Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan Tinggi di Indonesia: Implementasi Social Darwinism?

1
Cungki Kusdarjito2

Rencana strategis jangka panjang pendidikan tinggi di Indonesia 2003-2010 (yang dikenal
sebagai HELTS) menekankan pada otonomi dan akuntabilitas pendidikan tinggi sebagai isu
strategis. Strategi ini ditujukan untuk menghadapi globalisasi dan sekaligus melahirkan perguruan
tinggi berkelas dunia di Indonesia. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen
Dikti) yang semula berperan sebagai regulator bergeser menjadi fasilitator. Selain itu, Ditjen Dikti
juga berkewajiban menyiapkan perangkap kelembagaan dan hukum. Dalam HELTS juga
disebutkan bahwa intervensi pemerintah masih diperlukan karena menyandarkan pada mekanisme
pasar semata akan menciptakan kesenjangan antara perguran tinggi besar dengan perguruan tinggi
kecil. Kompetisi harus dilakukan secara adil dalam arti perguruan tinggi dengan tingkat
perkembangan yang sama saling berkompetisi.
Meskipun demikian, dengan diterapkannya otonomi pendikan tinggi dan daerah, dunia
pendidikan tinggi di Indonesia mengalami proses perubahan dengan dinamika yang sangat cepat
tetapi cenderung bersifat involutif. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2007 tercatat sekitar
2.761 perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia (Suara Pembaruan, 14 Juli 2007). Jumlah
mahasiswa PTS sekitar 1,7 juta dan jumlah tersebut menjadi sekitar 2,5 juta jika mahasiswa dari
perguruan tinggi negeri turut diperhitungkan (http://evaluasi.or.id). Pada tahun 2004 jumlah PTS
masih berkisar 2.100-2.200 buah sehingga dalam waktu tiga tahun telah terjadi penambahan PTS
baru sekitar 500 buah (Republika 5 Agustus 2007). Selanjutnya, secara spekulatif apabila Prinsip
Pareto berlaku, maka 80 persen (sekitar 1.4 juta) mahasiswa akan menempuh kuliah di 20 persen
PTS yang ada (sekitar 550 PTS), dan 20 persen sisanya (sekitar 351 ribu mahasiswa) akan
diperebutkan oleh 80 persen PTS (sekitar 2.200). Jika setiap PTS memiliki 5 prodi, maka rata-rata
mahasiswa baru yang diterima setiap prodi pada sebagian besar PTS (80 persen) akan kurang dari
10 orang mahasiswa baru per tahun. Akibatnya, dari 2.761 PTS yang ada di Indonesia, 10 persen di
antaranya dapat dinyatakan “tutup” karena ketidakmampuan institusi tersebut menjaga kualitas dan
berkompetisi. Menghadapi situasi tersebut, pemerintah menyatakan tidak akan menutup perguruan
tinggi yang ada tetapi akan membiarkan PTS melewati proses seleksi secara alamiah. PTS yang
tidak dapat mempertahankan mutu pasti akan gugur di tengah jalan (Suara Pembaruan, 14 Juli
2007). Kondisi yang lain, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 mengharuskan Perguran
Tinggi Negeri (PTN) menjalankan praktik otonomi lepas dari berbagai ketergantungan kepada
pemerintah. Banyak PTN kemudian membuka aneka macam jalur penerimaan mahasiswa baru
semenjak tahun 2000. Penerimaan mahasiswa selain dilakukan lewat ujian bersama melalui
Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) juga dilakukan melalui penerimaan mandiri. Pada
beberapa PTN, kontribusi SPMB hanya berkisar 25-30 persen dari total mahasiswa yang diterima
sedangkan sisanya masuk melalui jalur khusus. Konsekuensinya, jumlah mahasiswa baru yang
masuk di beberapa PTN naik hampir lima kali lipat (Pikiran Rakyat, 24 Mei 2007).
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa telah terjadi arah perkembangan pendidikan
tinggi yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan HELTS. Kompetisi terjadi secara terbuka
antara yang kuat dengan yang lemah. Meskipun pada saat ini pendirian perguruan tinggi mulai
dibatasi, ada kecenderungan bahwa mereka yang memiliki modal dapat mendirikan perguruan
tinggi. Peraturan yang mencegah terjadinya persaingan bebas cenderung tidak dapat
diimplementasikan, khususnya pada perguruan tinggi besar dengan modal kuat. Netralitas
pemerintah juga masih dapat dipertanyakan karena selain berperan sebagai regulator dan fasiltator,
pemerintah juga masih bertindak sebagai pelaku.
Secara singkat, kondisi perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia, secara sengaja
ataupun tidak, dapat dikatakan telah mengikuti pemikiran Social Darwinism. Social Darwinism
1
Kedaulatan Rakyat 29 Februari 2008
2 Staf Pengajar Universitas Janabadra, Yogyakarta

1
dapat dikatakan sebagai filosofi semu (quasi-philosophy) yang digagas oleh Herbert Spencer pada
tahun 1851. Spencer menyatakan bahwa kompetisi merupakan jalan yang harus ditempuh untuk
mencapai keberhasilan, siapa yang paling sesuai (fittest), merekalah yang akan berhasil. Selain itu,
Spencer juga mengajukan pemikiran mengenai laissez-faire capitalism, yaitu suatu sistem ekonomi
yang berkembang melalui kompetisi dengan intervensi sekecil mungkin dari pemerintah. Pemikiran
ini pulalah yang mendasari pemikiran kaum neoliberal saat ini.
Dampak penerapan Social Darwinism pada pendidikan tinggi yang paling mudah dilihat
adalah terjadinya komersialisasi pendidikan. Dalam upaya untuk bertahan hidup, perguruan tinggi
kecil akan “menjual ijasah” dengan harga murah. Dampak ikutan yang lain, para opportunists akan
bermunculan dengan mendirikan perguruan tinggi/program studi untuk jangka pendek dengan
menawarkan berbagai kemudahan. Sebaliknya, perguruan tinggi besar akan memperlakukan
pengetahuan (knowledges) sebagai “komoditi” dengan harga mahal. Dampak pada masyarakat
adalah semakin terjadinya polarisasi antara yang kaya dengan dengan yang miskin.
Bagaimana peran Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP) di kemudian hari?
UU-BHP menekankan pada otonomi, kontrol kualitas, akuntabilitas, keberlanjutan, aksesibilitas
pada pendidikan yang berkeadilan serta bersifat nirlaba sebagai rambu-rambu penyelenggaraan
pendidikan. Meskipun demikian, jika UU-BHP dalam pelaksanaannya tidak konsisten
dikawatirkan UU-BHP justru dapat dipakai sebagai legitimasi bagi liberalisasi pendidikan yang
mengacu pada pemikiran Social Darwinism dan Neoliberalism. Hal ini berkaitan pula dengan
Peraturan Presiden (Perpres) No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan dalam hal ini
pendidikan termasuk (bidang usaha) yang terbuka dengan batasan untuk pendirian politeknik di
beberapa daerah tertentu.

Anda mungkin juga menyukai