. (HR. Tirmidzi juz 2, hal. 380, no. 1313)
Contoh dua hadits diatas telah jelas, bahwasanya walaupun tidak melakukan perbuatan
haram tetapi membantu atau melancarkan terlaksananya perbuatan tersebut, maka tetap di
hukumi haram.Pada permasalahan disini menjual merupakan sikap atau tindakan yang
membantu terlaksananya perbuatan haram, walaupun menjual itu tidak melakukan
perbuatan haram tersebut, seperti menjual khamr, kartu untuk judi, narkoba, dan lain-lain.
3. Jual Beli (Bai) Al Inah

Jual beli inah merupakan jual beli yang dilarang dalam islam oleh mayoritas
ulama, karena memanipulasi untuk melakukan riba.Jual beli inah adalah Menjual barang
dengan harga kredit dan membelinya lagi dengan harga kontan. Untuk penjelasannya,
berikut ilustrasi contoh dari transaksi jual beli (bai) al inah : A berkata kepada B Saya
jual sepeda ini, kepadamu dengan harga Rp 400.000 dibayar 4 bulan kemudian. B
menjawab, Ya, saya terima.Sampai di sini jual beli ini tidak bermasalah.Selanjutnya A
berkata lagi kepada B, Bagaimana kalau sepeda itu saya beli dengan cash tapi dengan
29

harga Rp 500.000 saja?B menjawab, Ya. Alhasil motor kembali ke tangan A dan B
mendapatkan uang Rp 400.000 namun harus tetap memikul hutang Rp 500.000.
Disebut sebagai bai al inah (Wahbah Al-Zuhaili, Financial Transactions in Islamic
Jurisprudence Vol 1, Dasmascus: Dar al Fikr, hal: 115, 2003) adalah karena pembeli (B)
menerima suatu objek berbentuk ayn yang merupakan uang, dan bukan barang.
Perbedaan antara harga pertama dengan yang kedua merupakan bunga terselubung atau
bersifat riba bagi pemilik barang yang diperjual belikan.Oleh karena itu, beliau
menyimpulkan bahwa transaksi ini merupakan rekayasa untuk meminjam uang yang
mengandung riba. Transaksi ini hanya rekayasa untuk mengelabuhi akad riba, dari contoh
diatas dapat jelas diartikan bahwa A memberi hutang kepada B sebesar Rp 400.000 dan B
akan membayar dengan Rp 500.000.
Transaksi bai al inah ini dipertegas dengan larangan dari hadits Ibnu Umar r.a
Rasulullah saw bersabda:

:
:

Artinya: Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-Inah dan kalian telah ridho
dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan
jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak
akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian. (HR. Abu Dawud no.
3462)

1. Barang yang tidak ia miliki.


Misalnya, seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang
tertentu.Tapi barang yang dia cari tidak ada padamu.Kemudian ksmu/ente dan
pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan
dibayar sekian, sementara itu barang belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si
penjual. Kemudian ent pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada
si pembeli.Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual
sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum
menjadi miliknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara
berjual beli seperti ini. Istilah kerennya reseller.

30

Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam
Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm :
Wahai, Rasulullah. Seseorang datang kepadaku.Dia ingin membeli sesuatu
dariku, sementara barang yang dicari tidak ada padaku.Kemudian aku pergi ke
pasar dan membelikan barang itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :

.Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi]

2. Jual beli Hashat


Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan
menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang
yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat. Sebagai contoh:
Seseorang berkata: Lemparkanlah bola ini, dan barang yang terkena
lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian. Jual beli yang sering kita temui
dipasar-pasar ini tidak sah.Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

3.

Jual beli Mulamasah


Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata:
Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan
harga sekian.Atau Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi
milikmu dengan harga sekian.
Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan

tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli.Dan didalamnya terdapat
unsur pemaksaan.

4.

Jual Beli Najasy


Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan

menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga
yang lebih tinggi dari yang biasa.Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan
tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk
membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan
31

tawarannya tersebut. Ini termasuk jenis penipuan. Dan Rasullulah S.A.W. telah
melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam hadisth:
"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di
atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan
saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar
menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih
kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).22

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia
dalam

mencukupi

kebutuhan

mereka,

dan

menjalin

silaturahmi

antara

mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli
yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah
disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan
22 Fiqh Muamalah, jual beli yang dilarang, diakses dari
http://www.suduthukum.com/2015/02/jual-beli-yang-diperbolehkan-dan-jual.html,
pada tanggal 20 April 2016 pukul 12.15
32

objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi,


dan itu semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat
dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada
intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi
inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
3.2 Saran

Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi
penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati
dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.
Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba.
Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fathurrahman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga


Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasan, Ali. 2002. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada.
http://caknenang.blogspot.co.id/2011/04/konsep-simsarah-dalam-ekonomi-islam.html
http://rafiqatul-hanniah.blogspot.co.id/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
http://www.suduthukum.com/2015/02/jual-beli-yang-diperbolehkan-dan-jual.html

33

Anda mungkin juga menyukai