Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH HAM

Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia
yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat
berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah
hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya
atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap
orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari
dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh
setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang
lain.

SEJARAH

INTERNASIONAL

HAK

ASASI

MANUSIA

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna
Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang
tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak
terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan
mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar
hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada
parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan
bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa
itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi
sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul
adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law).
Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights
melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak
persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan
baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka
lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan
Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di
Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan
yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of
Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis
sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara
lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya,
sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci
lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan
dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of
innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas
mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang
dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar
lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang
menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah
dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada

tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom
of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom
from want which, translated into world terms, means economic understandings which will
secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world.
The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide
reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in
a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta
manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal,
yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan
oleh PBB pada tahun 1948.

A. Sejarah dan Latar Belakang Perkembangan Hak Asasi Manusia


Kepedulian terhadap kemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar
berakar langsung dari kesadaran masyarakat internasional bahwa pengakuan terhadap
martabat yang melekat pada dan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari serta setara bagi
semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia,
dan dari ikrar Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencapai kemajuan
dalam penghormatan dan ketaatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar
secara
universal,
melalui
kerjasama
dengan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa."
Dengan demikian dimasukkannya pencapaian kerjasama internasional sebagai tujuan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa "dalam memajukan dan mendorong penghormatan atas hak asasi
manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama," merupakan bentuk nyata komitmen yang mendalam para pendiri PBB
terhadap hak asasi manusia, setelah bencana Perang Dunia Kedua yang mengerikan.
Pengalaman perang tersebut telah memunculkan keyakinan yang luas bahwa perlindungan
internasional yang efektif terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu prasyarat hakiki
bagi perdamaian dan kemajuan dunia.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengacu kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam sejumlah klausul. Dalam Mukadimahnya, seluruh anggota Perserikatan BangsaBangsa menyatakan tekad mereka "untuk memperteguh kepercayaan terhadap hak-hak asasi
manusia, pada martabat dan harga diri manusia, pada persamaan hak bagi laki-laki dan
perempuan, dan bagi segala bangsa yang besar dan yang kecil." Kata-kata "memajukan dan
mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar muncul,
dengan sedikit variasi, dalam Pasal 1 tentang tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan BangsaBangsa; dalam Pasal 13, tentang fungsi dan kewenangan Majelis Umum; dalam Pasal 62,
tentang fungsi dan wewenang Dewan Ekonomi dan Sosial; dan dalam Pasal 76, tentang
tujuan-tujuan dasar Dewan Perwalian Internasional. Pasal 8 menyatakan bahwa "Perserikatan
Bangsa-Bangsa tidak akan memberikan batasan-batasan terhadap kelayakan laki-laki dan
perempuan untuk berpartisipasi dalam kapasitas apapun, dan berdasarkan asas kesetaraan
dalam badan-badan utama maupun badan-badan pelengkapnya (subsidiary bodies)". Pasal 56
menyatakan bahwa semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berjanji untuk secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri, melalui kerjasama dengan PBB, untuk mencapai tujuantujuan yang tercantum dalam Pasal 55, termasuk memajukan "penghormatan dan ketaatan
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang universal bagi semua tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama".
B. Perangkat Dasar Hak Asasi Manusia
Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia terdiri dari Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan dua Protokol Opsionalnya.
Hak-hak asasi manusia telah disebut-sebut dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, yang
diantaranya, menuju pada pembentukan Organisasi Buruh Internasional (International Labor
Organisation). Pada Konperensi San Francisco 1945, yang diselenggarakan untuk merancang

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah usulan tentang "Deklarasi tentang Hak-hak


Esensial Manusia" telah diajukan, namun tidak dibahas karena memerlukan pertimbangan
yang lebih matang dari yang mungkin dilakukan pada saat itu. Piagam tersebut secara jelas
menyebutkan "memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau
agama" (Pasal 1 ayat 3). Ide untuk membuat "Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi
Manusia" juga dianggap oleh banyak pihak telah tersirat dalam Piagam tersebut.
Komisi Persiapan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang segera mengadakan pertemuan setelah
penutupan sidang Konperensi San Francisco, merekomendasikan agar Dewan Ekonomi dan
Sosial dalam sidang pertamanya membentuk sebuah komisi untuk memajukan hak-hak asasi
manusia, sebagaimana telah digambarkan dalam Pasal 68 Piagam PBB. Berdasarkan hal ini
Dewan membentuk Komisi Hak-hak Asasi Manusia di awal 1946.
Pada sidang pertama di 1946, Majelis Umum membahas sebuah rancangan Deklarasi Hak-hak
Asasi Manusia dan Kebebasan dasar dan menyampaikannya ke Dewan Ekonomi dan Sosial
"sebagai rujukan Komisi Hak-hak Asasi Manusia agar dipertimbangkan dalam persiapannya
membuat Ketentuan Internasional tentang Hak-hak asasi manusia" (resolusi 43 (I)). Pada
sidang pertamanya di awal 1947, Komisi meminta pejabat-pejabatnya untuk merumuskan apa
yang dinamakannya sebagai "rancangan awal Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi
Manusia." Kemudian, buruhan tersebut diambil alih oleh suatu komite perancang formal yang
terdiri dari anggota Komisi dari delapan Negara yang dipilih dengan memperhatikan letak
geografis.
Pada mulanya, muncul perbedaan pendapat tentang bentuk ketentuan tentang hak-hak asasi
manusia. Komite Perancang memutuskan untuk menyiapkan dua dokumen: yang pertama
dibuat dalam bentuk deklarasi yang akan memuat prinsip-prinsip atau standar-standar umum
hak-hak asasi manusia; yang lainnya dalam bentuk konvensi yang akan merumuskan secara
khusus hak-hak dan batasan-batasannya. Sehubungan dengan itu, Komisi menyampaikan
rancangan pasal-pasal deklarasi internasional dan konvensi internasional tentang hak-hak
asasi manusia kepada Komisi Hak-hak Asasi Manusia. Pada sidangnya yang kedua pada
Desember 1947, Komisi memutuskan untuk menggunakan istilah "Ketentuan Internasional
tentang Hak-hak Asasi Manusia" untuk rangkaian dokumen yang sedang dipersiapkan, dan
membentuk tiga kelompok kerja: satu untuk deklarasi, satu untuk konvensi (yang kemudian
diganti menjadi "kovenan") dan satu lagi untuk penerapan. Komisi merevisi rancangan
deklarasi pada sidangnya yang ketiga pada Mei/Juni 1948, dengan memperhatikan komentarkomentar yang diterima dari berbagai Pemerintah. Akan tetapi Komisi tidak memiliki waktu
untuk membahas kovenan atau masalah penerapannya. Oleh karenanya Deklarasi disampaikan
melalui Dewan Ekonomi dan Sosial kepada Majelis Umum dalam pertemuannya di Paris.
Dengan resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum menetapkan
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai instrumen pertama dari sekian yang telah
direncanakan. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ditetapkan oleh Majelis Umum melalui
resolusi 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966. Protokol Opsional yang pertama dari
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan berdasarkan resolusi
yang sama, memuat tentang perangkat internasional untuk menangani komunikasi dari
individu yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran Hak-hak yang diatur dalam
Kovenan.
1. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditetapkan dan dicanangkan oleh Majelis Umum
sebagai standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan
agar setiap individu dan organ masyarakat, dengan selalu mengingat Deklarasi ini, harus
mengupayakan melalui pengajaran dan pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap
Hak-hakdan kebebasan ini; dan melalui upaya-upaya yang progresif, baik di lingkup nasional
maupun internasional, untuk menjamin pengakuan dan pematuhannya secara universal dan
efektif, baik di antara rakyat Negara Anggota sendiri, maupun diantara rakyat yang berada di
wilayah yang berada dalam wilayah hukumnya.
Empat puluh delapan Negara mendukung Deklarasi, tidak ada yang menentang dan delapan
Negara tidak memberikan suara. Dalam pernyataan setelah pemungutan suara, Presiden
Majelis Umum mengemukakan bahwa penetapan Deklarasi ini merupakan "suatu pencapaian

yang luar biasa, sebuah langkah maju dalam proses evolusi yang besar. Peristiwa ini
merupakan kesempatan pertama di mana komunitas bangsa-bangsa yang terorganisir telah
membuat Deklarasi Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Instrumen tersebut didukung
oleh otoritas pendapat Perserikatan Bangsa-Bangsa secara menyeluruh, dan jutaan manusia -laki-laki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia -- akan merujuk padanya untuk bantuan,
pedoman dan inspirasi.
Deklarasi ini terdiri dari Mukadimah dan 30 pasal yang mengatur Hak-hak asasi manusia dan
kebebasan dasar, di mana semua laki-laki dan perempuan di mana saja di dunia mempunyai
Hak-hak atasnya tanpa diskriminasi. Pasal 1 yang meletakkan dasar filosofisDeklarasi ini
menyebutkan: Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam Hak-hak dan
martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama
lain dalam semangat persaudaraan.
Dengan demikian Pasal tersebut telah mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi: bahwa hak
untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak
dapat dicabut darinya; dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia
berbeda dengan makhluk lainnya di bumi, dan karenanya berHak-hak untuk mendapatkan
Hak-hak
dan
kebebasan
tertentu
yang
tidak
dinikmati
makhluk
lain.
Pasal 2 yang mengatur prinsip dasar dari persamaan dan non-diskriminasi sehubungan dengan
pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar, melarang adanya "pembedaan dalam
bentuk apapun, seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang
berbeda, asal-usul bangsa atau sosial, harta, kelahiran atau status lainnya".
Pasal 3 yang merupakan tonggak pertama Deklarasi ini, menyatakan hak untuk hidup,
kebebasan dan keamanan seseorang suatu hak yang esensial untuk pemenuhan Hakhaklainnya. Pasal ini memperkenalkan pasal 4 sampai 21, di mana hak sipil dan politik lainnya
diatur, termasuk: kebebasan dari perbudakan dan perhambaan; kebebasan dari penyiksaan
dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; hak
untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun; hak untuk mendapatkan upaya
pemulihan yang efektif melalui peradilan; kebebasan dari penangkapan, penahanan atau
pengasingan sewenang-wenang; hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan
yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak; hak untuk dianggap tidak
bersalah sampai dibuktikan kesalahannya; kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang
atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat; kebebasan untuk bergerak dan
bertempat tinggal; hak atas suaka; hak atas kewarganegaraan; hak untuk menikah dan
mendirikan keluarga; hak untuk memiliki harta benda; kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan
dan beragama; kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak untuk berkumpul dan
berserikat secara damai; dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan
mendapatkan
akses
yang
sama
ke
pelayanan
publik
di
negaranya.
Pasal 22 sebagai tonggak kedua Deklarasi ini memperkenalkan Pasal 23 hingga 27. Dalam
pasal-pasal ini dikemukakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni hak-hak yang berhak
diperoleh setiap orang "sebagai anggota masyarakat". Pasal ini menandai hak-hak tersebut
sebagai hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan bagi martabat manusia dan kebebasan
untuk mengembangkan kepribadian, dan menunjukkan bahwa Hak-haktersebut harus
diwujudkan "melalui upaya-upaya nasional dan kerjasama internasional". Pada saat yang sama
pasal ini juga mengungkapkan keterbatasan dalam perwujudannya yang tergantung pada
sumber-sumber yang dimiliki oleh masing-masing Negara.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam Pasal 22 hingga 27, mencakup hak
atas jaminan sosial; hak untuk bekerja; hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk
buruhan yang sama; hak untuk beristirahat dan bertamasya; hak atas standar kehidupan yang
memadai untuk kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan budaya suatu masyarakat.
Pasal-pasal penutup yaitu Pasal 28 hingga 30, mengakui bahwa setiap orang berhak atas
ketertiban sosial dan internasional dimana hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang
dinyatakan dalam Deklarasi dapat diwujudkan sepenuhnya, dan menekankan kewajiban dan
tanggung jawab setiap individu terhadap masyarakatnya. Pasal 29 menyatakan bahwa "dalam
melaksanakan Hak-hakdan kebebasan-kebebasannya, setiap manusia hanya tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum yang semata-mata bertujuan menjamin
pengakuan serta penghormatan yang layak bagi Hak-hakdan kebebebasan orang lain, dan

untuk memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil
dalam masyarakat yang demokratis. Pasal tersebut menambahkan bahwa Hak-hak asasi
manusia dan kebebasan dasar tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan dengan tujuan
dan prinsip dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 30 menekankan bahwa tidak ada satu
Negara, kelompok atau orang mana pun yang dapat menggunakan hak-hak apapun dalam
Deklarasi, "untuk melakukan kegiatan atau melaksanakan tindakan yang bertujuan untuk
menghancurkan
Hak-hakdan
kebebasan
yang
dikemukakan
dalam
Deklarasi.
Dilahirkan sebagai "standar umum keberhasilan semua orang dan semua bangsa," Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia memang telah menjadi demikian: suatu tongkat pengukur
derajat penghormatan dan ketaatan terhadap standar hak-hak asasi manusia internasional.
Sejak 1948 Deklarasi ini telah dan terus menjadi deklarasi yang paling penting dan paling jauh
jangkauannya dari semua deklarasi yang pernah dikeluarkan oleh Perserikatan BangsaBangsa, dan merupakan sumber inspirasi mendasar bagi upaya-upaya nasional dan
internasional untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Deklarasi ini telah menentukan arah seluruh buruhan-buruhan selanjutnya dalam bidang hakhak asasi manusia, dan meletakkan dasar filosofis bagi banyak instrumen internasional yang
mengikat secara hukum, yang dibuat untuk melindungi hak-hak dan kebebasan yang
diproklamirkan.
Dalam Proklamasi Teheran yang ditetapkan Konperensi Internasional Hak-hak Asasi Manusia
yang diadakan di Iran pada 1968, Konperensi menyetujui bahwa "Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia menyatakan pemahaman yang sama umat manusia di seluruh dunia, mengenai
hak-hak semua manusia yang tidak dapat dicabut dan dilanggar, dan merupakan kewajiban
anggota masyarakat internasional". Konperensi tersebut menegaskan keyakinannya terhadap
prinsip-prinsip yang termuat dalam Deklarasi ini, dan mendorong seluruh bangsa dan
Pemerintah "untuk mengabdikan diri mereka pada prinsip-prinsip tersebut dan untuk
melipatgandakan usaha mereka memberikan pada seluruh umat manusia suatu kehidupan
yang sejalan dengan kebebasan dan martabat, dan keadaan yang kondusif bagi kesejahteraan
fisik, mental, sosial dan spiritual". Beberapa tahun terakhir ini, ketika menyiapkan instrumen
internasional di bidang hak-hak asasi manusia, dalam badan-badan Perserikatan BangsaBangsa telah tumbuh kecenderungan untuk merujuk tidak saja kepada Deklarasi Universal,
tetapi juga kepada bagian lain Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia.
2. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia
Mukadimah dan Pasal 1, 3 dan 5 dari kedua Kovenan Internasional hampir sama isinya.
Mukadimah mengingatkan akan kewajiban Negara berdasarkan Piagam Perserikatan BangsaBangsa untuk memajukan hak-hak asasi manusia; mengingatkan individu akan tanggung
jawabnya untuk berjuang bagi kemajuan dan ketaatan terhadap hak-hak tersebut; dan
mengakui cita-cita seitap manusia yang bebas sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia, untuk menikmati kebebasan sipil dan politik, dan kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan, yang hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat
menikmati Hak-haksipil dan politiknya, termasuk Hak-hakekonomi, sosial dan budayanya.
Pasal 1 tiap-tiap Kovenan menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan
hal yang universal dan meminta Negara-negara untuk mengupayakan perwujudan hak
tersebut dan menghormatinya.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa "semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib
sendiri" dan menambahkan bahwa " Berdasarkan hak tersebut, mereka dengan bebas
menentukan status politiknya dan mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya".
Berkenaan dengan kedua hal di atas, Pasal 3 menegaskan kembali Hak-hak yang sama antara
laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi manusia, dan mengajak Negaranegara di dunia mewujudkan prinsip tersebut. Demikian pula Pasal 5 yang memberikan
perlindungan dari penghancuran atau pembatasan yang tak semestinya terhadap hak-hak
asasi manusia atau kebebasan dasar, dan terhadap misinterpretasi terhadap ketentuan apapun
dalam Kovenan yang digunakan sebagai alat melegitimasi pelanggaran hak-hak atau
kebebasan atau pembatasan terhadap kedua hal ini yang lebih besar daripada yang
diperkenankan Kovenan. Pasal tersebut juga mencegah Negara membatasi hak-hak yang telah
dinikmati di wilayahnya atas dasar hak-hak tersebut tidak diakui dalam Kovenan, atau diakui
dalam arti yang lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan 15 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
mengakui hak untuk bekerja (Pasal 6); hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik

(Pasal 7); hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perburuhan (Pasal 8); hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial khususnya para ibu, anak dan orang muda (Pasal 10);
hak untuk mendapat kehidupan yang layak (Pasal 11); hak untuk menikmati standar
kesehatan fisik dan mental yang tinggi (Pasal 12); hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14); dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15).
Dalam Pasal 6 hingga 27, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melindungi
hak untuk hidup (Pasal 6) dan mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dijadikan obyek
penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau yang merendahkan
martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorangpun dapat diperlakukan sebagai budak; bahwa
perbudakan dan perdagangan budak dilarang; dan tidak seorangpun dapat diperhambakan
atau diminta untuk melakukan kerja paksa (Pasal 8); bahwa tidak seorangpun dapat ditangkap
atau ditahan sewenang-wenang (Pasal 9); bahwa semua orang yang dirampas kebebasannya
harus diperlakukan secara manusiawi (Pasal 10); dan bahwa tidak seorangpun dapat
dipenjarakan semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban suatu kontrak
(Pasal 11).
Kovenan ini mengatur tentang kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal (Pasal 12) dan
batasan-batasan yang diperbolehkan ketika mendeportasi warga negara asing yang secara sah
berada dalam wilayah Negara Peserta (Pasal 13). Kovenan mengatur tentang kesetaraan setiap
orang di depan pengadilan dan lembaga peradilan dan jaminan dalam proses pengaduan
pidana dan perdata (Pasal 14). Kovenan melarang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku
surut (Pasal 15); menegaskan hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum (Pasal 16); dan menghimbau larangan terhadap pelanggaran tidak sah dan sewenangwenang atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah atau korespondensi, dan serangan tidak sah
atas kehormatan dan reputasinya (Pasal 17).
Kovenan ini memberikan perlindungan terhadap hak-hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama (Pasal 18), dan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan
pikiran (Pasal 19). Kovenan juga menyerukan perlunya hukum yang melarang propaganda
perang dan upaya-upaya menimbulkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau agama,
yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal
20). Kovenan ini mengakui hak berkumpul secara damai (Pasal 22). Kovenan juga mengakui
hak bagi laki-laki dan perempuan pada usia kawin untuk menikah dan membentuk keluarga,
dan prinsip persamaan hak dan kewajiban pasangan yang terikat dalam perkawinan, selama
perkawinan maupun setelah pembubaran perkawinan (Pasal 23). Kovenan mengatur upayaupaya melindungi hak-hak anak-anak (Pasal 24), dan mengakui hak setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam melakukan kegiatan publik, untuk memilih dan dipilih, dan untuk memiliki
akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 25). Kovenan menentukan bahwa
setiap orang adalah sama di depan hukum dan berHak-hak atas perlindungan yang sama di
depan hukum (Pasal 26). Kovenan juga mengatur perlindungan terhadap hak-hak suku
bangsa, etnis, agama dan bahasa minoritas yang berdiam di wilayah Negara Peserta (Pasal
27).
Akhirnya, Pasal 28 mengatur tentang pembentukan Komite Hak-hak Asasi Manusia yang
bertanggung jawab untuk mengawasi penerapan hak-hak yang diatur dalam Kovenan.
3. Persyaratan
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak dan
kebebasan seseoang dapat tunduk pada pembatasan-pembatasan tertentu yang harus
ditentukan berdasarkan hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan yang layak atas
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan moralitas,
ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.
Hak-hak tersebut tidak dapat dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau juga jika ditujukan untuk menghancurkan hak-hak apapun
yang diatur dalam Deklarasi (Pasal 29 dan 30).
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa hakhak yang diatur di dalamnya dapat dibatasi oleh hukum, sepanjang batasan itu sesuai dengan
sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis (Pasal 4).

Berbeda dengan Deklarasi Universal dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak memuat ketentuan
umum yang berlaku untuk semua hak-hak yang diatur dalam Kovenan, yang mensahkan
pembatasan terhadap pelaksanaannya. Namun demikian, beberapa pasal Kovenan
menyebutkan bahwa hak-hak yang dinyatakan tidak boleh dibatasi, kecuali apabila diatur oleh
hukum dan dibutuhkan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau hak-hak
dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Oleh karenanya, hak-hak tertentu tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi, sekalipun dalam
situasi darurat. Hak-hak tersebut adalah hak-hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, bebas
dari perbudakan dan perhambaan, dilindungi dari pemenjaraan karena hutang, bebas dari
penerapan hukum pidana yang berlaku surut, diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan
kebebasan untuk bepikir, berkeyakinan dan beragama.
Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik memperkenankan suatu Negara untuk membatasi
atau menangguhkan pemenuhan hak-hak tertentu, dalam keadaan-keadaan yang secara resmi
dinyatakan sebagai situasi darurat umum yang mengancam kehidupan negara. Batasanbatasan terhadap atau penangguhan hak-hak tersebut hanya diperbolehkan "sepanjang ada
situasi mendesak yang tegas-tegas menunjukkan kebutuhan ini," dan tidak boleh didasarkan
pada diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial
(Pasal 4). Pembatasan-pembatasan atau penangguhan tersebut wajib dilaporkan kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Protokol Opsional Pertama
Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
memungkinkan Komite Hak-hak Asasi Manusia, yang didirikan berdasarkan Kovenan tersebut,
menerima dan membahas komunikasi dari para individu yang menyatakan dirinya korban
pelanggaran hak-hak apapun yang ada dalam Kovenan.
Berdasarkan Pasal 1 Protokol Opsional, Negara Peserta Kovenan yang juga menjadi Negara
Peserta Protokol, mengakui kompetensi Komite Hak-hak Asasi Manusia untuk menerima dan
membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukumnya, yang
menyatakan dirinya korban pelanggaran hak-hak oleh Negara yang diatur dalam Kovenan. Para
individu yang membuat pernyataan tersebut, dan telah mengupayakan segala bentuk
penyelesaian secara domestik, berhak menyampaikan komunikasi tertulis kepada Komite
(Pasal 2).
Komunikasi-komunikasi yang telah diputuskan dapat diterima Komite (di samping Pasal 2,
Pasal 3 and 5 (2) mengatur syarat-syarat penerimaan komunikasi) untuk diperhatikan oleh
Negara Peserta yang diduga telah melanggar ketentuan dalam Kovenan. Dalam jangka waktu
enam bulan, Negara tersebut harus memberikan penjelasan atau pernyataan tertulis kepada
Komite yang menjelaskan tentang masalah tersebut dan menunjukkan upaya penyelesain
apapun yang telah dilakukannya, apabila ada.
Komite Hak-hak Asasi Manusia akan membahas komunikasi yang diterima dalam sebuah rapat
tertutup, dengan memperhatikan informasi tertulis yang diberikan padanya oleh individu dan
Negara Peserta yang bersangkutan. Komite kemudian menyampaikan pandangannya kepada
Negara Peserta dan individu (Pasal 5). Ringkasan kegiatan-kegiatan Komite berdasarkan
Protokol Opsional akan dimasukan dalam laporan yang diserahkan oleh Komite setiap tahunnya
kepada
Majelis
Umum
melalui
Dewan
Ekonomi
dan
Sosial
(Pasal
6).
5. Protokol Opsional Kedua
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang bertujuan
menghapuskan hukuman mati, ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 44/128
tertanggal 15 Desember 1989. Berdasarkan Pasal 1, tidak seorangpun dalam wilayah hukum
suatu Negara Peserta Protokol ini dapat dihukum mati.
Berdasarkan Pasal 3 Protokol, Negara-negara Peserta harus mencantumkan informasi tentang
upaya-upaya yang diambil untuk mewujudkan Protokol, dalam laporan yang diserahkan

kepada Komite Hak-hak Asasi Manusia.


Pasal 5 Protokol Opsional Kedua menyebutkan bahwa sehubungan dengan suatu Negara yang
menjadi Peserta Protokol Opsional pertama, kompetensi Komite Hak-hak Asasi Manusia untuk
menerima dan membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukum
Negara tersebut mencakup pula ketentuan yang ada dalam Protokol Opsional Kedua, kecuali
jika Negara Peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan yang sebaliknya pada saat
ratifikasi atau aksesi.
Berdasarkan Pasal 6, ketentuan dalam Protokol Opsional Kedua berlaku sebagai ketentuan
tambahan bagi Kovenan.
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang
bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati mulai berlaku pada 11 Juli 1991, setelah
menerima sedikitnya 10 dokumen ratifikasi atau aksesi sebagaimana dipersyaratkan. Hingga
30 September Protokol telah diratifikasi atau diikuti oleh 28 Negara.
6. Pengaruh Mendunia Ketentuan Dasar Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia
Sejak 1948, pada saat Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditetapkan dan
diproklamasikan -- hingga 1976 ketika Kovenan-Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Asasi Manusia mulai berlaku -- Deklarasi merupakan satu-satunya bagian terlengkap dari
Ketentuan Dasar Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi, dan kemudian
Kovenan-Kovenan tersebut, memberi pengaruh yang mendalam pada pemikiran dan tindakan
setiap individu dan Pemerintahan mereka di segala penjuru dunia.
Konperensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Teheran dari 22
April hingga 13 Mei 1968 untuk menelaah kemajuan yang dibuat selama 20 tahun sejak
ditetapkannya Deklarasi Universal, dan untuk merumuskan program-program di masa depan,
dalam Proklamasi Teheran menyatakan sebagai berikut :
a.

b.

c.

Adalah suatu keharusan bagi anggota masyarakat internasional untuk memenuhi


kewajiban mereka dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap Hakhak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua orang tanpa pembedaan dalam
bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat
politik atau pendapat lainnya;
b. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyatakan pemahaman bersama
bangsa-bangsa di dunia sehubungan dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari
dan dilanggar bagi semua anggota masyarakat internasional, dan merupakan
kewajiban bagi anggota masyarakat internasional;
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi
Negara dan Rakyat Jajahan, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial dan juga konvensi-konvensi lainnya dan deklarasi di bidang
hak-hak asasi manusia yang ditetapkan dibawah naungan Perserikatan BangsaBangsa, badan khusus dan organisasi antar pemerintah, telah menciptakan suatu
standar dan kewajiban baru yang harus disesuaikan oleh Negara-negara;
Dengan demikian, selama lebih dari 25 tahun Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia berdiri sendiri sebagai sebuah "standar keberhasilan internasional bagi semua
manusia dan semua bangsa". Deklarasi dikenal dan diterima keabsahannya, baik di
Negara yang menjadi Peserta salah satu atau kedua Kovenan, dan di Negara yang
tidak meratifikasi atau melakukan aksesi atas kedua Kovenan tersebut. Ketentuanketentuan yang termaktub dalam Deklarasi ini banyak dijadikan dasar dan
pembenaran sejumlah besar keputusan yang diambil oleh badan Perserikatan BangsaBangsa; Deklarasi ini menjadi inspirasi untuk mempersiapkan sejumlah instrumen
internasional tentang hak-hak asasi manusia, baik di dalam maupun di luar sistem
Perserikatan Bangsa-Bangsa; dokumen ini berpengaruh terhadap sejumlah perjanjian
multilateral dan bilateral; dan juga mempunyai pengaruh yang kuat sebagai dasar
untuk mempersiapkan konstitusi dan undang-undang nasional yang baru.
Deklarasi Universal diakui sebagai dokumen bersejarah yang mengartikulasikan
definisi umum mengenai martabat dan nilai-nilai manusia. Deklarasi ini merupakan

d.

tonggak yang menjadi ukuran tingkat penghormatan dan ketaatan terhadap standar
hak-hak asasi manusia internasional di mana saja di muka bumi ini.
Mulai berlakunya Kovenan-Kovenan, yang diterima oleh Negara-negara Peserta baik
sebagai kewajiban hukum maupun moral untuk memajukan dan melindungi Hak-hak
asasi manusia dan kebebasan dasar, sama sekali tidak mengurangi luasnya pengaruh
Deklarasi Universal. Sebaliknya, keberadaan Kovenan-Kovenan ini sendiri dan
kenyataan bahwa Kovenan-Kovenan ini berisi upaya-upaya penerapan yang
disyaratkan untuk memastikan perwujudan hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam
Deklarasi, telah memberi kekuatan yang lebih besar bagi Deklarasi.
Lebih jauh lagi, Deklarasi Universal sungguh-sungguh berlingkup universal, karena ia
menjaga kesahihannya bagi setiap anggota keluarga manusia di mana saja, tanpa
memandang apakah Pemerintah telah secara resmi menerima prinsip-prinsip yang ada
dalam Deklarasi atau meratifikasi Kovenan-Kovenan. Di lain pihak, Kovenan-Kovenan
sebagai konvensi internasional, bersifat mengikat secara hukum Negara-negara yang
telah menerimanya dengan cara meratifikasi atau melakukan aksesi.

e.

Dalam berbagai resolusi dan keputusan penting yang ditetapkan oleh badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Majelis Umum dan Dewan Keamanan,
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan salah satu atau kedua Kovenan
tersebut telah dijadikan rujukan sebagai dasar suatu tindakan.
Hampir semua instrumen internasional hak-hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 1948 telah menguraikan prinsipprinsip yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan dalam
mukadimahnya bahwa Kovenan itu berkembang dari pengakuan bahwa: Sesuai
dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, kebebasan manusia yang ideal
dalam menikmati kebebasan dari rasa takut dan kebebasan dari kekurangan hanya
dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana setiap orang dapat menikmati hakhak ekonomi, sosial dan budaya-nya, dan juga hak-hak sipil dan politiknya.
Pernyataan yang sama juga dimuat dalam mukadimah Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik.

Deklarasi tentang Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi atau Menurunkan martabat yang ditetapkan
oleh Majelis umum pada 1975 (resolusi 3452 (XXX)), menguraikan pengertian Pasal 5
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik, di mana keduanya mengatur bahwa tidak seorang pun boleh
disiksa dan diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Larangan ini ditegaskan lebih lanjut dengan ditetapkannya Kovensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat (resolusi Majelis Umum 39/46) pada 1984. Serupa dengan itu,
Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan
Agama atau Kepercayaan, yang diproklamasikan Majelis Umum pada 1981 (resolusi
36/55), secara tegas merumuskan sifat dan ruang lingkup prinsip-prinsip non-diskriminasi
dan perlakuan yang sama di depan hukum, dan Hak-hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan, beragama dan berkepercayaan, yang terdapat dalam Deklarasi Universal
dan Kovenan-Kovenan Internasional.
Situasi yang serupa muncul dalam instrumen internasional hak-hak asasi manusia yang
ditetapkan di luar sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai contoh, mukadimah dari
Konvensi Bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang ditetapkan
oleh Dewan Eropa di Roma pada 1950, ditutup dengan kata-kata sebagai berikut:
Memutuskan bahwa Pemerintah-pemerintah Negara-negara Eropa yang mempunyai
pemikiran yang sama dan warisan tradisi politik, ide, kebebasan dan negara hukum yang
sama, untuk mengambil langkah-langkah pertama secara kolektif menegakkan hak-hak
tertentu yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal.
Pasal II Piagam Organisasi Persatuan Afrika yang ditetapkan di Addis Ababa pada 1963,
menyatakan bahwa salah satu tujuan Organisasi ini adalah "memajukan kerjasama
internasional dengan memperhatikan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia". Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia yang
ditandatangani di San Jose, Kosta Rika pada 1969, menyatakan dalam mukadimahnya
bahwa prinsip-prinsip yang hendak dijalankan adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam
Piagam Organisasi Negara-negara Amerika, Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan

Kewajiban

dari

Manusia

dan

Deklarasi

Universal

Hak-hak

Asasi

Manusia.

Para hakim Mahkamah internasional sering menggunakan prinsip-prinsip yang termuat


dalam Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia sebagai dasar untuk keputusan
mereka.
Pengadilan Nasional dan lokal sering merujuk pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam
Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia dalam keputusan mereka. Lebih jauh lagi
dalam tahun-tahun terakhir ini teks konstitusi dan undang-undang nasional telah lebih
banyak memuat upaya-upaya perlindungan hukum bagi prinsip-prinsip tersebut; bahkan
banyak hukum nasional dan lokal yang mutakhir dengan jelas mengambil contoh
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan
Kovenan-Kovenan Internasional, yang tetap menjadi pedoman utama bagi upaya-upaya
masa kini maupun masa mendatang di bidang hak-hak asasi manusia, baik dalam lingkup
nasional maupun internasional.
Terakhir, Konperensi Dunia tentang Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Wina pada
Juni 1993 menetapkan secara bulat Deklarasi Wina dan Program Aksi, di mana Konperensi
menyambut baik kemajuan dalam mengkodifikasi instrumen hak-hak asasi manusia, dan
mendorong ratifikasi secara universal perjanjian-perjanjian hak-hak asasi manusia. Di
samping itu semua Negara didorong untuk sedapat mungkin menghindari pengajuan
keberatan (bagian I paragraf 26).
Dengan demikian, Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia mewakili sebuah
tonggak penting dalam sejarah hak-hak asasi manusia, sebuah Magna Charta yang
menandai pencapaian umat manusia pada tahap yang sangat penting: perolehan
kesadaran akan penghormatan terhadap martabat dan harga diri manusia.

C. INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA


Berikut ini adalah daftar isntrumen-instrumen hak asasi manusia internasional yang dapat
dijadikan rujukan:
Universal
1. Charter of the United Nations (1945)Universal Declaration of Human Rights (1948)
3. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966)
4. International Covenant on Civil and Political Rights (1966)
a. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (1966)
b. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights,
Aiming at the Abolition of the Death Penalty (1989)
Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan pencegahan diskriminasi
1. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965)
2. Declaration Regarding Article 14 of the International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination (1965)
3. International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid
(1973)
4. International Convention against Apartheid in Sports (1985)
5. Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based
on Religion or Belief (1981)
6. UNESCO Convention against Discrimination in Education (1960)
7. UNESCO Protocol Instituting a Conciliation and Good Offices Commission to be
Responsible for Seeking the Settlement of any Disputes which May Arise between States
Parties to the Convention Against Discrimination in Education (1962)
8. UNESCO Declaration on Race and Racial Prejudice (1978)
9. UNESCO Declaration on Fundamental Principles concerning the Contribution of the Mass
Media to Strengthening Peace and International Understanding, to the Promotion of
Human Rights and to Countering Racialism, Apartheid and Incitement to War (1978)
10. ILO Convention (No. 100) concerning Equal Remuneration for Men and Women
Workers for Work of Equal Value (1951)

11. ILO Convention (No. 111) concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (1958)
12. ILO Convention (No. 156) concerning Equal Opportunities and Equal Treatment for Men
and Women Workers: Workers with Family Responsibilities (1981)
Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan genosida, kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan :
1.
2.

Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948);


Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes
against Humanity (1968);
3. Principles of International Co-operation in the Detection, Arrest, Extradition and
Punishment of Persons Guilty of War Crimes and Crimes against Humanity (1973);
4. Rome Statute of the International Criminal Court (1998);
5. European Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to Crimes
Against Humanity and War Crimes (1974);
6. European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (1987);
7. Protocol no. 1 to the European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment (1993);
8. Protocol no. 2 to the European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment (1993);
9. Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture (1985);
10. Inter-American Convention on the Forced Disappearance of Persons (1994)
Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan perbudakan, perdagangan manusia dan kerja
paksa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Slavery Convention Signed at Geneva on 25 September 1926 and Amended by the


Protocol (1926, 1953)
Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and
Institutions and Practices Similar to Slavery (1956)
Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the
Prostitution of Others (1949)
ILO Convention (No. 29) concerning Forced or Compulsory Labour (1930)
ILO Convention (No. 105) concerning the Abolition of Forced Labour (1957)
ILO Convention (No. 138) concerning Minimum Age for Admission to Employment
(1973
ILO Convention (No. 182) concerning the Prohibition and Immediate Action for the
Elimination of the Worst Forms of Child Labour (1999)
Inter-American Convention on International Traffic in Minors (1994)

Instrumen yang berkaitan dengan Suaka


1.
2.
3.
4.

OAS
OAS
OAS
OAS

Convention
Convention
Convention
Convention

on
on
on
on

Asylum (1928)
Political Asylum (1933)
Diplomatic Asylum (1954)
Territorial Asylum (1954)

Instrumen yang berkaitan dengan Kebebasan Informasi


1. Convention on the International Right of Correction (1952)
Guidelines for the Regulation of Computerized Personal Data Files (1990) 3. European
Convention for the Protection of Individuals with regard to Automatic Processing of
Personal Data (1981) Instrumen yang berkaitan dengan Perlindungan Anak 1. Convention
on the Rights of the Child (1989) 2. Optional Protocol to the Convention on the Rights of
the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts (1999) 3. Optional Protocol to
the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and
Child Pornography (1999) 4. Declaration on Social and Legal Principles relating to the
Protection and Welfare of Children, with Special Reference to Foster Placement and
Adoption Nationally and Internationally (1986) 5. European Convention on the Legal Status
of Children Born Out of Wedlock (1975) 6. European Convention on the Exercise of

Children's Rights (1996) 7. African Charter on the Rights and Welfare of the Child (1990)
Instrumen yang berkaitan dengan perlindungan orang asing, pengungsi dan orang-orang
tanpa kewarganegaraan 1. Statute of the Office of the United Nations High Commissioner
for Refugees (1950) 2. Convention Relating to the Status of Refugees (1951) 3.
Convention relating to the Status of Stateless Persons (1954) 4. Convention on the
Reduction of Statelessness (1961) 5. Protocol relating to the Status of Refugees (1966) 6.
Declaration on Territorial Asylum (1967) 7. Declaration on the Human Rights of Individuals
Who are not Nationals of the Country in which They Live (1985) 8. OAU Convention
Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) 9. European
Agreement on the Abolition of Visas for Refugees (1951) 10. European Agreement on
Transfer of Responsibility for Refugees (1980) 11. European Convention on the
Participation of Foreigners in Public Life at Local Level (1992) 12. European Convention on
Nationality (1997) 13. OAS Convention relative to the Rights of Aliens (1902) 14. OAS
Convention on the Status of Aliens (1928) Instrumen yang berkaitan dengan Perlindungan
Pekerja termasuk Pekerja Migran 1. International Convention on the Protection of the
Rights of All Migrant Workers (1990) 2. ILO Convention (No. 11) concerning the Rights of
Association and Combination of Agricultural Workers (1921) 3. ILO Convention (No. 87)
concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise (1948) 4. ILO
Convention (No. 97) concerning Migration for Employment (1949) 5. ILO Convention (No.
98) concerning the Application of the Principles of the Right to Organise and Bargain
Collectively (1949) 6. ILO Convention (No. 122) concerning Employment Policy (1964) 7.
ILO Convention (No. 135) concerning Protection and Facilities to be Afforded to Workers'
Representatives in the Undertaking (1971) 8. ILO Convention (No. 141) concerning
Organisations of Rural Workers and their Role in Economic and Social Development (1975)
9. ILO Convention (No. 143) concerning Migrations in Abusive Conditions and the
Promotion of Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers (1975) 10. ILO
Convention (No. 151) concerning Protection of the Right to Organise and Procedures for
Determining Conditions of Employment in the Public Service (1978) 11. ILO Convention
(No. 154) concerning the Promotion of Collective Bargaining (1981) 12. ILO Convention
(No. 168) concerning Employment Promotion and Protection against Unemployment
(1988) 13. European Convention on the Legal Status of Migrant Workers (1977) Instrumen
yang berkaitan dengan perlindungan perempuan 1. Convention on the Political Rights of
Women (1952) 2. Convention on the Nationality of Married Women (1957) 3. Convention
on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages (1962) 4.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1979) 5.
Optional Protocol on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1999)
6. Declaration on the Elimination of Violence against Women (1993) 7. OAS Convention on
the Nationality of Women (1933) 8. Inter-American Convention on the Granting of Political
Rights to Women (1948) 9. Inter-American Convention on the Granting of Civil Rights to
Women (1948) 10. Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and
Eradication of Violence against Women (1994) Instrumen yang berkaitan dengan
perlindungan sipil dalam situasi konflik 1. Geneva Convention for the Amelioration of the
Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (1949) 2. Geneva
Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked
Members of the Armed Forces at Sea (1949) 3. Geneva Convention relative to the
Treatment of Prisoners of War (1949) 4. Geneva Convention relative to the Protection of
Civilian Persons in Time of War (1949) 5. Additional Protocol to the Geneva Conventions of
12 August 1949 relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts
(Protocol I) (1977) 6. Declaration Regarding Article 90 of Protocol I (concerning the
competence of the International Fact-Finding Commissions) (1990) 7. Additional Protocol
to the Geneva Conventions of 12 August 1949 relating to the Protection of Victims of NonInternational Armed Conflicts (Protocol II) (1977) 8. Declaration on the Protection of
Women and Children in Emergency and Armed Conflict (1974) 9. European Convention on
the Compensation of Victims of Violent Crimes (1983) Perangkat perlindungan dan
pemajuan hak asasi manusia di Indonesia Peraturan Perundang-undangan nasionaldi
bidang Hak asasi manusia: 1. UUD 1945 (khususnya alinea pertama pembukaan; pasal 27
ayat 1 dan ayat 2; pasal 28; pasal 28A-pasal 28J; pasal 29 ayat 2; dan pasal 31 ayat 1; 2.
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM Dari berbagai instrumen HAM tersebut dapat dicatat ciri-ciri HAM yang
menekankan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia. Hak dasar
tersebut bersifat kodrati, universal, abadi, berkaitan dengan harkat atau martabat manusia
serta dimiliki oleh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit,
kebangsaan, usia, pandangan politik, status sosial, bahasa atau status lainnya. Hak
tersebut berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan dan kelangsungan
hidup manusia dan masyarakat. Hak tersebut harus dilindungi, dihormati dan

dipertahankan, serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas. Berdasarkan


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dapat diklasifikasikan
hak-hak asasi manusia yang dilindungi, yaitu: 1. Hak Untuk
Hidup...................................................... Pasal 9 UU No 39/1999 a. Hak untuk hidup
dan meningkatkan taraf hidup b. Hidup tentram, aman dan damai c. Lingkungan hidup
yang baik 2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan ..... Pasal 10 UU No. 39/1999 a.
Hak untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah 3. Hak
Mengembangkan kebutuhan dasar ........... Pasal 11-16 UU No. 39/1999 a. Hak untuk
pemenuhan diri b. Hak pengembangan pribadi c. Hak atas manfaat IPTEK d. Hak atas
komunikasi dan informasi 4. Hak Memperoleh Keadilan .............................. Pasal 17-19
UU No. 39/1999 a. Hak perlindungan hukum b. Hak atas keadilan dalam proses hukum c.
Hak atas hukuman yang adil 5. Hak Atas Kebebasan dari perbudakan ............. Pasal 2027 UU No. 30/1999 Hak untuk bebas dari perbudakan pribadi Hak atas keutuhan pribadi c.
Kebebasan memeluk agama dan keyakinan politik d. Kebebasan untuk berserikat dan
berkumpul e. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat f. Status kewarganegaraan g.
Kebebasan untuk bergerak 6. Hak Atas Rasa Aman ....................................... Pasal 2027 UU No. 30/1999 a. Hak untuk mencari suaka b. Perlindungan diri pribadi 7. Hak Atas
Kesejahteraan ................................... Pasal 36-42 UU No. 30/1999 a. Hak milik b. Hak
atas pekerjaan c. Hak untuk bertempat tinggal secara layak d. Jaminan sosial e.
Perlindungan bagi kelompok rentan 8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan .............
Pasal 43-44 UU No. 39/1999 a. Hak pilih dalam PEMILU b. Hak untuk berpendapat 9 Hak
Wanita ...................................................... Pasal 45-51 UU No. 39/1999 a. Hak
pengembangan pribadi dan persamaan dalam hukum b. Hak perlindungan reproduksi 10
Hak Anak ......................................................... Pasal 52-66 UU No. 39/1999 a. Hak
hidup anak b. Status warga negara c. Hak anak yang rentan d. Hak pengembangan pribadi
& perlindungan hukum e. Hak jaminan sosial anak Disamping hak, manusia juga
mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara antara manusia yang satu dengan yang lainnya dan masyarakat secara
keseluruhan. D. Ratifikasi Instrumen HAM internasional dan pelaporannya Sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa, Indonesia juga dituntut untuk berupaya dalam pemajuan,
perlindungan dan penegakan HAM. Komitmen tersebut salah satunya tercermin dari upaya
bangsa Indonesia dalam mematuhi instrumen standar internasional dalam bentuk ratifikasi
konvensi atau kovenan. Adapun Instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia: 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, (diratifikasi dengan UU No.
59, 1958). 2. Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan - Convention on the Political
Rights of Women (diratifikasi dengan UU No. 68, 1958) 3. Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Perempuan - Convention on the Elimination of
Discrimination Against Women (diratifikasi dengan UU No. 7, 1984) 4. Konvensi Hak Anak
- Convention on the Rights of the Child (diratifikasi dengan Keppres No. 36, 1990) 5.
Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan
Beracun serta Pemusnahannya - Convention on the Prohibition of the Development,
Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weapons and on their
Destruction (diratifikasi dengan Keppres No. 58, 1991) 6. Konvensi Internasional terhadap
Anti Apartheid dalam Olah Raga - International Convention Against Apartheid in Sports
(diratifikasi dengan UU No. 48, 1993) 7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia - Torture Convention (diratifikasi dengan UU No. 5, 1998) 8. Konvensi Organisasi
Buruh Internasional Nomor 87 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi - ILO Convention No. 87 concerning Freedom of Association and
Protection on the Rights to Organise (diratifikasi dengan UU No. 83, 1998) 9. Konvensi
internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial - Convention on the
Elimination of Racial Discrimination (diratifikasi dengan UU No. 29, 1999) 10. Optional
protocol Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Perempuan Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (ditandatangani Maret
2000 tapi belum bisa diratifikasi) Daftar Konvensi ILO yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia: 1. Convention No. 19 Concerning Equality of Treatment for National and Foreign
Workers as regards to Workmen's Compensation for Accident (Perlakuan yang Sama bagi
Pekerja Nasional dan Asing dalam Kecelakaan Kerja) diratifikasi 13 september 1927 2.
Convention No. 27 Concerning the Marking at the Weight on Heavy Packages Transported
by Vessels (Pemberian Tanda Berat pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut
dengan Kapal) diratifikasi 31 Januari 1933. 3. Convention No. 29 Concerning Forced or
Compulsary Labour (Kerja Paksa atau Kerja Wajib) diratifikasi 31 maret 1933 4.
Convention No. 45 Concerning the Employment of Women on Underground Works in Mines
of All Kinds (Kerja bagi Wanita pada Segala Macam Tambang di Bawah Tanah) diratifikasi
tahun 1937. 5. Convention No. 98 Concerning the Application of the Principles of the Right
to Organize and to Bargain Collectively (Penerapan Azas-Azas Hak Berorganisasi dan

Berunding Bersama) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun 1961 6.


Convention No. 100 Concerning Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work
of Equal Value (Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun
1961 7. Convention NO. 120 Concerning Hygiene in Commerce and Offices (Higinitas
dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor) diratifikasi 13 Juni 1969 8. Convention No. 106
Concerning Weekly Rest in Commerce and Office (Istirahat Mingguan dalam Perdagangan
dan Kantor-Kantor) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun 1969 9.
Convention No. 144 Concerning Tripartite Consultation (Konsultasi Tripartit) diratifikasi
dengan Keppres No. 26 tahun 1990 tanggal 18 Juni 1990 Lembaran Negara No. 30 10.
Convention NO. 69 Concerninng Certification of Ships' Cooks (Sertifikasi Juru Masak di
Kapal) diratifikasi dengan Penjelasan Keppres No. 4 tahun 1992 tanggal 4 Januari 1992
Lembaran Negara No. 4 11. Convention No. 87 Concerning Freedom of Association and
Protection of the Right to Organise (Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi) diratifikasi dengan Keppres No. 83 tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998 tentang
Pengesahan Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi) 12. Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labour
(Penghapusan Kerja Paksa) diratifikasi dengan UU No. 19 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999.
13. Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan) diratifikasi dengan UU No. 21
tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 14. Convention No. 138 Concerning Minimum Age for
Admission to Employment (Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja ) diratifikasi
dengan UU No. 20 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 15. Convention No. 182 Concerning the
Immediate Action to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor (Tindakan
Segera untuk Menghapuskan dan mengurangi Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak)
diratifikasi dengan UU No. 1 tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000 E. Mekanisme Penanganan
Pelanggaran HAM Undang-Undang 39 Tahun 1999 pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam rangka menegakkan hak
asasi manusia dan menjamin perlindungan bagi semua orang maka diperlukan upayaupaya investigasi atau pencarian fakta manakala terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Pencarian Fakta atau Investigasi biasa didefinisikan sebagai proses identifikasi sebuah
pelanggaran HAM dan penyusunan fakta yang relevan dengan pelanggaran yang terjadi.
Tujuan dari Investigasi atau pencarian fakta adalah: 1. Membantu menyembuhkan dan
merehabilitasi korban 2. Pendampingan hukum (advokasi dan litigasi) 3. Mendorong
perubahan kebijakan yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia 4. memantau
kepatuhan pemerintah terhadap persetujuan internasional di bidang HAM. 5. Sarana
pendidikan publik 6. Bahan pelurusan sejarah Selanjutnya hasil investigasi
didokumentasikan dalam suatu format yang menjamin analisis dan pelaporan yang
memadai bagi upaya tindak lanjut. Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia
merupakan keseluruhan proses pengumpulan data, pengolahannya menjadi informasi dan
perekaman secara sistematis semua informasi yang didapatkan, baik di lapangan maupun
sumber- sumber lain, dalam sebuah investigasi atas kemungkinan terjadinya pelanggaran
HAM, hingga semua informasi yang didapat bisa dicari kembali dengan mudah. Untuk
menjamin sistem dokumentasi yang baik maka dibutuhkan elemen-elemen sebagai
berikut: 1. perlunya sarana perekaman data 2. cakupan informasi yang perlu
didokumentasikan 3. kosakata terkendali 4. metoda perekaman, baik dalam bentuk teks
bebas, formulir darurat (intake form) dan format standar 5. desain format Disain Format
Standar Terdapat 3 hal yang mutlak harus dicatat: 1. Kasus pelanggarannya (event)
Elemen data minimal adalah: bentuk pelanggaran HAM, alasan di balik pelanggaran, jenis
atau kategorisasi pelanggaran HAM, waktu dan tempat kejadian, akibat yang ditimbulkan
2. Siapa yang menjadi korbannya (victim) Elemen data minimal adalah nama korban, jenis
kelamin, status, dan pekerjaan korban 3. Siapa pelaku (perpetrator) Elemen data minimal
adalah nama pelaku, jenis kelamin, jabatan/pangkat, hubungan pelaku dengan organisasi
tertentu, kesatuan (apabila pelakunya dalah aparat negara) 4. Data pelengkap, antara
lain: a. Nara sumber (source) b. intervensi (intervention). c. Informasi hukum
(pennagkapan, penahanan, kondisi selama ditangkap, penasehat hukum, tipe pengadilan,
prosedur hukum dll) d. kematian dan pembunuhan (tipe kematian, keterangan pejabat
pemerintah atau organisasi tertentu, metode membunuh, keterangan kematian, hasil
otopsi, permintaan penyelidikan/penyidikan) e. penyiksaan (tipe penyiksaan, interogasi,
surat pengakuan, petugsa kesehatan, akibat fisik penyiksaan, akibat psikis penyiksaan,
periode penyiksaan) f. perusakan atas hak milik dan perpindahan penduduk dll. Selain itu,

hal-hal yang harus diperhatikan di dalam pencarian dan penyimpanan data pelanggaran
HAM adalah: 1. Hubungan antar rekor (apakah merupakan kasus sederhana atau
kompleks) 2. Sistem penomoran rekor 3. Sistem penyimpanan dan sarana temu kembali
(apakah bersifat manual atau terkomputerisasi) 4. Alat pencarian kembali Pelaporan
Sebagai negara pihak dari sejumlah Konvensi di bidang HAM, maka Indonesia memiliki
kewajiban untuk melakukan pelaporan kondisi dan upaya yang dilakukan dalam rangka
pemajuan dan perlindungan HAM dalam bentuk country report. Sistematika pelaporan
yang dutujukan kepada badan-badan internasional adalah sebagai berikut: 1. Kondisi
Wilayah dan Masyarakat 2. Struktur Politik secara Umum 3. Kerangka Hukum keseluruhan
hak-hak yang harus dilindungi 4. Upaya-upaya yang telah dilakukan dan kendala
pemenuhannya Laporan-laporan tersebut harus diajukan secara berkala sebagai wujud
dari komitmen Indonesia sebagai negara pihak yangmendandatangani dan meratifikasi
Konvensi. Dalam konteks nasional, fungsi laporan situasi dan kondisi HAM juga membantu
pemerintah dalam mengkaji sejauh mana kebijakan yang telah diambil benra-benar
menunjukkan keberpihakan pada upaya penegakan dan perlindungan HAM .

SEJARAH

NASIONAL

HAK

ASASI

MANUSIA

Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember


1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia
mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis
dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara)
maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di
negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa,
agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung
pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh
rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh
pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap
pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB
bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan,
melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota
PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di
suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional
lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi
siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di
mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah
dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan
dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan
Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih,
maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang,
semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena
sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya
mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan

Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ?
Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada
hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati
hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi
jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut
perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil
kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita
menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk
pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu
kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban
serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan
masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak
memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar
belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya
saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya
negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar
bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di
bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja
berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang
bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat
dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman".
Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan.
Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis.
Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu
memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa
diciptakan kondisi seperti itu ?

HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA

Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7
(tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam
UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2
sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang
tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun
kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang
antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan
ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU
No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu
pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang
berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan".
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya tidak diatur
secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM karena sudah
diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum
Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan
lainnya.

Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasalpasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap
UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-undang Dasar
1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A
tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan
tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah
sebagai berikut :

Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)

Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)

Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat
1)

Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)

Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C
ayat 2)

Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan
perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)

Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)

Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat
3)

Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)

Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E
ayat 1)

Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)

Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)

Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)

Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)

Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E


ayat 3)

Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)

Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
(Pasal 28 G ayat 1)

Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
syah (Pasal 28 B ayat 1)

Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)

Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)

Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)

Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)

Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan
keadilan (Pasal 28 H ayat 2)

Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)

Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun
(Pasal 28 H ayat 4)

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I
ayat 1)

Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)

Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)

HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945


Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7
(tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam
UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2
sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang
tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun
kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang
antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan
ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU
No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu
pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang
berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan".
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya tidak diatur
secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM karena sudah
diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum
Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan
lainnya.

Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasalpasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap
UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-undang Dasar
1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A
tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan
tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah
sebagai berikut :

Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)


Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
syah (Pasal 28 B ayat 1)
Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat
1)
Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C
ayat 2)
Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan
perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat
3)
Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E
ayat 1)
Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)
Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E
ayat 3)
Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
(Pasal 28 G ayat 1)
Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan
keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun
(Pasal 28 H ayat 4)
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I
ayat 1)
Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)

Anda mungkin juga menyukai