Anda di halaman 1dari 31

APLIKASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA PADA BERBAGAI

PRODUK PERIKANAN

SEMINAR 1 SKS
(PIT 4085)

OLEH:
Rahmat Aulia Saputra
11/318205/PN/12506
PROGRAM STUDI
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN SEMINAR 1 SKS

Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa Pada Berbagai


Produk Perikanan
Oleh:
Rahmat Aulia Saputra
11/318205/PN/12506
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
Diseminarkan di depan Sidang Seminar
Tanggal 11 Juni 2015
Laporan Seminar 1 SKS ini telah disahkan dan diterima sebagai kelengkapan mata kuliah
Seminar 1 SKS (PIT 4085) yang diselenggarakan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Dosen Pembimbing Seminar

Prihati Sih Nugraheni, S.Pi., M.P.

Tanda Tangan

Tanggal Pengesahan

......

NIP. 19820215 200812 2 001

Ketua Komisi Seminar


Program Studi Teknologi Hasil Perikanan

Wahdan Fitriya S.Pi., M.Sc.


NIU. 1120130042

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikanan merupakan sektor paling berpotensi dalam menyumbangkan devisa
negara. Hal tersebut didukung oleh kondisi negara indonesia yang merupakan negara
kepulauan, sehingga kebanyakan wilayahnya berupa perairan. Sumber daya perikanan
yang terdapat pada perairan indonesia antara lain: ikan, udang, rajungan, kerang,
kepiting, rumput laut dan lain-lain. Kekayaan sumber daya ikan yang melimpah tersebut
belum seluruhnya dimanfaatkan. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah Potensi lestari
(maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap sebesar 6,4 juta ton
per tahun, sedangkan potensi yang dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari
MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun (KKP,2011). Kurangnya pemanfaatan ini dikarenakan
sumber daya perikanan bersifat perishable yaitu mudah rusak atau busuk, sehingga
kondisi ini membuka peluang untuk pengolahan produk dari hasil perikanan.
Salah satu produk perikanan yang digemari masyarakat adalah produk asap.
Berkembangnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan, mendorong munculmya
produk asap cair. Asap cair merupakan suatu hasil destilasi atau pengembunan dari uap
hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan bahan yang banyak
mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain, bahan baku yang banyak digunakan
adalah kayu, bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu dll (Amritama,
2007). Kandungan yang terdapat pada asap cair yaitu fenol, karbonil, keton, aldehid,
asam-asam, lakton, alkohol, furan, dan ester.keton. Kandungan ini berfungsi untuk
memberi cita rasa dan warna yang diinginkan pada produk asapan, dan berperan dalam
pengawetan dengan bertindak sebagai antibakteri, anti jamur dan antioksidan (Wulandari
dkk, 1999).
Penerimaan masyarakat terhadap penggunaan asap cair ini tergolong baik
sehingga kemudian banyak berkembang pemanfaatan asap cair pada berbagai produk
perikanan dan juga dikombinasikan dengan metode pengolahan yang lain misalnya
proses pemindangan yang dikombinasikan dengan asap cair. Efek penambahan

penambahan asap cair pada berbagi produk perikanan memberikan pengaruh pada
karakteristik ikan dan akan dikaji lebih lanjut dalam makalah ini
B. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh asap cair tempurung kelapa terhadap berbagai produk
perikanan.
2. Dapat mengetahui kandungan-kandungan asap cair dari tempurung kelapa dalam
pengawetan produk perikanan

C. Manfaat
1. Seminar ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai pengaruh aplikasi asap
cair tempurung kelapa pada berbagai produk perikanan

II. PEMBAHASAN
A. Asap Cair
Asap cair didefinisikan sebagai cairan kondensat yang diperoleh dari
pengembunan asap hasil penguraian senyawa-senyawa organik yang terdapat dalam kayu
sewaktu proses pirolisis. Salah satu cara membuat asap cair yaitu dengan mengondensasikan
asap hasil pembakaran tidak sempurna dari kayu. Selama pembakaran, komponen utama
dari kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin akan mengalami pirolisis menghasilkan
senyawa turunan berupa fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon polisiklis
aromatis dan lain sebagainya (Girard, 1992). Menurut Darmadji (1996), pirolisis merupakan
proses dekomposisi atau pemecahan bahan baku penghasil asap cair dengan adanya panas
pembakaran dan oksigen yang terbatas dan menghasilkan gas, cairan dan arang.
Teknik pengasapan dengan menggunakan asap cair memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan teknik pengasapan tradisional. Pengasapan dengan asap cair mudah,
cepat, keseragaman produk, karakteristik makanan yang didapatkan baik serta tidak
terdepositnya senyawa karsinogenik hidrokarbon aromatik polisiklik dalam makanan yang
diawetkan. Sifat utamanya adalah memberi flavor dan warna yang diinginkan pada produk
asapan yang diperankan oleh senyawa fenol dan karbonil. Fungsi lainnya adalah untuk
pengawetan karena kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antioksidan
dan antimikrobia. Oleh sebab itu, asap cair banyak digunakan sebagai zat antimikrobia dan
antioksidan dalam bidang kehutanan, perkebunan, pangan, maupun bidang lainnya
(Pszczola, 1995). Untuk mendapatkan asap yang baik, sebaiknya menggunakan kayu keras
seperti kayu bakau, kayu rasamala, serbuk dan gergajian kayu jati serta tempurung kelapa
sehingga diperoleh produk asapan yang baik.
Pemanfaatan asap cair pada produk perikanan digunakan untuk menghindari
kemunduran mutu serta memberikan flavor baru pada produk. Namun dalam proses
pengasapan ikan yang menggunakan asap cair harus memenuhi syarat mutu ikan asap yang
ditetapkan oleh SNI 01-2725-1992 meliputi : organoleptik, mikrobiologi (TPC, Escerichia
coli, Kapang) dan Kimia (air, abu tak larut dalam asam) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.

Syarat mutu ikan asap

Parameter
1. Organoleptik
2. Mikrobiologi
a. TPC ( per gram), maksimum
b. Escerichia coli ( MPN/g),

Persyaratan Mutu Ikan Asap


( SNI 01-2725-1992)
7
5x105
0

maksimum
c. Kapang
d. Salmonella sp.

Negatif
Nagatif

e. Staphylococcus MPN/gr,

Negatif

Maksimum
3. Kimia
a. Air, %bobot/bobot, maksimum
b. Garam, %bobot/bobot,
maksimum
c. Abu tak larut dalam asam,

60
4
1,5

%bobot/bobot, maksimum

B. Proses Pembuatan Asap Cair


Prinsip utama dalam pembuatan asap cair sebagai bahan pengawet adalah dengan
mendestilasi asap yang dikeluarkan oleh bahan berkarbon dan diendapkan dengan
destilasi multi tahap untuk mengendapkan komponen larut. Untuk menghasilkan asap
yang baik pada waktu pembakaran sebaiknya menggunakan jenis kayu keras seperti
kayu bakau, rasa mala, serbuk dan serutan kayu jati serta tempurung kelapa, sehingga
diperoleh ikan asap yang baik ( Tranggono,dkk, 1997).
Asap cair dibuat dengan memasukan kayu kedalam reactor kemudian ditutup dan
rangkaian kondensor dipasang. Selanjutnya dapur pemanas dihidupkan dengan mengatur
suhu dan waktu yang dikehendaki. Pembuatan asap cair biasanya menggunakan suhu
3500C-4500C sedangkan waktu yang digunakan adalah 45 menit sama 75 menit dihitung

pada saat mencapai suhu yang dikehendaki. Asap yang keluar dari reactor akan mengalir
ke kolom pendingin melalui pipa penyalur asap yang mana pada pipa ini terdapat selang
yang dihubungkan ke botol penampung untuk menampung tar, kemudian ke dalam kolom
pendingin ini dialirkan air dengan suhu kamar menggunakan aerator sehingga asap akan
terkondensasi dan mencair. Embunan berupa asap cair yang masih bercampur dengan tar
ditampung, selanjutnya disimpan dalam botol, sedangkan asap yang tidak terembunkan
akan terbuang melalui selang penyalur asap sisa. Namun, asap cair ini belum bisa
digunakan,

karena

dimungkinkan

masih

mengandung

banyak

tar

(senyawa

hidrokarbonpolisiklis aromatik (PAH) yang ada seperti benzo (a) pirena bersifat
karsinogenik). Maka dari itu perlunya tahap pemurnian untuk mengilangkan senyawa
yang tidak dinginkan.
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk memurnikan produk asap cair
yang dihasilkan, yaitu dengan metode filtrasi dan metode distilasi.
a). Metode Filtrasi
Produk asap cair dimurnikan dengan cara disaring menggunakan kertas saring dan
ditambah kapas agar hasil penyaringan lebih sempurna. Penyaring ini menghasilkan
produk akhir yang lebih bersih dan jernih dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi
warna produk belum berubah sempurna dan masih berwarna kecoklatan.
b). Metode Distilasi
Pada proses distilasi, asap cair dipanaskan di dalam labu destilat selama lebih kurang
2 jam dengan temperatur 2000C sampai tidak ada lagi sampel yang menguap. Hasil
distilasi ditampung dalam labu erlenmeyer dan tampak perubahan warna dari
kecoklatan menjadi bening atau kekuningan.

Gambar 1. Alat Pembuatan Asap Cair


B.1. Tempurung Kelapa
Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang berfungsi sebagai
pelindung inti buah. Tempurung kelapa terletak di bagian dalam kelapa setelah sabut,
dan merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm, dan termasuk golongan
kayu keras. Selama ini tempurung kelapa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk
sebagian orang, sedangkan di tempat lain tempurung kelapa menumpuk tidak terpakai
dan terbuang menjadi limbah padat. Dilain sisi tempurung kelapa merupakan bahan
keras yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang bernilai ekonomis. Dari
berbagai hal tersebut maka dijadikanlah tempurung sebagai salah satu bahan
pengasapan.
Di dalam tempurung kelapa tersebut terdapat kandungan fenol yang berperan
untuk mengawetkan makanan secara alami. Komposisi kimia tempurung kelapa dapat
dilihat pada Tabel 2

Komponen
Hemisellulosa
Sellulosa
Lignin
Abu
Komponen ekstraktif
Uronan anhidrat
Nitrogen
Air
Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa

%
27,7
26,5
29,4
0,6
4,2
3,5
0,1
8,0

Sumber : Suhardiyono, 1992.


Komponen utama yang terdapat dalam tempurung kelapa adalah hemisellulosa,
sellulosa dan lignin. Hemisellulosa adalah jenis polisakarida dengan berat molekul kecil
berantai pendek dibanding dengan sellulosa dan banyak dijumpai pada kayu lunak.
Hemisellulosa disusun oleh pentosan (C5H8O4) dan heksosan ( C6H10O5 ). Pentosan
banyak terdapat pada kayu keras, sedangkan heksosan terdapat pada kayu lunak (Maga,
1987). Pentosan yang mengalami pirolisis menghasilkan furfural, furan, dan turunannya
serta asam karboksilat. Heksosan terdiri dari mannan dan galakton dengan unit dasar
mannosa dan galaktosa, apabila mengalami pirolisis menghasilkan asam asetat dan
homolognya (Girard,1992). Selain hemisellulosa tempurung kelapa juga mengandung
sellulosa dan lignin. Hasil pirolisis sellulosa yang terpenting adalah asam asetat dan fenol
dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan pirolisis lignin mengahasilkan aroma yang
berperan dalam produk pengasapan. Senyawa aroma yang dimaksud adalah fenol dan
eterfenolik seperti guaikol (2-metoksi fenol), syringol (1,6 dimetoksi fenol) dan
derivatnya (Girard, 1992).

Kelebihan-kelebihan tempurung kelapa jika dibandingkan dengan jenis kayu


lainnya dapat dilihat pada grafik 1, grafik 2, dan tabel 3.

Grafik1. Grafik hubungan temperatur (0C) dengan volume asap cair (ml)
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan volume produk asap
cair yang dihasilkan seiring dengan meningkatnya temperatur pembakaran. Volume asap
cair dari sampel tempurung kelapa lebih banyak dibandingkan volume asap cair dari
serbuk kayu. Hal ini disebabkan karena tempurung kelapa terbakar lebih lama
dibandingkan serbuk kayu, sehingga asap yang dihasilkan pun lebih banyak, sehingga ini
bisa dijadikan salah satu alasan kelebihan dalam menggunakan tempurung sebagai bahan
pembuatan asap cair.

Grafik 2. Grafik antara temperature (0C) dengan konsentrasi asam (%)


Dari grafik 2 yang disajikan didapatkan bahwa kadar asam asap cair juga semakin
meningkat dengan meningkatnya temperatur pirolisis. Kadar asam ini juga berbeda untuk
bahan baku serbuk kayu dan tempurung kelapa. Konsentrasi asam serbuk kayu tembesu
lebih besar dari pada tempurung kelapa. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan senyawasenyawa yang terkandung dalam masing-masing bahan tersebut. Tingginya temperatur
pirolisis, meyebabkan semakin besar panas yang diberikan untuk memanaskan bahan
baku sehingga semakin banyak pula selulosa didalam serbuk kayu dan tempurung kelapa
yang terurai membentuk fraksi asam. Kandungan asam ini sangat berperan dalam
membunuh mikrobia, namu menurut ( Darmadji, 1996) kandungan asam berlebih dapat
membahakan kesehatan manusia dan tidak baik buat organ tubuh.

Selain itu dari segi kandungan phenol yang terdapat pada tempurung lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa sumber bahan asap, hal ini bisa dilihat pada tabel yang
membandingkan sumber asap dari tempurung kelapa dan tongkol janggung.

Tabel 3. Perbandingan kadar phenol pada tempurung kelapa.


Kandungan
Phenol

Tongkol Jagung
2.55 %

Tempurung Kelapa
6.70 %

Bedasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kadar fenol pada asap cair tongkol jagung
lebih rendah dibandingkan dengan kadar fenol tempurung kelapa. Hal ini dikarenakan
pada asap cair tempurung kelapa lebih banyak terjadi degradasi lignin dikarenakan
kandungan lignin pada tempurung kelapa lebih banyak. Pirolisis lignin akan
menghasilkan fenol dan turunannya yang penting sebagai bahan pengawet dalam asap
cair.
C. Pengaruh Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Komposisi Kimia Produk Perikanan.
Salah satu cara untuk mengetahui komposisi kimia yang terdapat pada suatu
produk bisa dilakukan dengan pengujian proksimat. Pada pengujian proksimat,
komponen utama yang dianalisis terdiri dari kadar air, kadar abu, karbohidrat, protein,
serta lemak. Analisis ini menjadi perlu untuk dilakukan karena menyediakan data
kandungan utama dari suatu bahan makanan. Faktor lain adalah karena analisis proksimat
dalam makanan berkenaan dengan kadar gizi dari bahan makanan tersebut. Kadar gizi
perlu diketahui karena berhubungan dengan kualitas makanan tersebut.(Ensminger,
1994). Metode ini dikembangkan oleh Hennberg dan Stockman dari Weende Experiment
Station di Jerman pada tahun 1865 (Tillman et al., 1991). Pengaruh pemberian asap cair
tempurung kelapa terhadap komposisi kimia berbagai produk perikanan dapat di lihat
pada tabel 4.

Para

Bandeng

meter

Segar

Protein
Kadar Air
Lemak

34.36
55.92
5.09

Asap Cair
3%
36.27
45.27
5.72

Segar
23.49
68.7
-

Tongkol
Asap Cair
3%
24.44
65.2
-

Pindang Layang
Asap Cair
Segar
3%
65.61
64.73
-

Tabel 4. Perubahan nilai proksimat pada berbagai produk perikanan setelah pemberian
asap cair dari tempurung kelapa

Kadar air merupakan salah satu penyebab kerusakan bahan pangan karena air
yang terkandung dalam bahan pangan adalah media yang mendukung pertumbuhan dan
aktivitas mikroba perusak bahan pangan. Semakin rendah kadar air bahan pangan,
diharapkan akan memperpanjang daya awetnya. Tabel 4 menyajikan perbandingkan
beberapa produk perikanan yaitu bandeng, tongkol, pindang laying dan dendeng lele.
Disini menggunakan asap cair termpurung kelapa dengan kadar 3 %. Kadar air pada
bandeng segar awalnya 55.92% mengalami penurunan 10.65 % menjadi 45.27% setelah
pengasapan. Pada ikan tongkol segar awal kadar air 68.7 % mengalami penurunan 3.5%
setelah pemberian asap cair sehingga menjadi 65.2% pada ikan tongkol lele asap. Pada
pindang layang awalnya kadar air 65.61% mengalami penurunan 0.08% menjadi 64.73%
setelah pengasapan. Pada dendeng lele asap awalnya kadar airnya 78.1% namun setelah
pemberian asap cair berkurang 22.5% menjadi 42.03% . Dari keemapat produk perikanan
persentase berkurangnya kadar air terjadi pada dendeng lele asap hal ini dikerenakan
adanya proses pemberiaan bumbu dan pengeringan sehingga kadar airnya banyak yang
hilang. Dari keempat produk tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar air mengalami
pengurangan setelah pemberian asap cair. Hal ini dikarenakan adanya proses pemanasan
dan penggaraman yang dapat mengurai kadar air. Dari keempat produk tersebut hanya
ikan bandeng dan dendeng lele yang memenuhi kriteria SNI. Tetapi pada ikan tongkol
belum memenuhi ketetapan SNI yang menetapkan kadair air ikan asap maksimal 60 %.
Perbedaan persentasi pengurangan kadar air terhadap keempat produk tersebut
dipengaruhi oleh lamanya waktu perendaman serta adanya perlakuan tambahan misalnya
pada dendeng lele.
Pada pengujian kadar protein dilakukan dengan metode mikrokjeldahl. Pada tabel
4 menyajikan perbandingan kadar protein seteleh pemberian asap cair dari tempurung
kelapa dengan konsentrasi 3%. Pada kadar protein bandeng asap cair mengalami
kenaikan sebesar 1.91% dari 34.36% menjadi 36.27%. Pada ikan tongkol mengalami
kenaikan 1.95% setelah pemberian asap cair dari yang sebelumnya 23.49% menjadi
24.44%. Pada dendeng lele mengalami peningkatan 22.55% dari yang sebelumnya 18.2%
menjadi 40.75%. Perbedaan persentase kenaikan dari ketiga produk tersebut dipengaruhi
oleh lamanya perendaman, pembubuan, serta struktur yang terdapat didalam tubuh ikan
itu. Dapat disimpulkan bahwa ternyata pemberian asap cair tenpurung kelapa mampu

menaikan kadar protein. Kenaikan protein menurut pernyataan Winarno (1991) bahwa
dengan berkurangnya kadar air maka akan meningkatkan kadar protein, pengurangan air
dan penggumpalan protein dalam daging yang merupakan akibat penggaraman yang
dilakukan sebelum pengasapan. Pada penelitian Kartikarini (2004), juga menunjukkan
hasil bahwa kadar protein ikan asap (29%) mengalami kenaikan dibandingkan ikan segar
(22,14%) kenaikan tersebut sekitar 7%.
Kandungan lemak suatu bahan pakan dapat ditentukan dengan metode soxhlet, yaitu
proses ekstraksi suatu bahan dalam tabung soxhlet (Soejono, 1990). Pada tabel

menyajikan perbandingan produk-produk perikanan. Pada bandeng kadar lemaknya


mengalami kenaikan 0.63% dari awalnya 5.09% menjadi 5.72%. Pada dendeng lele kadar
lemaknya mengalami peningkatan 12.17% dari sebelumnya 2.2 % menjadi 14.37%.
Kenaikan persentase yang berbeda-beda ini diperngaruhi oleh perlakuan terhadap produk
tersebut. Pada dendeng disini ada perlakuan penambahan bumbu-bumbu sehingga diduga
kuat kenaikan lemaknya tinggi. Menurut Winarno (1991) menyatakan bahwa kadar air
suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar lemaknya. Semakin rendah kadar air akan
semakin meningkatkan kadar lemak.
D. Pengaruh Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Organoleptik Berbagai Produk
Perikanan.
Organoleptik merupakan uji mutu suatu bahan dengan bantuan alat indera
manusia. Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran
atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima
alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental
(sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Rangsangan yang dapat
diindra dapat bersifat mekanis (tekanan, tusukan), bersifat fisis (dingin, panas, sinar,
warna), sifat kimia (bau, aroma, rasa). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya
rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak
menyukai akan benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap terhadap
rangsangan adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif ( Murniyati dan Sunarman,
2000). Pengaruh Asap Cair tempurung kelapa tehadap organoleptik berbagai produk
perikanan dapat dilihat pada grafik 3, grafik 4 , dan grafik 5.

Grafik 3. Pengaruh nilai Oranoleptik pada produk bandeng

Organoleptik Ikan Bandeng


10
8

Skor Organoleptik

Tanpa Asap

Asap Cair 3%

2
0
Kenampakan

Rasa

Parameter

Perlakuan penambahan asap cair pada pembuatan ikan bandeng asap memberikan
pengaruh perbedaan nyata (P>0,05) terhadap nilai kenampakan produk ikan bandeng
asap cair. Menurut Daun dalam Hadiwiyoto (2000), warna coklat timbul sebagai akibat
adanya senyawa karbonil yang terdiri atas formaldehida, asetol, glikolat, aldehida,
metilglioksilat pada asap mengadakan interaksi dengan senyawa amino dalam daging,
fenol juga berkontribusi pada pewarnaan coklat pada produk ikan asap. Disini panelis
lebih menyukai bandeng asap cair dibandingkan tanpa asap. Pada parameter bau,
bandeng asap cair memperoleh niali tertinggi dibandingkan tanpa asap, hal ini sesuai
dengan pengujian panelis. Aroma yang dihasilkan ikan asap disebabkan oleh reaksi kimia
antara ikan dan komponen kimia dalam asap yang melalui proses pengasapan.
Hadiwiyoto et al., (2000), golongan fenol pada asap cair mampu memberikan bau
pungent, eresoline manis asap, dan seperti bau terbakar. Pada parameter rasa
didapatkan nilai tertinggi pada bendeng asap, dengan nilai 8.57, lebih tinggi dari ikan
segarnya. Menurut Yulstiani (2008), citarasa spesifik yang dimiliki produk pengasapan
datang dari senyawa fenol di fase uap asap, yang diserap oleh permukaan produk.
Senyawa fenol yang dikaitkan dengan bau dan citarasa spesifik tersebut adalah guaiakol,
4-metilguaiakol dan 2,6-dimetoksi fenol. Kesemuanya merupakan penyusun utama fase
uap maupun fase partikel pada asap. Hasil uji organoleptik tekstur produk yang diperoleh
lebih tinggi pada bandeng asap cair ini sesuai dengan penerimaan konsuman yang lebih
menyukai. Menurut SNI:2346 (2009), kriteria tekstur ikan asap yang disukai panelis

adalah agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang.
Grafik 4. Pengaruh nilai Organoleptik pada produk bandeng

Organoleptik Ikan Tongkol Umur Simpan 2 Hari


5
4
3
Skoring Organoleptik

Tongkol Segar

Tongkol Asap 3%

1
0

Parameter

Pada produk ikan bandeng dikaji nilai organoleptiknya setelah penyimpanan 2


hari. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat perubahaan penerimaan konsumen
setelah penyimpanan 2 hari. Pada umunnya nilai organoleptik dari segi rasa, warna,
aroma, dan tekstur pada ikan tongkol segar rata-rata bernilai 7 namun setelah
penyimpanan 2 hari mengalami kemunduran mutu yang signifikan. Namun pada ikan
tongkol yang telah diberi penambahan asap cair dari tempurung kelapa lebih tinggi
tingkat kesukaan konsumen dibandingkan ikan tongkol tanpa asap. Hal ini juga didukung
pada pengujian organoleptik pada ikan pindang.

Grafik 5. Pengaruh nilai Organoleptik pada produk pindang

Organoleptik Pindang
Penyimpanan 4 Hari
3.5
3
2.5
2
1.5
Skor Organoleptik
1
0.5
0

Pindang Segar
Pindang Asap Cair 3%

Parameter

Pada pengujian organoleptik ikan pindang dilakukan setelah penyimpanan 4 hari.


Dari tabel 5 memperlihatkan tingkat penerimaan konsumen dari segi organoleptik lebih
tinggi pada ikan pindang yang telah diberi perlakuan asap cair. Hal ini dikarenakan
kandungan asap sendiri yang memberikan zat antimikrobia. Pada ikan pindang segar
yang tidak diberi asap cair memberikan perubahan signifikan setelah 4 hari, dan ini
memberikan nilai yang beda nyata. Pada pindang segar yang disimpan 4 hari mengalami
kemunduran mutu dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur sehingga penerimaan
konsumen sangat berkurang. Namun pada pindang yang diberi asap cair dengan
penyimpanan 4 hari peneriman konsumen lebih tinggi tinggi dibandingkankan tanpa
asap. Pada Organoleptik ikan pindang dijelaskan keterangan atribut mutu yaitu 1= amat
sangat tidak suka (tidak dapat diterima), 2= sangat tidak suka, 3= tidak suka, 4= agak
tidak suka, 5= netral, 6= agak suka, 7= suka, 8=sangat suka, 9= amat sangat suka.

E. Pengaruh Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Simpan Produk


Untuk menetukan daya simpan produk bisa dilakukan dengan beberapa
pendekatan, diantaraya menetukan pH suatu produk. Pengukuran pH dilakukan untuk
mengetahui kecenderungan kenaikan/penurunan pH selama penyimpanan. Besarnya pH

berhubungan dengan terbentuknya senyawa-senyawa yang bersifat basa selama


penyimpanan dan akan mempengaruhi pertumbuhan mikrobia. Pada umumnya ikan yang
sudah tidak segar, dagingnya mempunyai pH lebih basis (tinggi) dari pada ikan yang
masih segar. Hal ini disebabkan timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basis seperti
ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatil lainnya (Hadiwiyoto, 1993).
Namun apabila dalam pemberiaan asap cair memberikan nilai asam maka akan
mambantu dawa awet ikan dikarenakan dapat mencegah dari pertumbuhan mikrobia
pengurai. Aplikasi asap cair dari tempurung kelapa terhadap pH berbagai produk
perikanan dapat dilihat pada grafik 6.
Grafik 6. Perubahan nilai pH pada produk perikanan

Perubahan pH Produk Perikanan


8
7
6
Ikan Tongkol

5
Skor pH

Ikan Pindang

4
3
2
1
0
Kondisi Awal

Setelah Asap Cari

Pada ikan tongkol segar awalnya memiliki nilai pH 6,9 setelah pemberian asap
cair kandungan pH nya berkurang menjadi 6,03. Namun perubahaan ini tidak terlalu
signifikan mengingat pH tersebut masih mampu untuk berkembangnya bakteri.
Atmadjaja (1994) menyatakan, nilai pH ikan yang berkisar antara 6,0-7,0 dan suhu
sekitar 25-30oC merupakan kondisi ideal pertumbuhan bakteri-bakteri pembusuk. Namun
pada produk ikan pindang, disini kondisi ikan sudah dalam keadaan asam dengan nilai
pH nya 6,07 namun setelah pemberiaan asap cair 3% perubahaan pH tidak terjadi
signifikan seperti pada ikan tongkol dengan nilai pH 6,02.
Penurunan pH ini dipengaruhi oleh kadar fenol dan kadar asam asetat yang
terkandung dalam asap cair. Senyawa asam yang terbanyak dalam asap cair adalah

turunan asam karboksilat seperti furfural, furan dan asam asetat glacial yang dapat
menghambat pertumbuhan mikrobia (Darmadji dkk, 1996). Semakin tinggi konsentrasi
asap cair yang ditambahkan pada produk maka semakin rendah nilai pH-nya. Jumlah
total kadar fenol dan asam asetat dalam asap cair tempurung kelapa lebih tinggi yaitu
9.2%. Semakin tinggi kadar fenol dan asam asetat dalam asap cair maka semakin tinggi
tingkat keasamannya yang ditandai dengan semakin rendahnya nilai pH.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaruh pengasapan cair dari tempurung kelapa mampu mengawetkan berbagai produk
perikanan serta memberikan flavor asap yang khas.
2. Tepurung kelapa mengadung fenol 4,13%, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 % yang masing
masing memiliki peran tersendiri dalam pengawetan
B. Saran
Sebaiknya dikaji lebih dalam lagi tentang pengaplikasian asap cair yang terbuat dari tempurung
kelapa terhadap berbagai produk perikanan

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kasinisius. Yogyakarta
Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 1990. Official Methods of Analysis 18th
Edition. Benyamin Franklin. Washington DC. USA.
Birkerland, Sveinung., Anna Maria Bencze Rora., Torstein Skera., Bjorn Bjerkeng. 2004. Effect
of Cold Smoking Procedures and Raw Material Characteristics on Product Yield and
Quality Parameters of Cold Smoked Atlantic Salmon (Salmo salar L.) Fillets. Food
Research International 37: 273 286.
Cardinal, M., Knockaert, C., Torrissen, O., Sigurgisladottir, S., Morkore, T., Thomassen, M., &
Vallet, J. L. 2004. Relation of smoking parameters to the yield, colour and sensory
quality of smoked Atlantic salmon (Salmo salar). Food Research International, 34, 537
550.

Daramola, J. A. , Fasakin, E. A., dan Adeparusi, E. O. 2007. Cahnges in Physicochemical and


Sensory Characteristics of Smoke-Dried Fish Species Stored at Ambient Temperature.
African Journal of Food Agriculture Nutrition Development. Volume 7 No. 6, December
2007
Daun H. 1979. Effects of Salting Curing and Smoking on Nutriennts of Flesh Food Processing.
Netherland : Elsevier Sci.Publ
Ditjen P2HP. 2012. Pencapian Kinerja Sasaran Strategis-2 Ditjen P2HP, 2010-2012. <http://
www.p2hp.kkp.go.id>. Diakses tanggal 6 juni 2014, pukul 18.25 WIB.
Doe, P., Sikorski, Z., Haard, N. F., Olley, J., & Pan, B. S. 1998. Basic Principles. In Fish Drying
and Smoking, Production and quality (p. 13). Lancaster PE, USA: Technomic Publishing
Co., Inc.
Ghozali, Thomas., Dedi Muchtadi., Yaroh. 2004. Peningkatan Daya Tahan Simpan Sate Bandeng
(Chanos chanos) dengan Cara Penyimpanan Dingin dan Pembekuan. Infomatek, Vol. 6
Nomor 1. Bandung
Girard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Product Smoking. Ellis Harwood. Washington.
Gonulalan, Z., A. Kose., H. Yetim. 2003. Effects of Liquid smoke on Quality Characteristics of
Turkish Standard Smoked Beef Tongue. Meat Science. Turkey: 165-170.
Goulas, Antonios E., Michael G. Kontominas. 2005. Effect of Salting and Smoking Method on
the Keeping Quality of Chub Mackerel (Scomber japonicus): Biochemical and Sensory
Atributes. Food Chemistry 93: 511 520.
Irawan. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. CV Aneka. Solo.
Kanoni, Sri. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Ikan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Universitas Gajahmada. Yogyakarta.
Martinez, O. 2005. Textural and Physicochemicial Changes in Salmon (Salmo salar) Treated
with Commercial Liquid Smoke Flavourings. http://www. Elsevier.com: 498- 503.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murniyati, A. S dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.

Nitibaskara R. 1988. Pengasapan Ikan. Bogor. Teknologi Hasil Perikanan. Intitut Pertanian
Bogor.
Prihartono, R. E., J. Rasidik, dan U. Arie. 2000. Mengatasi Permasalahan Budidaya Lele Dumbo.
Penebar Swadaya. Depok.
Pszczola, D.E. 1995. Tour Highlights Production and Users of Smoke Based Flavors. Food Tech,
1, 70-74.
Saleh, M., Irwandi., F. G. Winarno., dan Y. Haryadi. 1995. Pengaruh Perlakuan Larutan
Perendam terhadap Kadar Urea Daging Cucut Segar dan Mutu Daging Asapnya. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 1 (3)
Santoso,B. 1994. Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Lele Dumbo dan Lokal. Kanisius. Yogyakarta.
.
SNI. 2013. SNI 2725-2013: Ikan Asap dengan Pengasapan Panas. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
SNI. 2006. Pengujian Kadar Abu pada Produk Perikanan. SNI No. 01-2354.1.2006. Badan
Standarisasi Nasional.
SNI. 2006. Pengujian Kadar Air pada Produk Perikanan. SNI No. 01-2354.2.2006. Badan
Standarisasi Nasional.
SNI. 2006. Pengujian Kadar Lemak pada Produk Perikanan. SNI No. 01-2354.3.2006. Badan
Standarisasi Nasional.
Sudarmaji, S., B. Hariyono., dan Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta. 171 hlm.
Sulaeman et. Al,. 1993. Metode Analisis Komposisi Zat Gizi Makanan. Bogor : Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Suprapti. 2001. Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus). Teknologi Budidaya. Jakarta.
Swastawati, Fronthea. 2004. The Effect of Smoking duration on the Quality and DHA
Composition of Milkfish (Chanos chanos F). Journal of Coastal Development, Vol. 7
Number 3, May 2004: 137-142.

Swastawati, Fronthea. 2008. Quality and Safety of Smoked Catfish (Arius talassinus) Using
Paddy Chaff and Coconut Shell Liquid Smoke. Journal of Coastal Development Vol. 12
No. 1, October 2008: 47-55.
.

Anda mungkin juga menyukai