Bab Pertama
PENDAHULUAN
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa dalam kurun waktu lebih dari enam
dasawarsa dengan enam Presiden, sebagai bangsa dan negara kita terus jatuh-
bangun1. Korban yang membarenginya akibat pertikaian sesama anak bangsa dalam
jumlah yang tidak kecil juga terus berjatuhan. Saat memasuki tahun kedelapan pasca
Orde Baru, penduduk miskin semakin besar jumlahnya, dan tingkat pengangguran
menurut sejumlah sumber menyebutkan sudah melebihi empat puluh lima juta orang.
Beberapa daerah penduduknya sudah terkena busung lapar seperti yang terjadi di
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu sejumlah daerah telah
terjangkit berbagai wabah penyakit akibat rendahnya kualitas kehidupan mereka.
Disisi yang lain, kerusakan moral sebagian para penyelenggara negara begitu
parahnya, mega-korupsi yang ditinggalkan rezim terdahulu belum tertangani secara
memadai, sementara itu korupsi yang baru menjamur hampir di semua lembaga
negara, baik di pusat maupun di daerah. Faktor keamanan juga sangat rentan, dengan
mudahnya bom begitu saja meledak di banyak tempat. Yang jelas sekedar tanda-tanda
bahwa krisis akan segera berakhir belumlah tampak secara meyakinkan. Sehingga
menjadi wajar kalau kemudian muncul rasa pesimisme pada banyak kalangan akibat
bayang-bayang kesuraman. Bahkan masa depan ke Indonesia an sepertinya semakin
sulit diramalkan akibat besarnya ketidak pastian itu sendiri.
Adalah hak bagi segenap anak bangsa untuk mencari solusi dengan terobosan
sekalipun guna menyelamatkan peradaban serta eksistensi diri sebagai bangsa dan
negara. Karena bagaimanapun salah satu faktor yang mendorong transisi ke arah
demokratisasi menurut Jeff Haynes adalah masyarakat sipil yang terus-menerus
melakukan tekanan terhadap pemerintah yang tidak bertanggungjawab dan tidak
demokratis2. Bila era Orde Baru kental dengan pendekatan reaksioner dan
1
Makanya tidak salah dan bahkan sangat masuk akal kalau Samuel P Huntington bahkan pada dekade
1990an menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami gelombang surut
demokratisasi ketiga. Lihat, Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization, (New York:
1995).
2
Jeff Haynes, 1997, Democracy and Civil Society in Third World Politics and New Political
Movement, terjemahan P. Soemitro, (Jakarta: Obor, 2000), hal. 129
3
pragmatisme, yang terjdi di era transisi kedua pendekatan tersebut malah menjadi
lebih subur. Akibatnya akar masalah dan persoalan pokok yang membuat bangsa
ini terus terpuruk setelah berulang kali jatuh bangun menjadi makin terlupakan. Dan
kemudian asyik terjebak dengan konflik of interest dan tarik menarik kepentingan
dalam political game. Lebih disayangkan lagi tekanan masyarakat sipil tidak begitu
menjadi andalan yang prospektif, karena ruang untuk partisipasi publik dalam politik
kita juga belum tersedia dengan baik dan bahkan tekanan dan tuntutan kurang
didengar.
Untuk itu sebagai bangsa kita perlu belajar dari sejumlah bangsa dan negara sahabat
yang telah berhasil menata peradaban bangsanya. Terlalu banyak diantara mereka
yang sejak awal berdirinya terus eksis sebagai bangsa dan negara, bahkan dengan
gemilang telah membangun dirinya. Pelajaran juga bisa diambil dari sejumlah negara
sahabat bekas negara komunis didaratan Eropa Timur dan juga Uni Sovyet, yang
begitu cepat recovery dan bahkan beberapa diantaranya kini berhasil menjadi negara
maju dan kuat. Begitu pula kalau kita mau berkaca dari sejumlah negara tetangga
dekat kita yang delapan tahun lalu sama-sama diterjang badai krisis moneter, dalam
waktu relatif singkat mereka dapat pulih kembali. Yang pasti mereka itu semua tidak
diberkahi kekayaan alam semelimpah kita, diantaranya miskin atau bahkan tidak
punya sumber daya alam yang memadahi. Namun berkat kemampuan diri dalam
memahami pokok masalah penyebab kegagalan sistem kenegaraannya, mereka
kemudian mampu membangun peradabannya kembali dengan baik. Sementara itu kita
terus terjebak dalam disorientasi dan sepertinya telah masuk dalam masa transisi
permanen.
Untuk ukuran umum memang aneh, tapi nyata sebuah paradoks terus terpelihara
dalam diri kita sebagai bangsa dan negara. Sistem kenegaraan yang jelas-jelas telah
melahirkan keterpurukan dan kerusakan begitu dasyat serta residu masa lalu yang
begitu memberatkan generasi penerus tidak disadari bersama oleh mayoritas warga
bangsa sebagai sistem kenegaraan yang gagal. Bahkan sebaliknya segala kemampuan
dan kekuatan, bahkan dengan kembali mencari pinjaman luar negeri sistem yang ada
itu terus dicobanya untuk memperbaiki keadaan yang sesungguhnya adalah out
put/produk dari dirinya sendiri. Bangsa ini juga lupa bahwa reformasi mensyaratkan
adanya perubahan yang mendasar dari sistem kenegaraan yang ada, karena tanpa
perubahan sistem kenegaraan secara fundamental reformasi pada hakekatnya adalah
4
rebutan jabatan. Memang harus diakui tidak sedikit perubahan dan perbaikan yang
telah dikerjakan, termasuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang
selama era Orde Baru disakralkan. Namun sangat disayangkan dalam
mengamandemen UUD 1945 elit bangsa ini melupakan pentingnya penataan ulang
berbagai hal yang fundamental yang berada di kawasan hulu yaitu membenahi jiwa
dan kerangka dasar sistem perpolitikan pada tingkat makro. Elite bangsa ini terus
menyibukkan diri pada masalah-masalah kecil yang berada di kawasan hilir. Menjadi
wajar kalau perubahan UUD 1945 yang sudah empat kali sejak amandemen pertama
tahun 1999, kedua tahun 2000, dan dua kali pada tahun 2001, tidak banyak mengubah
penampilan negara.
Realita yang demikian itu, perlu ditanggulangi dengan membangunkan kesadaran
publik tentang nasib masa depan bangsa dan negara. Seharusnyalah elit bangsa ini
segera mengembangkan dialog publik tentang rancang bangun sistem kenegaraan kita
ke depan3. Dengan demikian kelak dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu
kembali meniru pendahulunya yang terus mempertahankan kesepakatan untuk
menjalankan sebuah sistem kenegaraan tanpa meyakini terlebih dahulu obyektivitas,
rasionalitas, dan apalagi validitasnya. Ke depan kita sebaiknya juga mampu
mengeliminasi cara berpikir, paradigma dan nilai-nilai lama yang tidak mungkin
dipertahankan lagi dengan bungkus baru yang diusung oleh keabsahan suara
mayoritas yang kemudian diberi stigma sebagai demokrasi ala Indonesia. Persis ini
yang memperlamban gerak laju demokratisasi di Indonesia dewasa ini, bahwa nilai-
nilai lama yang sudah usang dipertahankan melalui keunggulan kelompok lama dalam
politik yang kebetulan untuk saat ini masih menjadi kekuatan mayoritas. Akibatnya,
nilai baru yang diperjuangkan oleh kelompok yang kebetulan minoritas yang ingin
pembaruan di segala dimensi termasuk dimensi berpikir, seringkali kalah dengan
suara mayoritas. Barangkali disini kita patut menyebut suara mayoritas ini sebagai
“tirani mayoritas”4.
Inti masalah yang dihadapi juga persoalan konsistensi kita dalam mensikapi
3
Saya pikir ini penting sekali karena sampai sekarang kita tidak memiliki konsep demokrasi yang
mapan, dalam artian suatu konsep yang strategis dan efektif untuk dijalankan. Konsep demokrasi yang
berjalan masih merupakan konsep yang dikehendaki oleh kelompok yang menang dan menguasai
politik.
4
Dalam hal ini kita perlu melihat berbagai pandangan negatif tentang demokrasi yang dikritik orang
seperti James S. Fishkin dalam Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories, (Baltimore:
John Hopkins University Press, 1979). Fishkin mengatakan bahwa ketika kekuasaan mayoritas berubah
menjadi hak, maka serentak kelompok minoritas tunduk di bahwa “tirani mayoritas”. Fishkin
sebetulnya menyuarakan kembali apa yang dicemaskan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.
5
pengaruh nilai yang berasal dari paham/ideologi yang ada dan pilihan model
pengaturan kenegaraan. Kedepan kita mesti konsisten dan konsekuen dalam
mengimplementasi nilai-nilai yang dikandung sebuah paham / ideologi yang dipilih
dari yang bersifat mendasar sampai yang menyangkut urusan teknis-operasional.
Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memilih dengan tegas, jelas dan lugas, hitam
atau putih terhadap pilihan paham sistem kenegaraan dan juga model demokrasi,
bukan malah terus melanjutkan model lama yang berada di area abu-abu (gray area).
Enam puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk pembuktian kwalitas sebuah
sistem kenegaraan. Bila demokrasi sebagai satu-satunya pilihan, maka kedepan kita
tidak butuh lagi menyusupkan paham eksklusif atau nilai partikular yang bersumber di
luar paham demokrasi, yang diatas-namakan “aspirasi rakyat”.
Pilihan akhir demokrasi dengan sistem presidensial, seharusnya kita sikapi secara
konsekuen dengan menerapkan segenap kelembagaan dan mekanisme yang ada
didalamnya secara utuh. Dalam menjalankannya, tidak dibenarkan adanya pemaksaan
sepihak untuk menggunakan instrumen-instrumen demokrasi sistem parlementer.
Apalagi kalau sampai menyusupkan nilai yang bersumber dari otoriter sebagaimana
yang diterapkan selama ini. Ketika kita memilih Kepala Negara dijabat Presiden,
maka tidak seharusnya ada Lembaga Negara yang kedudukan nya lebih tinggi darinya
(dalam hal ini MPR), sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 versi akhir masa Orde
Lama dan selama era Orde Baru. Dan ketika sistem perwakilan menggunakan model
dua-kamar/bikameral, maka seharusnya keberadaan Senat yang dipresentasikan oleh
DPD, janganlah kemudian dimandulkan oleh peraturan perundang-undangan politik
yang tidak demokratis sebagaimana model UUD 1945 Hasil Amandemen.
Ke depan rancang bangun konsep politik yang akan dirumuskan juga tidak
sewajarnya terus terpaku dan tergantung pada konsep politik yang dikandung oleh
UUD 1945. Karenanya amandemen UUD 1945 bukanlah dimaksudkan sekedar untuk
menambah atau mengurangi pasal-pasal yang sudah ada, namun untuk merumuskan
kembali secara lebih komprehensif sebuah konsep politik yang didasari kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam bingkai Sistem Presidensial yang
dijalankan secara konsisten dan konsekwen. Dengan demikian rancang bangun sistem
demokrasi kedepan memang bukan kelanjutan dari sistem yang selama ini
dilaksanakan. Hal yang demikian tidaklah berarti kita keluar dari jiwa dan semangat
para pendiri Republik ini, justru sebaliknya konsep yang demikian itu sarat dengan
6
semangat dan rasa (sense) perjuangan "founding father". Dalam kaitan
mengamandemen UUD-45, pilihan untuk menggantikan dengan yang baru
sekalipun bukanlah sebuah kesalahan, dosa dan apalagi pengkhianatan. Sebaliknya
upaya tersebut semestinya ditempatkan sebagai kwajiban generasi penerus untuk
membayar hutang amanah para pendiri republik. Bung Karno sendiri dalam pidato
pengesahan UUD-45 tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sebagai berikut: “Tuan-
tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang (kita) buat
sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai
perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah ber negara
dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih
lengkap dan lebih semurna”
Agar kita tidak kehabisan energi dan waktu serta terus terjebak pada perdebatan
pro-kontra untuk melanjutkan amandemen atau kembali ke UUD-45 yang asli. Maka
negara perlu melaksanakan enginering politik untuk merumuskan UUD yang baru.
Dengan demikian waktu dan energi yang ada dimanfaatkan untuk membicarakan
berbagai hal tentang hari esok, utamanya tentang rancang bangun sistem kenegaraan
yang mampu memberi jaminan kepastian masa depan kita sebagai sebuah negara-
bangsa (nation-state). Saya kira apa yang disebut “imagined community” oleh Ben
Anderson hanya bisa dipahami dalam konteks ini bahwa diperlukan suatu kesadaran
sekaligus kemampuan bersama untuk menyadari diri sebagai satu bangsa, sebab kalau
tidak masa depan ke Indonesia an sulit diramal5. Memahami inti persoalan yang
membuat kita terus jatuh bangun juga sangat mendasar, sehingga konsep sistem
kenegaraan kita kedepan tidak lagi rapuh dan rentan, dan apalagi korup. Bangunan
sistem kenegaraan haruslah dijamin bebas dari proses saling mereduksi,
menghilangkan, dan bahkan saling menghancurkan akibat terjadinya benturan antar
kekuatan bawaan masing-masing ideologi kenegaraan, model dan instrumen sistem
demokrasi yang dicampur-aduknya. Tanpa jaminan dari sistem kenegaraan itu sendiri
maka terjadinya penyalah gunaan kekuasaan, penyelewengan dan utamanya korupsi
tidaklah mungkin bisa dihentikan. Karena persoalan yang demikian itu tidaklah tepat
kalau ditumpukan hanya sekedar pada semangat para penyelenggara Negara
sebagaimana yang dibayangkan para pendiri Republik ini. Karena dalam
5
Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities:Reflections on the Origins and Spread
Nationalism (Verso, 1983)
7
kenyataannya korupsi bukanlah semata-mata dikarenakan rendahnya keimanan
dan moralitas pejabat atau alasan klasik seperti gaji yang rendah, tapi justru lebih
dikarenakan oleh sistem kenegaraannya itu sendiri yang memang korup. Korupsi yang
terjadi selama ini adalah karena sistem sebagaimana keyakinan kaum institusionalis
dalam ilmu politik6. Siapapun ia yang mengawaki sistem yang korup, maka persoalan
terjadinya korupsi bukanlah persoalan moral sang pejabat, tapi persoalan waktu
belaka. Oleh karena itu, ke depan upaya mengatasi korupsi haruslah diletakkan pada
rancang bangun dari konsep politik yang secara obyektif dan rasional dapat
meniadakan, setidaknya mampu mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan,
penyelewengan dan tindak kejahatan lainnya oleh aparatur Negara termasuk soal
korupsi. Disinilah letak urgensi kita mengedepankan kesamaan rasa yang dimiliki
oleh segenap bangsa saat ini, yaitu kesamaan kepentingan atas nasib dan kepastian
masa depan masing-masing, disamping juga nasib dan kepastian masa depan bersama
yaitu eksistensi kita sebagai bangsa dan negara. Sebab bukankah Ernest Rennan sudah
lebih dulu mengatakan bahwa alasan kita bisa ada bersama sebagai satu bangsa adalah
karena kita sama-sama dijajah dan sama-sama memiliki visi dan misi untuk hidup
makmur dan sejahtera7. Kalau itu dasar dari ke Indonesia an kita, maka tidak ada
alasan pemerintah atau siapapun yang memegang kekuasaan di negara ini untuk tidak
segera membangun kesejahteraan rakyat.
Pengalaman sejumlah negara dalam menghadapi krisis, mereka yang mendahulukan
penataan sistem kenegaraannya ternyata dalam kurun waktu yang pendek mampu
segera bangkit dan kemudian maju menjadi bangsa dan negara yang kuat kembali.
Sejumlah negara bekas negara-negara komunisme memberi contoh itu dengan baik.
Mereka bisa bangkit kembali dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Karenanya kalau saja kita mau belajar dari mereka, bukanlah mustahil kalau bangsa
kita akan lebih cepat mengejar ketertinggalan untuk meraih kesejahteraan dengan
tingkat peradaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan memprioritaskan penataan sistem demokrasi secara benar, juga otomatis
akan memudahkan penataan ulang segenap alat kelengkapan demokrasi dan
kelembagaan negara lainnya termasuk TNI. Dalam amandemen UUD 1945 langkah
6
Kaum institusionalis percaya bahwa masalah politik bersumber pada sistem sebaliknya juga perbaikan
dan kemajuan ditentukan oleh sistem. Lihat dalam David E. Apter, 1977, Introduction to Political
Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988).
7
Dikutip dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno mengedepankan
konsep tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang (akan) merdeka ketika itu.
8
untuk menghentikan inefisiensi sudah dimulai, yaitu dengan menghapus
keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Maka kedepan sewajarnya juga
tidak terlalu sulit untuk meniadakan Lembaga Tinggi Negara yang keberadaannya
kurang bisa dipertanggung-jawabkan secara teori maupun empirik seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan apalagi sejumlah Komisi yang mestinya masuk
dalam fungsi eksekutif seperti Komisi Ombudsman yang sampai sekarang juga tidak
jelas apa sumbangsihnya terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.
Karena dalam kenyataan kinerja dan pelayanan birokrasi terhadap publik masih
kurang memuaskan kalau tidak dibilang buruk. Jumlah kementerian juga harus diatur
dengan Undang-undang, dengan demikian Presiden tidak dengan mudahnya
membentuk ataupun membubarkan Departemen dan atau Kementerian hanya karena
pertimbangan kursi kekuasaan semata. Kita juga perlu membedakan mana jabatan
karier dan mana jabatan politik, agar birokrasi pemerintah dan juga TNI tidak bisa
diintervensi oleh kekuatan politik yang manapun.
Adanya justifikasi publik tentang buruknya penampilan masa lalu TNI utamanya di
era Orde Baru, sama sekali bukan dikarenakan rendahnya kadar ketentaraan atau
profesionalisme segenap prajurit TNI. Penampilan TNI yang demikian itu sebenarnya
hanyalah produk dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu8. Kiranya perlu diakui
oleh bangsa ini bahwa TNI sejak kelahiran dan perkembangannya memang belum
atau tidak dirancang dalam sebuah cetak biru demokrasi. TNI lahir dan berkembang
lebih karena kebutuhan dan tuntutan sesaat yang dihadapi oleh bangsa dalam
perjalanan sejarahnya. Di sanalah pentingnya bangsa ini menata ulang sistem
kenegaraanya yang memuat pula rancang bangun TNI dalam satu kesatuan kerangka
sistem kenegaraan yang demokratis. Ke depan TNI perlu ditempatkan sebagai
kebanggaan sekaligus tumpuan harapan bagi segenap bangsa, karenanya kehadiran
TNI dimata rakyat haruslah melahirkan harapan dan sekaligus keyakinan bahwa
dirinya akan terlindungi serta terjaga keamanannya. TNI juga sebaiknya dirancang
untuk menjadi satu-satunya kekuatan nasional (benteng terakhir) yang bisa diandalkan
pada saat-saat Negara dan bangsa dalam keadaan tidak normal, terlebih bila segenap
birokrasi sipil sudah tidak berfungsi lagi.
Disamping itu penataan gelar TNI diharapkan mampu mendukung upaya
demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya gelar TNI juga perlu
8
Dalam hal ini Saurip Kadi sejalan dengan pandangan Huntington bahwa keterlibatan dan dominasi
tentara dalam politik lebih karena sistem yang buruk daripada karena faktor internal institusi tentara
(editor).
9
dihitung agar mampu menjadi penangkal (deterent) utama yang mampu
menyirnakan niat dan keinginan serta upaya sebagian warga bangsa di daerah
manapun untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Penampilan TNI yang
demikian itu otomatis akan mengubah secara mendasar model otonomi daerah yang
terlanjur dikembangkan tanpa menghitung kemampuan daerah untuk bisa mandiri
secara ekonomi sebagai daerah otonom.
Begitu pula penampilan TNI yang terbebas dari urusan politik praktis, bukanlah
sekedar urusan melikuidasi lembaga-lembaga yang memainkan peran politik dan
menarik diri dari MPR/DPR-D, tapi bagaimana mendudukan TNI secara benar dalam
sistem demokrasi agar dirinya secara struktural kelembagaan memang dijamin akan
terbebas dari urusan "day to day politic".
Inti permasalahan yang mendasar lainnya dalam kaitan penataan demokrasi dan
TNI adalah bagaimana "supremasi sipil" bisa diimplementasikan tanpa
ketergantungan secara dominan oleh kemauan dan kesadaran elit TNI semata.
Karenanya asas supremasi sipil semestinya bisa nampak dan tergambar dalam
penataan kelembagaan negara dan mekanisme pengelolaannya. Dengan demikian
maka sistem kenegaraan yang akan dikembangkan secara lengkap mengatur azas,
struktur, perilaku dan mekanisme maupun fatsun yang akan menjadi pedoman oleh
setiap lembaga negara termasuk TNI, serta segenap warga negara tanpa kecuali.
Dengan demikian harapan segera lahirnya sebuah peradaban baru bukanlah hal
yang mengada-ada, tapi sebuah proses yang terukur sebagai produk dari sistem
kenegaraan yang disusun secara obyektif, rasional serta teruji validitasnya, dan dapat
dibuktikan kebenarannya setidaknya secara empirik oleh sejumlah negara sahabat.
Bab Kedua
9
Di antara para pemikir liberal yang mengaitkan demokrasi dengan liberalisme adalah John Rawls
melalui bukunya Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993)
10
Tentang Marxisme bisa dilihat dalam buku Frans Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Enam
Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia, 2003).
12
Pememerintah sosialis- me dan komunisme di negara berkembang sangat penting.
Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
cepat. Tanpa kemajuan ekonomi seperti itu, negara-negara yang baru muncul ini
merasa bahwa tidak akan ada kemerdekaan politik dan kepemimpinanan inter-
nasional yang sejati. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang
tinggi merupakan satu-satunya cara untuk mencapai standart hidup, kesehatan, dan
pendidikan yang lebih baik”11. Dalam rangka itu, sosialisme dan komunisme
lebih mudah diterima sebagai way of live yang mengatur kehidupan suatu negara.
Kedua paham tersebut sesungguhnya dirumus- kan dari realitas kehidupan sosial
yang berkembang di jamannya. Dengan kata lain, kedua paham tersebut bukanlah
gagasan yang berada diawang-awang atau tidak membumi, karena memang sebagai
teori kedua paham tersebut terlahir melalui proses panjang di masa lalunya. Dan itu
pun melalui berbagai koreksi dan perbaikan secara terus-menerus sesuai dengan
tingkat kemajuan peradaban pada era berikutnya. Sudah barang tentu jatuhnya korban
dan biaya politik yang timbul dari proses panjang tersebut sangatlah besar.
Jatuhnya korban dalam revolusi Perancis (1789), perang saudara di Amerika,
terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan di negara-negara industri di daratan Eropa
akhirnya melahirkan kesadaran kolektif untuk membangun sistem kenegaraan yang
mampu men- jamin agar petaka kemanusiaan tersebut tidak kembali berulang.
William Ebenstein mengungkap kembali hal ini sebelum ia membahas dilema
demokrasi dalam sejarah peradaban manusia dalam bukunya Great Political Thinkers
(1951)12. Bahwa akibat ketidak adilan, penindasan dari manusia oleh manusia dimasa
lampau begitu hebatnya, maka muncullah pemikiran untuk membangun sistem
kenegaraan yang mampu menjamin dan melindungi hak hak sipil, kebebasan dan
kemerdekaan segenap individu warga negara yang kemudian berkembang menjadi
paham demokrasi. Sementara itu dipihak lain, ketidakadilan dan hilangnya
penghargaan nilai-nilai kemanusiaan oleh orang-orang kaya yang menguasai modal
dan mesin mesin industri melahir- kan pemikiran bagaimana agar negara mampu
menjamin kehidupan rakyatnya secara merata dalam sebuah masyarakat tanpa kelas
(komunisme). Kedua paham tersebut sesungguhnya tak lebih hanyalah cara
11
William Ebenstein, 1985, Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 247
12
William Ebenstein menjelaskan tentang sejarah lahirnya demokrasi, bahwa demokrasi bertumbuh
sebagai refleksi atas kekerasan dalam masa revolusi, refleksi atas ketidakadilan dalam sejarah
peradaban manusia, dalam bukunya The Great Political Thinkers, (New York, Toronto, Chicago, San
Fransisco: Holt, Rinehart and Winston, 1960), edisi ketiga, khususnya pada bab ke-20 tentang The
Dilema of Democracy, hal. 522-534
13
mendatangkan kesejahteraan manusia dalam sebuah sistem sosial yang disebut
sebagai negara.
Dalam kenyataannya kedua paham tersebut tidak ada lagi yang murni. karena
masing-masing telah berproses secara dialektis sebagaimana tesis Hegel. Sejumlah
negara penganut paham demokrasi belakangan ini justru melaksanakan fungsi "negara
memenuhi kebutuhan rakyat"-nya sebagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh
negara penganut paham komunis. Inilah yang kita kenal sebetulnya dengan paham
“Negara Kesejahteraan” (Welfare State) yang secara konseptual landasannya
dikembangkan oleh pemikir seperti John Mayard Keyness yang menginginkan adanya
intervensi negara terhadap pasar. Keyness bertentangan dengan liberalisme klasik
yang tidak menginginkan adanya campur tangan negara terhadap pasar karena ada
“tangan tak kelihatan”-nya Adam Smith. Dalam perkembangan, ternyata Smith agak
keliru karena ternyata kemiskinan dan ketidak adilan masih terjadi akibat pasar yang
tidak peduli dengan komunitas yang miskin dan tidak mampu bersaing. Maka
Keyness muncul dengan gagasannya “liberalisme baru” yang menghendaki adanya
campur tangan negara. Liberalisme baru menjadi dasar munculnya berbagai
paradigma baru kemudian diantaranya liberalisme-kesejahteraan (welfare-liberalism)
yang selanjutnya melahirkan Negara Kesejahteraan.
Negara Kesejahteraan memiliki pandangan dasar bahwa negara harus mensubsidi
kebutuhan pokok rakyat terutama dibidang-bidang yang vital dan mendasar13.
Sementara itu, pada sejumlah negara penganut paham komunisme (otoriter),
kebutuhan warga negaranya tidak dipenuhi oleh negaranya, akan tetapi sebaliknya
warga negaranya justru membiayai kebutuhan hidupnya masing-masing. Contoh
konkrit dengan mudah kita jumpai di sejumlah negara demokrasi yang menyediakan
air minum secara gratis bagi semua warga negaranya. Dan sebaliknya tidak jarang
rakyat dari negara-negara komunis dalam memenuhi kebutuhan air minumnya dengan
cara membeli dari negaranya. Sistem ekonomi kapitalis yang dahulu menjadi musuh
kaum sosialis, kini mereka begitu pedulinya dengan persoalan-persoalan sosial yang
sedang melanda dunia, sementara mereka yang dahulu memusuhinya kini di
negaranya tumbuh kapitalisme yang justru tidak dilandasi nurani. Barangkali
kapitalisme model Indonesia adalah contoh tak terbantahkan dari model ekonomi
kapitalisme yang tidak bernurani.
Dalam prakteknya negara penganut sistem otoriter ternyata tidak mampu
13
Lihat dalam Ebenstein, Ibid. hal., 808-836
14
mensejahterakan rakyatnya. Belum lagi munculnva distorsi akibat sistem ini sarat
dengan kepentingan pribadi para penguasa yang dibungkus atas nama kepentingan
umum atau negara. Sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan, maka
timbullah penolakan terhadap sistem dari rakyatnya sendiri. Yang muaranya adalah
hancurnya sejumlah negara penganut paham ini seperti yang terjadi di Uni Soviet dan
juga negara-negara Eropa Timur lainnya.
Sebaliknya dinegara-negara penganut sistem demokrasi, kesejahteraan rakyatnya
kemudian maju dengan pesatnya. Sehingga secara langsung meningkat kan pula
harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsanya. Dengan
kata lain dari "perlombaan" tersebut dimenangkan oleh sistem demokrasi yang telah
tampil sebagai satu-satunya sistem kenegaraan yang terbukti teruji berhasil
menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, setidaknya untuk masa kekinian.
Dalam menghadapi keadaan yang demikian, sejumlah negara yang berhaluan
komunisme memilih segera bermitra dengan negara-negara yang berhaluan
demokrasi. Bahkan tanpa mengubah atau mengganti ideologi bangsanya, mereka
kemudian mengadopsi sistem perekonomian model negara-negara demokrasi. Kisah
sukses RRC dalam mengadopsi sistem ekonomi liberalisme khususnya bagi wilayah
yang berada di pantai, dan juga keberhasilan Rusia dalam recovery setelah proses
disintegrasi, kini telah melahirkan equeliberium baru untuk mengejar
ketertinggalannya dalam membangun bangsanya.
Persoalan yang kita hadapi selama ini sesungguh- nya terletak pada ketidak-
ketegasan sikap dalam memilih kedua paham tersebut. Dengan berbagai kondisi yang
melingkupinya, dalam melihat kedua isme tersebut cenderung tidak hitam putih,
disamping kurang obyektif dan juga kurang jujur. Hal ini dikarenakan bangsa kita
memang cenderung melihat kedua paham tersebut hanya dari kesan umum dan juga
akibat pemahaman yang tidak mendalam. Kebiasaan kita juga cenderung mudah
menjustifikasi dan bahkan mengkutuk sekalipun tanpa mengetahui dengan jelas apa
dan bagaimana permasalahan yang sebenarnya.
Mereka yang tidak setuju dan bahkan anti terhadap liberalisme ataupun
komunisme belum tentu telah memahami ajaran masing-masing isme tersebut, apalagi
mendalaminya. Kondisi yang demikian tidak hanya berlaku bagi masyarakat
kebanyakan saja, tapi juga pada masyarakat lapis menengah atas termasuk elitnya.
Dan diantara mereka yang sudah tahu dan mengerti sekalipun terkadang karena
kepentingannya dengan mudahnya memanipulasi. Tidak jarang diantara mereka
15
kemudian melaksanakan pembodohan publik secara terang-terangan demi tujuan
tertentu.
Disisi lain cara pandang diametral juga terus berlanjut, sehingga dalam melihat paham
yang berbasis pada liberalisme adalah sebagai lawan dari paham yang berbasis
komunisme, dan juga sebaliknya dengan kesimpulan kedua-duanya jelek dan tidak
cocok untuk bangsa kita. Tidak memahami dan bahkan tidak mau tahu bahwa
sesungguhnya kedua paham tersebut sudah tidak ada yang benar-benar murni lagi.
Fenomena menarik lainnya adalah kasus India. Dengan segala kecompang-
campingannya dalam banyak aspek, India terus mencoba mempertahankan kemurnian
dalam menerapkan sistem demokrasinya. Walaupun lambat tapi pasti dalam hitungan
beberapa tahun kedepan ia akan menyusul tampil sebagai raksasa ekonomi Asia kedua
setelah Cina. Di samping itu sejumlah negara dibanyak kawasan yang menerapkan
demokrasinya dengan benar juga telah berhasil menjadi negara maju dan kuat baik
dibidang ekonominya, tehnologi ataupun sekedar superior dalam industri olah raga
sepak bola sebagai sumber terbesar devisa negara nya. Jepang dan Jerman
umpamanya, dengan mengubah sistem kenegaraan- nya pasca Perang Dunia II dan
kemudian berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar demokrasi secara kuat terbukti
dalam hitungan hanya dua dekade mampu menjadi negara yang maju kembali. Korea,
Singapura, Australia, dan negara-negara Eropah yang tergabung dalam Blok Barat
lainnya dengan menerap- kan demokrasi secara benar berhasil lebih dahulu dominan
dalam percaturan dunia. Belakangan ini Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina
dengan segala persoalan dalam negerinya terbukti lebih cepat mampu mengatasi badai
krisis yang melanda kawasan Asia tenggara di tahun 1997 yang lalu. Garapan yang
utama dan pertama mereka kerjakan ternyata juga pembenahan dan bahkan
penggantian sistem kenegaraannya terlebih dahulu.
Sementara itu bangsa dan negara kita terus ke- bingungan tanpa kejelasan arah,
dengan kondisi yang sudah mulai bertatih-tatih dalam tahun ke-8 setelah badai krisis
ekonomi, kini terus disorientasi dan bahkan peradaban dalam kerangka Indonesia
sepertinya terancam hancur.
Prinsip dasar dari paham demokrasi adalah kedaulatan ditangan rakyat. Makna
kedaulatan rakyat disini diartikan bahwa “kekuasaan yang tertinggi dalam
pengelolaan Negara” berada ditangan rakyat. Rakyat lah yang menentukan apa dan
bagaimana kehidupan Negara nya akan diatur. Sudah barang tentu dalam sistem ini
hak-hak warga negara terlebih tentang kebebasan termasuk kebebasan dalam ber-
16
serikat sangat menonjol. Karenanya maka dalam sistem demokrasi keberadaan
partai politik menjadi sangat penting, baik sebagai wadah untuk peng- kaderan,
penyaluran aspirasi rakyat, maupun untuk menjadi fasilitas bagi kadernya yang akan
tampil dalam panggung politik.
Sementara itu pada sistem otoriter (komunisme) negara lah yang menjadi subyek
dalam pengaturan kehidupan dan peradaban bangsa nya. Para kader Partai Komunis
sebagai pemegang kedaulatan melalui mekanisme Konggres Partai menyerahkan
"mandat" kekuasaan kepada negara untuk dijalankannya. Dengan kata lain dalam
sistem ini "Kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara berada ditangan Partai" yaitu
Partai Komunis. Maka menjadi wajar kalau dalam sistem ini kekuasaan negara atas
rakyat nya menjadi begitu menonjol. Begitu pula hak-hak warga negara juga diatur
dan diberikan oleh negara sesuai kepentingan negara. Dan hak yang demikian itu
ditempatkan bukanlah sebagai hak karena pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang
dibawa bersama kelahirannya sebagai manusia di dunia. Sudah barang tentu
kebebasan warga negara menjadi sangat terbatas.
Dalam sistem negara otoriter, bagi rakyat yang akan berpolitik diwajibkan untuk
masuk dalam Partai Komunis sebagai satu-satunya Partai yang berkuasa. Sementara
rakyat lainnya yang memilih diluar urusan politik berada diluar Partai, dengan
pengertian bahwa mereka tidak boleh terlibat urusan perpolitikan dalam bentuk
apapun. Kebebasan dalam berpolitik diwadahi didalam internal partai, dalam arti di
dalam Partai Komunis sendiri bisa jadi terdapat sejumlah faksi.
Secara alami demokrasi juga terbagi dalam dua model. Kedua model tersebut
pada tataran nilai dasar pada intinya sama, dan yang berbeda pada tingkat
implementasi nilai terapannya. Dua jenis demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi
yang menggunakan sistem presidensial dan domokrasi dengan sistem parlementer14.
Untuk model demokrasi sistem presidensial, kontrak sosial dilaksanakan secara
langsung oleh rakyat dengan sang calon Presiden. Konsekwensi logis dari sitem
presidensial maka model Pemilu nya haruslah Pemilu langsung. Disebut dengan
istilah Pemilu langsung karena Rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara
memilih langsung dengan mencoblos tanda gambar sang Calon Presiden. Dengan kata
lain fungsi Partai disini hanyalah sebagai fasilitas yang melaksanakan fungsi
adimintrasi semata. Bahkan dalam sistem ini Calon Presiden bisa saja berasal dari luar
14
Baca di dalam Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Democratic Ideal,
(New York: Harper Collins Publishers, 1991)
17
Partai yang ada. Adapun isi kontrak sosial antara Presiden dan Rakyatnya adalah
semua "janji dalam bentuk program" yang ditawarkan calon Presiden yang
disampaikan sewaktu kampanye Pemilu.
Setelah rakyat berhasil memilih Presiden, maka untuk memberi dukungan politik
antara lain dalam urusan "pembuatan pembuatan Undang-undang (legislasi)" dan juga
untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak sosial oleh Presiden,
maka rakyat melalui Pemilu langsung menunjuk wakilnya untuk duduk dalam
lembaga Legislatif. Dan karenanya maka dalam demokrasi sistem presidensial Pemilu
Legislatif dilaksanakan setelah Pemilu Presiden, sehingga dalam memilih wakilnya
yang akan duduk dilembaga legislatif sudah memper- timbangkan pula kebutuhan
perimbangan politik bagi sang Presiden.
Konsekuensi logis dari proses pemilihan yang demikian adalah bahwa
kewenangan untuk mencabut kepercayaan rakyat yang dimiliki Presiden dan anggota
Legislatif hanyalah oleh rakyat pemilik kedaulatan sendiri, bukan oleh lembaga lain
yang manapun. Rakyat tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk
menjalankan otoritas ke- daulatannya kepada pihak manapun baik kepada Partai
manapun ataupun Anggota Legislatif untuk atas nama rakyat men"jatuh"kan Presiden,
dan rakyat pun tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk menjalankan
otoritas keadaulatannya kepada Partai manapun untuk me-recall anggota legislatif
yang dipilihnya melalui Pemilu Langsung. Oleh karenanya, dalam sistem presidensial
posisi Presiden dan Legislatif adalah sebagai konstanta, dimana Presiden dan juga
Anggota Legislatif tak bisa dijatuhkan atau diganti oleh siapapun kecuali alasan
hukum dalam arti yang bersangkutan melakukan perbuatan kriminal, kematian atau
mengundurkan diri.
Dalam sistem presidensial anggota DPR bukan wakil Partai tetapi sepenuhnya
sebagai wakil rakyat, karena "mandat" yang dimilikinya bukan dari Partai, tetapi dari
Rakyat yang telah memilihnya. Ini adalah prinsip dasar dari perwakilan politik dalam
sistem demokrasi presidensial. Bahwa wakil rakyat yang duduk dalam sistem politik
karena dipilih oleh dan untuk kepentingan rakyat yang memilihnya sehingga seluruh
tindakan dan sikap sang wakil harus mencerminkan dan dalam rangka kepentingan
rakyat sebagai pihak yang diwakili15.
15
Drs. Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 37. Dijelaskan
oleh Arbi Sanit bahwa wakil adalah penerima mandat dari rakyat untuk merealisasikan tujuan-tujuan
dalam proses kehidupan politik yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, si wakil
haruslah bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dari rakyat. Implikasinya,
18
Dan penting untuk dipahami juga bahwa secara prinsipal rakyat tidak pernah
memberi kuasa, delegasi, atau otoritas untuk menjalankan kedaulatan (kekuasaan
tertinggi dalam mengelola negara) yang dimilikinya kepada Partai Politik manapun. Ia
hanya memberikan kewenangan kepada orang-orang tertentu yang kebetulan direkrut
oleh partai politik sebagai organisasi politik yang resmi dalam negara demokrasi.
Disanalah logika politik dalam sistem presidensial yang menempatkan posisi Presiden
tidak bisa di lengserkan oleh Lembaga Negara manapun, dan juga Anggota Legislatif
tidak bisa di recall oleh Partainya. Dan dari sistematika berpikir yang demikian itu,
maka akan melahirkan struktur demokrasi yang mampu menjamin lahirnya "check
and balances". Karena dari posisi yang demikian itu otomatis stabilitas politik akan
terus terjaga (balance), dan juga fungsi kontrol (check) yang ketat dari lembaga
Legislatif karena mereka tidak takut dicopot/di-recall oleh siapapun. Dengan
demikian tidak hanya presiden, para wakil pun juga bisa bekerja dengan lebih baik
tanpa dibawah tekanan partai atau kelompok tertentu16. Kelebihan pada model ini
akan muncul Presiden yang memang benar-benar integritas nya teruji, legitimasinya
tinggi dan kapabilitasnya tidak diragukan dengan programnya yang aspiratif sesuai
dengan tuntutan mayoritas rakyat untuk menjadi seorang Presiden. Dan mereka yang
terpilih sebagai Anggota Legislatif adalah benar-benar figur yang dikenal dan
berkualitas lebih di lingkungannya17.
Adapun kelemahan pada sistem ini, adalah mana kala ternyata kinerja Presiden
terpilih dan juga Anggota Legislatif yang dipilihnya ternyata tidak baik atau buruk
sekalipun, maka rakyat harus bersabar sampai masa jabatannya selesai. Namun rakyat
bisa meng "hukum" mereka dengan tidak lagi memilihnya pada Pemilu berikutnya.
Dan yang jelas model ini untuk negara yang majemuk sangatlah cocok karena
persaingan politik yang terjadi tidak berbasis pada politik aliran, tapi pada program
yang ditawarkan oleh calon Presiden sewaktu kampanye. Dengan kata lain politik
yang dikembangkan dalam sistem ini adalah politik program, dan politik aliran secara
18
Wolfgang Merkel, 2003, Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und Democratie,
terjemahan Indarwati Pareira, (Jakarta: Friederich-Ebert-Stiftung, 2005), hal.130
26
Malediven Burma, Korea
Pakistan Kamboja, Utara
laos,
Malaysia,
Singapura,
Vietnam
Dalam praktek, untuk kurun waktu diawal perbaikan konsep jalan tengah
memang lebih efektif. Sangat disayangkan sesuatu yang sifatnya darurat kemudian
dibakukan sebagai konsep final dengan cap "ala Indonesia". Dan setelah ternyata
gagal dengan mudah pula kita mencari kambing hitam, termasuk dengan menuduh
campurtangan asing. Diantara kita kemudian terus menyuarakan bahwa konsepnya
benar dan baik, tapi manusia yang melaksanakan mentalnya bobrok. Kebiasaan
memberi penilaian tanpa memahami dimana letak kebenaran dan kebaikannya
kembali terulang. Mereka lupa bahwa sistem politik yang baik mestinya tidak perlu
berulang kali memakan korban anak bangsa dan masa depan keturunannya sendiri.
Saat ini kita juga sudah terbiasa mendengar bahwa Suharto baik, tapi yang
mengelilingi yang "rusak". Kita lupa bahwa sistem yang baik akan menjamin sang
Presiden hanya dikelilingi oleh orang-orang yang baik pula. Karena dari sistem yang
baik akan mampu memfilter sekaligus menepis kehadiran orang-orang yang "rusak"
untuk berada disekeliling Presiden. Bisa jadi sikap dan cara berpikir yang demikian
ini terbentuk karena alam yang memanja- kannya, ataukah ini semua ini karena
warisan dari nenek moyang bangsa bekas jajahan. Tentang hal ini memang perlu
didalami dengan lebih konprenhensif lagi, tapi yang jelas sederetan sisi lemah bangsa
yang demikian itu tidaklah boleh ditempatkan sebagai produk budaya yang harus kita
terima apa adanya. Melalui perubahan "mind set", "way of thinking" dan paradigma
segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu diharapkan sisi buruk
tersebut bisa dieliminasi. Hal yang demikian tidaklah ber- lebihan, karena budaya bisa
saja ditempatkan sebagai sebagai proses yang bisa saja diubah secara sadar dan
terukur, dan bukan sekedar sebagai out put semata.
Dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa, dan negara diberi wewenang untuk
mengelola kekuasaan tersebut. Maka didalamnya haruslah terkandung seperangkat
nilai yang menjamin bahwa negara tidak akan salah kelola dalam bentuk apapun dan
situasi apapun termasuk dalam keadaan berperang sekali- pun. Maka fungsi negara
27
dalam model demokrasi akan lebih sebagai legislator, fasilitator, pemberi akses
bagi segenap warga negara dalam hal pengelolaan sumber daya dan kesempatan
untuk memperoleh penghidupan secara adil guna mensejahterakan diri masing masing
sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
Sudah barang tentu dalam konsep negara yang berdasarkan pada demokrasi tidak
ada istilah negara akan mensejahterakan apalagi memakmurkan rakyat. Karena
filosofi yang demikian hanya dikenal dalam negara otoriter. Dan sesungguhnya rakyat
mempunyai kemampuan dan ukuran sendiri sendiri dalam mensejahterakan dan
memakmurkan dirinya sendiri. Sudah barang tentu negara juga harus menjamin rasa
kemanusiaan, keadilan, dan juga keamanan di- samping harus mampu menjaga
kedaulatan rakyat dari segenap hakekat ancaman yang dihadapinya. Oleh sebab itu
struktur pemerintahan negara dan mekanisme yang diimplemtasikan haruslah me-
menuhi prinsip dasar transparansi, accountability dan juga efisiensi.
Sistem demokrasi yang benar haruslah mampu menjamin bahwa aparatur Negara
tidak akan bisa begitu saja menggunakan kekuasaannya untuk mem- perkaya diri
sendiri, dan apalagi sampai melanggar HAM serta hak-hak sipil lainnya meskipun
adagium Lord Acton masih selalu berlaku bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan
yang absolut cendrung korup secara absolut pula (power tends to corrupt, absolute
power corrupts absolutely)19. Adalah kekeliru an yang sulit dimaafkan kalau urusan
mencegah korupsi kemudian diserahkan kepada kesadaran atau moral manusia yang
mengawaki pemerintahan negara. Disanalah pentingnya menyusun sistem kenegaraan
yang mampu menangkal dan menepis setidaknya mengeliminasi korupsi. Tanpa
perubahan sistem maka korupsi yang begitu dasyatnya di era Orde Baru akan terus
dan bahkan menjadi me- wabah diera berikutnya.
Dari rancang bangun sistem politik yang ada saat ini juga tidak bisa menjamin
untuk mencegah terjadi- nya pelanggaran HAM atau tindak kekerasan oleh alat
kelengkapan negara termasuk oleh TNI. Keterlibatan anggota TNI dalam pelanggaran
HAM akan sulit untuk dielakkan mana kala TNI masih ditempatkan pada arena politik
praktis. Disanalah pentingnya konsep politik yang menempatkan TNI dberada diluar
domain sipil sehingga betul-betul tidak terlibat dan tidak bisa dilibatkan dalam urusan
urusan politik praktis yaitu segala urusan yang menjadi tanggung jawab Presiden
dalam kapasitasnya selaku Kepala Pemerintahan.
Sudah barang tentu konsep yang demikian itu tidak serta-merta dilaksanakan
19
Dikutip dalam Natan Sharansky, The Case for Democracy, (New York: Public Affairs, 2004)
28
bagai membalik tangan, tapi diatur sesuai kesiapan semua pihak yang terkait, dan
sejalan dengan kemampuan negara untuk membiayai anggaran yang diperlukan
dalam proses perubahan itu semua. Dalam sistem demokrasi yang benar, institusi
militer haruslah digolongkan dalam kelompok jabatan karier. Dengan cara ini maka
kemandiriannya dalam urusan pembinaan tidak bisa diintervensi oleh pihak eksternal
manapun termasuk oleh Presiden sendiri. Cara ini akan menjamin berlakunya norma
"merit" sistem dan bahkan "tallent scouting" dalam pembinaan karier prajurit TNI.
Sudah barang tentu sistem demokrasi juga harus bisa menjamin agar kapanpun TNI
tidak kembali menjadi sumber masalah yang dihadapi bangsanya. Disanalah maka
persoalan Supremasi Sipil dan “Civil Society" bukanlah hanya dalam bentuk
pengetahuan belaka, tapi "built in" masuk dan tergambar dengan jelas dalam struktur
kelembagaan demokrasi itu sendiri. Sehingga TNI benar-benar terbebas dari tarik
menarik kepentingan politik dari lingkungan politisi sipil yang manapun. Yang terjadi
hasil amandemen UUD 1945 malah menempatkan DPR dilibatkan dalam proses
pengangkatan Panglima TNI dengan mekanisme "fit and profer test" dan pemberian
rekomendasi. Lantas bagaimana seorang Panglima TNI akan bebas dari urusan politk
sebagai norma dasar "supremasi sipil", kalau proses rekruitmennya sendiri sudah
melibatkan unsur politik. Belum lagi kalau kemudian sistem kenegaraan yang ada
malah membenarkan TNI untuk ber-Dwi Fungsi. Selaku Pimpinan TNI, Nasution
memberi hak kepada orang perorang prajurit TNI untuk memangku jabatan diluar
lembaga militer. Lahirnya gagasan tersebut sangat diwarnai oleh kebutuhan sesaat
ketika bangsa memasuki tahap konsolidasi sebagai negara. Model ini kemudian
diperluas oleh Suharto dimana secara kelembagaan TNI mengemban fungsi sosial
politik.
Begitu pula keberadaan Polisi, dengan fungsinya yang multi yaitu dibidang
penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta anti teror kemudian
diposisikan langsung dibawah Presiden. Lantas bagaimana mungkin lembaga yang
demikian strategis dapat dipisahkan dari kepentingan politik tertentu. Dengan
mudahnya Polri digunakan sebagai alat untuk tekan-menekan atau bahkan untuk
dukung-mendukung kepentingan politik tertentu yang dibungkus sebagai tindakan
hukum baik untuk mem- percepat pembongkaran kasus, ataupun sebaliknya dengan
cara memperlambat atau bahkan menghenti- kan proses penyidikan. Bukankah
sejumlah negara yang telah berpengalaman dengan membayar pahit dan biaya yang
sangat besar sudah pada satu kesimpulan bahwa Polisi haruslah dipisah menurut
29
fungsi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan yang dikendalikan oleh
Gubernur. Sedang Polisi yang bertugas menangani fungsi penyidikan yang
bersifat lintas daerah ataupun yang punya pengaruh langsung ditingkat nasional dan
kejahatan internasional maka posisi Polisi dibawah Menteri, bisa saja dibawah
Mendagri atau Menteri yang membidangi hukum.
Dalam berdemokrasi Fungsi kontrol sangatlah penting. Fungsi kontrol yang
dimaksud bukanlah sekedar fungsi yang melekat pada kelembagaan formal saja, tapi
juga harus bisa dilaksanakan oleh publik dengan back-up Undang-Undang Untuk
Mengetahui (Right To Know). Fungsi kontrol terlebih dalam hal audit keuangan
negara sangatlah mustahil bisa efektif bila diperankan oleh lembaga auditor yang
menjadi bagian dari lembaga itu sendiri yang selama ini diperankan oleh jajaran
Inspektur Jendral (Itjen). Dan bila ditarik keatas dalam skala negara, maka auditor
negara yang diwadahi dalam BPK sekalipun akan sulit menjalankan fungsi kontrol
secara profesional dan proposional terhadap lembaga lembaga negara lainnya20.
Apalagi pengangkatan keanggotaan dan pimpinan BPK melalui proses politik. Maka
penggunaan jasa akuntan publik secara rasional justru bisa diper tanggung-jawabkan.
Dengan cara ini niat dan kesempatan untuk korupsi otomatis dijamin akan mengecil
dengan sendirinya. Tanpa jaminan dari sistem, niscaya korupsi akan terus membelit
kehidupan bangsa kita.
Disamping itu bangsa ini terlanjur dihinggapi pola hidup konsumtif yang
dikembangkan selama era Orde Baru. Yang jelas dampak ikutannya telah menggiring
banyak pihak untuk mencari jalan pintas dalam mendapatkan kekayaan. Sementara itu
jaminan sosial terlebih untuk hari tuanya bagi pegawai negeri sipil dan prajurit TNI
sangat tidak ada kepastian. Maka dalam kehidupan kesehariannya, sangatlah sulit bagi
birokrasi pemerintah yang manapun untuk tidak korupsi. Dan dalam kenyataan yang
ada, pada bagian-bagian birokrasi tertentu justru dorongan munculnya niat untuk
korupsi jauh lebih besar daripada kekuatan batin untuk menolaknya. Sehingga bagi
mereka yang mencoba terus bersih, secara tidak langsung akan terisolasi atau
setidaknya terasa menjadi "orang aneh" dalam lingkungannya.
Dan kalau mau jujur, dalam setiap kampanye politik setiap partai bermain uang
dan melakukan korupsi politik. Sehingga benar apa yang ditulis Susan Rose-
20
Seringkali juga korupsi merajalela karena BPK sendiri tidak bersih dalam memeriksa keuangan
negara sehingga jaring korupsi merentang dari lembaga negara sampai kepada individu di dalam
masyarakat, termasuk dan apalagi di lembaga peradilan sebagaimana dikupas dengan detail oleh
Wasingatu Zakiyah, et al. , Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta: ICW, 2002)
30
Ackerman dalam Corruption and Government: Causes, Consequences and
Reform, bahwa persoalan besar dalam merancang sistem pembayaran kampanye
ialah bagaimana menjauhi peraturan yang mengakibatkan tindakan tidak legal seperti
korupsi atau money politics. Walaupun ada undang-undang tentang pembiayaan
kampanye yang dikeluarkan negara, seringkali juga terjadi pembiayaan kampanye
melalui transfer dana gelap21. William J. Connolly bahkan menegaskan bahwa perlu
ada pembatasan besarnya sokongan dana untuk kampaye dalm rangka dan sebagai
suatu cara untuk mengekang pengaruh korupsi meskipun dalam praktek juga
pembatasan yang terlalu ketat justru menimbulkan penyimpangan berupa trasfer dana
gelap yang tidak terdeteksi oleh panitia pengawas Pemilu22.
Di luar ranah politik praktis, korupsi juga merajalela seperti dalam birokrasi
sehingga ada pejabat yang dengan mudah menjadi kaya. Karena kondisi kehidupan
yang demikian ini merata serta berproses puluhan tahun, maka rasa "risih" atau
perasaan tidak enak dan apalagi perasaan bersalah (dosa) karena mempunyai
kekayaan berlebih yang didapat dengan cara korupsi pada sebagian pejabat atau bekas
pejabat telah hilang atau setidaknya sangat tipis sekali. Penerimaan uang diluar gaji
yang patut diduga berasal bukan dari sumber resmi, karena menerimanya dilengkapi
dengan kwitansi dan yang menyerahkannya juga pejabat resmi maka tidak lagi
dianggap sebagai korupsi. Uang komisi dari sebuah tender, upeti dari rekanan,
kelebihan anggaran karena mark up, sisa dana taktis, atau kwitansi fiktif dan
pemasukan lainnya diluar gaji tidak lagi dirasakan sebagai uang haram, tapi justru
ditempatkan sebagai rezeki dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka mereka kemudian
rajin membersihkan diri dan harta kekayaannya dengan melaksanakan ritual
keagamaan sesuai dengan syariat tertentu yang diyakininya. Dan sebagian dari mereka
menggunakan rezekinya itu untuk berderma utamanya kelingkungan lembaga-
lembaga keagamaan dan sosial lainnya.
Kasus Korupsi di KPU adalah bukti konkrit bahwa persoalan korupsi bukan
karena persoalan gaji kecil, tapi karena sistemnya23. Figure yang terlibat dalam
korupsi di KPU bukanlah orang kebanyakan, mereka adalah orang-orang istimewa,
pilihan dari sedikit kader bangsa terbaik yang ada. Dengan kata lain untuk
21
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform,
terjemahan Toenggoel P Siagian, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hal. 192-93
22
William J.Connolly, How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and The Frist
Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996, hal. 496
23
Lihat juga penjelasan tentang akar korupsi dalam Boni Hargens, Genealogi Korupsi di Indonesia,
Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005.
31
memberantas korupsi juga tidak bisa disandarkan pada lambang-lambang
keagamaan seseorang dan juga reputasi seseorang dimata publik24. Karena secara
kodrati memang manusia dibarengi dengan nafsu kebendaan disamping nafsu-nafsu
lainnya.
Disadari atau tidak sistem yang ada saat ini justru mempunyai kekuatan yang
begitu dasyat dalam mendorong tejadinya korupsi. Bagaimana mungkin dalam sistem
demokrasi kemudian jabatan dibawah Menteri dalam hal ini jabatan Sekjen atau Sekut
dan juga Dirjen yang terkenal dengan istilah jabatan Eselon I dan bahkan jabatan
Direktur kemudian di kategorikan jabatan politik. Dimana proses rekruitmennya
diusulkan oleh Menteri/Ka Lembaga yang bersangkutan dengan sumber dari manapun
datangnya termasuk dari lingkungan Partai dan kemudian disaring oleh TPA (Tim
Penentu Akhir) yang anggota dan pimpinannya juga dari lingkungan jabatan politik.
Sangatlah tidak rasional dengan cara yang demikian itu akan lahir pemerintahan yang
bersih. Dari kondisi yang demikian itu pula, lantas darimana sistem akan menjamin
bahwa birokrasi kita netral dalam Pemilu dan akan bebas dari urusan urusan uang
komisi yang oleh KPU ditenarkan dengan istilah "dana taktis" termasuk untuk
kepentingan perpolitikan. Dengan demikian untuk membuat Birokrasi Pemerintahan
yang bersih maka syarat utamanya adalah memisahkan antara jabatan karier dan
jabatan politik, disamping perbaikan kesejahteraan, dan pengawasan serta penegakan
hukum.
Untuk itu unsur Yudikatif dalam hal ini jajaran MA semestinya diatur dari atas
sampai kebawah juga dikategorikan sebagai jabatan karier yang tidak boleh
diintervensi dan dikaitkan dalam urusan politik oleh lembaga politik yang manapun.
Dan sudah barang tentu sistem demokrasi juga dengan tegas mengatur bahwa jabatan
Presiden, anggota DPR/-D, DPD, Menteri, Pejabat yang disejajarkan dengan Menteri,
Kepala/Wakil Kepala Daerah diposisikan sebagai jabatan politik yang tidak boleh
mengintervensi wilayah jabatan karier. Konsekwensi dari jabatan politik sudah barang
tentu pemberian penghasilannya berupa honorarium selama dalam jabatannya, sedang
mereka yang dikategori jabatan karier pengaturan penghasilannya dengan gaji bulanan
selama masih berdinas aktif, dan gaji pensiun setelah memasuki masa purna bhakti.
Prinsip dasar lainnya dalam sistem demokrasi adalah Negara dilarang untuk
mengambil keuntungan dari rakyat. Disanalah maka BUMN dan juga BUMD serta
24
Tentang korupsi politik yang seringkali juga melibat tokoh agama dan bahkan korupsi di tubuh
agama sendiri bisa dibaca dalam buku Boni Hargens, Kebangkrutan Agama dan Politik, (Jakarta:
Gendhis, 2005).
32
bisnis lembaga lembaga Negara termasuk Bisnis Militer selayaknya dihapus.
Negara tidak boleh bersaing dengan rakyatnya dalam bentuk bisnis apapun.
Prinsip dasar ini menjadi begitu penting bukan sekedar untuk melindungi persaingan
yang tidak sehat antara negara dengan rakyat, tetapi juga untuk mencegah terjadinya
penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh yang mengawaki lembaga-
lembaga bisnis tersebut. Dengan dalih untuk kepentingan pembiayaan lembaga dan
atau ke- sejahteraan anggota maka fasilitas dan akses dengan mudahnya diberikan
oleh negara. Disisi lain kalau terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh
mereka akan sulit disingkapi oleh penegak hukum. Apalagi kalau yang dihadapi jauh
lebih mempunyai jaringan, kekuasaan dan "power" ataupun dari lingkungan lembaga
yang mengawasinya itu sendiri. Disanalah maka illegal logging, illegal fishing,
penyelundupan BBM, dan kerusakan lingkungan terjadi dengan begitu merajalelanya
di tanah air kita. Bisa jadi suatu saat kelihatannya mereda, namun sesungguhnya itu
semua semu. Karena memang sistem yang ada tidak menjamin untuk mampu
menghentikan terjadinya pelanggaran tersebut, sebelum sistem kenegaraan yang
mengaturnya ditertib kan lebih dahulu.
Belum lagi kalau kita mau jujur, sesungguhnya BUMN/D dan juga bisnis-bisnis
lembaga negara yang manapun adalah "sapi perahan" bagi sekelompok/ selapis
pejabat tertentu saja. Dan pendapat yang mengatakan bahwa bisnis yang demikian itu
keber- adaannya sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan pegawai/prajurit
sesungguhnya kurang didukung fakta yang kuat. Keberadaan BUMN hanyalah
mungkin untuk sejumlah industri yang tidak dan atau belum mungkin ditangani oleh
swata karena secara ekonomis memang belum profitable. Dalam hal yang demikian
negara wajib menyelenggarakan bisnis perdana seperti penerbangan, pelayaran,
ataupun bisnis lainnya untuk pulau tertentu yang tidak mungkin ditangani oleh swata.
Sedang industri militer terlebih yang berkaitan dengan persenjataan, sudah barang
tentu harus dikelola langsung oleh Negara25.
25
Sampai sekarang memang belum ada aturan yang pasti dan efektif soal penanganan bisnis tentara,
bahkan UU 34 tahun 2004 sendiri belum mampu menjawabi keresahan para petinggi tentara yang tidak
ingin melepaskan bisnisnya di satu pihak tetapi ingin mendorong reformasi TNI di pihak lain. Jadi
alternatif dari pengambilalihan bisnis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional TNI belum
disiapkan dengan jelas. Ini suatu kendala tersendiri dalam konteks reformasi tentara di Indonesia.
33
Bab Ketiga
27
Lihat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No 08/DPR RI/I/2005-2006,
diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, Tahun 2005,Tata Tertib DPR RI hal.12-13.
35
dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain
menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa UUD
-45 yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai
perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti kalau kita telah
bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih
lengkap dan lebih sempurna”. Artinya persoalan perubahan UUD-45 melalui
penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan apalagi
pengkhianatan kepada “Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus
menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para
pewaris negeri ini.
Sebaliknya amandemen dengan tujuan untuk meniadakan sama sekali berbagai
kekurangan yang terdapat didalam UUD-45 dengan cara menggantikannya dengan
yang baru sekalipun haruslah ditempatkan sebagai sesuatu yang wajar manakala
realitanya hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Sepanjang
tujuan yang ingin dicapainya adalah untuk menghadirkan jaminan kepastian masa
depan bangsa dan negara sesungguhnya masalah mengganti UUD-45 syah-syah saja.
Sejumlah Negara yang berulang kali mengganti UUD nya seperti Perancis
umpamanya, ternyata tidaklah berarti mereka membubarkan keberadaan Negara dan
bangsanya. Melalui amandemen UUD sepanjang untuk menyesuaikan dengan
tuntutan jaman dan juga perkembangan lingkungan strategis yang ada otomatis akan
mem- bikin sistem kenegaraan menjadi kuat, karena kemanfaatannya akan dirasakan
langsung oleh segenap warga bangsanya. Azas kemanfaatan atas keberadaan sebuah
sistem kenegaraan ataupun kelembagaan apapun dalam kehidupan kontemporer
menjadi sangat penting. Karena dengan kemanfaatan yang secara nyata dapat
dirasakan oleh segenap warga negara akan melahirkan kekuatan untuk memper-
tahankan sistem kenegaraan yang ada itu sendiri dengan segala pertaruhan dari
segenap warga bangsa nya secara tulus dan ikhlas. Sikap yang demikian tidak bisa
lepas dari pembawaan umum manusia yang cenderung mempertahankan
establishment dan ke- pastian masa depannya. Dengan demikian kohesif- ness bangsa
sebagai perwujudan rasa nasionalisme otomatis tumbuh dan berkembang dengan
sendiri- nya. Sebaliknya sikap membabi buta tanpa mau tahu bahwa sistem kenegaran
yang ada telah merugikan diri sendiri dengan korban dan biaya politik yang besar
sepatutnya kedepan benar-benar dihindari.
36
Dalam implementasi UUD-45 selama ini dengan pilihan sistem presidensial
sebagai kata final, yang terjadi Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR sebagai- mana
yang terjadi dalam lengsernya Bung Karno dan juga Gus Dur. Padahal dalam sistem
presidensial Lembaga Tertinggi Negara adalah Presiden yang kapasitasnya juga
sebagai Kepala Negara. Disanalah maka keberadaan MPR sebagai Lembaga Tinggi
Ter- tinggi Negara dengan wewenang untuk "Menjalankan Kedaulatan Rakyat" perlu
kita pertanyakan aliran "mandat" kedaulatan rakyat yang dipunyainya. Karena rakyat
tidak pernah memberikan "mandat" kedaulatan rakyat kepada anggota legislatif
(DPR) yang juga anggota MPR untuk tujuan tersebut.
Dalam hal yang sejenis juga tidak dalam pembuatan GBHN. Dengan membandingkan
kaidah yang berlaku di lingkungan Islam, kewenangan MPR yang demikian itu ibarat
Hadist Nabi maka "sanad" nya ada yang terputus. Dan kalau kita mau konsisten
bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat maka kewenangan yang dipunyai MPR
yang demikian itu menjadi tidak valid. Kecuali kita akan menggunakan sistem
Komunisme, dengan memposisikan keberadaan MPR sama dengan keberadaan
Konggres Partai Komunis, maka kewenangan MPR yang demikian itu menjadi syah
adanya. Karena kedaulatan dalam sistem komunisme memang ada ditangan Kader
Partai yang dijalankan melalui mekanisme Konggres Partai Lima Tahunan.
Begitu pula masalah status keanggotaan Legislatif, posisi anggota legislatif dalam
sistem presidensial mutlak haruslah sebagai "konstanta". Yang terjadi anggota DPR
versi UUD-45 dengan mudahnya bisa di"recal" sebagaimana yang terjadi selama ini,
padahal wewenang Partai untuk merecal anggota DPR mestinya hanya dikenal dalam
sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer Partai berhak me-recall anggota DPR
karena yang diberi "mandat" oleh rakyat memang Partai. Pelanggaran terhadap
norma-norma ini sesungguhnya terjadi karena kesalahan "blue print" sistem Pemilu
anggota DPR itu sendiri. Dalam sistem Presidensial Pemilu anggota DPR haruslah
dengan mencoblos tanda gambar atau photo sang calon anggota DPR. Yang terjadi
berulang kali terlebih selama era Orde Baru dan juga satu kali dalam era berikutnya
Pemilu yang kita laksanakan dengan memilih Tanda Gambar Partai, kecuali dalam
Pemilu legislatif tahun 2004 itupun masih menyertakan tanda gambar Partai. Makna
dari sistem Pemilu yang demikian itu berarti posisi anggota DPR begitu lemah,
sedang kedudukan Partai sangatlah kuat, dan ini bertentangan dengan norma dasar
sistem demokrasi presidensial itu sendiri, yang menempat- kan posisi anggota DPR
sangatlah kuat, sementara posisi Partai lemah. Begitu pula status anggota DPR yang
37
lebih sebagai wakil Partai dari pada wakil Rakyat. Padahal norma tersebut
hanyalah terdapat pada sistem parlementer.
Disamping masalah obyektifitas dan rasionalitas aliran dalam penggunaan
kedaulatan rakyat, UUD-45 juga mengandung kelenahan yang menyuburkan
inefisiensi. Keberadaan DPA umpamanya, dalam realitanya DPA hanyalah tempat
penampungan elit yang tidak mungkin lagi diwadahi dalam struktur eksekutif ataupun
legislatif. Sistem politik tidak menugaskan lembaga ini untuk menghasilkan produk
kelembagaan yang mengikat dan kemanfaatannya dirasakan oleh publik atau bahkan
oleh Presiden sekalipun. Barang kali akan lebih bermanfaat kalau fungsi DPA
kemudian diperankan oleh orang-orang ahli yang diposisikan sebagai Staf Ahli
Presiden. Presiden sebagai pejabat politik tidaklah mungkin akan mampu menguasai
semua masalah pada seluruh aspek kehidupan, keahlian dan disiplin ilmu.
Begitu pula keberadaan BPK, kiranya terlalu sulit untuk berharap BPK sebagai
lembaga Auditor akan obyektif terhadap sesama alat kelengkapan negara. Saat ini
marak berbagai penyimpangan dibuka oleh BPK, tapi kinerja yang demikian bukan
karena dijamin oleh sistem demokrasi itu sendiri. Trik-trik politik dan kepentingan
pihak tertentu dan atau tergugahnya nurani segelintir Auditor BPK maka muncullah
kasus Mulyana W Kusumah yang ketangkap basah menyuap salah satu Auditor BPK.
Terjadinya mega korupsi bukanlah baru terjadi saat ini tapi sudah puluhan tahun
sebelumnya, tapi kenyataannya selama itu pula BPK juga tidak berkontribusi secara
jelas dalam memerangi korupsi. Apalagi aturan konstitusi hanya mewajibkan BPK
menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada Presiden dan DPR, tapa dibarengi otoritas
untuk menindak lanjuti proses hukum atas temuannya. Keberadaan Militer dan juga
Birokrasi Pemerintah dalam sistem politik UUD-45 versi Orde Baru sangatlah sulit
untuk dijamin bisa netral, yang terjadi malah TNI (dahulu ABRI) diberi fungsi ganda
dimana secara kelembaga- an juga mempunyai fungsi dibidang Sosial Politik (Dwi
Fungsi ABRI). Dan kemudian bersama Keluarga Besarnya ABRI diwadahi dalam satu
jalur ("A") dalam partai berkuasa dalam hal ini Golkar. Sedang birokrasi sipilnya
diwadahi dalam satu faksi dalam Golkar dengan sebutan sebagai jalur "B" Golongan
Karya. Maka kedua intitusi ini lebih ditempatkan sebagai alat kepentingan kekuasaan,
dan ABRI secara efektif digunakan untuk melaksanakan fungsi kontrol tehadap
kehidupan sosial secara ketat. Dengan kondisi yang demikian maka sulit bagi mereka
untuk tidak terlibat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih ABRI
yang kemudian terlibat secara proaktif dalam setiap persoalan politik praktis, otomatis
38
banyak terlibat pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga negara termasuk
pelanggaran HAM itu sendiri. Karena memang perilaku sistemnya menghendaki
demikian, dan bukan semata-mata karena kesalahan, kelalaian ataupun kealphaan
aparatur negara termasuk anggota ABRI semata. Bisa jadi ada pejabat yang tidak
terlibat penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan yang outputnya adalah
korupsi. Namun sesungguhnya hal yang demikian itu adalah pengecualian, atau
karena kesempatan dan waktu belum memungkinkan saja. Begitu pula kalau ada
Prajurit TNI yang tidak melanggar hak-hak sipil dan terlebih tidak terlibat
pelanggaran HAM dengan jatuhnya korban manusia sekalipun, sesungguhnya mereka
adalah pencilan atau karena nasib yang membuat mereka tidak pernah mendapat
penugasan yang beresiko terjadinya pelanggaran HAM. Memang tidak sedikit
petinggi ABRI yang harus tersingkir sebelum waktunya karena "menolak" kehendak
yang berkuasa, tapi secara umum sistem yang berlaku terlalu sulit bagi mereka untuk
tidak berebut prestasi dengan cara mengikuti kehendak sang Penguasa. Hal yang
demikian itu sesungguhnya manusiawi demi kehidupan dan penghidupan serta
kepastian hari tua nya.
Hal yang sejenis terjadi pula dilingkungan penegak hukum, UUD 1945
menempatkan para Hakim Agung dan termasuk yang menjabat sebagai Ketua MA
sebagai jabatan politik, karena dalam rekruitmennya terdapat campur tangan
kekuasaan politik yaitu Presiden dan DPR. Konsep ini jelas melahirkan distorsi yang
sangat besar dalam upaya penegakkan hukum. Apalagi kemudian para Hakim diatur
dengan kepangkatan secara berjenjang dimana kewenangan atasan sangatlah dominan
dalam menentukan karir dan masa depan mereka. Disinilah pentingnya pemisahan
secara tegas antara jabatan politik dalam hal ini Menteri Kehakiman dengan birokrasi
pendukung yang berada di Departemen Kehakiman beserta jajarannya. Dengan
demikian tidak terjadi penggunaan jalur eksekutif untuk mempengaruhi proses
peradilan oleh pimpinan mereka dari lembaga masing-masing. Begitu pula dalam
UUD-45 keberadaan Polri belumlah diatur secara explisit. Hal ini yang membuat
kedudukan Polri berubah berulang kali. Apalagi kemudian Polri disatukan dengan
TNI dengan sebutan ABRI, yang mendudukan Polri sebagai Angkatan Bersenjata
(Armed Forces). Padahal Polri bukanlah militer, ia adalah penjaga ketertiban dan
keamanan rakyat yang senjatanya adalah hukum, karenanya ia dikategorikan dalam
kelompok Birokrasi Sipil.
Masalah mendasar lainnya adalah karena UUD-45 memang terlalu singkat.
39
Dampak yang tidak bisa dicegah maka ia menjadi multi tafsir. Disinilah maka
menjadi sulit untuk tidak terjadi penafsiran oleh pihak yang berkuasa sesuai
dengan kepentingannya. Dan apakah yang demikian kemudian bisa dikategori- kan
sebagai penyimpangan dan penyelewengan dari UUD-45. Lantas adakah lembaga
atau pihak yang berhak untuk menjustifikasi keabsyahan bahwa yang ini benar yang
itu salah. Dan tidaklah benar kalau ada Lembaga Negara yang merasa berhak untuk
menilai hal tersebut, seperti yang terjadi dimasa lalu diseputar lahirnya Orde Baru. Di
jaman Bung Karno sendiri terjadi perubahan penafsiran beberapa kali. Posisi MPR
yang semula hanya ditempatkan sebagai Forum Musyawarah atau Konggres, di era
pasca dekrit Presiden 5 Juli 1959, keberadaan MPR jutru dilembagakan secara
struktural. Dan terlebih di era Orde Baru, sebagai negara hukum dengan sistem
demokrasi oleh penguasa Orde Baru kemudian dibelokkan kedalam sistem otoriter
dengan mengesyahkan pendapat Supomo tentang paham Negara Intregralistik yang
kemudian secara resmi dijadikan sebagai paham negara versi Orde Baru. Padahal
pendapat tersebut barulah dalam tahap pemandangan umum belum pemah
didiskusikan sampai final dan juga belum mendapat persetujuan peserta rapat (PPKI)
sekalipun. Disanalah maka penampilan sebagai negara otoriter tidak bisa lagi
dihindari dengan ABRI sebagai tulang punggungnya.
Bab Keempat
28
Frans Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 110. Keseluruhan
isi buku ini sangatlah perlu dipahami dengan cermat dalam rangka mendalami apa hakikat budaya
politik kita sebagai bangsa. Magnis dalam buku ini memperlihatkan bahwa ternyata bangsa Indonesia
memiliki kebudayaan politik yang khas namun kurang begitu disadari sehingga diperlukan penyegaran
kembali tentang filsafat bangsa Indonesia di tengah perkembangan dan perubahan global yang terus
menawarkan berbagai cara pandang dan pola hidup.
29
Ibid hal 111
47
sebagai mana diatur dalam Tap MPR NO: XVII / MPR / 1998 dan Undang-
undang No:39 tahun 1999 masing masing tentang HAM. Lantas bagaimana proses
penegakan HAM khususnya terhadap pelanggaran HAM dimasa lalu bisa diselesaikan
dengan efektif dan efisien, kalau mekanisme yang mengatur justru menjadikan kasus
HAM sebagai komoditas politik.
Dengan konsep politik yang demikian itu sangatlah tidak mungkin proses
penyelesaian pelanggaran HAM tanpa tarik-menarik kepentingan politik sehingga
akan terus berlarut. Dan ketika masyarakat dunia menempatkan persoalan penegakan
HAM sebagai persyaratan pergaulan internasional khususnya untuk bidang-bidang
tertentu utamanya dalam kerjasama Militer, banyak pihak menjustifikasi bahwa pihak
asing menekan bangsa kita dengan isu HAM. Belum dicabutnya embargo
persenjataan dan tersendatnya kerjasama kemanusiaan bahkan ekonomi dan sejumlah
negara dengan persyaratan penyelesaian kasus HAM, kemudian ditempatkan sebagai
bentuk tekanan asing terhadap bangsa kita. Padahal makna terdalam dari persoalan
penyelesaian pelanggaran HAM adalah bukti komitmen bangsa ini telah berhasil
mereformasi TNI, yang diindikasikan dalam bentuk "Military Under The Law". Hal
yang demikian itu tidak lepas dari trend dunia yang menempatkan "supremasi sipil"
sebagai parameter demokrasi. Dan salah satu indikatornya adalah militer tunduk
kepada hukum sebagaimana yang diamanat Sumpah Prajurit TNI. Jadi persoalannya
sama sekali bukanlah masalah balas dendam terhadap TNI dari rakyat kita dan atau
warga negara Tim-Tim yang terlanjur menjadi korban atau kehilangan sanak
keluarganya akibat penampilan TNI dimasa lalu. Padahal untuk menyelesaikan
persoalan tersebut sesungguhnya sangatlah mudah, simple dan bukan pekerjaan yang
ruwet, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak khususnya prajurit TNI yang hanya
melaksanakan tugas negara.
Di negara kita kemelut ini menjadi bertambah kompleks ketika asing kemudian
terlibat dalam proses perubahan politik termasuk dalam proses amandemen UUD
1945 dan juga Pemilu dan proses demokrasi lainnya. Yang belum dipahami oleh
banyak pihak atas keikutsertaan pihak asing baik langsung dengan bantuannya
ataupun melalui NGO adalah sebuah fakta dan realitas pergaulan internasional
kontemporer yang tidak hanya terhadap Indonesia tapi juga terhadap semua bangsa
dan negara dibelahan benua manapun. Tidak ada satupun proses perubahan politik
dalam sebuah negara akan bebas dari persoalan pengaruh asing, tak kecuali
dilingkungan negara atau bekas negara Komunis termasuk Cina, Rusia, dan lain--
48
lainnya, dan juga kita Indonesia. Karenanya yang harus kita sikapi bukanlah
mempermasalahkan persoalan yang nyata-nyata sudah jadi realita pergaulan
internasional, tapi bagaimana dan dimana kita harus memposisikan diri. Akankah kita
mengambil sikap sebagaimana negara-negara Afrika seperti Etophia, dan Somalia
umpama- nya, ataukah kita akan mengambil sikap seperti Cina, Rusia, dan sejumlah
Negara Komunis lainnya, atau bahkan kita akan meniru sejumlah negara Islam seperti
Pakistan, Saudi Arabia dan tetangga kita Malaysia, dan lain-lainnya.
Dengan alur pikir yang demikian, niscaya kita tidak kehilangan banyak tenaga
untuk terus melawan arus global. Tanpa kejelasan orientasi sehingga ke- pentingan
nasional kita terus dirugikan. Ataukah kita kembali mencari kambing hitam, padahal
yang salah adalah diri kita sendiri yang tidak mampu memposisi- kan diri secara tepat
dalam pergaulan internasional. Bagaimana mungkin kita harus mengambil sikap
"melawan arus" terhadap tuntutan global dalam hal pemberantasan terorisme
umpamanya dengan mencampuradukan antara Islam dan Terorisme. Sehingga
mengejar terorisme dilingkungan Pondok Pesantren kemudian diidentikan
mengintervensi Islam. Bukankah Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Malaysia dan
sejumlah negara Islam lainnya justru sangat antusias dalam perang melawan
Terorisme.
Dan begitu pula terhadap tuntutan global lainnya seperti demokratisasi, "clean
governance", "transpa ransi", perdagangan bebas, "money loundry", dan lain-lainnya
tidaklah seharusnya akan ditempatkan sebagai tekanan global terhadap bangsa kita.
Bukankan akan lebih baik kalau kita bersikap sebaliknya, dengan menjadikan hal
tersebut sebagai kebutuhan sekaligus sebagai misi bersama. Untuk itu dalam
penyusunan konsep demokrasi hal-hal yang demikian menjadi mendasar untuk
diakomodasikan.
30
Robert A Dahl, 1999, Perihal Demokrasi, Menjelajah Teori dan praktek secara singkat, terjemahan
A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Obor, 2001), hal. 216
50
fungsi dan peran serta penampilan partai-partai politik termasuk mekanisme dan
fatsun politiknya haruslah dibenahi sebagaimana yang seharusnya dalam tatanan
negara demokrasi dengan pilihan sistem yang jelas mau presidensial ataukan
parlementer. Kedepan tidak boleh terjadi, dalam konstitusi untuk pengelolaan bidang
tertentu, ekonomi umpamanya diamanatkan menggunakan pendekatan kerakyatan.
Namun dalam praktek penyelenggaraan justru menggunakan model kapitalisme. Yang
terjadi kepentingan rakyat tetap terabaikan, dan kapitalisme yang berkembangpun
menjadi tanpa etik moral. Begitu pula dalam hal pilihan model demokrasi,
sesungguhnya kedua model demokrasi mempunyai keunggulan dan kelemahan
masing-masing, tapi yang pasti kalau keduanya dicampur-adukkan yang terjadi akan
muncul kerancuan yang fatal seperti yang terjadi dalam UUD-45 hasil amandemen.
Konstitusi juga harus menjamin kesetaraan perlakuan negara terhadap segenap
warga bangsa tanpa kecuali. Dengan demikian ukuran rasa ke Indonesia an tidak lagi
didasarkan pada asli atau tidak asli, pribumi atau bukan pribumi, dan bukan pula
karena latar belakang agama dan etnis yang mayoritas atau minoritas, juga bukan pula
karena faktor kedaerahan. Tapi semata-mata karena kepatuhan seseorang terhadap
hukum dalam menjalankan hak dan kwajibannya sebagai warga negara.
32
Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, jakarta: 2004
33
Agaknya sudah bukan rahasia lagi kedaulatan rakyat sudah hilang dari tangan rakyat ketika anggota
DPR dan siapa saja yang memerintah atas nama rakyat menjalankan kekuasaan tidak lagi sesuai dengan
kehendak rakyat dan tidak lagi untuk kepentingan rakyat. lebih sering sekarang para pemimpin
berkuasa untuk diri sendiri dan untuk kelompok politiknya. Tentang hal ini kita bisa pahami dengan
baik kalau mengetahui pandangan pakar demokrasi Joseph Schumpeter dalam bukunya Socialism,
Capitalism and Democracy, (New York: Harper, 1947)
52
Hal yang mendasar dari prinsip ini bahwa rakyat sebagai pemegang
kedaulatan rakyat dalam Pemilu tidak pernah memberikan, menguasakan atau
menyalurkan kedaulatannya kepada pihak lain kecuali dengan Presiden dalam bentuk
kontrak sosial yaitu segala janji tentang yang akan dijadikan program kerjanya, dan
dengan anggota DPR khusus dalam hal dukungan kelegislasian dan pengawasan
terhadap Presiden. Persoalan konsistensi terhadap prinsip dasar ini sangatlah penting,
karena justru disanalah letak obyektifitas dan rasionalitas penggunaan kedaulatan
rakyat. Janganlah atas nama rakyat kemudian begitu saja memberi wewenang diluar
"mandat" yang diberikan oleh rakyat itu sendiri. Tanpa kesadaran ini “kekuatan” yang
dipunyai dalam sistem presidensial akan “dihabisi” oleh peran DPR dan Partai
sebagaimana layaknya dalam sistem parlementer. Sementara itu DPR dan Partai akan
berpenampilan sebagaimana layaknya dalam sistem parlemeter, namun kinerja DPR
dan Partai tidaklah mungkin optimal sebagaimana mestinya dalam sistem
parlementer. Maka yang terjadi sistem yang dibangun bukanlah sistem presidensial,
tapi tidak juga sistem parlementer.
• Chek and Balance
Chek and balance dalam sistem presidensial hanya muncul manakala kedudukan
Presiden dan Anggota Legislatif sama-sama sebagai konstanta. Dengan demikian
stabilitas yang akan diciptakan bukan lagi model Orde Baru dimana besar kecilnya
dukungan DPR kepada pemerintah sebagai parameter. Karena pilihan kita adalah
sistem presidensial, maka legitimasi baik pada Presiden maupun pada anggota DPR
datangnya langsung dari rakyat. Ketidak-taatan terhadap prinsip dasar ini akan
melahirkan kegamangan dan potensi keragu-raguan baik pada diri presiden maupun
para anggota DPR akibat resiko yang mengancamnya, karena setiap saat bisa
terancam “jatuh” (untuk Presiden) atau direcal (untuk anggota DPR).
• Supremasi sipil
Supremasi sipil adalah tuntutan global yang tidak bisa dielakkan oleh negara
manapun. Kata sipil disini yang dimaksud bukanlah penduduk, warga negara, atau
rakyat diluar militer. Sipil yang dimaksudkan disini adalah keberadaban. Jadi
persoalan supremasi sipil bukanlah berarti menempatkan tentara dibawah orang sipil.
Akan tetapi sebuah sistem politik yang diatur berdasarkan cara-cara yang beradab,
yang cirinya adalah buttom up, kebebasan, kemerdekaan, perbedaan pendapat,
dan ketaatan terhadap hukum. Dalam prakteknya sistem yang tidak menjujung
53
tinggi azas supremasi sipil, maka peran militer menjadi sangat menonjol.
Dalam sistem yang tidak mendasarkan secara kuat pada azas ini akan
berakibat lahirnya pemerintahan otoriter yang dampak ikutannya berupa intervensi
hak-hak sipil oleh alat kelengkapan negara utamanya oleh militer. Dwi Fungsi ABRI
adalah salah satu model dimana supremasi sipil diabaikan. Untuk itu yang paling
mudah dalam mewujudkan azas supremasi sipil adalah menempatkan militer di luar
domain sipil sehingga militer tidak terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis.
Dengan demikian timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM dan hilangnya
kebebasan serta kemerdekaan individu dan kelompok warga negara bisa dihindari
karena jaminan dari sistem. Ciri untuk mengenali yang paling mudah, manakala
pimpinan militer tidak duduk sebagai anggota cabinet ditingkat pusat dan anggota
Muspida untuk tingkat daerah.
• Transparansi
Keterbukaan adalah prinsip dasar yang penting dalam sistem demokrasi. Dengan
keterbukaan akan terjadi kontrol sosial yang efektif sebagai "feed back" bagi sistem
untuk mengadakan dinamika internal. Keterbukaan juga akan membuat sistem
demokrasi bisa merespond aspirasi rakyat dan pengaruh lingkungan sedini mungkin.
Dalam hal rekruitmen kader umpamanya, dengan keterbukaan akan dihindari
kerusakan sejak dari awal, dengan demikian maka resistensi dan penolakan yang
datang dari dalam sistem dapat dihindari dari awal pula34. Yang jelas dengan sistem
yang terbuka akan lahir kader-kader berkualitas, dan mereka yang tidak berintegritas
akan jatuh sejak dari awal saat kader tersebut masih berada di strata bawah. Untuk
menunjang agar sistem benar-benar terbuka terlebih dalam pengelolaan sumber daya,
maka perlu didukung dengan Undang-undang Hak Untuk Mengetahui. Hak ini
sesungguhnya juga bersumber dari prinsip dasar kedaulatan ditangan rakyat.
Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan membuat suburnya KKN sebagaimana
yang terjadi selama Orde Baru.
• Kejujuran dan Keadilan
Persoalan kejujuran dalam sebuah sistem demokrasi janganlah diserahkan kepada
orang perorang, tapi haruslah dijamin oleh sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka
negara haruslah memberi akses yang sama (adil/"fairness") terhadap segenap warga
negara dalam pengelolaan sumber daya ataupun kesempatan berusaha serta
pemanfaatan fasilitas yang disiapkan oleh negara. Untuk itu peran negara haruslah
34
Lihat juga penjelasan dalam Robert A Dahl, Ibid
54
diposisikan lebih sebagai regulator dan fasilisator bukan sebagai pemberi "kueh"
pembangunan seperti yang terjadi selama ini. Disinilah maka Negara tidak boleh
mengambil keuntungan (frofit) dari rakyat dengan dalih apapun, dan untuk membiayai
roda pemerintahan hanya ditempuh dengan memungut pajak. Untuk mendukung
prinsip dasar ini maka paham bahwa negara kita adalah negara hukum menjadi sangat
penting. Karenanya ukuran yang digunakan oleh pemerintah dalam memutuskan
kebijakan hanyalah berdasarkan hukum. Maka setiap lembaga negara harus
melengkapi diri dengan mekanisme baku yang mengatur hak dan kwajiban dan tata
cara pelibatannya. Dengan demikian semua kebijakan negara dapat terukur. Dan
segala perbuatan oleh alat kelengkapan negara diluar aturan main yang telah
dibakukan haruslah diasumsikan sebagai tindakan yang mengandung unsur KKN.
Untuk mendukung prinsip dasar ini maka back up supremasi hukum menjadi sangat
penting.
Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya perilaku
birokrasi yang KKN dan muaranya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang
menganga serta sulitnya mendapat rasa keadilan. Saya tertarik dengan apa yang ditulis
Prof Dr T Jacob dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis bahwa bangsa
ini menjadi terbelakang dan miskin karena tidak ada pengaturan yang serius dari
negara dalam hal pembangunan manusia. Bahkan Jacob menuduh keterbelakangan
dna kemiskinan di Indonesia karena tidak adanya kecukupan nutrisi yang merata di
tengah anak-anak bangsa akibat ketidakadilan dalam hal pembangunan.35
Tentang bagaimana ketidakadilan diatasi, Frans Magnis Suseno mengatakan
bahwa keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang
memaksa seeorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tidak
berdaya sehingga ia menjadi korban segala macam penindasan36.
• Efisiensi
Dalam penyusunan konsep sistem politik, haruslah melandaskan pada azas
efisiensi, untuk itu lembaga-lembaga tertentu yang keberadaannya tidak bisa
dipertanggung jawabkan secara obyektif dan rasional haruslah dilikuidasi.
Penggabung berbagai fungsi dalam satu departemen juga harus dioptimal- kan,
35
Prof Dr T Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis, (Jakarta: Obor, 2004), hal 227. Prof Jacob
mengakui bahwa memang banyak faktor yang mempengaruhi keterkebelakangan dan kemiskinan di
suatu negara tetapi ia lebih melihat faktor kesehatan dan kecukupan gizi makanan sebagai faktor utama
dan ini terkait dengan kebijakan negara dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan yang
cukup masyarakat tentu tidak menyadari bagaimana hidup yang sehat.
36
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, cetakan keempat, ,(Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 62
55
sehingga rentang komando dan kendali menjadi lebih pendek dan sederhana.
Pengeluaran negara bagi pejabat yang tidak menduduki jabatan sebagai lambang
negara haruslah dihentikan. Prinsip dasar efisiensi juga menjadi penting agar
administrasi birokrasi menjadi pendek dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Dengan
cara ini maka ekonomi biaya tinggi bisa dieliminasi oleh sistem itu sendiri.
Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya "high cost" ekonomi.
• Pemisahan Jabatan Politik dan Karier
Jabatan politik adalah jabatan yang cara diperoleh melalui mekanisme
politik, seperti Presiden/Wakil Presiden, Para Menteri /Pejabat Negara setingkat
Menteri, Anggota DPR/D, Anggota DPD dan Gubernur. Sedang jabatan karier
adalah semua jabatan Birokrasi Pemerintahan dan TNI yang dirintis dari bawah
sesuai dengan bidang keahlian/ ketrampilan masing dalam rangka
melaksanakan fungsi dan tugas birokrasi pemerintahan secara profesional.
Karenanya dalam rekruitmen jabatan karier tidak boleh melibatkan unsur politik.
Sistem kenegaraan yang baik tidaklah membenarkan lembaga dan jabatan politik
terlibat dalam bentuk apapun dalam rekruitmen jabatan karier. Yang dikategorikan
jabatan karier adalah jabatan tingkat Sekjen Departemen / Sekut Lembaga Negara ke-
bawah. Keterlibatan Presiden bukanlah dalam kapasitasnya sebagai Kepala
Pemerintah, tapi sebagai Kepala Negara yang sedang menjalankan fungsi legalisasi
adiministrasi kenegaraan dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden. Prinsip dasar
ini menjadi penting agar birokrasi sipil dan militer tidak terlibat politik praktis dalam
artian netral dalam setiap dinamika politik yang terjadi, dan agar birokrasi sipil dan
militer dapat menetrapkan sistem merit dalam pembinaan jenjang pangkat dan jabatan
masing-masing.
Dengan demikian kedepan kedua lembaga ini tidak kembali dijadikan alat politik
dari penguasa, termasuk dalam rangka "fund rising" dana politik seperti yang terjadi
selama ini. Prinsip ini juga menjadi penting agar tidak terjadi kompetisi tidak sehat di
antara sesama pejabat dimasing-masing lembaga. Dan dengan prinsip ini, kepastian
jenjang karier dapat dijamin oleh sistem itu sendiri, karena tidak terancam dengan
masuknya kader-kader partai yang berasal dari luar lembaga.
Dan sebaliknya dengan pengaturan ini mereka yang berada dibirokrasi sipil maupun
militer tidaklah boleh begitu saja masuk dalam arena politik praktis yang menjadi
porsi partai politik. Dengan demikian penggunaan hak untuk dipilih dalam Pemilu
56
apapun, haruslah dibatasi dengan aturan tertentu, tidak bisa disamakan seperti
warga negara lainnya yang tidak duduk dalam birokrasi pemerintahan negara.
Dengan cara ini mereka yang duduk dalam birokrasi pemerintahan sipil dan juga
militer tidak bisa begitu saja bisa menggunakan kekuasaannya untuk ke-entingan
politik tertentu. Namun mereka juga tidak kehilangan hak politiknya, bila memang
hendak memanfaatannya dengan pengaturan melaui cuti diluar tanggungan Negara.
Hal yang pasti mereka akan memperoleh kepastian karier dan jaminan masa depan.
Dengan ditegakkannya prinsip dasar ini maka "jual beli" dalam memperoleh
jabatan dapat dihindari. Dan sebaliknya bila prinsip dasar ini diabaikan maka
netralitas birokrasi pemerintahan akan sulit dijamin, dan maraknya KKN utamanya
dalam pengelolaan keuangan negara tidak bisa dihindari. Bagaimanapun pejabat yang
didukung atau berasal dari lingkungan partai mempunyai loyalitas ganda, baik secara
berjenjang kepada atasan dilingkungan birokrasi maupun kepada partai nya masing-
masing.
Struktur Demokrasi
Salah satu faktor yang menentukan kualitas demokrasi adalah pengaturan struktur
politik kenegaraan yang akan membagi habis seluruh tugas, fungsi dan peran
pemerintahan negara. Penyusunan stuktur demokrasi tidak bisa lepas dari aliran
otoritas untuk menjalankan kedaulatan dalam pengaturan negara yang diberikan oleh
rakyat sebagai pemiliknya. Struktur demokrasi juga harus mampu menyerap prinsip-
prinsip dasar demokrasi yang tergambarkan dalam penyusunan lembaga-lembaga
demokrasi dalam sebuah kesisteman. Untuk itu struktur demokrasi kedepan cukuplah
terdiri dari Presiden dengan tiga fungsi sekaligus yaitu: Sebagai Kepala Pemerintahan,
Kepala Negara yang sekaligus merangkap sebagai Panglima Tertinggi TNI.
Sejajar dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah DPR,
DPD dan MA. Sedang TNI berada langsung dibawah Presiden selaku Kepala Negara.
BPK seyogyanya ditiadakan, sedang MK fungsinya disatukan dengan MA.
• Lembaga Presiden
Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara Presiden adalah Lembaga Tertinggi
dalam negara. Karenanya Ia juga membawahi seluruh lembaga tinggi negara dalam
artian sebagai simbol negara dan juga pengesyahan/legalitas kenegaraan. Karena
kedudukan nya itu maka dalam kondisi tertentu dimana keselamatan negara terancam,
57
selaku Kepala Negara adalah "can do no wrong". Maka ia dapat member- lakukan
dekrit untuk membubarkan salah satu atau sejumlah lembaga tinggi negara.
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, ia memimpin kabinet yang terdiri dari
para menteri dan pejabat lainnya yang dipersamakan dengan menteri. Sedang menteri
sendiri adalah Pembantu Presiden sekaligus sebagai Kepala Departemen, kecuali bagi
Menteri Negara yang tidak membawahi departemen. Sebagai pembantu Presiden
maka Menteri dalam sistem presidensial hanya bertanggung jawab kepada Presiden.
Untuk menjalankan tugasnya Presiden perlu didukung oleh sejumlah staf ahli.
Disamping itu Presiden juga dibantu oleh sedikitnya 2 (dua) Sekretaris Kepresidenan
yaitu Sekretaris Kabinet dan Militer. Kedudukan kedua sekretaris ini dibawah
kordinasi Mensekneg dan level jabatannya tidak dipersamakan setingkat Menteri.
• DPR
Kedudukan lembaga DPR sejajar dengan Presiden dalam kapasitasnya selaku
Kepala Pe- merintahan. Tugas pokok DPR adalah bersama DPD memproses
pembuatan UU dari manapun datangnya RUU termasuk dari DPR sendiri. Disamping
itu DPR juga bertugas untuk mengawasi Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan
bersama DPD meng- hadiri forum dengar pendapat.
• DPD
Kedudukan DPD adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR dan
Presiden selaku Kepala Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan, DPD bertugas
mengolah aspirasi Daerahnya masing-masing. DPD bersama-sama DPR membikin
semua UU. Keanggotaan DPD dipilih melalui Pemilu langsung untuk masing-masing
daerah. Karena ia dipilih langsung maka kedudukannya dalam sistem demokrasi
presidensial sangatlah kuat ("konstanta") tidak bisa jatuh karena alasan politik.
• MA
Kedudukan MA sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lain. Keanggotaan
MA yang terdiri dari para Hakim Agung dan juga segenap Hakim. Hakim adalah
jabatan karier dalam arti aspek pembinaan karir mereka bebas dari kaitan politik.
Ketua MA dipilih oleh para Hakim Agung dan ditetapkan oleh Presiden selaku
Kepala Negara.
• Polri
Tugas pokok Polri adalah dibidang penegakan ketentraman dan ketertiban
masyarakat dengan senjata hukum. Karenanya maka polisi haruslah mengenali semua
58
aspek kehidupan yang berada dalam wilayah tanggung jawabnya. Polisi haruslah
mengenali satu persatu penduduk yang berada diwilayah tanggung jawabnya.
Untuk itu kedudukan Polri kedaerahan berada dibawah Gubernur, sedang untuk
yang berskala Nasional dan atau internasional kedudukan Polri dibawah
Mendagri.
• Menteri
Menteri adalah anggota kabinet yang mengepalai Departemen. Namun Menteri
adalah jabatan politis yang setiap saat bisa diganti oleh Presiden dengan alasan politis
sekalipun. Dalam kabinet sistem presidensial Menteri adalah orang ahli dibidangnya,
dengan tidak memandang keanggotaan atau afiliasi kepartaiannya. Karenanya maka ia
yang mendapat kepercayaan untuk menjadi menteri mutlak diwajib- kan
menanggalkan keterkaitan politik apapun dengan pihak manapun tak terkecuali
dengan partainya. Ia bertanggung jawab hanya kepada Presiden. Jumlah menteri
haruslah dibatasi agar rentang kendali men- jadi sederhana, di samping untuk
efisiensi. Keberada- an lembaga kementerian diatur dengan Undang-undang. Khusus
Mensekneg juga mengkordinir administrasi semua lembaga tinggi negara yaitu MA,
DPR dan DPD, berserta komisi-komisi, dan lembaga-lembaga bentukan lainnya.
Kelembagaan Lainnya
• Pemilu
Hal yang mendasar dalam sistem presidensial adalah dilaksanakannya Pemilu
Langsung baik untuk Pemilu Presiden maupun Pemilu Anggota DPR dan DPD.
Sedang kepanitiaan penyelenggara Pemilu adalah pelibatan semua Partai. Pemilu
untuk memilih anggota DPR dilaksnakan setelah Pemilu Presiden. Sehingga dalam
memilih anggota DPR, rakyat mem- pertimbangkan keberadaan figure presiden
terpilih.
• Referendum
Robert A Dahl mengajukan pertanyaan ini, “Mungkinkah referendum nasional
dilaksanakan atau justru wajib dalam hal amandemen konstitusi?”37. Referendum
adalah mekanisme demokrasi untuk menanyakan langsung kepada rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tentang setuju atau tidak setuju atas masalah yang sangat
mendasar yang harus diputuskan atau yang dihadapi oleh Presiden. Hak ini bisa
37
Robert A Dahl, Ibid tentang referendum di hal. 170
59
digunakan oleh Presiden, manakala Presiden terganggu oleh kinerja DPR ataupun
karena kepentingan lain yang oleh Presiden dianggap perlu ditanyakan langsung
kepada rakyat. Banyak negara menerapkan model referendum sebagai salah satu
bentuk demokrasi langsung yang bermaksud mengetahui aspirasi rakyat yang
sesungguhnya, sebagai contoh Amerika Serikat dan Swiss meskipun Swiss hanya
untuk isu-isu nasional. Indonesia sendiri melakukan itu ketika Timor Timur mau
melepaskan diri dari NKRI tahun 1999.
• Auditor
Untuk melaksanakan fungsi auditor kedepan akan lebih efektif dan juga efisien
bila diserahkan kepada akuntan publik yang dikordinir oleh lembaga Auditor Negara
tapi kedudukannya tidak perlu sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dan di "back up"
kontrol sosial yang didukung oleh Undang-undang Hak Untuk Mengetahui.
• Otonomi Daerah38
Otonomi Daerah bagi kita bukanlah model negara bagian, tapi otonomi dalam
kerangka Negara Kesatuan yang bercirikan adanya satu kesatuan sistem hukum yang
berlaku diseluruh wilayah. Dengan otonomi daerah diharapkan seluruh fungsi pe-
merintahan dilaksanakan oleh daerah kecuali fungsi Pertahanan, Keuangan dan Politik
Luar Negeri. Dengan otonomi daerah diharapkan daerah akan mampu menghidupi diri
sendiri (swakelola) termasuk pembiayaan pemerintahannya. Dengan demikian
pemberian otonomi haruslah menghitung faktor-faktor interdependensi dan potensi
sumber pendapat- an agar mampu membiayai diri sendiri. Untuk itu hanyalah
mungkin bila otonomi diberikan pada tingkat provinsi, karena pada tingkat Kabupaten
umumnya potensi untuk mandiri tidaklah men- cukupi. Bahkan dampak munculnya
arogansi ke- kuasaan didaerah tidak akan bisa dihindari. Yang jelas munculnya
birokrasi biaya tinggi dan bahkan praktek KKN di tingkat Kabupaten otomatis
akan subur. Terhadap kekhawatiran munculnya bahaya disintergrasi manakala
diserahkan ke tingkat Provinsi sesungguhnya bisa diatasi dengan memperbaiki sistem
politik makro antara lain dengan redislokasi TNI yang mampu melahirkan daya
tangkal munculnya potensi disintegrasi.
• Kepartaian
Hak untuk berkumpul dan menyatakan pandapat salah satunya diwujudkan
38
Tentang konsep dan prospek otonomi daerah di Indonesia menarik kalau membaca juga buku Josef
Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: rajawali
press, 1991). Ada empat faktor yang menentukan prosepk otonomi daerah menurut Kaho yakni faktor
manusia, keuangan, infrastruktur, serta organisasi dan manajemen, hal. X-XI
60
melalui keberadaan Partai Politik. Partai juga untuk mewadahi mereka yang
berkepentingan atau beraktualisasi dibidang politik praktis. Karena keberadaan
Partai mengkait langsung dengan hak berserikat bagi warga negara, maka jumlah
partai tidak boleti dibatasi. Namun karena tidak mungkin negara direpoti akibat
banyak nya partai, maka persyaratan untuk mendirikan partai haruslah ketat. Begitu
pula keberadaan fraksi di DPR bukanlah kepanjangan tangan dari partai, tapi sekedar
menangani adimintrasi semata, bukanlah dalam arti pengelompokan misi kepartaian
seperti dalam model parlementer sebagaimana yang kita laksanakan selama ini.
Bangunan kepartaian kita kedepan, harus lah disesuaikan dengan peran, fungsi dan
tugas partai yang semestinya dalam sebuah negara demokrasi dengan sistem
presidensial. Partai bukanlah mesin politik pengumpul kekuatan massa untuk tujuan
politik, dan juga bukan mesin pengumpul suara dalam Pemilu belaka.
Partai yang benar harus mempunyai ideologi atau paham dengan model apa ia
kelak akan mengelola sebuah pemerintahan negara. Jadi bukan hanya berdasarkan
popularitas pribadi pemimpin. Kalau hanya mengandalkan popularitas pribadi
pemimpin, mengutip Bambang Cipto dalam bukunya Prospek dan Tantangan Partai
Politik, ada dua kemungkinan. Pertama, mempermudah partai menggalang dukungan
karena terpengaruh oleh daya pikat dan daya tarik tokoh politiknya dan kedua, jika
pemanfaatan daya tarik pribadi tokoh partai terlalu banyak diandalkan akan
mendorong tokoh bersangkutan memaksimalkan popularitasnya guna menggalang
dukungan pribadi. Akibatnya partai politik akan jatuh posisinya hanya sebagai sarana
pemuas ambisi dan kepentingan politik tokoh bersangkutan39.
Karenanya ia akan melaksanakan kaderisasi secara berjenjang dan berlanjut.
Melalui kader-kadernya ia akan mempengaruhi simpatisan dan juga khalayak umum
tentang visi dan missi partai dalam pengelolaan negara. Oleh karena itu dalam
kesehari an partai haruslah merespond setiap dinamika kehidupan kenegaraan dalam
arti mengexcercise setiap gerak kehidupan kenegaraan yang terjadi. Mereka yang
menjadi kader partai adalah mereka yang memilih karier kehidupannya dalam olah
kenegaraan. Kader partai dan juga Partai itu sendiri juga tempat menyalurkan aspirasi.
Karenanya setelah Pemilu selesai, warga negara yang berkepentingan dengan
kebijakan pemerintahan negara disalurkan lewat kader Partai atau melalui Partai.
• LSM
Disamping partai politik, hak berserikat juga bisa dilaksanakan dengan
39
Bambang Sucipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 6
61
membentuk LSM. Melalui LSM inilah kontrol sosial terhadap penyelenggaraan
negara bisa dilaksanakan dengan lebih efektif, karena dasar pendirian LSM
hanyalah membidangi masalah tertentu saja. LSM haruslah diberi fasilitas untuk
menghidupi dirinya yang diatur dengan cara tidak menambah beban masyarakat.
Disanalah maka "subsidi silang" bisa dilaksanakan dengan tidak langsung,
umpamanya bagi industri yang menyisihkan keuntungan bersih dalam batas tertentu
untuk mendukung LSM tertentu maka diberi intensif berupa pemotongan pajak
tertentu. Dengan cara cara yang demikian maka LSM sebagai mata telinga rakyat
dalam menjalan kontrol sosial akan menjadi efektif. Dan karena negara sendiri tidak
bermaksud untuk korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan, maka LSM tidak akan
diposisikan sebagai "lawan" yang harus dihadapi, tapi justru mitra yang harus
dihargai. Karena dari sana pula akan muncul banyak kreatifitas dan penemuan yang
bermanfaat bagi kehidupan warga negara dan kemanusiaan pada umumnya.
Bab kelima
43
Tulisan yang sama dengan judul Militansi Bangsa, Nasionalisme dan TNI, telah dimuat dalam
majalah Seskoad Vira Jati No 109 tahun 2006
66
negara Agama, karena paham yang diguna kan dalam mengatur negara penganut
paham ini memanglah top-down. Sedang semangat nasionalis me biasanya
digunakan dilingkungan negara-negara penganut paham demokrasi. Adapun
perbedaan yang mencolok dalam upaya menjaga stabilitas ke- amanan, persatuan dan
kesatuan bangsa pada negara-negara Fasis ditempuh dengan cara-cara refresi dan
kontrol secara ketat terhadap kehidupan sosial rakyatnya. Untuk melahirkan militansi
rakyat nya, negara menempuh cara-cara indoktrinasi, propaganda dan juga
mobilisasi. Sedang pada negara-negara penganut paham demokrasi (terlebih setelah
melewati tahap konsolidasi sebagai negara) persoalan stabilitas keamanan, persatuan
dan kesatuan bangsa justru diposisikan sebagai out put atau produk dari sistem sipil
(kenegaraan) itu sendiri. Sedang kadar rasa nasionalisme sangat ditentukan oleh
kemanfaatan dari keberadaan negara itu sendiri.
• Semangat Nasionalisme dan Unsur-Unsur yang Membentuknya
Pada hakekatnya tujuan yang ingin diwujudkan oleh bangsa manapun tak
terkecuali bangsa Indonesia dalam membentuk Negara adalah sama yaitu terwujudnya
rasa aman, sejahtera dan lahirnya rasa kebanggaan / harga diri dalam bernegara.
Ketiga unsur tersebut pada hakekatnya juga kebutuh an pokok segenap warga bangsa
manapun. Dari ketiga unsur kebutuhan pokok warga bangsa itulah yang kemudian
melahirkan sebuah rasa yang secara umum melingkupi sebuah bangsa untuk terus
mengikat diri dan mempertahankannya dalam satu wadah (negara) dengan segala
kecintaan dan konsekwensi dalam menjaga eksistensinya. Rasa yang demikian itu
disebut rasa kebangsaan atau nasionalisme. Oleh karena itu rasa kebangsaan dari
sebuah bangsa tidaklah mungkin bersifat permanen / statis, ia akan turun naik sejalan
dengan dinamika yang dihadapi bangsa itu sendiri. Pada penggal waktu dimana
sebuah bangsa sedang berjuang untuk membentuk negara, sangatlah berbeda dengan
kurun waktu setelah ia berhasil membentuk negara yang merdeka. Untuk
terbentuknya sebuah negara, suatu bangsa tanpa kecuali merelakan harta benda dan
bahkan jiwa raganya tanpa sebuah imbalan apapun, kecuali kemerdekaan itu sendiri.
Namun setelah bangsa tersebut telah merdeka dan kehidupan mulai normal maka
keadaan berbalik, negara kemudian dituntut untuk mampu mewujudkan ketiga unsur
kebutuhan pokok tersebut bagi segenap warga bangsa nya tanpa kecuali. Dengan kata
lain yang menjadi perekat dan bahkan penentu kadar serta kwalitas sebuah
nasionalisme pada era mengisi kemerdekaan adalah asas manfaat dari keberadaan
67
negara itu sendiri dalam mewujudkan ketiga kebutuhan dasar tersebut secara
terintegrasi dan berimbang. Dan manakala terjadi gap diantara ketiga unsur
tersebut niscaya akan memudarlah rasa nasionalisme bangsa tersebut. Disinilah
pentingnya kita sebagai bangsa terlebih para elitnya untuk mengubah secara progresif
strategi dalam mengelola rasa nasionalisme dari waktu ke waktu, bahkan dari kasus
ke kasus yang sedang dihadapi bangsa kita.
Dengan mengambil perbandingan yang dilaksanakan oleh sejumlah pemimpin
negara sahabat, kiranya kita akan bisa menarik kesimpulan betapa kecermat an dan
keberanian seorang pemimpin bangsa mampu mengubah peradaban bangsanya dan
mampu membangkitkan kembali rasa nasionalisme bangsa nya. Margaret Tacher
umpamanya, ia telah mengesampingkan cemoohan banyak pihak tentang harga diri
bangsa karena ia mengundang Sonny dan Honda yang notabene berasal dari “timur”.
Namun ia tahu dan meyakini bahwa yang dibutuhkan rakyatnya saat itu adalah aspek
kesejahteraan. Bill Clinton dalam dua kali pemerintahannya sama sekali tidak
mengalami inflasi, hal ini karena penilaian adanya gap dimana rasa aman jauh diatas
ke- sejahteraan. Maka dengan program memotong bugdet sektor Pertahanan, ia telah
berhasil mem- bangun kembali ekonomi Amerika.
Dalam prakteknya tidak sedikit pemimpin bangsa yang menggunakan slogan
nasionalisme hanyalah sebagai tameng atas kelemahannya atau bahkan sebagai upaya
menyembunyikan kesalahan44. Cara ini antara lain dengan menempatkan bangsa lain
sebagai penyebab kerusakan yang tengah terjadi di negara nya. Model yang demikian
ini lazim terjadi pada negara-negara yang otoriter / penganut paham fasisme dan
negara-negara yang peradaban nya belum tinggi sehingga dalam pergaulan
internasional tidak berpegang teguh pada fatsun dan kaidah-kaidah internasional.
Nasionalisme juga haruslah ditafsirkan secara common sence dan tidak boleh
ditafsirkan secara sempit sesuai kepentingan penguasa. Dalam kasus Jerman dibawah
Hitler, nasionalisme dengan sengaja ditafsirkan secara sempit sehingga melahirkan
nasionalisme yang chauvinistik, sejarah mencatat bahwa hal tersebut tidak hanya
membuahkan mala petaka bagi bangsanya saja, tapi juga mala petaka kemanusiaan
44
Kalau membaca tulisan George Junus Aditjondro Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS yang siap
Meledak, dalam buku Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter (Eds.) La Empresa Guerra, Bisnis Perang
dan Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 235-373 kita
menjadi sadar bahwa militansi TNI sangatlah merosot di masa lalu yang terbukti melalui berbagai
tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai tempat di negeri ini. George memang tidak
membahas khusus tentang militansi dan nasionalisme tetapi data yang dipaparkannya memberikan
petunjuk tentang krisis militansi dan semangat nasionalisme di kalangan sejumlah tentara di masa lalu.
68
bagi bangsa bangsa lainnya.
• Dinamika dan Aspek Nasionalisme
Bila ditilik dari sejarahnya, nasionalisme bagi bangsa kita banyak menginduk
pada ajaran Ernest Renan (Abad 19) yang mengedepankan adanya persamaan nasib
dan sejarah. Pandangan ini banyak dikutip oleh founding father kita yang mulai
memperkenalkan paham kebangsaan diawal abad 20 an. Paham ini kemudian tumbuh
dan berkembang begitu pesatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II. Dengan
mengangkat persoalan hilang nya kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa karena
penjajahan, membuat prestasi pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu berhasil
dengan gemilang dalam menghadirkan rasa aman dan juga kesejahteraan (oleh orang
tua terdahulu era tersebut dikenal dengan istilah “Jaman Normal”) tereliminasi begitu
saja. Rakyat dibius dengan kerinduan hadir nya Pemerintahan yang diurus oleh
bangsa nya sendiri (merdeka). Seolah penjajahan telah mem- belenggu segenap aspek
kehidupan bangsa. Maka persoalan merdeka menjadi pertaruhan dengan resiko
kematian sekalipun. Sehingga menjadi wajar saat bangsa ini harus berhadapan dengan
Belanda yang hendak mengambil kembali kedaulatan yang sudah ditangan bangsa
sendiri, dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat dengan semangat nasionalisme
yang heroik. Dan begitu seterusnya dalam lintasan sejarah berikutnya, bangsa ini
kemudian menempuh cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat
yang terjadi antara pusat dan daerah. Maka yang terjadi sesama bangsa haruslah saling
adu kekuatan dan persenjata an. Sudah barang tentu jatuhnya korban dari sesama
anak bangsa sendiri dengan jumlah yang tidak kecil tidak bisa dihindari. Namun
haruslah diakui bahwa rasa nasionalisme dalam episode ini malah bertambah tinggi,
karena kehausan akan kebanggaan atas kemerdekaan dari rakyat banyak belum
terpuaskan. Terlebih setelah diketahui dari sebagian pergolakan bersenjata tersebut
ternyata disokong oleh negara tertentu.
Sayang sekali pada periode berikutnya aspek ekonomi kurang mendapat perhatian
secara serius oleh Pemerintahan Bung Karno. Ketambahan lagi disaat itu sedang
terjadi perlombaan kekuatan per- senjataan dalam kerangka Perang Dingin. Dalam
episode ini persoalan kebanggaan sebagai bangsa dan negara jauh lebih menonjol
daripada persoalan ekonomi dan juga keamanan. Maka menjadi mudah dipahami
ketika pak Harto mengumandangkan slogan “Politik NO, Ekonomi Yes” serta merta
dalam waktu singkat mendapat dukungan publik yang begitu besar. Sangatlah
69
disesalkan nasionalis- me yang dikembangkan oleh Suharto lebih diwarnai
uniformisasi yang realitanya sangat dekat dengan Jawanisasi / Mataramisasi.
Orde Baru tidak mem- bangun nasionalisme dalam kemajemukan, tapi sebaliknya
semua aspek kehidup an kenegaraan dicoba untuk diseragamkan dengan model /
selera Jawa. Rasa aman bukan ditempatkan sebagai produk dari sistem sipil yang
bekerja secara benar, tapi lebih karena represi dan kontrol yang kuat dari pemerintah
dalam hal ini dilaksanakan oleh TNI (ABRI) terhadap bangsanya sendiri. Sistem
pemerintahan negara memang menggunakan struktur politik model demokrasi,
namun dalam prakteknya demokrasi hanyalah sebagai cap dari sebuah pemerintahan
yang otoriter. Begitu pula dalam aspek ekonomi, faktor KKN telah membuat negara
telah kehabisan dan kerusakan Sumber Daya Alam yang begitu dasyat akibat
pengelolaan yang diproyeksikan hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.
Sementara itu hutang nasional yang begitu besar tidak dikelola dengan benar, bahkan
sebagian telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja.
Dari keberhasilan yang semu inilah akhirnya pak Harto lengser, akibat rontoknya
sendi-sendi perekonomian karena gelombang krismon yang menimpa negara-negara
yang belum mendasarkan secara kuat pada asas akuntabilitas dalam mengelola
keuangan negara. Maka menjadi wajar sepeninggal Suharto dari gelanggang politik
nasional segalanya menjadi porak poranda. Amat disayangkan dalam kondisi yang
demikian itu para elit bangsa tidak mencoba untuk mencari antitesa untuk dapat
menghentikan dan sekaligus menggantikan sistem yang lama dengan segala budaya
yang melingkupunya. Yang lebih menyedihkan lagi akhir-akhir ini muncul pembelaan
dari kelompok bermasalah bahwa sesungguhnya dimasa lalu sistemnya baik, tapi
orangnya yang rusak. Dengan kalimat yang sejenis akhir-akhir ini juga sering kita
dengar sejumlah tokoh menegaskan bahwa tidak semua yang lama itu jelek, yang baik
kita pakai dan yang buruk kita buang. Mereka lupa bahwa Founding Father diawal
kemerdekaan dan juga Suharto saat memulai kekuasaannya tidak pernah
mempersoalkan tentang hal-hal yang baik dimasa sebelumnya akan diteruskan atau
tidak. Sebaliknya keduanya menampilkan antithesa yang dibenarkan secara teori
(bukan sekedar hipothesa) untuk sebuah perubahan. Di awal kemerdekaan slogan
“Merdeka atau mati” dan diawal kekuasaan pak Harto dengan “Politik No - Eonomi
Yes” kedua nya sangat ampuh sebagai obat untuk menyembuh kan penyakit yang
telah lama dideritanya. Perancis dibawah Louis XVI pasca Revolusi, Jepang dan
Jerman pasca Perang Dunia II juga mengambil sikap yang sama seperti yang
70
ditampilkan oleh Bung Karno dkk dan juga pak Harto sehingga disorientasi
bangsanya dengan cepat bisa diakhiri.
Barangkali kita juga patut untuk mencontoh sikap sejumlah pemimpin negara-
negara komunis, yang dengan kesatria nya mengakui secara formal didepan publik
dunia bahwa komunisme sebagai sistem kenegaraan gagal (setelah 60 tahun diuji
coba). Dan kemudian mereka meminta maaf kepada rakyat nya atas perlakuan negara
kepada rakyatnya dimasa lalu. Yang jelas belakangan terbukti mereka tidak lagi
menghabiskan tenaganya untuk mem- persoalkan masa lalu. Mereka tak peduli
dengan unsur-unsur yang dianggap baik dari sebuah sistem yang terbukti gagal.
Keadaan jauh berbeda di lingkungan internal negara kita, setelah 32 tahun Orde Baru
sebagai sistem ternyata gagal. Terasa sulit bagi publik untuk menemukan pemimpin
yang berani menilai bahwa Orde Baru sebagai sistem pemerintahan ternyata gagal
dan kemudian minta maaf atas perlakuan negara kepada rakyat nya dimasa lalu,
sebagaimana yang dicontohkan oleh para tokoh komunisme dunia tersebut diatas.
Yang terjadi nasionalisme kemudian lebih hanya dijadikan slogan oleh banyak
kalangan. Bahkan pihak-pihak yang bermasalah dan yang akan membuat masalah
kini sedang mencoba menempatkan rasa nasioanlisme sebagai pijakan perjuangan
dengan menempatkan sejumlah negara asing sebagai musuh bangsa. Diantara mereka
lupa bahwa dirinya dimasa lalu adalah bagian dari rezim yang berkuasa yang begitu
mesra dengan negara-negara tersebut. Berkat kemesraannya itu dahulu rezimnya
mendapatkan bantuan dan pinjaman dalam jumlah yang begitu besar dari negara-
negara yang kini dihujatnya. Dan yang jelas sebagian dari pinjaman tersebut tidak
dikelola dengan baik, bahkan sebagian lagi dikemplang ramai-ramai oleh kroni dan
anggota rezimnya. Mereka pula yang dahulu menyetujui persyaratan yang ditetapkan
dalam perjanjian antara negara kita dengan negara atau lembaga-lembaga donor yang
kini nyata-nyata dirasakan sangat memberatkan bangsa kita. Yang pasti generasi
penerusnya yang harus menanggung residu masa lalu dan juga warisan hutang yang
begitu besarnya.
Sangat disayangkan Pemerintahan terdahulu pasca Suharto lengser tidak
mengawali dengan maping (pemetaan) dengan sungguh-sungguh tentang kondisi
nyata atas persoalan yang dihadapi bangsa dan negara nya. Maka menjadi wajar kalau
rezim terus berganti, tapi disorientasi bangsa ini terus tidak kunjung berakhir. Dan
belakangan publik juga tahu bahwa anggota rezim pengganti juga terlibat dalam
permasalahan serius utamanya dalam pengelolaan keuangan negara (korupsi). Mereka
71
kemudian bermain pada lahan politik dengan mengabaikan etika sekalipun
seolah semuanya syah-syah saja. Dan inilah sesungguhnya “perang berlarut”
yang sedang dikembangkan dan terus dipelihara pihak-pihak tertentu, untuk kembali
memperoleh kekuasaan atau setidaknya membeli waktu agar segala persoalan yang
melingkupi dirinya (sebagian termasuk pendatang baru) tidak lagi mengancamnya.
Disanalah maka kita dapat ditengarai menurunnya harapan dan sekaligus kepercayaan
publik terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan rasa aman, kesejahteraan
dan juga kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Kondisi yang demikian ini
jelas mem- bebani Pemerintahan yang sekarang siapapun pemimpinnya karena
tidaklah mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena
kadarnya begitu rendahnya) untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat
ancaman yang saat ini nyata-nyata kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita.
• Model Nasionalisme yang perlu dikembangkan
Sebagaimana uraian terdahulu bahwa pasang surutnya rasa nasionalisme bagi
bangsa manapun, sangatlah ditentukan oleh azas manfaat atas keberadaan negara nya,
maka untuk era sekarang dan terlebih kedepan para elit sebaiknya tidak terus
menyalahkan sikap sebagian warga bangsa kita yang tidak lagi peduli terhadap
keutuhan negara Republik Indonesia. Apalagi kalau malah memusuhi mereka yang
menginginkan memisahkan diri dari Republik tercinta ini. Hal yang demikian itu
sama sekali tidak berarti bahwa kita lantas membiarkan begitu saja mereka yang
menginginkan untuk memisahkan diri dengan membentuk negara sendiri. Terlebih
kalau upaya yang ditempuhnya nyata-nyata melanggar hukum dan keluar dari koridor
demokrasi. Karena negara mempunyai kwajiban untuk mencegah dan atau
mengeliminasi terhadap keinginan yang demikian itu. Namun dalam kaitan
membangun rasa nasionalisme, munculnya aspirasi yang demikian itu haruslah
ditempatkan sebagai penomena ketidak berhasilan bahkan kegagalan negara dalam
menjamin terwujudnya ketiga unsur pokok pembentuk rasa nasionalisme itu sendiri.
Oleh karenanya kedepan negara termasuk alat ke- lengkapannya tak terkecuali juga
TNI tidak perlu lagi menuntut rakyatnya untuk menumbuhkan rasa patriotisme,
kerelaan berkorban, dan juga pantang menyerah dan apalagi dipersiapkan untuk ikut
dalam perjuangan phisik perjuangan bersenjata dalam menjaga stabilitas keamanan,
rasa persatuan dan kesatuan bangsanya sebagaimana model yang dikembangkan oleh
negara-negara otoriter seperti yang diterapkan selama Orde Baru.
72
Haruslah disadari bersama bahwa beda yang mendasar pendekatan negara otoriter
dan negara demokrasi dalam urusan menjaga kedaulatannya melalui perjuangan
bersenjata terletak pada pilihan model reqruitmen kekuatan tentara nya. Untuk negara
otoriter kekuatan tentaranya diperoleh dengan mobilisasi, sedang dalam negara
demokrasi dilaksanakan dengan wajib militer. Disanalahlah maka pada negara Fasis
rakyat harus militan, oleh karenanya negara terus membangkitkan rasa patriotisme,
kerelaan berkorban, dan semangat pantang menyerah, dengan indroktinasi dan
propaganda sekalipun, agar sewaktu-waktu terjadi mobilisasi persoalan kejiwaan
kekuatan tentara nya telah terselesaikan. Sedang di negara demokrasi, kekuatan
tentara sebanyak mungkin diperoleh dengan wajib militer, sehingga dikalangan
masyarakat luas telah tersedia cadangan militer dalam jumlah besar, disamping itu
terbentuk pula agen-agen tentara yang dapat mempengaruhi masyarakat sekelilingnya
tentang pentingnya perjuangan phisik bersenjata yang dilaksanakan oleh tentara nya.
Dari sana pulalah maka militansi yang perlu kita kembangkan bangsa kita kedepan
adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran segenap warga bangsa ini ikut
berpartisipasi dalam mengelola negara sesuai bidang pekerjaan dan pilihan hidupnya
masing-masing. Oleh karena itu rasa patriotisme kedepan barangkali bisa diwujudkan
dalam bentuk membayar pajak tepat pada waktunya. Sedang pantang menyerah
dalam alam demokrasi bukan lagi sikap untuk terus berjuang melawan musuh bangsa
sampai titik darah penghabisan dengan mengangkat senjata, tapi barangkali semangat
untuk terus hidup dalam kesederhanaan tanpa harus ikut-ikutan untuk korupsi.
Dengan mengasumsikan suatu saat bangsa ini berperang dengan negara lain,
sesungguhnya per- soalan patriotisme, kerelaan berkorban dan bahkan semangat
patang menyerah yang diimplementasikan dalam perjuangan phisik otomatis akan
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya kalau memang segenap warga bangsa ini
menempatkan keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara adalah pilihan yang
terbaiknya.
Nasionalisme yang kita kembangkan kedepan juga tidak boleh bersifat eksklusif,
tapi haruslah nasionalisme yang inklusif, karena bangsa ini telah bersepakat menjadi
bangsa dan negara yang terbuka. Karenanya dalam mengembangkan nasionalisme
tidaklah perlu para elit bangsa ini mengajak rakyat- nya untuk memusuhi bangsa lain.
Dengan semangat nasionalisme, bangsa kita mestinya justru bisa menunjukkan
kepada dunia sebagai bangsa kita adalah bangsa yang lebih beradab, yang memegang
teguh kehormatan, keadilan dan persamaan hak sebagai prinsip dasar dalam
73
pergaulan internasional. Bangsa ini juga harus mampu memberi cotoh kepada
masyarakat dunia pentingnya fatsun pergaulan internasional. Nasionalisme
kedepan juga harus menjunjung tinggi hak-hak politik segenap warga negara tanpa
kecuali. Kedepan kita tidaklah perlu membuat bangsa lain bingung seperti yang
terjadi dalam kasus pemberian suaka (visa) oleh Pemerintah Australia bagi saudara-
saudara kita dari Irian Jaya baru-baru ini. Barangkali dalam sejarah peradaban modern
baru pertama kali terjadi kasus adanya kemarahan bangsa yang dicoba dibangkitkan
oleh elitnya untuk memusuhi negara yang justru memberi perlindungan kepada
sejumlah warga bangsa nya yang minta suaka kepada tetangganya. Bukankah secara
universal dimanapun, justru negara yang didatangilah yang biasanya keberatan dan
bisa jadi marah-marah. Bukankah mereka minta suaka karena tidak lagi merasa stay
at home di negara nya sendiri. Ibarat anak yang terpaksa minggat dan numpang tidur
ditetangga, seharusnyalah kita minta maaf kepada tetangga karena direpoti oleh ulah
anak kita, dan sama sekali bukan malah marah-marah kepada tetangga yang telah
menampungnya. Negara mana- pun tidaklah berhak mencegah bagi warga negara
untuk meminta suaka ke negara lain.
Disinilah pentingnya perubahan mind set dalam pengelolaan negara, untuk
menempatkan negara sebagai pihak yang melindungi hak-hak politik segenap warga
bangsanya, dan tidak lagi menempat- kan negara sebagai pihak yang menguasai
rakyat nya sebagaimana yang terjadi pada negara-negara fasis / otoriter.
Perubahan mind set yang paling mendasar dan terpenting adalah tentang sistem
kenegaraan kita kedepan. Sesuai dengan kesepakatan kita sebagai bangsa yang
memilih paham demokrasi sebagai model sistem kenegaraan, maka taat asas terhadap
kaidah kaidah demokrasi menjadi sangat mendasar. Janganlah kita pilih model
demokrasi tapi visi kita masih belum berubah dari paham lama yang memang otoriter.
Dan janganlah kita memilih model demokrasi dengan sistem pemerintahan
presidesial, tapi kaidah yang dipedomani adalah model demokrasi parlementer. Tanpa
taat asas niscaya akan terjadi proses saling mereduksi antar kekuatan yang dipunyai
dari model demokrasi itu sendiri. Bila kita sepakat memilih sistem pemerintahan
presidensial dengan Pemilu langsung, maka sumber legitimasi bukanlah pada Partai
dan DPR ataupun DPD, tapi langsung dari rakyat. Dan letak kekuatan kekuasaan ada
pada keadilan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dalam kenyataannya pilihan
model tersebut selama ini tidak dilaksanakan secara utuh lengkap dengan jiwanya.
Kaidah-kaidah sistem pemerintahan parlementer justru sangat melingkupi dan
74
mewarnai sistem pemerintahan kita yang jelas-jelas presidensial. Sehingga
menjadi wajar kalau didalam- nya terjadi proses negasi yang sangat memakan
energi dan biaya besar serta melelahkan. Disisi lain pencampuran kedua model sistem
pemerintahan yang demikian itu secara teori sama sekali tidak punya jaminan
keberhasilan.
Dengan perubahan mind set dalam pengelolaan negara, maka kedepan hal-hal yang
menjadi porsi politisi sipil, biarkanlah dikerjakan oleh kaum sipil dengan sungguh-
sungguh, dan janganlah kemudian melibatkan lagi TNI sebagaimana yang terjadi
dimasa lalu sejak awal kemerdekaan kita. Biarkanlah TNI lebih berkonsentrasi pada
core bisnisnya yaitu bidang Pertahanan. Hal yang demikian bukanlah berarti negara
tidak boleh menggunakan TNI untuk menangani urusan diluar aspek Pertahanan.
Namun pelibatan TNI yang demikian itu haruslah sebagai cara terakhir setelah cara
damai tidak memungkin kan lagi, dan kalau hal itu dibiarkan akan mengancam
keberadaan negara. Dan itupun harus melalui rule of engagement yang menjamin TNI
terbebas dari sanksi pelanggaran HAM. Memang diawal kemerdekaan para pendahulu
mengedepan kan penggunaan TNI dalam mengatasi perbedaan pendapat antara Pusat
dan Daerah. Kiranya hal tersebut bisa dimaklumi karena disaat itu bangsa kita hidup
dalam alam kedaruratan. Dan cara-cara yang demikian itu cukuplah terjadi dimasa
lalu saja. TNI kedepan tidak boleh dijadikan korban dari sistem politik dan apalagi
korban permainan politik oleh golongan manapun termasuk oleh pemerintahan yang
berkuasa. Dalam kaitan ini maka TNI perlu mengantar bangsa ini yang diwakili oleh
kaum politisi sipil untuk lebih banyak berafeksi dalam berkompromi dalam
menyelesaikan beda pendapat dalam mengelola negara. Persoalan perbedaan pendapat
dalam pengelolaan negara haruslah di- selesaikan dengan cara-cara yang beradab
(sipil) dengan menjauhkan diri dari penggunaan kekerasaan dan apalagi melibatkan
TNI sejak dini. Tanpa perubahan visi yang demikian itu, kelak persoalan pengibaran
bendera selain sang Merah Putih akan kembali diselesaikan oleh TNI dengan cara-
cara militer sehingga jatuhnya korban sesama anak bangsa tidak bisa dihindari.
Namun demikian kedepan bangsa ini haruslah mempunyai TNI yang kuat,
karena ia diperlukan untuk turun tangan pada saat cara carasipil (baca: damai) sudah
tidak mungkin. Dengan TNI yang kuat dalam artian phisik karena besarnya kekuatan,
persenjataan dan juga mobilitas yang tinggi untuk dikerahkan dimanapun dalam
rangka menjaga kedaulatan bangsa dan negara akan membuat segenap warga bangsa
ini merasa terlindungi berkat keberadaan TNI. Dengan kata lain militer betul-betul
75
ditempatkan sebagai kekuatan yang ampuh yang bisa memaksa pihak manapun
untuk mengikuti kehendak negara setelah cara-cara damai tidak bisa lagi
dimungkinkan. Kelemahan selama ini negara sendiri mengingkari paham tentang
perang, kemudian TNI sudah diterjunkan dari awal terhadap persoalan yang dihadapi
bangsa yang semestinya menjadi porsi sipil. Hal yang demikian itu membuat diantara
anak bangsa diposisikan sebagai musuh oleh tentara nya sendiri (TNI). Dari sanalah
akumulasi delegitimasi yang dihadapi TNI pasca lengsernya pak Harto. Dan dari sana
pulalah mesti- nya legitimasi TNI pelan-pelan dibangun untuk ditegakkan kembali.
Kedepan sebagai bangsa yang hidup dalam alam demokrasi biarkanlah rakyat kita
mencintai militernya melalui kebanggaan dan sekaligus keyakinan terhadap TNI.
Dan ketika TNI tampil dalam parade ataupun ketika turun tangan secara phisik
dilapangan menjalankan tugas sucinya rakyat yang melihatnya begitu bangga, kagum
dan juga lega. TNI juga harus menjadi faktor utama dalam percaturan pergaulan
internasional, terlebih terhadap negara-negara tetangga dekat. Dengan TNI yang kuat
maka bargaining position dalam mem- perjuangkan kepentingan nasional dalam
forum internasional menjadi tinggi. Sudah barang tententu bila kadar nasionalisme
yang melingkupi bangsa kita begitu tinggi dan keberadaan TNI juga kuat serta
legitimated, maka otomatis akan melahirkan deterent (daya tangkal) yang tinggi pula.
Maka niat negara manapun untuk menganggu apalagi meng- gagalkan kepentingan
nasional kita akan pupus dan kemudian pudar dengan sendiri nya.
Agar perubahan visi yang demikian itu menjadi lebih efektif, maka bangsa ini
perlu memperbaiki sejarah nya. Sejarah yang selama ini disusun lebih untuk
mendukung kepentingan penguasa, kedepan perlu disusun ulang dengan lengkap dari
banyak aspek yang nyata-nyata telah terjadi dimasa lalu. Tanpa harus mengecilkan
arti perjuangan bersenjata, keberhasilan bangsa kita mengusir penjajah dan kemudian
keluar sebagai pemenang dalam perang kemerdekaan, sesungguhnya juga tidak lepas
dari peran tekanan internasional terhadap Belanda. Kita juga harus jujur bahwa
mundurnya Belanda dari tanah air, sama sekali bukanlah karena kekalahan tentara
Belanda di medan perang dalam menghadapi tentara Republik yang saat itu lebih
sebagai milisi. Sejarah sekitar perang kemerdekaan (dan termasuk mundurnya
Belanda dari Irian Barat) haruslah dikaitkan pula dengan program rehabilitasi
negara-negara Eropah pasca Perang Dunia II oleh Amerika yang terkenal dengan
istilah Program Marshall Plan. Amerika menilai bahwa efektivitas bantuan yang
diberikan kepada Belanda sangat terganggu karena pembiayaan perang di Indonesia.
76
Dalam konteks inilah menjadi wajar kalau kemudian Amerika berperan dalam
sejumlah perundingan antara Indonesia dan Belanda. Begitu pula dalam
memahami sikap pak Habibi yang memilih untuk referendum di Tim Tim. Dengan
tidak bermaksud membela pak Habibi dan juga pak Wiranto sebagai Panglima ABRI
yang saat itu setuju untuk me- laksanakan referendum di Tim Tim, persoalan tekanan
internasional sangatlah berpengaruh terhadap pengambilan keputusan kenegaraan saat
itu. Memang betul biaya yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia dalam operasi
militer di Tim Tim bukanlah dana yang berasal dari bantuan dan atau pinjaman luar
negeri. Namun demikian dana yang digunakan TNI dalam operasi militer di Tim Tim
dalam jumlah yang tidak kecil dan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun jelas-jelas
mempengaruhi efektifitas penggunaan pinjaman yang diberikan kepada Indonesia.
Hal inilah yang membuat tekanan internasional untuk mengakhiri persoalan Tim Tim
menjadi begitu besar terlebih setelah pak Harto lengser dari panggung politik
nasional.
Sejarah kedepan juga haruslah disusun secara ter- buka agar generasi mendatang
dalam mempelajari sejarah mampu menyimpul point of strategi alur cerita yang
disusunnya. Diasingkannya Bung Karno dan juga tokoh pergerakan kemerdekaan
lainnya oleh Pemerintahan Kolonial Belanda tidak hanya membakar semangat
kebangsaan dikalangan luas bangsa sendiri, tapi juga membuat perhatian dunia
terhadap Indonesia. Perjuangan rakyat Tim Tim untuk merdeka lepas dari Indonesia,
tidak bisa lepas dari peran seorang tokoh Xanana Gusmao dalam mempengaruhi
dunia internasional. Keberhasilan rakyat Tim Tim lepas dari Indonesia jelas-jelas
bukan karena TNI kalah perang, tapi karena peran internasional yang memaksa
Indonesia mau melaksanakan referendum. Begitu pula keberhasilan sejumlah tokoh
Aceh dalam perjuangan untuk memperoleh perlakuan istimewa, juga sama sekali
bukanlah karena kekalahan TNI atas kekuatan bersenjata GAM. Loby internasional
seorang Hasan Tiro lah yang membuat sejumlah negara ikut serta dalam
menyelesaikan Aceh. Sejumlah pelajaran besar yang demikian itu kiranya patut
diambil, agar kedepan sebagai bangsa kita tidak mengulangi kekeliruan yang sama.
Kita juga harus mulai membuka mata, bahwa penjajahan Belanda tidaklah sejelek
yang kita pelajari dalam sejarah selama ini. Kita juga harus jujur bahwa tidak sedikit
negara yang kemerdekaannya didapat dengan merebut telah leading menjadi negara
yang maju. Fakta juga menunjukan bahwa negara tetangga kita Malaysia yang
budayanya relatif mirip bangsa kita dan baru merdeka pada tahun 1957 kini jauh lebih
77
maju dari kita. Dengan demikian kedepan kita tidak terus menghabiskan waktu
dan tenaga untuk merumuskan alasan-alasan klasik untuk bela diri dan lepas dari
tanggung jawab atas kegagalan dalam pengelolaan negara.
Perubahan visi tentang negara dan bangsa tidaklah begitu saja akan menjamin
bahwa bangsa kita akan mampu menata peradabannya dengan lebih baik sesuai
dengan tuntutan jaman, manakala tidak diikuti dengan perubahan sistem
kenegaraannya. Disinilah urgensinya negara segera mempunyai konstitusi yang
sungguh-sungguh teruji obektifitras, rasionalitas dan validitas, serta kebenarannya
minimal secara afeksi oleh bangsa lain. Sehingga kedepan rakyat yang jumlahnya
lebih dari 200 juta tidak lagi dijadikan obyek uji coba sebuah hipothesa yang disusun
oleh siapapun termasuk oleh sekelompok orang yang kebetulan duduk sebagai
anggota MPR. Konstitusi haruslah dibikin oleh sekelompok orang yang benar-benar
ahli dibidang nya, dan itupun harus disosialisasikan kemasyarakat luas terlebih
dahulu secara masif, sebelum disyahkan oleh lembaga negara yang berwenang.
• Penyikapan dalam mengembangkan militansi dan nasionalisme
Militansi bangsa sebagai value sudah barang tentu bersifat universal, namun
demikian dalam mengimplementasikannya mutlak diperlukan adanya penyesuaian
terhadap sistem ketata-negaraan dan juga tuntutan perkembangan jaman yang
melingkupi sebuah bangsa. Militansi bangsa dalam kaitan struktural kenegaraan
hanyalah dikembangkan oleh negara-negara penganut paham Fasis dan Agama.
Sedang bagi bangsa yang menganut paham demokrasi, nilai-nilai yang mengkait
patriotisme, kerelaan berkorban dan pantang menyerah otomatis akan lahir berkat
manfaat atas keberadaan negara dalam menghadirkan rasa aman, kesejahteraan dan
kebanggaan sebagai bangsa dan negara.
Bagi bangsa Indonesia persoalan nasionalisme menjadi persoalan yang pelik, hal
ini terjadi akibat proses pertumbuhan dan perkembangannya penuh dinamika dan
pasang surut yang sangat fluxtuatif. Hal ini tidak bisa lepas dari kurangnya
pengintegrasi an dari ketiga unsur pembentuk kadar nasionalisme itu sendiri yaitu
rasa aman, kesejahteraan, dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia.
Maka hal yang terpenting bagi bangsa Indonesia kedepan adalah bagaimana
membangun Nasionalis me Baru yang secara profer dan hanya diabdikan untuk
kepentingan segenap bangsa dan negara. Nasionalisme kita kedepan bukanlah
nasionalisme yang eksklusif maupun sempit, tapi nasionalisme yang inklusif yang
78
memegang teguh fatsun serta persamaan hak, keadilan dan harga diri sebagai
prinsip dasar pergaulan internasional. Nasionalisme kita juga bukan nasionalisme
yang borju tapi nasionalisme untuk segenap warga bangsa. baik dalam hubungan
individu, kelompok, maupun dalam kaitan bangsa secara keseluruhan. Untuk itu
diperlukan perubahan vision dari segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya
terlebih dahulu tentang negara, bangsa dan sistem ketata negaraan. Melalui
perubahan vision yang demikian itu, diharapkan akan terjadi perubahan mind set
dalam berdemokrasi termasuk dalam pengelolaan / peng- gunaan militer nya (TNI).
Dan untuk mendukung proses menuju Nasionalisme Baru tersebut bangsa ini perlu
merumuskan kembali sejarahnya secara jujur dan lengkap dari semua aspek yang
nyata telah melingkupi perjalanan bangsa kita dimasa lalu. Sedang untuk menjamin
keberhasilan dalam mewujudkannya, bangsa ini perlu segera merumus- kan sistem
kenegaraan yang benar-benar teruji secara teori dan dijamin kebenarannya / terbukti
secara afeksi, sehingga 200 juta lebih warga bangsa ini tidak terus dijadikan obyek uji
coba sebuah hipothesa sistem kenegaraan yang dirumuskan bukan oleh orang ahli
dibidangnya yang kebetulan duduk sebagai anggota MPR. Sedang hal yang perlu
diwaspadai dalam proses membangun Nasionalisme Baru kedepan ini adalah
banyaknya pihak-pihak yang menggunakan slogan nasionalisme yang sebenarnya
hanyalah demi kepentingan pribadi dan juga golongannya sendiri saja.
• Membangun Persatuan dan Kesatuan Indonesia
Kalau kita teliti kejiwaan kita sebagai negara-bangsa dan apalagi bila ditarik
jauh kebelakang ternyata memang banyak yang perlu dibenahi. Faktor sejarah sebagai
salah satu media pewarisan nilai kebangsaan umpamanya, dalam kenyataannya lebih
dominan menampilkan opini daripada fakta. Akibatnya gambaran masa lalu yang
diuraikan sarat dengan kepentingan tertentu tak terkecuali dari pemerintah yang
berkuasa saat sejarah tersebut disusunnya. Dampak ikutan yang tidak bisa dihindari
adalah munculnya sejumlah “kebesaran” dan “kebanggaan” masa lalu yang
sesungguhnya semu. Keterbatasan dukungan data dari situs yang ditinggalkan,
kemudian dikaburkan oleh fantasi dan mistik. Akibatnya “gap” antar yang seharusnya
dan kenyataan dalam kehidupan yang nyata menjadi sangat menganga. Boleh saja
kita dikenal sebagai bangsa yang agamais, namun perilaku kita jauh dari tuntunan
agama yang manapun. Kita dikenal sebagai bangsa yang punya budaya “adhi luhung”,
dalam realitanya diantara kita saling bunuh, saling cakar, saling berebut kekuasaan
79
dan harta dengan cara-cara yang tidak bermoral sekalipun.
Sejarah untuk episode yang baru beberapa abad silam tentang keberadaan
sebuah negara yang kaya raya dengan peradaban tinggi, namun situs peninggalannya
bukanlah bangunan dari logam mulia, tapi tak lebih sekedar patung-patung dari batu.
Cerita adanya sebuah negara maritim yang kuat dengan wilayahnya melintasi
sejumlah laut dan bahkan lautan, dalam kenyataannya situs yang ditemukan bukan
fosil kapal besar dengan jumlah dayung puluhan, tapi perahu yang dayungnya hanya
beberapa buah saja. Penyusun sejarah juga belum “merdeka” dari pengaruh egoisme
SARA dan kedaerahan, sehingga belum membedakan antara “kebanggaan” dan
“aib”. Untuk sebuah kekuasaan, dalam lingkungan kerajaan silih berganti merebut
kekuasaan dengan saling membunuh. Namun hal yang demikian tidaklah diposisikan
sebagai fakta bahwa moral kekuasaan saat itu sangatlah rendah. Pemaksaan sebuah
nilai yang sesungguhnya hanya berskala lokal menjadi nilai yang berskala nasional
juga terjadi dalam banyak kasus. “Kebenaran” yang dipaksakan tersebut kemudian
secara sadar diwariskan justru melalui proses edukuasi.
Dalam sejarah Majapahit umpamanya, sang penyusun sejarah lantas dominan
beropini seolah sistem kenegaraan begitu idealnya, sehingga patut untuk ditiru dalam
pengelolaan Negara kita kedepan. Sampai-sampai dikalangan TNI pun ada yang
secara terbuka menempatkan salah satu tokoh legendaris di jaman Majapahit dalam
hal ini Gajah Mada sebagai idolanya. Hal ini terjadi karena penyusun sejarah sama
sekali tidak menyampaikan pesan kalau sang tokoh yang satu ini sangat melukai
perasaan saudara-saudara kita utamanya yang berada di Aceh, Jambi dan juga Sunda.
Memang tidak ada yang salah, dan itu syah-syah saja kalau ada yang menokohkan
Gajah Mada, tapi betulkah paham kenegaraan sang tokoh tersebut cocok untuk era
kekinian dan apalagi kedepan. Sudah barang tentu sebagai bangsa penganut paham
demokrasi, tidaklah tepat kalau kedepan kejiwaan prajurit TNI masih diilhami model
tentara Majapahit dengan tokohnya Gajah Mada. Karena Persatuan dan kesatuan
yang akan kita bangun kedepan tidak mungkin dengan cara dipaksakan oleh negara
apalagi dengan menggunakan kekuatan militer. Persatuan dan kesatuan haruslah
diposisikan sebagai sebuah rasa yang lahir dan tumbuh dari tiap individu warga
bangsa, kelompok, golongan dan juga daerah yang secara sadar berkehendak terus
mengikat diri dalam wadah yang satu yang bernama Indonesia.
Begitu pula model trik-intrik dalam pengelolaan negara model kepemimpinan
kerajaan kerajaan dimasa lalu, tidak seharusnya dijadikan nilai yang terus diwariskan.
80
Pergantian kepemimpinan nasional yang berdarah-darah kedepan tidaklah patut
untuk terulang kembali. Kebutuhan kita kedepan bukan lagi persoalan
mempertahankan seseorang dan atau partai tertentu untuk terus berkuasa.Tapi
bagaimana negara-bangsa ini bisa terus mampu menjaga eksistensi dirinya. Dan
kemudian berhasil membangun peradabannya dengan lebih baik, tak peduli siapa
pemimpinnya dan berasal dari daerah serta partai yang manapun. Lagipula untuk
kedepan upaya mempertahankan seseorang dalam jabatan tertentu apalagi dilevel
Presiden haruslah ditempuh melalui pembuktian kwalitas penampilan diri sebagai
pemimpin, bukan dengan cara-cara yang tidak sehat.
Penggunaan trik-intrik dalam mengelola negara niscaya berisi kebohongan,
fitnah dan adu domba. Disanalah maka dalam penyusunan sejarah integritas
seseorang tokoh haruslah seimbang antara sisi baik dan buruknya dalam artian fakta.
Sementara itu sejarah yang ada secara sengaja telah menghilangkan sisi negatif
kepemimpinan di masa lalu, lebih dari itu bahkan memitoskan. Maka menjadi wajar
kalau sebagian elit bangsa masih menempatkan model “manajemen konflik” sebagai
formula ampuh bila ingin bertahan sebagai pemimpin di bumi Nusantara ini. Sejarah
masa lalu menempatkan kepemimpinan yang ada umumnya luhur, agung, dan hebat.
Tapi realita yang ada negaranya kemudian punah, terpecah belah bukan karena
serangan negara lain, tapi justru disebabkan persoalan internalnya. Dalam era
kemerdekaan pencitraan yang sejenis terus berlanjut, Bung Karno nya baik tapi yang
mengelilingi yang rusak. Suharto nya baik, tapi orang-orang sekitarnya yang bobrok.
Rasanya terlalu sulit bagi bangsa ini untuk mengakui adanya sesuatu yang salah
dalam dirinya. Hal yang terpenting bagi kita kedepan sebelum sistem kenegaraan kita
kuat, yang dibutuhkan bukan persoalan pribadi sang Presiden baik atau buruk, tapi
prestasi apa yang diwujudkan dalam memperkokoh sistem kenegaraan kita ini. Tanpa
memperkokoh sistem kenegaraan terlebih dahulu, membuat ketergantungan kepada
pribadi sang pemimpin terlalu dominant. Hal yang demikian untuk jangka panjang
perjalanan bangsa sangat tidak menguntungkan. Karena lengsernya seseorang
berakibat fatal bagi negara dan juga bagi warga bangsa, seperti yang terjadi pasca
lengsernya Bung Karno dan juga pak Harto. Disanalah pentingnya fungsi aturan main
dalam pengelolaan negara yang diwujudkan dalam sebuah konstitusi, agar ukuran
benar-salah, baik-buruk bukan lagi opini, tapi terukur secara baku oleh aturan main
yang telah disepakati bersama. Melalui penataan konstitusi yang terus menerus
diharapkan nilai-nilai yang baik bisa diteruskan, sedang kesalahan dan kelemahan
81
yang pernah terjadi dimasa lalu tidak diulangi dimasa depan.
Sangat disayangkan untuk saat ini model manajemen konfik dalam
pengelolaan negara sepertinya belum diposisikan sebagai aib bersama. Kasus yang
masih sangat relevan adalah rangkaian kekerasan yang ujungnya Jakarta kebakar
menjelang jatuhnya pak Harto. Banyak elit bangsa dan bahkan negara sendiri memilih
mengambangkan persoalan, kasus yang mestinya menjadi domain hukum malah
secara konstitusional ditarik dalam wilayah politik. Penentuan terjadi atau tidaknya
pelanggaran Ham malah melibatkan DPR, padahal di negara manapun didunia ini
dipastikan menempatkan persoalan pelanggaran Ham pada wilayah hukum. Negara
yang mestinya menjelaskan kepada rakyat tentang apa yang sebenarnya yang terjadi.
Malah secara sengaja membikin agar semuanya kabur, emang-remang dan tidak jelas.
Karena akal sehat akan mempertanyakan: “Apakah tujuan akhir rangkaian kasus
tersebut hanya untuk membakar Jakarta” atau “untuk menjatuhkan pak Harto”
ataukah “untuk tujuan yang lain”. Bukankah diantara anak bangsa yang kritis akan
memunculkan pertanyaan: “Kalau saja tujuan akhirnya untuk menjatuhkan pak Harto,
adakah saat itu kekuatan yang superior dari pak Harto dengan ABRI dan Golkar
nya”. Begitu pula kalau kerja besar yang terkodinir tersebut hanyalah pekerjaan iseng
sekedar membakar Jakarta. Disanalah maka trik dan intrik dalam pengelolaan negara
harus disudahi untuk selamanya. Tanpa kemauan kuat semua pihak untuk
mengakhirinya, maka konflik horisontal disejumlah daerah akan terus terjadi dengan
mulusnya. Atas nama agama diatara kita kemudian saling membunuh, saling
membakar dan saling menghancurkan tak ubahnya seperti bangsa tak beradab.
Penyelesaian konflik kemudian lebih diserahkan kepada para pemuka agama dan
tokoh masyarakat, dan negara lalai untuk menjelaskan secara transparan masalah
yang sebenarnya, sehingga kedepan rakyat tidak mau diadu domba oleh siapapun.
Dampak yang terjadi adalah pergeseran legitimasi publik dari negera kepada tokoh
agama dan juga tokoh masyarakat. Dari sanalah maka persoalan stabilitas tidak lagi
menjadi terukur, dan kemudian negara pun kehilangan wibawa nya.
Manajemen konflik bukan tidak perlu untuk kita pelajari terlebih bagi TNI dan
lebih khusus untuk lingkungan intelejen, tapi penerapannya haruslah dibatasi pada
kondisi tertentu saja yaitu saat eksistensi negara dan bangsa nyata-nyata terancam
adanya. Karena yang menanggung akibat secara langsung bukanlah mereka yang
berkuasa, tapi rakyat kebanyakan dan bahkan peradaban bangsa juga menjadi sangat
terancam untuk punah.
82
Begitu pula tentang pembentukan karakter bangsa, melalui dongeng orang
tua kepada anak sebelum tidur yang umumnya menonjolkan kepahlawanan dari
lingkungan kerajaan. Dampak yang tidak mungkin dihindari adalah proses
penanaman budaya feodal kepada generasi penerus. Memang tidak berarti seluruh
aspek budaya feodal akan menjadi kendala dalam pembangunan kejiwaan bangsa,
namun demikian persoalan pemasungan kreatifitas dan akal sehat, hilangnya
keberanian untuk senantiasa “tablig” jangan sampai subur karena sisi negatif dari
budaya feodal. Lebih parah lagi ketika tayangan di TV kemudian lebih menonjolkan
aspek mistik dan juga “jalan pintas”, maka kembali lagi anak bangsa ini dicekoki oleh
nilai-nilai yang tidak rasional, dan kurangnya berpikir konseptual jangka panjang.
Disisi lain paham tentang agama yang dibungkus dalam tayangan sinetron cenderung
lebih kepada mistik dan kurang menonjolkan pentingnya berpikir dan bekerja keras.
Dalam perjalanannya sebagai negara-bangsa terlebih di era Orde Baru,
persoalan rasa ke Indonesia an bukan dibangun dari bawah dengan menumbuhkan
kecintaan segenap warga bangsa tanpa kecuali kepada negara nya, yang terjadi
sebaliknya negara malah memaksakannya. Dan kemudian anak bangsa yang tidak
menjaga persatuan dan kesatuan menurut versi pemerintah, ditindas bahkan disertai
dengan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah tidak sedikit. Elit dan rezim yang
berkuasa tidak menghitung besarnya dampak ikutan dari sisi kejiwaan pihak korban
dan juga keluarga. Kejiwaan yang tidak sehat ini pada jangka panjang utamanya pada
kondisi tertentu serta merta berubah menjadi budaya amuk. Gambaran yang seperti
itulah yang terjadi menjelang lengsernya pak Harto, disamping pula adanya kekuatan
yang merekayasa untuk terjadinya kerusuhan sosial itu sendiri.
Sebagaimana pendahulunya Orde Baru kemudian jatuh dalam bentuk krisis
nasional yang lebih parah daripada krisis yang terjadi diujung kekuasaan Orde Lama.
Namun elit bangsa ini kembali tidak mencoba mengenali anatomi penyebab terjadinya
krisis yang berulang tersebut. Elitnya terlebih lingkungan Partai kemudian terjebak
pada political game dalam berebut kekuasaan. Bahkan yang lebih parah lagi, sekedar
membangun kesadaran publik untuk menilai bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal
saja belum sempat ditempuhnya. Padahal di banyak negara tak terkecuali pada
negara-negara eks komunisme pekerjaan pertama yang dilaksanakan kaum elitnya
adalah memberi penilaian bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal. Dan karenanya
perlu menggantinya dengan sistem kenegaraan yang baru. Dengan sistem
kenegaraannya yang baru mereka kemudian bangkit dengan cepatnya, dan ada pula
83
yang segera kembali menjadi negara kuat.
Kondisi tata kehidupan yang begitu mengenaskan, dan persoalan kejiwaan
yang serba tidak menguntungkan seperti gambaran tersebut diatas juga tidak lepas
dari keterlambatan pak Harto dalam merespond perubahan lingkungan strategis yang
berkembang saat itu. Dampak yang tidak bisa dihindari “bargaining position”kita
menjadi sangat lemah dalam membela dan memperjuangkan kepentingan nasional di
forum internasional. Bahkan sekedar penyikapan secara baik agar kepentingan
nasional tidak dirugikanpun menjadi sangat sulit. Bagaimanapun saat semuanya
lemah, otomatis membuat posisi tawar bangsa ini juga begitu rendah. Dan karena
sedang dilanda disorientasi (kebingungan) maka menjadi lumrah kalau keputusan
yang diambilpun banyak kelirunya dari pada benarnya. Disanalah maka Tim-Tim
lepas, Sipadan dan Ligitan dipaksa dikeluarkan dari peta Indonesia, penyelesaian
Aceh dengan melibatkan pihak internasional, tekanan internasional dalam persoalan
Ham, dan banyak hal lainnya termasuk dalam persoalan ekonomi. Dan kemudian saat
negara-negara Islam sendiri begitu pedulinya untuk memerangi terorisme, kita ramai-
ramai mencoba menarik persoalan terorisme kedalam wilayah agama (Islam). Saat
bangsa-bangsa lain termasuk negara-negara Islam menempatkan persoalan sejumlah
kasus Timur Tengah seperti yang terjadi di Palestina, Libanon dan penyerbuan
Amerika ke Irak sebagai kasus kenegaraan dan atau teritorial, bangsa kita sangat
bersemangat untuk menempatkan persoalan tersebut kedalam wilayah agama (Islam).
Lupa atau sengaja lupa kalau bangsa Palestina dan juga Libanon beragama campuran
dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Sedang soal penyerbuan ke Irak,
sejumlah negara Islam malah membantu Amerika. Semua ini bukti bahwa dalam
kasus Timur Tengah sama sekali bukan persoalan agama. Demo menentang sikap
Amerika yang menyerbu Irak memang terjadi dibanyak negara, tapi yang bergeser
menjadi persoalan agama barangkali hanya di Indonesia.
Disanalah pentingnya kita mengubah penampilan diri diforum internasional agar
penyikapan kita minimal tidak lagi merugikan kepentingan nasional, syukur bisa
menguntungkannya. Dan perubahan yang demikian itu baru mungkin kalau didahului
oleh perubahan visi elit bangsa atas keberadaan diri sebagai negara-bangsa dalam tata
kehidupan internasional.
• Pentingnya perubahan mind set dalam membangun Persatuan dan
Kesatuan.
84
Saat bangsa ini sarat dengan masalah, dan realitanya diantara anak bangsa
dalam jumlah yang tidak kecil mengalami “luka dan cidera” yang begitu
menyakitkan, bahkan penderitaan hidup yang begitu berat terus saja menghimpitnya,
sakit hati dan dendam kesumat belum juga terbalaskan, menjadi aneh kalau
ditanggapi oleh sebagian elit negeri ini dengan ajakan untuk “melupakan masa lalu
dan menatap masa depan”. Segenap warga bangsa kemudian diingatkan untuk
kembali bersatu padu membangun persatuan dan kesatuan. Ajakan yang demikian
tidak salah, cuma barangkali perlu dilengkapi dengan sedikit rasa kemanusiaan dan
sentuhan nurani.
Dalam artian sebagai “goal” ajakan yang demikian sangatlah cocok, dan
bahkan harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama. Karena hanya dengan
melupakan masa lalu bangsa ini segera bangkit mengejar ketertinggalannya,
setidaknya agar tidak kehabisan tenaga dan waktu akibat terus mempermasalahkan
masa lalu. Barangkali semua pihak sepakat bahwa tanpa persatuan dan kesatuan,
sekuat apapun kita akan menjadi tercerai berai. Tapi ajakan, sikap dan pendirian untuk
“melupakan masa lalu” dalam artian sebagai “cara” ataupun “proses” jelas sangat
tidak arif dan agak jauh dari sifat “amanah” maupun “fathonah”. Dan hampir pasti
ajakan tersebut keluar dari elit yang tidak mau tahu atau mungkin tidak jujur dalam
melihat realita kehidupan masa lalu kita. Mereka yang telah lama begitu menderita
akibat kekejaman Negara diera Orde Baru, mereka yang telah kehilangan anggota
keluarga, mereka yang cacat phisik dan psychis akibat perlakuan negara dimasa lalu,
mereka yang selama ini telah kehilangan kesempatan untuk hidup layak, mereka yang
selama ini hidup tanpa harga diri, harkat dan martabat sebagai layaknya, lantas tanpa
proses apapun begitu saja diminta melupakan masa lalu. Ajakan tersebut menjadi
sangat menyakitkan, karena yang mengajak adalah pelaku atau bagian dari pelaku
yang telah menyebabkan semua itu terjadi dan menimpa diri mereka. Disisi lain
Pelaku Utama yang lainnya pun masih ada didepan mata dengan segala kejayaan,
kemewahan dan kenikmatan duniawi serta status sosial yang tinggi berkat kekayaan
yang berlimpah hasil KKN. Mereka yang telah membuat Lingkungan hidup yang
begitu rusak, hutan yang menjadi gundul, kekayaan alam yang habis terkuras, hutang
negara yang begitu besar kini hidup dengan segala hak-hak istimewanya. Sementara
mereka yang termaginalkan karena pembangunan, rakyat disekitar tambang dan hutan
kini hidupnya menjadi lebih susah, mereka yang terjangkit penyakit akibat kerusakan
lingkungan hidup serta endemi karena kemiskinan dengan entengnya diminta
85
melupakan masa lalu. Disinilah pentinganya perubahan “mind set” dari para
penyelenggara negara dan sekaligus mengubah madzab berpikir yang lebih
mengedepankan sifat “sidiq”, rasa kemanusiaan, keadilan, kejujuran serta berhenti
dari kebohongan dan kemunafikan.
Pemahaman uraian pada alinea tersebut diatas, bukan berarti kita segera menggalang
kaum miskin untuk bangkit bersatu melawan anggota rezim Orde Baru dan siapapun
yang terafiliasi, sebagaimana model yang biasa dipakai dilingkungan negara penganut
paham komunisme. Dan janganlah pula kita mengulangi cara-cara Orde Baru yang
kemudian “menghabisi” kekuatan Orde Lama dan juga lawan-lawan politik lainnya
dengan cara memberi stigma bahwa meraka adalah musuh negara dengan cap Ekstrim
Kanan (EKKA), Ekstrim Kiri (EKKI) dan Ektrim Lain (EKLA).
Sesungguhnya banyak negara telah melakukan hal-hal baik yang bisa kita
jadikan contoh dalam menyelesaikan persoalan masa lalu. Karena hanya bangsa yang
bisa memisahkan dengan membuat garis batas yang tegas antara tanggung jawab
masa lalu dan tanggung jawab masa depan lah yang akan bisa memulai membangun
peradaban barunya. Artinya segala persoalan masa lalu haruslah diselesaikan terlebih
dahulu secara tuntas, agar tidak membebani masa depan. Secara kebetulan pula
bangsa kita adalah bangsa pelupa dan sekaligus pemaaf. Dan sesungguhnya persoalan
untuk memisahkan kedua tanggung jawab tersebut bukanlah pekerjaan yang susah
susah amat dan bukan pula kategori yang mustahil. Model yang bisa ditempuh untuk
maksud tersebut biasa dikenal dengan istilah rekonsiliasi atau islah. Melalui proses
ini segala kesalahan masa lalu haruslah diakui apa adanya, dan kemudian dimaafkan.
Warga negara yang manapun dilindungi untuk menjadi saksi dengan segala
kejujurannya tanpa resiko hukum apapun. Dengan demikian persoalan masa lalu bisa
secara terang benderang dirumuskan secara apa adanya. Dan kemudian penyelesaian
pertanggung jawaban atas kesalahan masa lalu tidaklah harus seluruhnya melalui
jalur hukum. Dengan demikian akan muncul ketulus-iklasan dari mereka yang dimasa
lalu menjadi korban untuk memaafkan dan sekaligus melupakannya. Negara
kemudian memberi konpensasi sebagai ganti rugi atas perlakuan negara yang dimasa
lalu merugikan dirinya.
Sedang penyelesaian kasus KKN, ditempuh dengan kebijakan negara yang
mewajibkan mereka yang terlibat KKN dimasa lalu dengan mengembalikan kekayaan
hasil KKN nya, dengan menyisakan sebagian untuk kehidupan dan penghidupan
yang layak bagi pelaku KKN itu sendiri. Karena bagaimanapun mereka bisa terlibat
86
dalam KKN karena adanya kesempatan dan fasilitas yang diberikan oleh negara
saat itu. Mereka yang terlibat dalam KKN selanjutnya dijamin dengan predikat
bebas KKN termasuk bagi keturunannya. Dan sebaliknya mereka yang tidak mau
jujur apa adanya, maka negara menghukum melalui proses peradilan dan kepadanya
diberi sanksi tidak bisa menggunakan jasa per bank an termasuk keturunannya yang
ikut menikmati hasil KKN tersebut. Sehingga mereka yang membandel otomatis tidak
bisa mengolah dan apalagi membangun kekuatan ekonomi dari kekayaan hasil KKN
nya termasuk keturunannya.
Memang untuk melaksanakan proses ini perlu pemimpin yang kuat, agar
semua pihak baik pelaku maupun korban mempunyai tumpuan dan harapan yang
sama yaitu sebuah kepastian hukum dan ditegakkannya keadilan. Dengan demikian
segenap pihak utamanya para saksi dan terlebih mereka yang bersalahpun tidak perlu
takut. Keadaan menjadi serba ruwet dan repot, karena sang pemimpin yang ditunggu-
tunggu sebagai “Satrio Piningit” tak kunjung datang. Dalam kaitan rekonsiliasi
mungkin yang perlu diubah adalah tafsir tentang “Satrio Piningit” yang tidak lagi
dalam wujud satu orang, tapi lembaga dalam bentuk “ad hoc” yang terdiri dari orang-
orang yang integritasnya tinggi dan teruji. Dengan demikian yang diperlukan oleh
bangsa ini adalah sedikit kesabaran untuk menunggu lahirnya niat dan kemauan para
petinggi republik ini untuk mau segera menutup buku sisi gelap masa lalu dengan
membentuk Panitya Islah. Dalam kenyataannya elit bangsa ini terkendala akibat
belum siapnya Undang-undang . Disanalah kita perlu sharing pemikiran, karena
dalam pengelolaan negara ada kekuatan lain disamping persoalan Undang-undang
yaitu legitimasi. Dan dalam banyak hal persoalan legitimasi justru jauh lebih kuat
daripada Undang-undang. Sangatlah sulit warga bangsa yang manapun akan
menyalahkan keputusan negara dalam hal pembentukan Panitya Rekonsiliasi.
Bukankah sejumlah negara bisa melaksanakan tanpa menunggu lahirnya Undang-
undang dan bahkan jauh diabad keenam Nabi Besar Muhammad Rosulullah telah
mencontohkan islah dalam kasus pelanggaran Ham yang dikerjakan oleh pasukan
Chalid Bin Walid.
Adalah hal yang manusiawi kalau mereka yang dimasa lalu bermasalah ingin
lepas dari kejaran hukum. Mereka juga perlu memperoleh kepastian atas masa
depannya. Maka sangatlah wajar kalau diantara mereka memilih agar proses
destabilisasi dan delegitimasi pemerintahan yang manapun terus berlangsung. Dengan
demikian kondisi disorientasi yang melanda bangsa terus berlarut, dan supremasi
87
hukum makin menjauh. Karena hanya dengan pemerintahan yang lemahlah
mereka akan selamat dari segala tanggung jawab hukum. Partai-partai politik
kemudian mereka masuki, hukum kemudian secara terang terangan mereka beli,
sudah barang tentu dengan uang hasil KKN. Dan mesin pembuat opini khususnya
media otomatis akan mereka miliki dan kendalikan. Maka masalah demi masalah
yang mengkait keamanan, kemanusiaan dan juga kebangsaan akan terus diciptakan.
Proses ini terkadang justru keluarnya lewat kebijakan Negara dan atau Partai yang
bisa dijadikan alat mereka. Disanalah maka hal-hal lucu dan aneh terus
bermunculan, saat bangsa sedang prihatin karena musibah bencana alam yang terus
beruntun justru yang digulirkan adalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Sejumlah kasus internasional yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama,
kemudian diangkat seolah bangsa ini rela mati untuk bangsa lain (jihad), sementara
saudara-saudara sebangsa dan setanah air dan juga seagama diwilayah lain yang
terkena bencana alam dibiarkan begitu saja. Begitu pula dalam hal keamanan, tanpa
tujuan yang jelas yang penting terus ada masalah. Disanalah maka sejumlah rentetan
Bom meledak dimana-mana tak terkecuali di Bali. Dengan jelas kasus-kasus yang
terjadi sulit dicerna oleh akal sehat, karena antara motivasi / tujuan yang dinginkan
dengan modus operandi tidak masuk logika. Proses yang sistematis ini semuanya
persis tahapan / langkah-langkah yang diajarkan paham komunisme dalam
mematangkan keadaan untuk “merebut” kekuasaan. Hal yang terpenting dalam
memahami hal tersebut diatas janganlah menggunakan paradigma lama, sehingga
langsung memvonis bahwa Partai, Ormas atau LSM tertentu yang condong ke “kiri”
sebagai pelakunya. Kalau tahapan konsolidasi mereka masih sebatas unjuk identitas,
sama sekali belum berkemampuan dan apalagi siap untuk “merebut” atau setidaknya
“mendominasi” kekuasaan maka “tuduhan” tersebut sama sekali tidak beralasan,
bahkan bisa saja tergolong fitnah. Ibarat orang punya hajat menikahkan anak, Akad
nikah belum tentu dirumahnya sendiri. Dan belum tentu pula si pemilik gedung
berarti ia yang punya hajat. Walaupun dalam kondisi tertentu memang yang punya
gedung adalah yang punya hajat itu sendiri. Disanalah pentingnya melihat anatomi
bangsa secara jujur, dalam, dan konprehensif sehingga mudah untuk mengetahui
siapakah sang “shaibul hajat” yang sebenarnya.
Dalam hitungan paling lama satu dekade saja, bangsa ini akan jenuh dengan
keadaan yang dihasilkan oleh kehidupan kenegaraan yang terus “limbung” selama era
reformasi. Dan disanalah nanti kekuatan lama yang bermasalah tampil kembali
88
dipanggung kekuasaan tanpa harus ganti wajah sekalipun. Saat itu nanti kekayaan
yang diperoleh dengan KKN dimasa lalu termasuk dari lingkungan birokrasi sipil
dan militer otomatis berubah status menjadi putih bersih tanpa cacat. Dan diantara
mereka akan tampil sebagai pahlawan yang begitu berjasa dalam membangkitkan
kembali negara dan bangsa kita dari keterpurukan yang selama ini terus berlarut.
Manapun skenario perjalanan sejarah yang akan dilintasinya kelak secara
politik syah adanya, namun pokok persoalan yang mendasar adakah jaminan kelak
setelah kekuatan lama yang bermasalah kembali berkuasa tidak lagi mengulangi
penampilan lamanya. Disanalah pentingnya perubahan “mind set” kita sebagai
bangsa, agar pilihan yang manapun lintasan yang bakal dilewati bangsa ini tidak perlu
mengulangi kesalahan dan kelemahan masa lalunya. Dengan demikian perjalanan
sejarah yang manapun eksistensi negara-bangsa kita bisa tetap utuh, dan bangsa ini
segera memulai membangun peradaban barunya. Perubahan “mind set” tersebut juga
menjadi mendasar, agar elit bangsa ini secara sadar mengubah penampilannya
sehingga dikalangan publik muncul setitik harapan baru. Bila saja rakyat banyak
terus “hopeless”, bisa saja kelenturan kita sebagai negara-bangsa akhirnya melampau
batas maksimal yang ikutannya Indonesia akan menjadi terpecah belah. Yang pasti
bila Indonesia pecah, bagi mereka yang bermasalah justru sebagai kesempatan emas.
Dengan kekuatan kapital hasil KKN nya mereka akan menjadi “penguasa” dibanyak
negara baru eks Indonesia. Dan yang pasti terjadi, bersama hancurnya Indonesia
mereka yang dimasa lalu bermasalah menjadi bebas dari tuntutan hukum.
Untuk mencegah Indonesia terpecah belah, logikanya negara akan
menggunakan alat kekuasaannya dalam hal ini TNI. Dan berkat penampilan TNI bisa
saja keutuhan Indonesia bisa dipertahankan. Namun bila Negara tidak segera
mengubah penampilannya dari model lamanya, kondisi yang berkembang akan
mengantar kita masuk dalam tahap krisis yang permanen sebagaimana negara-negara
miskin di Afrika. Disana nanti jangan kan elit bangsa sendiri akan mampu
mengatasinya, turun tangannya PBB dengan berulang kalipun selalu gagal.
Dalam kaitan ini yang mendasar adalah penampilan negara untuk tidak merugikan
orang perorang warga bangsa, kelompok, golongan dan atau daerah manapun. Karena
tidaklah mungkin rasa persatuan dan kesatuan sebagai Indonesia bisa diwujudkan bila
nyatanya justru negara lah yang terus merugikan warga bangsa, kelompok dan atau
golongan ataupun daerah tertentu. Rasa persatuan dan kesatuan otomatis akan
tumbuh dan berkembang manakala negara mampu menghadirkan manfaat,
89
keuntungan dan kemudahan bagi dirinya, kelompok dan golongannya, dan bahkan
bagi daerahnya dalam kehidupan kesehariannya baik berupa perlindungan,
fasilitas, dan bahkan kebanggaan sebagai warga negara-bangsa Indonesia.
Begitu pula dalam kaitan tata pergaulan internasional, kejiwaan kita tidak bisa
lagi terus merujuk pada cara-cara yang dikembangkan selama ini. Persoalan
kemanusiaan yang tidak mengenal batas negara, tidak bisa lagi ditampik. Turun
tangannya bantuan internasional dalam menolong korban tsunami Aceh akhir tahun
2004 adalah bukti yang tak terbantahkan. Perdagangan bebas dunia tidaklah mungkin
kita hindari lagi kecuali kita akan berubah menjadi negara tertutup, dan itupun
mustahil. Dan banyak lagi contoh yang bisa kita tampilkan sebagai bukti bahwa kita
hanyalah salah satu warga dunia, maka tidaklah mungkin kita mengelak dari aturan,
mekanisme dan juga fatsun pergaulan dunia.
Perubahan “mind set” yang demikian menjadi penting, sehingga dalam mensikapi
kepentingan nasional di forum internasional kita digolongkan sebagai bangsa beradab,
berpegang teguh pada kebenaran, konsisten dan tidak munafik. Dengan cara ini
kedepan tidak terjadi saat di ruangan DPR menyetujui untuk pinjam dana untuk
memenuhi kebutuhan APBN kepada pihak tertentu, Tapi diluar DPR ramai-ramai
menghujat sang kreditur. Dan saat keluarga besar sang kreditur justru datang lebih
awal dalam memberi bantuan kepada saudara-saudara kita di Aceh yang terkena
musibah, ramai-ramai pula memuji mereka, dan menyalahkan Pemerintah sendiri
yang terlambat menanganinya. Semua elit sepakat bahwa peri kemanusiaan adalah
sendi kehidupan negara bangsa kita, namun pada saat yang sama pula, kita terus
mengambangkan tuntutan kaum ibu yang kehilangan anak karena perilaku negara.
Dan saat internasional menekan soal penyelesaian pelanggaran Ham, kembali lagi
sebagai bangsa kita seolah tidak paham bahwa perikemanusiaan terkait erat dengan
Ham. Saat Bom meledak dimana-mana dan kemudian otoritas negara mencoba
mengejarnya, sebagian dari elit bangsa ini mencoba memasukkan persoalan terorisme
kedalam wilayah agama. Hal-hal yang demikian sangat aneh dan tidak masuk logika
bangsa-bangsa yang beradab dibelahan bumi yang manapun. Dan ketika ada “travel
warning” dari salah satu negara kembali lagi elit yang sama pula ramai-ramai marah,
dan sebagian lagi memilih diam.
• Prioritas program dalam membangun Persatuan dan Kesatuan
Pada saat negara-bangsa ini menghadapi masalah yang begitu berat dan
90
ketidak pastian yang sangat tinggi seperti yang kita alami saat ini, sementara itu
kita juga belum mempunyai nilai andalan yang mampu menjamin persatuan dan
kesatuan, maka persoalan yang mendesak yang perlu kita kerjakan adalah:
Pertama, Pembuktian bahwa negara ini masih ada dan memberi manfaat bagi warga
bangsa khususnya bagi daerah-daerah yang dilanda masalah kemanusiaan. Disanalah
maka otoritas negara harus nampak dengan jelas. Sebuah konflik horisontal dengan
motif agama didaerah yang kecil, tidak bisa terus dibiarkan dan apalagi dipelihara
baik oleh negara dalam kerangka membendung dan mengubah “kekuatan” yang
arahnya menuju keatas (Vertikal) menjadi kekuatan yang arahnya kesamping
(horisontal). Ataupun oleh kekuatan diluar negara, tegasnya kekuatan masa lalu yang
bermasalah yang memang mempunyai berbagai jaringan begitu kuat dan dukungan
finansial yang tak terbatas, agar proses destabilisasi terus berlanjut. Yang manapun
kekuatan tersebut berasal, untuk menyelesaikan konflik horisontal hanya ada satu
formula ampuh yaitu membangun kesadaran publik setempat agar tidak mau diadu
domba lagi oleh siapapun. Karenanya publik perlu diberi penjelasan secara terbuka
atas akar masalah yang sebenarnya, yaitu sebuah rekayasa eksternal dari kelompok
tertentu dan bukan karena persoalan lokal setempat. Adalah bohong besar kalau
senjata dengan jumlah yang tidak kecil dan manusia yang begitu banyak yang terlibat
dan dilibatkan dalam konflik horisontal murni berasal dari internal masyarakat
setempat. Dengan proses hukum ataupun dengan cara lain “islah” umpamanya, negara
haruslah menelusuri asal usul senjata secara tuntas agar rakyat setempat memahami
dengan pasti. Sudah barang tentu setelah semuanya gamblang, darimana asal usul
senjata yang digunakan, dan Siapa yang mengorganisir ratusan bahkan ribuan
manusia non penduduk setempat yang terlibat atau dilibatkan dalam konflik yang
terjadi selama ini otomatis akan melahirkan kesadaran publik dikedua belah pihak
yang selama ini bertikai. Disanalah negara yang dilengkapi berbagai otoritas harus
menampakan keberadaannya dan sekaligus kegunaannya.
Dan hal yang sejenis adalah penampilan Negara dalam menangani bencana
alam yang melanda bagian wilayah kita yang manapun.
Kedua, Melaksanakan rekonsiliasi atau islah atas semua masalah pelanggaran Ham
dan juga KKN yang terjadi dimasa lalu. Sesungguhnya kalau saja kesadaran publik
atas pentingnya rekonsiliasi atau islah telah tumbuh, niscaya semua pihak akan
menyambut program rekonsilasi atau islah dengan terbuka tanpa kecurigaan apapun.
Rekonsiliasi dengan warga bangsa Timor Letse juga perlu segera dilaksanakan agar
91
kita tidak terus dijadikan bulan-bulanan opini publik internasional. Dengan cara
ini maka segala persoalan pelanggaran Ham termasuk pelanggaran Ham Tim-Tim
dan juga kasus Munir dapat ditutup dengan segala ketulus iklasan semua pihak demi
masa depan bersama.
Ketiga, reformasi birokrasi. Begitu buruknya penampilan birokrasi pemerintahan,
akan membuat kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga pemerintahan menjadi
sangat rendah. Persoalan korupsi, pungutan liar dalam pelayanan publik, penggelapan
atas pemasukan negara dan mafia hukum akan membuat kesamaan penderitaan bagi
rakyat banyak. Sehingga pada saatnya nanti, utamanya saat terjadi turbulance
kebencian publik akan terlampiaskan dengan menempatkan lembaga pemerintah
sebagai sasaran amuk massa.
Disanalah pentingnya Pemerintah secepatnya melaksanakan reformasi
birokrasi pemerintahan dengan sungguh-sungguh. Karena bila saja budaya amuk
sempat mewujud lagi, persoalan persatuan dan kesatuan kita sangat dipertaruhkan.
Dengan mudahnya daerah-daerah tertentu akan memisahkan diri dari republik
tercinta. Untuk mencegahnya maka TNI pun dalam waktu dekat sesegera mungkin
mengubah diri, menjadi kekuatan “deterent” yang sangat diperhitungkan oleh
siapapun dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Perwujudan TNI yang
demikian jelas bukan wujud TNI yang dahulu. Karena rakyat yang manapun sudah
tahu bahwa realitanya TNI dimasa lalu tak bisa berbuat banyak utamanya disaat-saat
kritis seperti yang terjadi ditahun 1998 dan juga rentetan kasus setelahnya.
Keempat, Menyusun UUD Baru. Mengingat arsitektur sistem kenegaraan kita sangat
rapuh, maka diperlukan kesadaran publik utamanya dilingkungan elit untuk segera
membentuk aturan main yang mampu menjamin terbentuknya sistem kenegaraan
yang kokoh dan kuat. Sistem negara yang demikian akan menempatkan semua konflik
yang terjadi dalam dinamika pengelolaan negara berada ditingkat operasionalisasi
pemerintahan, sehingga tidak menyentuh persoalan eksistensi negara. Memang betul
dalam kondisi yang serba tidak ada kepastian seperti yang melingkupi kita pasca
lengsernya Pak Harto, yang terpenting adalah tampilnya pemimpin yang kuat untuk
membentuk sistem kenegaraan yang benar, baik dan kuat. Pokok persoalan yang
terjadi, siapapun pemimpin yang tampil dengan talenta sekuat apapun akan
terbelenggu oleh jebakan sistem yang dibuat Orde Baru dan lebih rancu lagi oleh hasil
amandemen UUD-45. Persoalan Korupsi umpamanya, jelas-jelas karena sistemnya
yang korup. Siapapun yang menjabat, tanpa kehendak untuk mengubah sistem niscaya
92
akan larut juga dalam korupsi. Kekuatan sitem demokrasi presidensial kemudian
dimandulkan oleh kekuatan sistem parlementer sebagaimana hasil amandemen
UUD-45. Bahkan UUD-45 yang asli membenarkan seorang Kepala Negara bisa
dijatuhkan oleh lembaga yang bernama MPR, tanpa kita pertanyakan darimana
sumber legitimasi / otoritas yang dipunyai oleh MPR untuk menjatuhkan Presiden.
Maka sebagaimana yang dicontohkan pak Harto, pemimpin yang kuat haruslah
dimulai dengan perubahan sistem. Karenanya bisa dipahami kalau ditahun pertama,
kedua dan juga ketiga pak Harto belum banyak bersikap. Dan saat mulai
menunjukkan identitas dan talenta diri sebagai seorang militer yang kuat pekerjaan
pertama pak Harto adalah memasukkan ide dan gagasannya kedalah sistem
kenegaraan. Disanalah maka publik kemudian merasakan adanya harapan baru, dan
lebih dari itu semua gagasannya kemudian dijelmakan sebagai bagian dari sistem
kenegaraan. Dan untuk membangun sistem kenegaraan yang demikian itu, hanyalah
mungkin manakala Negera membentuk sebuah badan yang independen yang terdiri
dari orang-orang yang paham dan mengerti sistem kenegaraan dalam visi global.
Kelima, pembangunan karakter bangsa. Kelak setelah kita mampu melewati tahap
kritis, maka sejumlah masalah yang berkaitan dengan model pewarisan nilai-nilai
bangsa utamanya sejarah haruslah dibenahi / diluruskan. Kedepan pembangunan
karakter bangsa menjadi utama karena salah satu pondasi yang mendasar dalam
membangun persatuan dan kesatuan bangsa adalah karakter bangsa. Terabaikannya
pembangunan karakter bangsa di era Orde Baru bukanlah sebuah kealphaan ataupun
keteledoran, tapi memang tuntutan dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu
tidaklah mungkin membangun karakter bangsa. Untuk itu hal yang terpenting adalah
dukungan sistem rekruitmen kader yang tidak lagi tertutup, tapi benar-benar terbuka.
Dengan demikian pemimpin yang berhasil lolos sampai ketingkat elit memang benar-
benar yang bermutu tinggi, dan sebaliknya pemimpin yang mutunya rendah akan
berjatuhan sejak awal.
93
Bab Keenam
Pada bagian ini, penulis ingin membahas secara spesifik tentang reformasi TNI
dalam konteks politik demokrasi di Indonesia. Berhubung apa yang penulis paparkan
pada bagian ini lebih pada langkah-langkah penataan yang praktis dan sedikit banyak
konseptual, maka diperlukan penambahan analisis dari sudut pandang teoritis-ilmiah
sehingga pada bagian awal penulis merasa perlu memasukkan analisis Sunardi dan
Boni Hargens dari Universitas Indonesia secara utuh. Dua tulisan yang membuka bab
ini, akan menjadi acuan teoretis untuk memahami kelanjutan analisis saya di bagian
setelahnya.
45
Dosen Senior di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.
94
telah ada se-belum kata coup masuk dalam perbendaharaan kata Inggris.
Kendati kata-kata itu pada abad pertengahan tidak lebih mengekspresif seperti
kata revolusi, tapi kata-kata: sar-genfazo, cuartelazo, atau promuncia-miento,
yang pada umumnya menunjuk pada pembelotan militer sudah dikenal jauh
sebelum itu di negara-negara yang berbahasa Spanyol.
Kalaupun hal itu tak sempat diketahui, tentu bukanlah tak perlu diabaikan
kalau kelompok akrab dan piawai dengan kekerasan itu bisa dan dapat buka toll
ke kekuasaan, ke kekayaan, dan kekedudukan terpandang lainnya. Soalnya bukan
legitimate atau illegitimate, tapi keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat
memberikan rasionalitas dan justifikasi buat penaklukan dan penguasaan orang,
masyarakat dan rakyat yang tak bersenjata. Kalaupun mungkin orang baru
berbicara tentang militerisme di negeri Paman Sam itu beberapa waktu setelah
Easton menerbitkan karyanya itu, tapi kajian tentang perbandingan politik,
tentang negara-negara yang baru merdeka, bukan tak hiruk pikuk di dunia
universitas mereka. Huntington sendiri mencoba membedah apa itu breakthrough
coup, abortive coup , dan veto coup untuk menunjukkan bagaimana militer suka
inelakukan intervensi ke dunia politik sipil.
Dalam hal yang paling funda mental yang dilupakannya adalah bahwa dalam
konteks politik sebuah negara-bangsa, sebuah organisasi militer bukan saja
diciptakan untuk mendukung sebuah cita-cita politik, tapi penguasaan
terhadapnya juga merupakan standar buat keoperasionalan sebuah kekuasaan
politik. Oleh karena itu sesungguhnya tak heran kalau militer lebih dari sekedar
sebuah kelompok kepentingan yang mempunyai minat dengan pengambilan
keputusan politik, tapi juga adalah suatu jaringan kultur ideologi yang memberi
penampang sebagai suatu sistem sosial yang dengan kelengkapan instumen dan
kemampuan manajerialnya secara riil atau potensial dapat membingkai suatu
sistem politik yang mereka kehendaki. Oleh kare itu pula, kata Jano witz, adalah
mustahil mengisolasi militer dari kehidupan politik domestik, termasuk
mengesampingkannya dari pendidikan politik untuk membangun sistem politik
untuk membangun komitmennya terhadap sistem demokrasi dan pemahaman
bagaimana sistem itu bekerja.
Tentang soal demokrasi itu, kendati disadari memiliki potensi untuk menjadi
the center of hyper nationalistic movement, tapi Lucian W. Pye tak ragu untuk
menaruh kepercayaan kepada kelompok yang dilihatnya sebagai the modernizers
95
itu sebagai the only effective entity, atau the critical group in the shaping the
cause of nation building itu, karena standar modernitas dirinya mengacu pada
luar negeri (nilai-nilai organisasi dan teknologi Barat), sehingga ia yakin bahwa
sebagai lembaga yang lebih modern dibandingkan dengan masyarakatnya, militer
akan menjadi tidak terlalu akrab dengan tindakan-tindakan kekerasan. Dengan
keunggulan-keunggulan yang di milikinya militer akan lebih bersifat
membimbing dalam banyak asprk kehidupan masyarakat sipilnya yang masih
belum maju itu. Pendek nya ia percaya bahwa militer adalah the savior, seperti
tindakan Jender.il Mac Arthur mengamankan pemerintahan Presiden Herbert
Hoovri dengan pasukan berkuda, pasukan lapis baja, pasukan bersenjata mesin,
dan pasukan berjalan kaki dalam menghadang para penuntut jasa di Washington
DC tahun 1930 an, begitulah.
Entah digebui dengan semangat idenlogi perang dingin untuk menjadikan
tentara negara-negara baru sebagai kuda tunggang untuk menghajar komunis di
dalam negerinya masing-masing, entah disedak oleh kegembiraan melihat bahwa
tentara-tentara di negara-negara baru memngagumi teknologi senjata Barat
sehingga umumnya mereka netral dalam persaingan pengaruh global yang ada,
yang pasti Pye tidak awas bahwa tentara umumnya bukan saja punya espirit de
corps tradisi heroik, identifikasi profesional dan kehormatan, tapi angkatan darat
di mana pun juga senantiasai mengembangkan keahlian politik militer, apakah
berkenan dengan kecabangan pemerintahan, perang, psikologis, atau intelejen
strategis; yang kesemuanya justru telah tak memungkinkan sipil terlibat dalam
kompleks organisasi militer. Artinya, pada tingkat manapun organisasinya,
tentara kental dengan identifikasi the outsiders , selain opeirasi-operasi
strategisnya juga memang diletakkan pada premis yang berstandar ganda (bukan
hanya pada masa perang, tapi juga pada masa damai).
Begitupun dengan sistem indoktrinasi yang membentuk orientasi litiknya
diamati lebih berpengaruh daripada pendidikan politik yang kemudian
diterimanya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan
memenuhi koperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal
kenapa demikian. Pertama, karena kriteria perekrutan anggotanya dan pemilihan
perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan latar belakang
sosial (keluarga, daerah), dan ideologi (konservatisme) ketimbang semata
Begitupun system terindoktrinasi yang membentuk orientsi politiknya diamati
96
lebih berpengaruh dari pada pendidikan politik yang kemudian diterimannya.
Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan
memenuhi keperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal
kenapa perekrutan anggotanya dan pemilihan. Pertama, karena kriteria perekrutan
anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-
pertimbangan latar belakang sosial (keluarga, daerah), dan ideologi
(konservatisme, daerah), ketimbang semata oleh kriteria akademik. Alasan pokok
buat pendahuluan kriteria itu adalah karena latar belakang dan ideologi itu, tradisi
militer dan kepahlawanan buka saja akan tetap terpelihara, tapi lingkungan
organisasi militer juga bisa diperkuat dengan pola-pola kepercayaan itu. Kedua,
karena pendidikan militer lebih diorientasikan pada pelaksanaan teknis.
Akibatnya, tradisi-tradisi, slogan-slogan, dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak
tertulis masih tetap lebih menonjolkan ketimbang program pendidikan formalnya.
Oleh karena itulah, kendati civic missions yang dilancarkan tentara diangap
banyak bermanfaat bagi masyarakat atau negara, karena " the military can
accomplish projects faster, hi'll,-i mid cheaper " tapi missi itu juga selain
sesungguhnya untuk memperluas jangkauan kemampuannya dan untuk
merentangkan basis dukungan klientelistiknya, pun pada esensinya terkerangka
dalam diktum Sun Tzu, "kenali medan untuk memenangkan pertempuran". Meski
begitu, yang kerap tergambarkan adalah bahwa militer lebih punya dedikasi untuk
mengabdi kepada bangsa, dan dianggap lebih siap un tuk mengorbankan
kepentingannya demi tujuan nasional, atau untuk meraih kekuatan bangsa dan
negara. Bayangan dan anggapan itu sendiri kemudian diidentifikasikan dengan
dirinya, baik untuk keperluan pemupukan tradisi heroismenya, maupun untuk
kepentingan politik memperkuat dan memanlapkan citranya melalui penciptaan
kondisi-kondisi politik yang chaotik untuk mengekspresikan kehingar bingaran
demokrasi dan ketidak berdayaan politk sipil.
Sistem politik sebagai suatu perbendaharaan kata perbandingan politik yang
diintrodusir sebagai pengganti gambaran tentang pemerintah, bangsa, Jan negara,
secara konseptual tampaknya lebih melihat masalah-masalah birokratisasi, sen-
tralisasi, dan militerisasi sebagai masalah yang mempengaruhi ke-mampuan
sistem untuk mengembangkan dirinya. Dan karena thesis utamanya adalah
keseimbangan dan kestabilan, maka tak heran kalau norma utama yang
diletakkannya adalah "law and order can be main tained" ...if an organized army
97
or police force is available". Atau dengan kata lain, sistem politik
sesungguhnya bertali-temali dengan penggunaan kekerasan fisik, atau
"authoritative al location of values", kata Easton, atau "severe deprivation" kata
Harold Laswell. Artinya, kendati mungkin sistem politik tidak selalu terkait
dengan senjata, penguasaan, dan penindasan, tapi ia bukan sama sekali lepas
dengan penekanan dan pemaksaan.
Meski begitu tidaklah jelas apakah karena esensi itu Easton berupaya untuk
tidak lebih menampilkan negara ketimbang sistem politik yang jelas, dua
dasawarsa setelah karya tentang teori sistem politiknya terbit, ia mengomentari
gerakan untuk meninjau kembali soal negara yang dilakukan Evans,
Rueschemeyer, dan Skocpol yang mengetengahkan asumsi bahwa pada galibnya
negara dibentuk oleh klas atau melalui perjuangan kelas dan berfungsi untuk
melindungi dan memperluas cara-cara produksi, sebagai munculnya “ a
contemporary revival of Marxism”. Kenapa mungkinkah karena preposisi
struktral fungsional yang digelarnya yang mengesampingkan society centered
assumptions, telah macet atau karena telah terobeknya negara sebagai a po litical
strategy yang kekuatan alam kekuasaannya lebih tumbuh dari ke kerasan yang
membekalinya, atau karena pendapat Marx mengenai hubungan masyarakat
negara bahwa pilihan apakah negara menguasai atau dikuasai masyarakat
sepenuhnya menjadi hak yang terakhir, bukan diciptakan oleh kekuasaan dan
tidak dikonsolidasikan oleh negara.
Yang jelas penggambaran teori sistem politik yang mengabaikan hubungan-
hubungan antara politik ekonomi dan militer tampaknya tak mampu memberi
penjelasan tentang karakter kekuasaan. Atau intinya, mengesampingkan realita
bahwa militer dibekali dengan senjata, memiliki monopoli persenjataan, telah
menyebabkan tak terperkirakannya pemonopolian kekuasaan negara oleh militer,
kata lain militer tak terimbangkan sebagai suatu negara. Militer tak sempat
diperhitungkan sebagai suatu kekuatan yang dapat membangun jaringan
administrasi, birokrasi, dan sub-struktur ekonomi. Bendix dan Shils memang
bicara akan perlu adanya suatu organisasi negara yang bersifat terpusat birokratik,
kuat dan efektif buat sistem politik untuk dapat menggelindingkan pembangunan
ekonomi, tapi tampaknya mereka juga tak membayangkan kalau dalam proses
pergerakanya aparatur negara itu juga terus berhubungan dengan kekuatan
kekuatan masyarakat lain yang ada untuk dapat menentukan tingkat dan jenis
98
pembangunan yang dioperasikannya
Sebab persoalannya, menurut Horowitz, memang tak ada “ The third
way”, bahkan "the possibility vftlunl ness per se" buat mereka dan Dunia Ketiga
umumnya untuk memilih antara 'modernisasi' dan 'indus-trialisasi' tanpa merusak
prinsip-prinsip pembangunan itu sendiri: antara produksi kebendaan yang
mengesampingkan hak demokratik rakyat dengan transformasi kultural, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang merangsang pertumbuhan masyarakat yang
menghasilkan kebebasan individual. Latar belakang historik, politik, dan
ideologik memang telah menggerakkan mereka diluar pilihan antara kapitalisme
dan komunisme. Mereka berupaya dan mencanangkan strategi pembangunan
yang dengan derajat tertentu membuka praktek demokrasi seraya pada saat yang
sama juga memperkuat dan mengembangkan nilai-nilai tradisi. Meski begitu,
strategi itu tampaknya sangat rentan terhadap aplikasi kekuasaa yang berkarakter
fasis atau diktatoral.
Kecenderungan itu sen diri tampaknya bukan tak punya korelasi dengan
thesis necessetarianist-liberal tarisnist ataupun demagogis pembahasan nasional
anti kolonial di Timur yang mengklaim bahwa antara demokrasi politik dan
pembangunan ekonomi terdapat yang harus diprioritaskan. Kalau ekonomi
mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih penting dari pada semarak
politik, sosiolog berpendapat bahwa. karena terdapat disparitas antara
pembangunan dan demokrasi, maka memajukan demokrasi lebih penting daripada
menggerakkan pembangunan ekonomi adalah asumsi yang tidak rasional, entah
karena alasan kedaulatan atau karena biaya yang diperlukan diluar kemampuan.
Sedang penganjur masyarakat sosialis berkeyakinan bahwa pembebasan nasional
adalah tahap rite de passage atau jalan sejarah yang harus ditempuh untuk
mencapai sosialisme. Adapun model yang kemudian diintroduksikan, yang jelas
kekerasan mengambil porsi yang tak terperkirakan.
Kekerasan politik sebagai karakter dasar teori negaranya Lenin dan kekerasan
fisik sebagai elemen yang terkait langsung dengan dominasi militer mengambil
bentuknya manakala tuntutan stabilitas politik sebuah rezim dianggap perlu dan
mutlak untuk menghasilkan sebuah pembangunan ekonomi yang tinggi dan luas.
Tuntutan itu biasanya muncul tatkala pimpinan yang berkarakter populis meniada,
dan ketika birokrasi dan negara tidak berdaya dan belum lagi memiliki orientasi
tugas yang seia-sekata. Dalam keadaan itu, militer adalah kelompok yang terkuat,
99
kendati kelemahannya sipil juga bukan tidak merupakan produk delegitimasi
yang dilakukan militer. Gerak cepat yang dilakukan militer melalui perubahan
haluan pengelolaan ekonomi dari modernisasi ke industrialisasi yang kemudian
mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak sabar lainnya baik dari
kelompok nasionalis maupun revolusionis tampaknya telah mengukuhkan
pandangan bahwa militer lebih punya kemampuan untuk menciptakan stabilitas
buat pembangunan ekonomi.
Kendati dicatat ada korelasi fungsional antara mekanisme kekerasan
keotoriteran, atau kekuasaan militer dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tapi sebagaimana awal pengalaman Pye yang kemudian di konfirmasikan eric A.
Nordlinger dan dipresisikan R.C McKinley dan Cohan, militer bukan saja tidak
terbatas sumbangannya pada pembangunan nasional, tapi sesungguhnya nasional,
tapi sesungguhnya mereka juga kurang menaruh perhatian terhadap pertumbuhan
ekonomi kecuali untuk prestasi ekonomi rejim mereka juga tidak lebih baik
dibandingkan dengan yang dapat diraih rejim sipil. Tonjolan mereka dicatat hanya
dalam formula peningkatan pendapatan nasional kotor yang hampir tidak
menyentuh 'the quality of life of the nation . Kepentingan ekonominya lebih
terkait dengan hak-hak korporatenya. Tak heran kalau sikap konservatifnya
terangsang manakala kepentingan (ekonomi dan bisnisnya) bergabung dengan
kelompok pemilik modal, yang semakin menahun dalam kaitannya dengan
kepentingannya kapitalis internasional.
Oleh karena itu barangkali tak berlebihan kalau militer kerap dipandang
sebagai alat kapitalisme internasional, atau setidaknya agen jaringan industri
militer Barat, bukan saja dalam mengamankan arus barang dan jasa mereka, tapi
juga sebagai alat efektif untuk melancarkan perang ideologi internasional di arena
politik dalam negeri. Dukungan keuangan, peralatan, latihan, dan pendidikan dari
yang sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan tampaknya bukan hanya
dianggap perlu tapi juga diproyeksikan oleh Barat didalam kerangka hegemoni
politik, ekonomi dan strategi pertahanan mereka. Untuk itu, tidak sedikit
perangkat intelektual di sediakan. Karya Coup d'Etat-nya. Luttwak dan The Man
on Horseback -nya Finer konon bukan hanya merupakan buku pedoman, tapi jugu
merupakan sumber inspirasional untuk itu.
Soal apakah sebuah kekuatan militer Dunia Ketiga akan berwujud sebagai
suatu rejim fasis atau kleptokrasis terang tak pernah ingin dibayangkan oleh
100
barat.. Alasannya sendiri kuat, bukan saja tak hendak mencampuri urusan
dalam negeri sahabat, juga menjunjung dan menghormati kedaulatan nasional
negeri yang bersangkutan. Elok nian memang. Oleh karena itu soal penjagoan'
militer oleh mereka akan dianggap sebagai tidak berkaitan dengan soal
kebodohan, demoralisasi, dan keterbenaman politik masyarakat Dunia Ketiga.
Soal pengamanan kepentingan buat mereka bukanlah “eticsh politiek” tapi adalah
soal eksploitasi siapa memanfaatkan siapa. Atau, "who gets, what, when, and
how", kata Laswell. Dengan kata lain, militer Dunia Ketiga tampaknya telah
dijadikan sebagai alat domestik untuk menaklukkan politik dan rakyat sebuah
negeri atas nama kepentingan ekonomi, politik, dan strategi pertahanan negara
Barat.
Kalau demikian, klarifikasi militer atas kepentingannya yang kerap
diidentifikasi secara berlebihan sama dengan kepentingan nasional dan
kepentingan negara umumnya perlu ditinjau kembali? Bahwa militer memang
bukan hanya menyamakan antara bangsa dan negara, dan negara dan militer, tapi
juga mengidentikkan kepentingan korporatenya dengan kepentingan nasional.
Padahal kata Anderson, “ The nation is essentially an image and there is no such
thing as a unitary national intertest”. Kendati indentifikasi itu lahir dari ideologi
klientilisme, dari latihan dan pengalaman di lapangan, tapi adventurisme politik
yang bersumber pada ambisi pribadi pemimpinya kerap diamati dominan dalam
motivasi hal itu. Diawali dengan tuntutan akan perlakuan yang adil terhadap
sikap, reputasi, kelayakan, dan tanggung jawab profesional yang diembannya,
milliter akan dibawah oleh pemimpinnya untuk menampilkan “ the military way”
untuk dalih mempertahankan negara secara optimal. Padahal dibalik motif itu
konon sesungguhnya terselip kecemburuan terhadap hak-hak sipil yang
perolehannya dipandang tidak sebanding dengan kewajibannya.
Jadi persoalannya tampak tidak terletak an sich pada tuntutan profesional
militer baik sebagai organisasi atau sebagai anggota (induvidu) seperti kerap
dikemukakan banyak pakar bahwa "intervensi militer dalam politik umumnya
dilakukan oleh perwira-perwira yang tergolong sangat profesional", kata Finer,
atau bahwa "intervensi militer dalam politik adalah upaya dalam rangka
memelihara keprofesionalannya", kata Huntington, tapi adalah karena
dibandingkan dengan kelompok-kelompok (kekuatan politik) lain, militer relatif
lebih memiliki kebebasan bermain di arena politik, atau bahwa sebagai lembaga
101
negara, militer bukan hanya bisa mengidentifikasikan dirinya dengan
pemerintah yang ada, tapi juga dengan asosiasi itu telah memungkinkannya
untuk membayangkan dirinya sebagai representasi masyarakat umum yang ada.
Oleh karena itulah buat militer, kekuatan tampaknya bukan hanya diupayakan
untuk menghajar musuh luarnya, tapi juga untuk mengkonsolidasikan dan
mengamankan nilai-nilai korporatenya, sub korporatenya, dan trans korporatenya,
atau kepentingan-kepentingan karirnya, penghasilannya, dan keterpeliharaan
kelompok acuan sosialnya.
Realitanya sendiri memang me nunjukkan bahwa ketika militer tampil
memegang kendali kekuasaan, semangat "koreksi" terhadap masalah-masalah
kenegaraan dan kenasionalan nyaris terhimpit de ngan desakan dan tuntutan
prioritas mengamankan kepentingan dirinya. Bahkan secara sistematik mereka
berupaya untuk membangun dan mengembangkan kelompoknya sebagai suatu
klas, "asurrogate class” , atau sebagai " a dominant interest group " yang beraliansi
dengan “ the big business” untuk menguasai lembaga-lembaga sosial
masyarakatnya secara internal adalah berpangkal pada prinsip military vs civil,
tapi negara secara eksternal perjuangan itu merujuk pada doktrin" the state vs the
society". Di situ berlaku aturan bahwa kekuatan untuk yang satu adalah
kelemahan buat yang lain. Bahwa untuk memperkuat negara adalah
memperlemah masya rakat. Rezim-rezim militer dan totaliter tercatat telah dengan
baik menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menguatkan kekuasaannya.
"The state of Its own", atau praktek pengatasnamaan negara untuk
kepentingannya adalah umum dijalankan oleh pemerintah-pemerintah yang
kekuasaannya didominasi militer. Sejak militer tak lagi memiliki musuh luar yang
harus dihadapi, maka energinya akan tertumpah ke dalam negeri. Oleh karena itu
kata Weil, seperti yang dikutip Ward, adalah salah mempertimbang kan soal
perang sebagai suatu episode dalam politik luar negeri, sebab sesungguhnya ia
adalah tindakan paling kejam politik dalam negeri. Dengan monopoli senjata yang
dimilikinya, militer dapat menggunakan negara sebagai alat untuk melakukan
perang atau ancaman perang terhadap penduduknya. Upaya rejim militer untuk
memelihara stabilitas sosial dan politik, serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri
sebagai dua hal yang pada esensinya kontradiktif telah tak memberikan pilihan
kepadanya untuk mengembangkan standar operasi politik yang dalam praktik
kerap tak dapat menghindari tindakan represif, efek destruktif, dan juga
102
kecenderungan-kecenderungan inaktif lainnya baik secara situasional atau
kondisional pada kelompok-kelompok yang secara potensial atau riil
dipandang sebagai out groupnya.
Kategori itu sendiri kemudian diperlonggar manakala posisinya sebagai suatu
kelompok sosial dirasakan telah cukup kuat dan mantap. Dari sana biasanya
keperluan untuk membagi kesejahteraan sosial secara lebih luas melalui
pendistribusian sumber-sumber yang ada dimunculkan. Walau secara ide
kebijakan itu lahir dari kehendak untuk menciptakan pemerataan dalam
masyarakat, tapi rancangan strategi untuk mengontrol stabilitas sosial dan politik
itu tampaknya lebih rendah terarah untuk pencarian legitimasi baru terhadap
posisinya yang relatif telah menguat, baik dalam jaringan administrasi dan
birokrasi, maupun dalam sub struktur ekonomi, daripada menciptakan prakondisi
buat demokratisasi kehidupan politik kenegaraan. Sebab memang redistribusi
sumber-sumber untuk keperluan pemerataan guna menciptakan stabilitas sosial-
politik tidaklah identik dengan demokrasi suatu bentuk sistem politik yang
esensinya mempromosikan liberte, egalite, on droit de I'homme en general.
Artinya, demokrasi standar mi liter menyelenggarakan pemilihan umum
secara reguler yang dilengkapi dengan intimidasi dan manipulasi bukanlah
merupakan praktek demokrasi politik meski dalam standar minimal sekalipun.
Dari literatur yang ada terungkap bahwa ketidak cocok an militer dengan
demokrasi bukan semata karena disiplin dan hirarki organisasinya, tapi catatan
sejarah kelerlibatan politik militer dalam berbagai masalah negara juga jelas
menunjukkannya. Menurut Edmonds, manakala ideologi-politik militer merebak
di suatu negara , maka bukan saja penindasan di dalam negeri akan meluas, tapi
konflik eksternal dalam bentuk destabilisasi dan kecurigaan hubungan antar
negara juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, dominasi kekuasaan militer
dalam negara bukan hanya memproduk intensitas konflik, tapi juga mengancam
bahkan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Apalagi kalau tindakan dan keterlibatannya dalam masalah-masalah negara lebih
didasarkan pada “their perseptions of what is needed to be done" ketimbang "the
real of general will".
Selain itu, intervensi militer dalam politik juga diamati telah menyebabkan
konsep profesionalis me militer dan teori keabsahan menjadi kurang begitu berarti
lagi. Profesionalisme militer yang oleh Huntington diidentifikasikan dengan
103
loyalitas terhadap military ideal, bukan vis-a-vis penguasa sipil,
mempresentasikan kebutuhan dan kepentingannya, saran-saran yang
berkenaan dengan soal militer, dan tidak berhubungan dengan isu-isu politik yang
ada, dan tidak mengelola kekerasan kecuali lapangan politik mengurangi
kehancuran negara, bermakna bahwa kesadaran profesional militer akan
mengarahkan dirinya untuk memandang bahwa mereka lebih sebagai "the
servants of the state rather that of the government in power". Padahal kata Finer,
adalah kemampuan profesional mereka yang justru mendorongnya untuk mencari
jaminan sosial dan ekonomi melalui keterlibatan dengan upaya pemerintah untuk
melawan pe-ngeritik dan musuhnya di dalam negeri. Artinya, klaim Easton bahwa
prestise sosial bisa diperoleh dari hubungan sosial masyarakat, dan perolehan
kekayaan lebih berkaitan dengan sistem ekonomi, bukanlah merupakan jalan
keluar buat militer profesional tidak terlibat dalam politik.
Status sosial dan kemakmuran bagaimanapun merupakan kebutu han pokok
buat militer bisa memelihara sikapnya, reputasinya, kehormatannya, dan
tanggungjawabnya. Akan tetapi tanggungjawab profesional itu sendiri tidak
berarti melulu seperti rumusan Huntington, tapi juga mencakup nilai-nilai yang
non-profesional yang oleh Vagts sebagaimana dikutip Wolpin dikategorikan
sebagai kepentingan-kepentingan corporate / careerist, subcorporate/materialist,
dan transcorporate/social reference group kepentingan-kepentingan yang
dikonstatasi sebagai "not com pletely professional", atau "not purely military".
Dari situ jelas bahwa pemahaman profesionalisme harus dibaca sebagai
pemaksimalan mobilisasi sumber buat kekuatan militer itu sendiri, termasuk
menjadikan sipil sebagai bantalan kekuatan belakangnya, seperti doktrin yang
dicanangkan partai-partai komunis terhadap tentaranya bahwa dukungan kekuatan
sosial bukan saja akan memberi sokongan man-power, moral, intelejen dan
logistik, tapi juga akan menutupi kekurangpiawaian prajurit dan kekurang
canggihan senjatanya.
Apakah "military way" atau "mili tarism", apakah dipicu oleh ambisi personal
atau kebutuhan institusioal, pelibatan militer dalam politik dikata kan juga nyaris
tidak mempertimbang kan soal keabsahan. Posisinya sebagai satu lembaga negara
memang telah memungkinkannya un tuk menjadi kerangka bangun po litik, rejim
politik, atau sistem yang dianut negaranya. Oleh sebab itulah buat militer, "main
politik" tampaknya bukanlah soal akan ada tidaknya atau datang tidaknya
104
dukungan masyarakat umum terhadap tindakannya atau akan diakui atau
tidaknya peran yang akan dimain kannya, tapi lebih berfokus pada masalah
ancaman terhadap negara atau terhadap kepentingan nasional yang
dibayangkannya. Suatu persoalan artifisial yang tidak sulit untuk dikembangkan.
Setidaknya, ideologi operasional yang berkenaan dengan doktrin penggunaan
kekerasan, termasuk melancarkan propaganda dan perang psikologis, memang
merupakan kepentingan pokok buat badan-badan intelejennya dan elit korps-nya.
Begitulah, kiranya jelas bahwa militer, politik, dan demokrasi, bu kanlah
merupakan rangkaian proses transisi dari satu ujung ke ujung yang lain. Kalau
Horowitz mengklaim bahwa kendati militer memberi peluang buat pertarungan
antara authoritarianism dan demokratisasi tapi tak pernah dapat menentukan
kapan kemungkinan demokrasi bisa diberlakukan, maka Perlmutter bilang
kendati militer dapat mengintrodusir rasionalisasi masyarakat, lembaga, dan
politik dalam negara, tapi hal itu tampaknya tak berarti banyak buat pemantapan
sistem politik dan perluasan partisipasi masyarakat di dalamnya politik, "but it
would be in error to assume that contemporary po litical education in the armed
forces serves all the needs of political democracy".
Meski begitu, Sundhaussen tampak nya tak menganggap perlu untuk
menyesali kondisi itu. Sebab, demokrasi, katanya, kerap tidak efektif sebagai
regulator dalam masalah-masalah dalam negeri di Dunia Ketiga. Apa-lagi kata
Hernandez, dalam pengambilan keputusan, demokrasi tidak lebih efisien, dan
tidak lebih mudah dipakai dibanding dengan mekanisme yang ditempuh militer.
Kondisinya diamati menjadi lebih buruk karena penguasa-penguasa yang ada
hanya cenderung memperalat ideologi tua, apakah itu nasionalisme,
tradisionalisme, dan sebagainya sekedar untuk mengalihkan "rasa keterancaman"
dari luar. Padahal, arahan itu sesungguhnya lebih berada dalam konteks
ketidakinginan elit kekuasa an untuk mengintroduser aturan-aturan demokrasi,
khususnya "internal contestation for power". Oleh karena itu kiranya tak heran
kalau masssa-rakyat tidak begitu melek politik, tidak mengerti apalagi mahfum
apa sih tuh demokrasi? Dari situ pula kiranya bisa dipahami kemudian muncul
massa radikal, orang-orang yang tercabut dari akar budaya nya,dan orang-orang
yang secara ekonomi, dan sebagainya yang bukan hanya menuntut modifikasi
kebijakan, tapi juga menyerukan perubahan-perubahan total sambil
mendengungkan diktum Proudhon, "whoever lays his hand on me govern me is a
105
usurper and a tyrant”. Kalau sudah begitu, keteraturan, ketertaatan dan
ketenangan, akan menghilang. Kekuasaan dan pemerintah(an) dikecilkan, dan
anti-bonapartisme dibesarkan.
Apresiasi politik militer sebagai akibat kemajuan teknologi dan
keterbelakangan ekonomi dan teknologi negerinya tentu saja bukan hal yang
salah. Begitu juga yang karena itu militer memiliki kesadaran untuk melakukan
perubahan-perubahan yang substansi terhadap masyarakatnya. Tapi kalau
kemudian kesadaran standar internasional dan kepekaan mendalam terhadap
kelemahan masyarakatnya itu dijadikan alasan untuk secara agresif mencengkram
dunia politik sipil yang penuh dengan hingar bingar, maka secara tidak terelakan
militer tak dapat tidak akan mengencangkan ototnya. Sebab, kata Eckhardt seperti
dikutip Skjelbaek, secara kognitif militer bukan hanya dokmatik, tapi juga
"intolerant of am biguity, rigid, ego-defensive, andposi-tivist (lawan manusiawi)
dalam kesadarannya. Itulah sebabnya barangkali kenapa Finer tampak pesimistik
terhadap prospek kemunculan stabilitas politik dan dcmokrasi politik di Dunia
Ketiga. Kalau masyarakat (sipil) politik tak mampu memanfaat kan peluang untuk
membuka demokrasi politik, maka bukan mustahil akan muncul kup-kup yang
akan melahirkan rezim-rezim militer yang berikut, katanya.
Kepesimisan itu bukan tak beralasan. Sebab salah satu porsoalan serius dalam
masa transisi ke demokrasi adalah kecenderungan immobilisme baik secara samar
atau nyata baik pihak pemerintah maupun aktor-aktor politik yang baru masuk.
Padahal dalam situasi itu, tuntutan kepastian politik yang lahir sebagai akibat
ketidak jelasan sumber dukungan politik dalam situasi dinamik yang tak menentu
itu dan kecepatan membangun konsensus dan proses pengambilan keputusan yang
demokratik amat diperlukan. Meski begitu, kekhawatiran itu sesungguhnya tak
perlu kalau saja "the garrison and the army headquarter refused to shoot at people,
tlie bureaucracy refused to cooperate- with the military, the trade unzions has a
capacity to called a general strike, and the students, intellectuals, and politicians
share an militanly aversion to the mili tary. Atau, seperti kata Cruz e Diamint yang
merujuk kasus proses demokratisasi di Amerika Latin, meminta bantuan Amerika
sebagai negara kiblat demokrasi untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang
kondusif baik untuk pengembangan masyarakat sipil maupun untuk membangun
koridor-koridor demokrasi yang dibutuhkan.
106
46
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
107
Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 melalui aksi protes para mahasiswa
dan masyarakat, bersamaan dengan tekanan internasional terkait krisis ekonomi
yang memorak-porandakan ekonomi dalam negeri Indonesia, perubahan mulai terjadi.
Salah satu agenda Reformasi adalah menghilangkan Dwi-Fungsi TNI yang menjadi
instrumen legal yang melegitimasi keterlibatan militer dalam urusan sosial politik,
termasuk ekonomi. Dasar pemikiran di balik tuntutan ini adalah bahwa sebuah
pemerintahan yang demokratis dicirikan oleh ditegakkannya supremasi sipil di segala
dimensi dan oleh adanya militer yang profesional. Militer profesional artinya militer
yang hanya menangani masalah-masalah pertahanan dan keamanan. Ia berbeda
dengan militer pretorian atau revolusioner yang mencampuri urusan sosial-politik.
Seluruh upaya menuju terwujudnya militer yang profesional telah ditempuh
melalui hadirnya UU No 34 tahun 2004 yang secara istimewa melarang TNI terlibat
dalam politik dan juga melarang TNI menjalankan bisnis. Tetapi apa yang terjadi
dalam kenyataan, Militer ternyata bukan kelompok yang mudah dikendalikan oleh
kekuatan sipil sehingga tidaklah mengherankan kalau masih terlihat ada militer atau
eks-militer yang terlibat dalam politik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sendiri adalah seorang jenderal purnawirawan. Dan kalau kita membaca buku Mayjen
TNI Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, tampak bahwa kalau ada hal yang
paling sering dan paling serius dipikirkan oleh para petinggi tentara di Indonesia, hal
itu pastilah urusan politik praktis. Berbagai pristiwa konflik internal di kalangan
petinggi TNI-AD diceritakan dengan gamblang oleh Zen, meskipun sarat sekali
dengan tuduhan subyektif. Bahkan ketika Prabowo dan Habibie bersitegang terkait
“Detik-Detik yang Menentukan”-nya Habibie (2006), Zen membela Prabowo dengan
mengatakan tidak ada kudeta pada 1998. Zen malah menuding (alm) Beni Moerdani
melakukan upaya kudeta terhadap presiden Soeharto tahun 1988 yang tentu saja
dibantah faksi Moerdani di Angkatan Darat47.
Di balik semua itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa upaya
reformasi TNI di Indonesia mengalami banyak hambatan? Apakah mungkin tentara
kita yang berwatak pretorian berubah menjadi tentara profesional?
Kerangka Teoretis
Samuel P. Huntington di dalam bukunya Political Order in Changing Societies
(1968) menjelas kan panjang lebar tentang pretorianisme dalam kaitan nya dengan
kemerosotan politik. Huntington melihat fenomena 1950an dan 1960an dimana
47
Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004)
108
banyak negara di berbagai benua dikuasai oleh militer. Pemberontakan militer dan
bangkitnya rezim militer menjadi fenomena umum di Amerika Latin dan juga
Timur Tengah. Akhir 1950an dan awal 1960an, Asia Selatan dan Asia Tenggara
mengalami fenomena yang sama, bahkan terjadi kudeta di Ghana, Dahomey,
Leopoldville, Republik Afrika Tengah, Volta Hulu, dan Nigeria. Semua ini
menambah apa yang telah terjadi di Aljazair, Togo, Sudan dan Kongo48. Melihat
perkembangan yang demikian, Huntington lalu sampai pada kesimpulan bahwa
dominasi militer dalam politik adalah pengalaman nyata yang terjadi di negara mana
saja. Tidak hanya di Indonesia, militer di berbagai negara lain juga merupa kan suatu
kekuatan politik yang sulit dihindari. Ini yang menarik dari analisis Huntington
meskipun belum pasti berarti pandangan Huntington sudah tepat untuk dijadikan
pisau analisis dalam mengkaji fenomena militer di Indonesia.
“Mengapa militer berpolitik?” adalah pertanya an yang menjadi perhatian
banyak pemikir politik dan militer. Huntington tidak sepakat bahwa kalau kita ingin
menjelaskan fenomena keterlibatan militer dalam politik, kita harus memahami
struktur keorganisasian tentara dan latar belakang sosial para prajurit. Ia tidak setuju
bahwa faktor internal organisasi militerlah yang menjadi alasan tentara berpolitik.
Dalam uraiannya yang panjang-lebar Huntington menjelaskan tahapan proses
keterlibatan militer dalam politik dalam suatu negara. Ia berangkat dari penjelasan
tentang “masyarakat pretoria” sebagai kondisi yang melahirkan pretorianisme dan
selanjut nya pretorianisme membuka jalan bagi tentara untuk terlibat dalam politik
dan pada titik tertentu ketika menjadi kekuatan utama, tentara membentuk lembaga
politik.
Pertama, “Masyarakat Pretoria” adalah bahasa Huntington untuk melukiskan
suatu keadaan dalam masyarakat dimana seluruh kekuatan sosial yang ada dipolitisasi.
Kekuatan-kekuatan sosial, besar ataupun kecil, berupaya masuk ke dalam politik
untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan meskipun
bangunan politik belum mapan. Dalam keadaan ini, tidak hanya militer tetapi setiap
kekuatan sosial berjuang masuk dalam politik.
Kedua, Pretorianisme Oligarkis mengacu pada kondisi dimana kelompok
tertentu, seperti tuan tanah, pemuka agama, dan golongan pemegang pedang, dalam
masyarakat menguasai politik sehingga kekuatan sosial lain dibatasi untuk terlibat di
48
Samuel P Huntington, 1968, Political Order in Changing Societies,, terjemahan Sahat Simamora dan
Suryatim, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003), hal. 227
109
dalamnya. Dominasi oligarki ini yang disebut Huntington sebagai Pretorianisme
Oligarkis. Salah satu ciri yang utama dari pretorianisme oligarkis adalah adanya
pencampuran secara sekaligus urusan politik, militer, agama, sosial dan ekonomi.
Pada titik tertentu, pretorianisme oligarkis cendrung berubah menjadi pretorianisme
radikal49.
Ketiga, Pretorianisme Radikal. Pretorianisme oligarkis akan lenyap ketika dalam
masyarakat terjadi perkembangan kekuatan sosial, muncul banyak kelompok yang
berbeda-beda lalu sama-sama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik.
Dalam keadaan seperti ini akan terbentuk pretorianisme radikal karena kekuatan yang
mempengaruhi politik dalam masyarakat akan cendrung radikal.
Keempat, Pretorianisme Rasial. Pada titik tertentu dalam perkembangannya,
masyarakat bisa saja dikuasai oleh ras tertentu sehingga urusan politik diambil-alih di
tangan ras tertentu dan melahirkan apa yang disebut pretorianisme rasial.
Kelima, Pretorianisme Massa. Karena hakikatnya kekuatan sosial dalam
masyarakat terus berkembang maka besar peluang dominasi kekuatan sosial tertentu
akan digantikan oleh dominasi berbagai kekuatan sosial yang dirangkum dalam istilah
“massa”. Pretorianisme massa ini menurut Huntington ditandai oleh adanya suatu
kekuatan massa dalam jumlah besar yang tergabung dalam satu wadah seperti
kelompok buruh dalam masyarakat modern. Kekuatan ini akan berhadapan dengan
pemerintah atau dengan militer atau bisa juga bekerjasama untuk melawan satu
kekuatan yang sedang mendominasi. Maka menurut Huntington ada empat
kemungkinan persaingan50:
a. Kaum Buruh Vs Pemerintah dan Militer
b. Kaum Buruh dan Militer Vs Pemerintah
c. Kaum Buruh dan pemerintah Vs Militer
d. Kaum Buruh Vs Pemerintah Vs Militer
Keenam, Prajurit Pembentuk Lembaga. Huntington mengatakan bahwa militer
memiliki kemampuan yang lebih dibandingan kekuatan sosial yang lain dalam suatu
masyarakat pretoria untuk mendirikan lembaga politik, misalnya karena militer
memiliki kemampuan manajerial dan terorganisasi dengan baik.
Selanjutnya, dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics
of Civil-Military Relations, Huntington menyebutkan dua langkah kontrol sipil
49
Ibid hal 236
50
Ibid hal. 254-256
110
terhadap tentara51. Pertama, subjective civilian control yang seringkali diwujudkan
dengan memperbesar kekuatan sipil melalui perluasan institusi-institusi sipil
sehingga disebut juga civilianizing the military dan kedua, objective civilian control
yang disebut juga militarizing military. Bahwa kekuatan tentara dikurangi sedemikian
rupa sehingga tidak menjadi lebih dominan dibandingkan kekuatan sipil. Untuk itu,
sasarannya adalah meningkatkan profesionalisme ketentaraan atau disebut juga
militerisasi militer. Dengan demikian, pada titik tertentu dalam upaya peningkatan
profesionalisme, tentara yang semula pretorian atau revolusioner bisa berubah
menjadi tentara profesional yang mendukung penguatan supremasi sipil dalam negara
demokrasi.
Dalam suatu negara modern, dimana tentara tidak lagi terlibat dalam politik,
yang ada adalah tentara profesional. Hal ini terjadi sejalan dengan berlangsungnya
diferensiasi sosial dan spesialisasi yang tajam dalam kehidupan sosial. Tentara
profesional, menurut Huntington, memiliki ciri-ciri dasar berikut52:
(1) Ada expertise/keahlian dalam meredam kekerasan.
(2) Ada ikatan tanggungjawab kepada negara dan masyarakat.
(3) Korporatisme alias kesadaran kelompok sebagai sebuah institusi.
(4) Memiliki ideologi yang kuat yakni ideologi kemiliteran
Selain Huntington, pemikir lain yang berbicara tentang intervensi militer dalam
politik adalah Amos Perlmutter. Amos menyebutkan tiga tipe (orientasi) militer yang
umum yaitu prajurit profesional, prajurit pretaorian, dan prajurit revolusioner.
“Prajurit profesional klasik menonjol di dalam sistem-sistem politik yang stabil.
Prajurit pretorian berkembang subur dalam lingkungan ketidakstabilan politik. Sedang
prajurit revolusioner menunggal dengan suatu orde politik yang stabil sekalipun asal-
usulnya berasal dari suatu sistem politik yang tidak stabil, yang kebetulan sedang
mengalami kemunduran, atau memang baru”53.
Secara sederhana, klasifikasi Amos dapat dilihat dalam tabel berikut:
Ciri-ciri Profesional Pretorian Revolusioner
Keahlian Pengetahuan khusus Pengetahuan Pengetahuan
yang didasarkan di profesional tidak profesional
atas standar obyektif diperhatikan dengan diarahkan
51
Samuel P Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military
Relations, (Cambridge: 1964), hal. 80-99
52
Amor Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times, 1977, terjemahan Sahat Simamora,
(Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hal. 14
53
Ibid.
111
dari kompetensi ketat sekali pada nilai-
profesional: Tinggi nilai sosial-
politik
Klien Negara Bisa berupa bangsa, Gerakan
kelompok suku, suku, partai
militer, atau negara
Sifat lembaga Hirarkis, kohesif, Hierarkis, non-kohesif, Sebelum dan
organik, kolektif, kolektif, mengubah- selama
subordinasi, ubah kepatuhan, sempit. revolusi:
otomatik/manipulati egalitarian,
f sempit sangat mobil,
kader
manipulatif,
luas
Penerimaan Terbatas dan hanya Terbatas Universal
universal pada masa
perang
Ideologi Konservatif Tradisional materialis, Revolusioner,
antisosialis, pretorian gerakan
partai
Kecendrungan Rendah Permanen/berkelanjutan Tinggi
intervensi sebelum dan
selama
revolusi,
rendah
setelah
revolusi
Keterangan: dikutip dari Amos, Ibid. hal 24
Sementara itu, dalam bukunya The Military in the Political Development of New
Nations, Morris Janowitz berupaya mencari alasan mengapa militer terlibat dalam
politik. Ia menyebutkan beberapa hal yaitu:
• Militer mampu mengaitkan kemampuan manajerial dengan sikap heroic
• Militer adalah kelas menengah sehingga memudahkan mereka terlibat
dalam politik.
• Faktor persatuan internal organisasi54.
Meskipun Huntington tidak sepakat dengan cara pandang orang seperti Janowitz
54
Morris Janowitz, The Military in the Political Development of New Nations, (Chicago: University of
Chicago Press, 1964), hal. 27-29
112
yang melihat sebab keterlibatan tentara dalam politik pada faktor internal institusi
ketentaraan, bagi Janowitz, keterlibatan politik tentara didukung oleh kondisi
internal tentara yang kohesif. Ada delapan hal yang mendorong kohesi atau pun
kesenjangan internal tentara menurut Janowit Frederich yakni (1) latar belakang etnik,
(2) latar belakang agama, (3) usia, (4) latar belakang sosial, (5) pengalaman
pendidikan, (6) pengalaman kerja, (7), ikatan ideologis atau politik, dan (8)
pengalaman keberhasilan dalam tugas55.
Dalam konteks Indonesia, sebetulnya Janowitz yang lebih tepat menjelaskan
intervensi tentara dalam politik bahwa intervensi politik tentara bukan semata karena
institusi sipil yang lemah (baca: masyarakat pretoria) tetapi justru karena tendensi
internal tentara yang begitu kuat untuk terlibat dalam politik. Barangkali ini terkait
dengan sejarah tentara kita yang adalah pejuang republik, yang dibentuk otonom
tanpa campur tangan negara. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan
tentara dalam sejarah Orde Baru dan hingga kini masih sulit dibersihkan dari ranah
politik, tentu tidak terlepas dari faktor internal bahwa tentara solid, kohesif, dan
berjiwa kepemimpinan yang kuat dibandingkan kelompok lain di dalam negara.
Hanya yang menjadi masalah di banyak negara berkembang seperti Indonesia,
dominasi tentara dalam politik tidak disertai suatu format politik yang mendorong
terciptanya suatu pola pemerintahan demokratis. Atau barangkali benar seperti yang
ditulis Sunardi di tulisan sebelumnya pada bab ini, bahwa tentara adalah satu kekuatan
yang luput (atau terlupakan?) dari perhatian Easton dalam bingkai “Sistem Politik”-
nya. Akibatnya penganut teori Sistemnya Easton pun tidak pernah mampu secara
tuntas membahas fenomena dominasi tentara dalam politik kenegaraan.
Kinerja politik tentara yang hampir pasti tidak demokratis, seringkali memicu
banyak persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia, gaya kepemimpinan yang
cendrung otoriter, dan terbangunnya suatu rejim politik oligarkis. Untuk menjelaskan
wajah leviathan dari “militer penguasa politik” barangkali kita perlu melihat
pandangan Frederich Engels dan Lenin yang jarang memang dibahas dalam studi
politik-militer.
Engels ketika berbicara tentang “negara” menyebutkan dua syarat yaitu pertama,
penduduk dibagi berdasarkan wilayah dan kedua, dibentuk kelompok bersenjata yang
“berada di atas masyarakat dan bertindak sendiri”56. Pembentukan kelompok
55
Ibid. hal. 67-75
56
Dikutip W.I. Lenin dalam Negara dan Revolusi, terjemahan Sulang Sahun, (Jakarta: Fuspad, 2000) ,
hal. 8-9.
113
bersenjata ini menurut Engels merupakan bagian dari persiapan menuju revolusi.
Lenin menerima pandangan Engels tapi Lenin mengajukan pertanyaan, apa yang
akan terjadi jika di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling bermusuhan?
Yang terjadi, kata Lenin, muncul banyak pasukan bersenjata dari kelas-kelas yang
bermusuhan lalu berperang satu sama lain dan bahkan berperang melawan “pasukan
bersenjata negara”57. Perang ini rentan terjadi ketika “tentara negara yang berada di
atas masyarakat dan bertindak sendiri” itu semakin jauh dari kehendak masyarakat
dan menjadi alat di tangan penguasa untuk menindas rakyat.
Pandangan Engels dan Lenin ini mendukung fakta yang terjadi di Indonesia
dengan adanya DOM Aceh (1988-1998), Petrus (1983-1985) yang dalam dua tahun
menewaskan lebih dari 8.500 gali (gabungan anak liar) sehingga disebut oleh James T
Siegel (1997) sebagai the nationalization of death, tragedi Tanjung Priok tahun 1984,
Peristiwa Malari 1974, Tragedi Santa Cruz 12 November1992, hingga kekerasan
menjelang dan selama Referendum Timor Timur 31 Agustus 1999. Saurip Kadi dalam
bukunya TNI AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Datang, bahkan menyebutkan 38
kasus besar yang membuktikan bagaimana tentara dipakai sebagai alat penguasa
untuk melanggengkan status-quo kekuasaan. Ia menyebut antara lain Demo
Mahasiswa 1978 menjelang Sidang Umum tahun 1978 yang intinya mempersoalkan
pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, kasus Petisi 50 pada Mei 1980 yang
berawal dari “pernyataan keprihatinan” 50 tokoh masyarakat yang mempertanyakan
kebijakan-kebijakan Soeharto, kasus Warsidi 7 Februari 1989 yang dituduh sebagai
gembong GPK di Lampung Tengah, Kasus Sei Lapen 25 Maret 1993 yang berawal
dari selisih antara warga transmigran dengan Pemda Langkat dan PT Anugerah
Langkat Makmur sampai akhirnya melibatkan aparat negara, kasus Marsinah 5 Mei
1993 seorang aktivis buruh di PT CPS yang ditemukan tewas di hutan Wilangan
Nganjuk dengan pelaku 6 orang tentara, 20 polisi, dan 1 jaksa, kasus Haur Koneng 28
Juli 1993 yang dikait-kaitkan dengan Gerakan Ratu Adil, kasus Nipah 25 September
1993, kasus Parbuluhan 15 Pebruari 1995, kasus Jenggawah 3 Januari 1996, kasus
Abepura 18 Maret 1996, kasus Nabire 3 Juli 1996, kasus Udin 13 Agustus 1996,
kasus Buruh Maroya 10 Juni 1999, dan kasus Haruku 23 Januari 200058.
Bahkan untuk melukiskan kekejaman tentara masa lalu yang bahkan melewati
tapal batas kemanusiaan, Al-Chaidar dan kawan-kawan mencatat 92 kejadian sadis di
57
Ibid hal 10-11
58
Saurip Kadi, TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000),
hal. 18-39.
114
Aceh selama pemberlakuan DOM dalam buku Aceh Bersimbah Darah59. Mulai
dari warga digorok dan rumah dibakar, kepala seorang ayah dikuliti di depan
anaknya, suami dibuang setelah istrinya distrum, gadis diperkosa berdiri sambil
disiksa, sampai pada gadis cacat diperkosa tentara yang mabuk. Cerita Al-Chaidar,dkk
tidak berbeda dalam bobot kekejaman dengan apa yang saya dengar dari sejumlah
warga di Takengon, Aceh Leuser Antara (ALA), ketika memberi ceramah pada bulan
Agustus 2006 lalu.
Keterlibatan Militer dalam Politik Indonesia
Apa yang dijelaskan Huntington, termasuk Morris dan Perlmutter, sudah
menggambarkan dengan jelas bagaimana dan mengapa militer terlibat dalam politik.
Amos Perlmutter misalnya menyebutkan sejumlah kondisi yang mendorong
berkembangnya pretorianisme yang pada gilirannya akan melahirkan militer pretorian
di negara-negara yang demokrasinya belum kuat yaitu:
• Kelemahan struktural atau disorganisasi dalam masyarakat.
• Adanya kelas-kelas fratrisidal (yang membunuh saudara sendiri).
• Kelas menengah yang impotent.
• Rendahnya tingkatan aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber
material60
Analisis Perlmutter tidak ditentang tetapi dilengkapi oleh Morris dan Huntington.
Morris menyebutkan kemampuan manejerial dan sikap heroik militer sebagai alasan
yang memudahkan militer menguasai politik. Lalu Huntington menjelaskan
“masyarakat pretoria” dan berbagai dinamika pretorianisme dalam masyarakat yang
pada titik tertentu mendorong militer untuk menguasai politik di antara berbagai
kekuatan sosial yang lain. Apa yang dijelaskan itu merupakan analisis general yang
belum tentu berlaku dalam kasus negara tertentu.
Misalnya spesfik untuk konteks Indonesia, sukarnya menghilangkan pengaruh
militer dalam politik, hemat saya, mesti dipahami dari berbagai aspek berikut
ketimbang dipahami dengan kondisi “masyarakat pretoria”-nya Huntington meskipun
dalam hal tertentu ada benarnya.
• aspek historis
• aspek politis mengenai
59
Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Al-Kautsar, 1998), hal.
60
Lihat Amos, Ibid. hal 144
115
• aspek sosiologis-societal
• aspek paradigmatis militer
(1) Aspek Historis. Tentara Indonesia memiliki sejarah yang unik. Apa yang kita
kenal sebagai TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara
melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri yang terdiri dari para
bekas pejuang PETA dan KNIL. Mula-mula ada Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu
berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setahun setelah merdeka,
tepatnya tahun 1946, dibentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang nota bene
para anggotanya adalah orang-orang yang tergabung dalam TKR.
Hal ini juga ditegaskan Mayjen Saurip Kadi dalam tulisannya ABRI di Masa
Depan, bahwa “ABRI dilahirkan oleh rakyat yang sedang berjuang merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. ABRI bukan tentara bentukan pemerintah atau
golongan tertentu. Ia juga bukan tentara bayaran dan bukan pula kumpulan prajurit
yang menjual tenaga, jiwa dan raganya untuk sesuap nasi”61.
Karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara
Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan Republik ini. Oleh
karena itu, tentara mesti dilibatkan dalam proses politik dan sosial. Dalam perjalanan
sejarah, tentara menjadi aktif terlibat dalam bisnis disebabkan karena krisis anggaran
dalam APBN yang dialokasikan untuk kebutuhan operasional TNI. Hampir pasti
APBN hanya bisa menyediakan 25-30% dari total kebutuhan dana TNI. Pada masa
Soeharto, TNI diberi keleluasaan dalam berbisnis dengan dalih menutupi kekurangan
anggaran yang tidak mampu dipenuhi oleh negara, meskipun dalam kenyataan hanya
para tentara berpangkat Kapten ke atas saja yang menikmati keuntungan dari bisnis
tentara.
(2) Aspek Politis. Penampilan partai politik yang tidak memuaskan militer,
pemerintahan yang kurang efektif sehingga mendorong instabilitas politik, perebutan
kekuasaan di antara elit sipil, dan dikeluar kannya kebijakan-kebijakan politik yang
kontroversial merupakan faktor-faktor ekternal yang mendesak militer untuk terlibat
dalam politik. Percobaan kudeta 17 Oktober 1952 oleh Jenderal Nasution dan kawan-
kawan adalah contoh yang tepat untuk menggambar kan betapa militer tidak
menyukai model kepemimpinan politisi sipil sepanjang periode Demokrasi
Parlementer. Peristiwa tersebut pada hakikatnya bukan untuk menggulingkan
61
Saurip Kadi, ABRI di Masa Depan, dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga Rampai, (Jakarta:
PT Aditoya Media, 1999), hal. 159.
116
pemerintahan yang sah dari tangan Presiden Soekarno melainkan suatu bentuk
protes terhadap pemerintahan sipil. Bongkar pasang kabinet meresah kan tidak
hanya tentara tetapi juga Soekarno sendiri selaku kepala negara. Maka ketika terjadi
pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1957, partai politik seperti Masyumi dituduh
terlibat sebagai dalang di balik pemberontakan tersebut, Soekarno mulai bersikap
tegas terhadap partai politik. Sehingga sangat logis kalau setahun kemudian, tahun
1958, Soekarno membubarkan Masyumi dan bahkan 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit
untuk membubarkan parlemen hasil pemilu 1955.
Tindakan Soekarno hampir pasti mendapat dukungan penuh dari militer, terutama
Angkatan Darat, karena menjadi semacam jawaban atas kegelisahan tentara terhadap
kondisi politik negara dan bangsa dan terhadap kinerja pemerintahan sipil. Setelah
Dekrit dikeluarkan, Presiden Soekarno membentuk DPR Gotong Royong yang di
dalamnya tentara sudah dilibatkan sebagai satu fraksi tersendiri. Hubungan Soekarno
dengan TNI (AD) memang tidak berlangsung romantis di tahun-tahun setelahnya.
Kedekatan Soekarno dengan PKI meningkatkan resistensi AD terhadap Soekarno
sehingga Herberth Feith, indonesianis brilian kelahiran Austria yang berpindah ke
Australia dan kemudian meninggal ditabrak kereta api di dekat rumahnya di
Melbourne tahun 2002 lalu, membuat analisis tentang segitiga kekuatan pada dekade
1960an awal yakni Soekarno, PKI, dan AD.
Soekarno
AD PKI
Peristiwa 30 September 1965- atau ada yang menyebutnya peristiwa 1 Oktober 196562
62
Lihat Victor M Fic, Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, edisi pertama, India: 2004, edisi
kedua diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Inggris, (Jakarta: Obor, 2005).
117
seperti Victor M Fic dalam bukunya Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965-
merupakan titik keruntuhan segitiga kekuatan tersebut sehingga Soekarno pun
dengan mudah “dikalahkan” oleh Angkatan Darat.
Keterlibatan politik tentara menjadi semakin kuat ketika pada paruh kedua
1960an kelompok kepentingan seperti Kosgoro, MKGR, dan SOKSI bergabung lalu
membentuk Sekretariat Bersama Golkar. TNI memainkan peran yang sentral dalam
pembentukan Sekber Golkar ini. Di tangan Soeharto, posisi tentara menjadi sangat
kuat di ranah politik dengan Golkar sebagai kendaraan utama. Kalau R.E. Elson
dalam bukunya Suharto, Sebuah Biografi Politik, menyebut tahun 1966 sebagai titik
balik (turning point) yang menjanjikan bagi Soeharto untuk berkuasa63, maka bagi
militer ini merupakan titik awal dari sejarah panjang yang menguntungkan selama
Orde Baru.
Disamping yang dijelaskan di atas, aspek politis yang melanggengkan pengaruh
militer dalam politik, terutama yang menjadi karakter politik dewasa ini, juga
tercermin dalam perilaku partai politik yang masih mesra-mesraan dengan tentara.
Hampir setiap partai politik yang ada sekarang menggandeng jenderal purnawirawan
sebagai “tulang punggung” yang diharapkan menguatkan kuda-kuda partai.
Ketergantungan partai terhadap tentara seperti ini tidak hanya menghambat upaya
depolitisasi tentara, tetapi justru memperkuat kaki tentara di ranah politik, tentunya
dengan cara baru yang lebih tidak kelihatan64.
(3) Aspek Sosiologis-Societal. Keterlibatan dan intervensi tentara dalam politik
yang masih berlangsung sampai sekarang juga dipengaruhi oleh aspek sosiologis
kemasyarakatan. Yaitu bagaimana masyarakat memandang tentara. Sulit diubah,
masyarakat masih memandang tentara sebagai “kelompok yang kuat, disiplin, tegas,
berani, pahlawan, peredam konflik, dan sebagainya”. Disadari atau tidak, cara berpikir
masyarakat yang demikian dengan sendirinya memperkokoh praktek keterlibatan
tentara dalam berpolitik. Perlahan-lahan memang cara pandang ini mulai berubah,
terutama di kalangan masyarakat perkotaan dan masyarakat terdidik. Tetapi karena
masyarakat Indonesia masih mayoritas menghuni di wilayah pedesaan, maka pola
pikir masyarakat yang menganggap tentara sebagai “pahlawan” (heroisme) belum
banyak berubah.
(4) Aspek Paradigmatik. Sulitnya tentara untuk secara institusional mendukung
63
R.E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, (Jakarta: Minda Utama,
2005), hal. 246
64
Boni Hargens, Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi, Harian Koran Tempo tanggal 12 Juli 2006
118
sistem supremasi sipil yang menjadi jiwa reformasi kita sekarang dipengaruhi
oleh paradigma tentara yang memegang teguh mitos heroisme. Bahwa tentara
adalah pahlawan yang mendirikan republik, tentara adalah pengaman negara, tentara
adalah penyelesai konflik, tentara adalah pelindung masyarakat, tentara adalah
penjaga UUD 1945 dan Pancasila. Paradigma ini dipegang teguh sehingga menjadi
sebuah kredo di kalangan tentara bahwa tanpa tentara NKRI akan bubar. Keyakinan
ini tentu tidak bisa dipungkiri bahwa memang tentara berjasa dalam mendirikan
republik ini dan untuk itu masyarakat harus berterima kasih. Tetapi perlu disadari juga
bahwa kebanggaan terhadap tentara sebagai pejuang bukan berarti tentara terus
dibiarkan dalam berpolitik sebab paradigma mitos heroisme ini pada gilirannya
menyulitkan tentara untuk memahami penegakan supremasi sipil (civilian supremacy)
sebagai subtansi dari demokrasi, bukan military supremacy65.
Hambatan Reformasi TNI66
Ada empat hambatan yang cukup menonjol dalam membenahi TNI. Pertama,
hambatan sistemik. Kedua, hambatan kultural. Ketiga, hambatan ekonomis. Keempat,
hambatan politik. Kelima, hambatan legal-formal.
1) Hambatan Sistemik
TNI sebagai sebuah institusi belum memiliki pandangan dan kesadaran yang pasti
tentang penegakan supremasi sipil sehingga reformasi TNI menjadi kehilangan arah.
Entah karena terlalu lama TNI berpolitik atau karena pendidikan politik di kalangan
para perwira kurang berjalan dengan maksimal sehingga sampai sekarang tidak
seluruh perwira tinggi yang ada di Mabes TNI mengerti dengan jelas apa yang
dimaksukan dengan “TNI profesional” dan supremasi sipil. Hal ini diakui juga oleh
sejumlah petinggi di Mabes TNI dalam sebuah diskusi dengan penulis. Hambatan
sistemik juga mengacu pada hubungan Departemen/Kementerian Pertahanan dengan
Panglima TNI yang menurut UU 34/2004 Panglima TNI berada di bawah koordinasi
kewenangan Menteri Pertahanan, tetapi hingga saat ini inkorporasi jabatan panglima
TNI ke dalam Kementerian Pertahanan belum bisa diterima oleh para petinggi militer.
Padahal inkorporasi itu merupakan bagian dari implementasi supremasi sipil, bahwa
segala urusan yang berkaitan dengan militer berada di bawah kendali sipil melalui
menteri pertahanan yang adalah orang sipil. Kendali di sini tidak menyangkut
kenaikan pangkat atau jabatan struktural di tubuh TNI tetapi menyangkut
65
Boni Hargens, Efek Kontraproduktif Reformasi TNI, Harian Seputar Indonesia tanggal 18 Juli 2006
66
Boni Hargens, Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi, Suara Pembaruan 3 Oktober 2006
119
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kinerja institusi TNI.
2) Hambatan kultural
Sudah menjadi budaya, bahwa militer memandang dirinya sebagai kelompok
yang dalam hal kepemimpinan dan dalam banyak hal lainnya lebih baik dari sipil.
Dalam sejarah hal itu terbukti, misalnya ketika militer memimpin sebagai gubernur,
menteri, ataupun bupati pada masa Orde Baru dimana pemerintahan relatif tertib dan
aman. Meskipun tertib dan aman dalam konteks ini masih harus diperdebatkan karena
dekat sekali maknanya dengan pembungkaman masyarakat sipil, penyum batan
kebebasan berpendapat, dan pengekangan berbagai hak sipil dan politik oleh gaya
kepemim pinan yang menggunakan “ancaman” sebagai komoditas.
Yang cukup memprihatinkan, cara pandang seperti ini juga masih ada di tengah
masyarakat. Pendidikan dan pencerahan politik yang berlangsung tidak memadai di
tingkat masyarakat membuat pertumbuhan kesadaran politik berlangsung lamban.
Inilah sebab mengapa tentara masih dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai
kelompok yang dibutuhkan untuk memimpin politik.
3) Hambatan ekonomis
Kekurangan finansial dalam menangani operasional TNI adalah salah satu
kendala serius dalam menertibkan bisnis-bisnis tentara yang selama ini berkembang
tanpa pengawasan. Amanat UU 34/2004 menghendaki pengambil-alihan bisnis tentara
tetapi dalam kenyataan hal itu sukar dilakukan karena tidak ada alternatif bagi TNI
untuk mengisi kekosongan anggaran yang notabene tidak bisa dipenuhi oleh negara
melalui APBN.
4) Hambatan politik
Perilaku partai politik yang cendrung oportunis dan mentalitas politisi sipil yang
masih senang bergandengan dengan militer dalam berpolitik, adalah hambatan
potensial dalam mewujudkan militer profesional yang tidak berpolitik.
5) Hambatan legal-formal
Tidak adanya aturan perundang-undangan formal yang jelas dan aplikatif tentang
reformasi TNI dan penegakan supremasi sipil merupakan salah satu kendala dalam
mempercepat agenda reformasi TNI. UU 34/2004 misalnya mengatakan dalam salah
satu klausul bahwa Panglima TNI berada di bawah kewenangan Menteri Pertahanan.
Bagaimana klasul ini dijalankan, apakah dengan menjadikan panglima sebagai anak
buah menteri pertahanan yang berasal dari sipil sehingga sangat sulit diterima tentara
atau modelnya seperti apa? Ini belum jelas sampai sekarang. Selain itu, undang-
120
undang militer dan sipil masih bertentangan dalam hal substansi. UU Pengadilan
Militer dan UU Pengadilan HAM misal nya berbeda pendapat tentang militer
yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Dalam kasus Timor Timur, menurut UU
Pengadilan Militer, yang harus diadili adalah prajurit yang terlibat langsung dalam
penembakan di lapangan, bukan petinggi yang memberikan perintah. Sementara UU
Pengadilan Ham mengatakan sebaliknya sehingga Wiranto dalam kasus Timor Timur
harus diseret ke pengadilan HAM.
Sampai di sini, mau tidak mau, kita harus mengatakan dengan jujur bahwa
reformasi TNI yang diharapkan masih “jauh panggang dari api”. Antara visi reformasi
dan praktek dalam kenyataan masih tidak sinkron sehingga masih sulit mengharapkan
transisi demokrasi di Indonesia bisa berakhir dalam waktu yang singkat. Militer
secara formal sudah sedikit banyak ditarik dari wilayah politik, tetapi dalam praktek
masih menjadi figur-figur yang krusial dalam menentukan arah politik nasional. Maka
dapat disimpulkan untuk sementara bahwa militer masih menjadi kekuatan politik
yang pretorian dalam konstelasi politik nasional di Indonesia.
67
Ini adalah nilai dasar dari model “tentara rakyat” yang sejatinya adalah ciri tentara Indonesia. Tentara
lahir dari rakyat bukan bentukan negara, maka hakikat tentara Indonesia adalah tentara rakyat yang
berada di hati rakyat. Lihat Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, edisi ketiga, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1991)
123
terpenting adalah bagaimana TNI mensikapi hari esoknya, agar semua prestasi
yang telah diraih dimasa lalu dan keberadaan dirinya ditengah-tengah bangsa
tetap bermanfaat bagi anak keturunan, sekurangnya tidak terus menjadi beban mereka.
Maka persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini adalah bagaimana kedepan
kita tata ulang TNl untuk menyongsong keniscayaan lahirnya sistem kenegaraan yang
demokratis. Artinya TNI tidak lagi berpolitik seperti selama masa Orde Baru seperti
yang ditulis Wolfgang Merkel “angkatan bersenjata sejak kemerdekaan negara (1945)
adalah faktor kekuatan sentral dalam politik negeri Indonesia, perannya sebagai
kekuatan veto tidaklah hanya merupakan hasil dari hak istimewa politik, yang di
dalamnya mereka dapat menuntut, melainkan juga tertanam kuat dalam struktur
institusional sistem politik”68.
Sikap yang demikian itu bukanlah serta merta kita akan mengubah begitu saja apa
yang ada saat ini, karena sejumlah persyaratan haruslah terlebih dahulu dipenuhi agar
tidak terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power), karenanya harus diatur secara
lintas sektoral dan dilaksanakan secara bertahap. Keuntungan yang akan didapat
dengan penyikapan seperti itu, otomatis akan membuat TNI kembali menjadi agen
perubahan sebagaimana yang dicontohkan para pendahulunya diwaktu yang lalu. Dan
sudah barang tentu yang harus dihindari oleh bangsa ini adalah sikap yang terus
terjebak pada pendirian bahwa TNI yang ada adalah bentuk final atau harga mati yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana sikap yang dikembangkan TNI dimasa
Orde Baru.
Penataan kembali juga tidak selayaknya ditempat- kan sebagai pengingkaran
nilai-nilai TNI. Justru sebaliknya, rasa terima kasih kepada generasi pendahulu
haruslah diwujudkan dalam bentuk menjaga dan meningkatkan prestasi utamanya
nama besar yang diwariskan, bukan soal mempertahankan cara-cara yang dulu
diterapkannya. Tanpa kesadaran untuk mengubah segenap nilai-nilai instrumen (cara--
cara) yang sebagian memang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman, niscaya
pengorbanan para pendahulu menjadi sia-sia, bahkan bisa jadi akan membuat TNI
tersisih dari percaturan bangsa nya.
Perkembangan kehidupan demokrasi telah membuat dalam pengelolaan
kenegaraan dan terlebih kedepan tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang
bercirikan "top-down" dan juga segala model yang biasa berlaku dalam kehidupan
68
Wolfgang Merkel, Ibid. hal 142 mencatat lagi, “harapan keberhasilan perkembangan demokrasi di
Indonesia, masih belum pasti, meskipun proses demokratisasi ini berkelanjutan dibandingkan
gelombang demokratisasi ketiga di negara-negara demokrasi muda di Asia Selatan setelah 1974”.
124
militer. Karena cara-cara yang demikian hanya cocok dalam sistem kenegaraan
yang menganut paham otoriter. Cara-cara yang tidak melandaskan pada
"supremasi sipil", hanyalah tepat manakala negara dalam kedaan perang atau tidak
normal, dimana tentara digunakan untuk mengatasinya, baik dengan menerapkan
pemerintah- an darurat militer, ataupun dalam bentuk civic mission yaitu saat bangsa
ini menghadapi bencana alam dan malapetaka kemanusiaan lainnya. Disanalah
pentingnya keterus terangan dan kejelasan informasi kepada segenap warga bangsa
dan juga para sesepuh generasi pendahulu TNI, tentang perubahan konsep
pengelolaan TNI kedepan akibat perubahan keadaan bangsa dan juga lingkungan
strategis yang ada. Dengan perubahan tuntutan lingkungan strategis membuat nilai-
nilai instrumen yang dulu menjadi andalan para pendahulu tidaklah mungkin
seluruhnya bisa diterapkan dalam kehidupan sekarang dan terlebih dimasa mendatang.
Dan apalagi sistem pemerintahanpun telah berganti tidak lagi mengguna kan cara-cara
otoriter seperti yang diterapkan selama Orde Baru, bahkan tidak lama lagi bangsa ini
segera masuk dalam era "civil society". Sudah barang tentu dalam tata kehidupan yang
menegakkan "supremasi sipil", upaya untuk mempertahankan cara-cara lama yang
umumnya bersifat "top down" akan bertentangan dengan tuntutan lingkungan yang
ada baik dalam negeri maupun global. Dan sekiranya mau jujur, dalam keadaan
normal hal-hal yang demikian itu sesungguhnya bertentangan dengan hakikat
kelahiran manusia didunia untuk bebas dan merdeka. Hal yang demikian memang
dikecualikan bagi kehidupan tentara, dan itupun prosesnya melalui latihan yang
panjang dengan biaya yang tidak kecil dan kemudian diterapkan terus menerus dalam
kehidupan kesehari- an. Karenanya kalau cara-cara "top-down" kedepan terus
dipaksakan niscaya akan menjadi bumerang, setidaknya akan menjadi kontra
produktif yang resikonya bisa menjadi fatal bagi bangsa, negara dan terlebih bagi TNI
sendiri.
Menata ulang TNI sama sekali juga bukanlah upaya mengembalikan TNI ke
barak, tapi bagaimana TNI diposisi secara benar dalam kerangka sistem kenegaraan
yang demokratis. Dengan demikian tampilnya TNI benar-benar secara proposional
dalam "core bisnis"nya yaitu bidang pertahanan negara, dan juga menangani segala
persoalan kenegaraan apapun bentuknya manakala keadaan tidak lagi normal
(abnormal) dan atau masalah yang tidak bisa atau dipastikan tidak bisa diselesaikan
dengan cara-cara sipil.
Sebuah kisah sukses (succes story) yang luar biasa memang telah diraih oleh para
125
pendahulu TNI, dalam situasi yang sangat genting dan bahkan abnormal (darurat)
telah berhasil mengantar per juangan bangsa dalam mempertahankan keutuhan
Republik Indonesia. Semua yang terbaik setidaknya menurut persepsi TNI juga telah
diberikan kepada bangsa nya agar segera mengejar ketertinggalan dengan
pembangunan nasionalnya terlebih di awal era Orde Baru. Sayang sekali setelah
keadaan kembali normal, keberadaan TN1 malah diposisikan lebih sebagai alat
penguasa daripada sebagai alat negara. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem kenegara-
an yang dianutnya memang model otoriter. Maka maraknya tuntutan perubahan oleh
TNI justru disikapi dengan cara mengabaikan dan malah menekannya. Yang terjadi
ketika perubahan tidak lagi bisa dibendung, dan pemerintahan Orde Baru pun jatuh,
semuanya menjadi terbalik-balik. Dan perubahan pun begerak "liar" tidak lagi bisa
dikontrol. Banyak pihak kemudian mempertanyakan sikap TNI dalam menghadapi
kondisi yang berkembang, dan sebagian lagi menuduh adanya keterlibatan bagian TNI
dalam konflik sosial dan juga pengeboman yang terjadi menjelang dan pasca jatuhnya
Suharto. Dengan tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun, tuduhan yang
semacam itu sangatlah wajar, karena sampai dengan tampilnya Habibie sebagai
Presiden penanggung jawab tunggal dibidang pertahanan dan keamanan memanglah
ABRI (TNI). Kewajaran “tuduhan” tersebut juga tidak bisa lepas dari realita
kehidupan kemasyarakatan yang awalnya (di era Orde Baru) begitu terkontrol dengan
ketatnya oleh ABRI, namun diujung kekuasaan Orde Baru begitu saja banyak kasus
kriminal besar dan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa diungkap, dan kemudian
terjadi konflik sosial disejumlah daerah, bahkan senjata api pun ikut digunakannya.
Begitu pula persoalan Sishanta (dahulu:Sishankamrata), kalau memang nyatanya out
put sistem tersebut dalam kenyataannya Indonesia berdarah-darah, jatuhnya korban
diantara anak bangsa akibat konflik sosial terus silih berganti, lepasnya Timor Timur,
Sipadan dan Ligitan yang begitu saja tanpa reaksi berarti dari rakyat banyak, dan terus
berlarutnya masalah keamanan di Aceh dan Papua maka tidaklah berlebihan kalau
kita menyimpulkan bahwa Sistem Pertahanan yang ada tidak lagi efektif, dan
karenanya perlu perumusan ulang konsep pertahanan yang disesuaikan dengan
perkembangan lingkungan strategis yang melingkupi bangsa kita saat ini dan trend
perkembangannya kedepan.
71
S. Yunanto dan Ali A. Wibisono, Quo Vadis Pengambilalihan Bisnis TNI, dalam Beni Sukadis, et
al., Ibid. hal 14
135
penampilan lama dalam bentuknya yang baru terus saja bennunculan.
Terlibatnya TNI dalam kasus Pembunuhan tokoh Papua Theis Aluway dan
Bentrokan antara TNI dan Polri seperti yang terjadi di Binjai adalah contoh konkrit
yang tak terbantah- kan. Dan dipastikan akan disusul dengan kasus-kasus sejenis
lainnya dimasa mendatang utamanya yang berkaitan dengan persoalan ekonomi
termasuk dalam kasus illegal loging dan perjudian, karena akar masalah penyebab
terjadinya kasus-kasus seperti itu sama sekali belum tersentuh oleh gelombang
reformasi internalnya.
Untuk mengawali pekerjaan besar dengan banyak aspek dan segmen yang harus
ditangani maka pilihan prioritas dengan membenahi hal yang paling fundamental
seperti perubahan visi dan misi TNI sebelum melangkah dibidang lainnya menjadi
sangat relevan.
Memahami TNI tanpa mendalami proses tumbuh dan berkembangnya secara utuh akan
melahirkan kesimpulan yang keliru. Sebagai Tentara yang bukan bentukan Pemerintah,
kelahiran TNI sudah barang tentu tidak bisa lepas dari suasana kebathinan bangsa
yang begitu bergelora penuh rasa patriorisme dan heroik bersatu padu merebut
kemerdekaan, dan kemudian mempertahankannya. Bila ditilik dari keberadaan elit
pendiri TNI sesungguhnya dapat dikelompokan dalam dua sumber. Sumber pertama
adalah mereka mantan KNIL dan sebagian lagi adalah para pejuang yang umumnya
mantan PETA dan juga tokoh perjuangan dengan berbagai basis kedaerahan dan
keagamaan. Satu-satunya mantan KNIL yang bisa "masuk" PETA adalah Suharto
yang dikemudian hari menjadi Presiden RI kedua. Dalam proses selanjutnya kelompok
Laskar Perjuangan dengan Jendral Sudirman sebagai simbolnya memang banyak
menatahkan, menggoreskan dan bahkan merumuskan nilai-nilai luhur yang
kemudian dijadikan sebagai Jati Diri dan atau idenritas TNI. Namun demikian
daalam proses internalisasi dan juga pewarisan nilai-nilai tersebut sejak awal
kemerdekaan pun tidak begitu saja mulus. Karena TNI pun harus tunduk terhadap hasil
kesepakatan peijanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Konsekuensi logis dari hasil
KMB, TNI kemudian menempuh program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) yang
dampaknya sangat menyakitkan dan merugikan kelompok eks Laskar Perjuangan.
Karena banyaknya anggota yang turun pangkat dan jabatan akibat tidak
sepadannya tingkat pendidikan dengan pangkat dan jabatan yang diembannya. Sudah
barang tentu dalam proses rasionalisasi, TNI menempuh program pembekalan
pengetahuan dan ketrampilan militer dasar utamanya bagi kelompok eks Pejuang
136
melalui lembaga-lembaga pendidikan militer di markas-markas eks tentara
Belanda (KNIL), sebagaimana hasil KMB disepakati pelaksanaannya ditangani
oleh Tim khusus oleh Tentara Belanda. Sudah barang tentu tenaga pendidik dan
pelatih yang berasal dari TNI yang dilibatkan dalam program ini banyak didominasi
oleh mereka yang eks KNIL. Kondisi ini bisa dipahami karena prajurit TNI eks KNIL
memang lebih duluan menguasai tehnologi dan ilmu kemiliteran dibanding kan
mereka yang berasal dari kelompok perjuangan.
Begitu pula dalam kehidupan kesatuan TNI periode berikutnya, proses reqruitmen
dan kaderisasi TNI melalui proses pendidikan formal kemiliteran di- lembaga-
lembaga Pendidikan Militer dimana tenaga pelatihnya pun banyak didominasi oleh
prajurit TNI eks KNIL. Dengan kata lain untuk periode tertentu sejak pasca KMB
proses pembentukan, pengembangan dan pelembagaan sikap perilaku dan jiwa
kejuangan kader-kader TNI banyak didominasi oleh mantan KNIL, bukan oleh para
pendiri TNI yang berasal dari kelompok perjuangan.
Kondisi yang demikian tadi lebih parah sejak bangsa ini memasuki era Orde
Baru, dimana TNI bersama Polri (ABRI) diposisikan lebih sebagai alat kekuasaan.
Selama Orde Baru, TNI atas nama dan untuk kepentingan negara dan bangsa
kemudian meramuskan sendiri hakekat AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan dan
Tantangan) yang bakal dihadapi Negara, dan kemudian disikapinya dalam bentuk
tindakan dan bahkan operasi militer. Diawal Orde Baru PKI dan segenap pihak yang
berfiliasi dan bahkan sekedar condong ke komunisme oleh TNI dijustifikasi sebagai
musuh negara dengan sebutan Ekstrim Kiri(EKKI). Setelah pamor komunisme di
dunia mulai turun, terlebih setelah perang dingin mendekati usai, maka kelompok
tertentu dari lingkungan agama dalam hal ini Islam yang berperilaku tidak sejalan
dengan politik dan kepentingan Pemerintah ataupun yang mengambil sikap oposisi
terhadap Pemerintah, oleh TNI dijustifikasi sebagai Ekstrim Kanan (EKKA). Begitu
pula terhadap pihak lain yang tidak bersumber dari paham komunisme dan Agama
seperti Buruh, LSM, Kelompok Cendiawan tertentu dan bahkan Pumawirawan
ABRI yang sikapnya dianggap merugikan kepentingan politik Pemerintah seperti
mereka yang tergabung dalam Petisi 50 dijustifikasi sebagai Ekstrim Lain (EKLA).
Sudah barang tentu ketiga kelompok ekstrim tersebut dikategori sebagai musuh
negara yang kemudian disikapi dengan cara-cara militer, termasuk penggunaan
cara-cara kekerasan. Kondisi yang demikian ini berjalan lebih dari 32 tahun. Cara
pandang yang demikian ini jelas sama sekali tidak mencerminkan visi tentara dari
137
sebuah negara yang merdeka apalagi yang menganut paham demokrasi. Dimana
perbedaan pendapat dan oposisi dengan kritik yang keras/tajam sekalipun justru
sebagai kebutuhan dan bahkan harus ditempatkan kekuatan dari sebuah
demokrasi. Visi tentara yang demikian tadi sesungguhnya hanya pantas dimiliki oleh
Tentara Kolonial, sebagaimana sikap KNIL terhadap kaum Bumi Putera dan
pejuang kemerdekaan dalam era penjajahan Belanda dulu. Perubahan Visi juga
menjadi sangat mendasar, karena mustahil visi yang ditumbuh kembangkan selama
masa Orde Baru begitu saja berubah tanpa proses transformasi yang disengaja
dan terukur. Adalah hal yang mustahil perubahan yang bersifat fundamental
bakal terjadi hanya karena ganti Pemerintahan dam ganti Pimpinan TNI menyusul
lengsernya Suharto.
Perubahan visi otomatis akan melahirkan perubahan misi. Saat ini melalui
Ketetapan MPR No.VI/MPR 2000 memang tugas pokok TNI sudah berubah hanya
menangani bidang Pertahanan Negara. Tugas pokok TNI memang haras dipatok
hanya dalam hal Pertahanan Negara saja, namun demikian memaknai Pertahanan
Negara bukanlah hanya berarti TNI tugasnya untuk mengahadapi invasi pasukan
reguler musuh dari luar. Mematok tugas pokok TNI hanya untuk menghadapi musuh
dari luar, dipastikan akan menjadi bumerang, karena TNI pasti akan terlambat
berreaksi. Dari spektrum perang menempatkan penggunaan sebuah pasukan reguler
untuk melaksanakan invasi adalah tahap akhir, setelah "senjata" lainnya seperti
ekonomi dan politik telah optimal digunakannya. Maka misi TNI akan lebih tepat
dikembalikan keposisi misi awal yang dahulu dicanangkan oleh para pendiri TNI yaitu
sebagai Bhayangkari Negara. Dengan kata lain dalam memaknai tugas pokok TNI
dibidang Pertahanan Negara bukanlah bidang pertahanan negara dalam arti sempit,
namun pertahanan negara dalam arti luas yaitu setiap ancaman yang secara terukur
bersentuhan langsung dengan kedaulatan negara dan bangsa termasuk
didalamnya masalah keselamatan jiwa warga negara, pencurian kekayaan alam,
narkotika, terorisme, sparatisme, harkat dan martabat bangsa dan segala hal yang
dihadapi bangsa-negara yang nyata-nyata tidak bisa atau dipastikan tidak bisa lagi
ditangani secara fungsional oleh lembaga pemerintahan sipil termasuk oleh Polisi.
Timbulnya kekhawatiran terjadi kembali tumpang tindih fungsi antar lembaga
terkait, sesungguhnya persoalan terletak pada bagaiinana rule of engagement yang
mengaturnya. Kapan instansi Pemerintahan (sipil) dan atau Polisi turun tangan, kapan
dan bagaimana TNI atau bagian TNI seperti intelejen umpamanya dikerahkan. Karena
138
pada hakekatnya dalam keadaan dimana instansi Sipil dan Polri sudah tidak lagi
atau dipastikan tidak akan efektif untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
bangsa dan negara, maka saat itu Negara bisa mengerahkan kekuatan nasional yang
manapun, terlebih TNI untuk turun tangan. Dengan demikian obyek yang ditangani
bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan semata, tapi juga persoalan sosial dan
kemanusiaan apapun bentuknya, terlebih yang menyangkut persoalan harkat, martabat,
derajat
dan kehormatan diri sebagai bangsa.
Dengan demikian maka yang diperlukan adalah perubahan mind set dan sekaligus
madzab berpikir yang didahului oleh sebuah kesadaran baru bahwa dirinya bukan lagi
“pemain”, tapi tak lebih adalah “pagar” dan atau “penjaga” dari sebuah negara dan
bangsa yang menganut paham demokrasi.
73
Andi Wijayanto, Transformasi Postur Pertahanan Indonesia, dalam Beni Sukadis, et al., Menuju
TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI, (Jakarta: Friederich-Ebert Stiftung, 2005), hal. 44
149
mereka masuk kedalam kehidupan sosial bangsa kita. Menghadapi hal yang
demikian, tidaklah berarti kemudian TNI kembali masuk kehampir seluruh aspek
kehidupan sebagai-mana yang terjadi di era Orde Baru, tapi kinerja sistem politiklah
yang harus menjamin mampu me- nangkal hadirnya infiltrasi kepentingan asing
tersebut. Disanalah peran lembaga intelejen, Polisi dan lembaga sipil terkait lainnya
harus dioptimalkan. Dan kalau toh itu gagal maka tampilnya TNI haruslah pada saat
keadaan sudah tidak normal (abnormal) saja. Karena ada atau tidak infiltrasi
kepentingan asing sesungguhnya dalam tata pergaulan internasional adalah hal yang
wajar-wajar saja. Persoalan yang mendasar yang melatar belakangi terjadinya konflik
dalam negeri termasuk yang berbentuk perlawanan bersenjata sekalipun seperti yang
terjadi di Aceh dan Papua sesungguhnya murni masalah politik, karena nya juga
haruslah diselesaikan dengan cara politik pula. Terjadinya penggunaan senjata oleh
sebagian warga bangsa kita dalam memperjuangkan aspirasinya sesungguhnya bisa
ditempatkan sebagai indikasi kuat kegagalan politisi sipil, sekaligus sebagai petunjuk
adanya kesalahan dalam sistem pengelolaan politik kekuasaan dilingkungan sipil. Dan
upaya menyeret TNI kedalam persoalan yang berasal dan berada diwilayah politik
oleh kaum sipil apalagi yang ber- akibat jatuhnya korban diantara anak bangsa sendiri
dapatlah dikategorikan sebagai kejahatan politik oleh politisi sipil. Namun kalau toh
kondisi tersebut sudah terlanjur tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara politik,
maka turun tangannya tentara untuk menghadapai bagian dari bangsanya sendiri
hanyalah saat nyata-nyata keadaan diwilayah tersebut sudah tidak normal lagi.
Disinilah pentingnya tentara juga harus berperan dalam mengeliminasi potensi per-
pecahan bangsa dan negara, dengan cara menumbuh- kan sebuah daya tangkal untuk
mencegah munculnya niat dan kesempatan daerah tertentu untuk memisah- kan diri
dari Republik Indonesia. Maka dalam penata an dislokasi kesatuan juga didasarkan
pula pada kepentingan untuk mendatang kan daya tangkal tersebut, dengan pengertian
tidak hanya disiapkan untuk menghadapi kedatangan invasi angkatan bersenjata asing
semata, tapi juga harus mampu menghilangkan atau mengeliminasi potensi untuk
memisahkan diri oleh daerah manapun, disamping juga mempertimbangkan untuk
tugas-tugas untuk menjalankan Pemerintahan Darurat Militer.
Tentara juga mempunyai tugas untuk tampil pada saat keadaan tidak normal
lainnya yaitu pada saat terjadi musibah kemanusiaan ataupun bencana alam apalagi
yang mengakibatkan lumpuhnya fungsi birokrasi sipil atau yang tidak mungkin
ditangani oleh Pemerintahan sipil. Disanalah maka kita saksikan dimana bantuan dari
150
negara sahabat sewaktu terjadi "tsunami" di Aceh dan Sumatera Utara yang
datang pertama kali adalah tentara mereka, karena paham yang demikian adalah
universal. Baru kemudian belakangan disusul batuan dari kaum sipil yang tergabung
dalam Palang Merah Internasional, LSM dan juga tenaga ahli/trampil dari kalangan
sipil lainnya.
Dalam keadaan damai dimana TNI tidak sedang menghadapi ancaman nyata,
maka tugas TNI adalah latihan, latihan dan latihan. Tak ubahnya kesebelasan sepak
bola peringkat dunia, saat tidak bertanding dalam kompetisi dunia, tak kurang dua kali
setiap minggunya mereka berlatih dalam pertandingan putaran di "liga" nya masing-
masing. Sehingga pada saat tampil dalam pertandingan yang sebenarnya, setiap
penonton walaupun dengan membayar tiket yang mahal, mereka puas dengan
penampilan kesebelasan paforitnya, walaupun ia tidak menduduki ranking paling atas
sekalipun. Dengan mencontoh pada kesebelasan sepak bola tersebut, maka kehadiran
TNI untuk melaksanakan tugas operasi militer haruslah menghadirkan keyakinan
rakyat bahwa keadaan akan segera teratasi. Dengan demikian penampilannya sebagai
mesin penghancur justru melahirkan optimisme bahwa keadaan segera dapat
dikendalikan. Sudah barang tentu kekuatan mesin perang yang demikian ini haruslah
disusul dengan eselon yang melaksanakan rehabilitasi yang biasa disebut sebagai
"civic mission". Penugasan yang demikian ini juga harus menampilkan rasa kagum,
bangga dan terima kasih dari rakyat, karena rakyat memang merasakan dengan sangat,
atas bantuan yang diberikan oleh tentara.
Struktur pengorganisasian TNI kedepan sebaiknya tidak disusun dalam bentuk
kewilayahan, tapi benar-benar dalam bentuk satuan-satuan tempur hubungan besar
menurut kerangka pembinaan matra angkatan masing-masing. Namun demikian tiap
satuan sudah dipersiapkan untuk melaksanakan tugas pokok dalam wilayah tertentu,
disamping sebagai cadangan bagi wilayah lainnya. Komando Operasi Gabungan
mempunyai otoritas penuh dalam hal latihan bagi semua satuan-satuan yang
tergabung dalam satu komando latihan. Latihan yang dimaksud adalah untuk
menghadapi kontijensi yaitu gelar pertahanan dengan mengasumsikan hakekat
ancaman yang bakal dihadapi. Dengan latihan semacam itu maka setiap kesatuan
sudah mengenali secara sungguh-sungguh keadaan wilayah tertentu yang pada
saatnya berubah menjadi mandala atau palagan pe- perangan yang sebenarnya, yaitu
bila musuh sungguh-sungguh datang. Dengan kata lain susunan TNI kedepan diatur
berdasarkan organisasi tempur. TNI kedepan juga tidak dilibatkan dalam urusan diluar
151
latihan termasuk pengamanan dan penjagaan kekaya- an alam secara langsung,
apalagi untuk penjagaan perusahaan-perusahaan asing, karena hal yang demikian
maksimal dikerjakan oleh Polisi. Dengan pengorganisasian, pengaturan fungsi dan
kewenangan yang demikian itu maka tidak akan ada lagi operasi militer yang bisa
dilaksanakan oleh satuan bawah yang manapun, tanpa perintah Presiden. Disana nanti
sistem pengaturan TNI otomatis menjamin tidak akan pernah terjadi lagi kasus
penculikan, pembunuh an ataupun tindak kekerasan lainnya terhadap siapapun baik
warga negara sendiri maupun asing yang dikerjakan oleh satuan TNI yang manapun.
Bab Ketujuh
KESIMPULAN
Kalau saja sebagai bangsa mau mengambil hikmah dari perjalanan sejarahnya
selama enam puluh tahun yang terus dirundung malang dengan korban jatuhnya jiwa
dan biaya politik yang tidak kecil, sesungguhnya masalah bangkitnya peradaban
bangsa sekaligus dengan kejayaannya dalam waktu dekat ini bukanlah hal mustahil.
Karena penampilan buruk yang ada pada diri bangsa sesungguhnya lebih disebabkan
oleh kinerja sistem kenegaraan itu sendiri. Memang betul ada kerusakan pada
kejiwaan bangsa, namun demikian bukanlah pada mayoritas warga bangsa, melainkan
hanya pada sejumlah kecil dari bagian anak bangsa yang kebetulan menguasai sendi-
sendi kehidupan orang banyak, utumanya yang memegang kekuasaan negara. Belum
disusunnya sistem kenegaraan yang menjamin terwujudnya demokrasi dengan benar,
membuat munculnya peluang yang begitu besar untuk terjadinya pelanggaran HAM
dan penyalah gunaan wewenang/ kekuasaan oleh aparatur negara terlebih masalah
korupsi. Dengan kata lain terjadinya korupsi bukanlah karena semata-mata kerusakan
moral, hilangnya nurani dan persoalan gaji yang kecil belaka, tapi lebih karena sistem
kenegaraanya itu sendiri yang memang korup. Sistem kenegaraan yang demikian itu
juga tidak bisa lepas dari konsep politik yang dikandung oleh UUD 1945 yang
memang rawan untuk terjadinya deviasi dalam penerapannya. Disisi lain juga
disebabkan oleh sikap inkonsistensi dari UUD kita dalam menerapkan kaidah, norma
dan prinsip dasar dari demokrasi yang dicampur adukkan dengan nilai yang berasal
paham otoriter dan juga penggunaan instrumen sistem parlementer kedalam sistem
demokrasi presidensial. Sehingga menjadi wajar kalau penampilan sistem kenegaraan
yang ada belum bisa mewujudkan misi sucinya, termasuk setelah UUD-45
diamandemen.
159
Sangat disayangkan selama ini bangsa kita belum sampai pada kesadaran
bersama bahwa sistem kenegaraan yang ada belum memenuhi azas obyektifitas,
rasionalitas, validitas dan juga teruji kebenarannya dalam praktek minimal secara
empirik oleh bangsa-bangsa lain. Maka jatuhnya korban diantara anak bangsa akibat
petaka kemanusiaan, hancurnya derajat dan martabat dalam tata pergaulan dunia, dan
terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang terjadi diawal Orde Baru
dan terlebih pada pasca jatuhnya Suharto belum melahirkan justifikasi bahwa sistem
kenegaraan yang ada telah gagal dalam mengemban misi sucinya.
Dihadapkan pada semua persoalan yang ada, maka yang terpenting bagi bangsa
kita saat ini adalah tumbuhnya kesadaran publik yang dimulai dari kaum elitnya
tentang pentingnya perumusan ulang UUD untuk menggantikan UUD yang ada saat
ini. Dengan demikian kedepan UUD kita bebas dari tirani dan menjamin adanya
kesetaraan, serta benar-benar memuat rancang bangun serta mekanisme sistem
kenegaraan yang demokratis. Sudah barang tentu UUD yang demikian juga memuat
kaidah-kaidah demokrasi yang jelas dan tegas termasuk pengaturan hak-hak warga
negara dan kwajiban-kwajiban Negara secara detail. Sehingga ia mampu menjamin
ditegakkannya HAM, tidak terjadinya penyalahgunan kekuasaan dan wewenang
utamanya korupsi oleh aparatur Negara yang manapun. Setidaknya soal korupsi
dijamin dapat dieliminasi secara optimal oleh sistem kenegaraan yang kelak kita
sepakati.
Sejumlah kerawanan utamanya yang bersumber pada budaya bangsa juga
melingkupi kita, namun sisa sisa rasa ikatan (kohesifness) ke Indonesia an masih
cukup kuat untuk kita menata kembali kehidupan dalam kerangka Indonesia yang
satu. Maka yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana kedepan bangsa ini
segera menata ulang sistem kenegaraan dengan merumuskan yang baru sekalipun.
Sistem kenegaraan kita haruslah sungguh-sungguh konsisten dan konsekwen
menerapkan nilai-nilai universal yang nyata-nyata terbukti mampu menjamin sebuah
negara akan berhasil menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta
mampu menghadirkan kebanggaan dalam ber Indonesia bagi segenap warga bangsa
tanpa kecuali. Karena kita bersepakat memilih demokrasi, maka kedepan dalam
menusun sistem kenegaraan kita harus secara sadar mengeliminasi nilai-nilai yang
berasal dari luar faham demokrasi dan apalagi yang dampaknya bisa merusak
demokrasi itu sendiri. Kedepan kaidah, norma dan prinsip dasar dari model demokasi
yang dipilihnya yaitu sistem presidensial juga harus dipedomani secara benar dan
160
kosisten serta konsekwen. Tidaklah benar kalau kita secara sengaja mencampur
adukkan antara instrumen sistem presidensial dengan parlementer apalagi tanpa
memberi back up sistem agar keduanya tidak saling mengancurkan kekuatannya
masing-masing. Untuk itu proses amandemen yang akan datang semestinya dimulai
dari merumuskan kembali soal kejiwaan yang akan digunakan dalam membangun
sistem kenegaraan dan pola dasar (rancang bangun) sistem politik nasional terlebih
dahulu. Konsep sistem kenegaraan tersebut haruslah benar-benar teruji obyekfitas,
rasionalitas dan validitasnya terlebih dahulu, serta pembuktian kebenarannya minimal
secara empirik oleh bangsa-bangsa lain. Sehingga kedepan bangsa yang jumlahnya
lebih dari 200 jutaorang ini tidak lagi dijadikan obyek uji coba dari sebuah hipothesa
dari rumusan sistem kenegaraan yang hanya melandaskan pada aturan "quorum" dan
suara mayoritas semata. Hanya dengan kesadaran tersebutlah, kedepan kita akan
mempunyai sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis, karena didalamnya
mengejawantahkan nilai-nilai universal yang dikandung oleh paham demokrasi antara
lain bebas dari tirani, kesetaraan, kedaulatan ditangan rakyat, "chek and balance",
"supremasi sipil", transparansi, jujur dan adil, efisiensi, dan pemisahan secara tegas
antara jabatan politik dengan jabatan karier. Bangunan sistem politik kedepan juga
harus dirancang agar segala perbedaan dan konflik dalam dinamika pengelolaan
Negara diposisikan pada strata operasional yang menjadi wilayah politik
pemerintahan siapapun Presiden terpilihnya dan dari partai yang manapun. Sehingga
“gejolak” yang terjadi dalam tubuh bangsa apapun bentuknya senantiasa akan tetap
dalam wadah yang satu yaitu Republik Indonesia.
Dari sebuah sistem kenegaraan yang nyata-nyata gagal dan telah melahirkan
kondisi keterpurukan yang berlarut, sangatlah mustahil kalau dirinya akan mampu
memperbaiki dirinya. Pengalaman sejumlah negara sahabat yang berhasil keluar dari
krisis nasionalnya dan kemudian membangun peradabannya yang baru juga dimulai
dengan perubahan sistem kenegraannya terlebih dahulu. Namun demikian untuk
mengubah sistem kenegaraan yang ada dibutuhkan kepemimpinan yang kuat yang
bisa menepis kekuatan yang manapun yang akan terus mencoba mempertahan sistem
yang lama. Ia juga pemimpin yang tidak terkungkung oleh madzab berpikir lama, dan
yang pasti bisa memahami akar masalah yang dihadapi bangsanya. Karenya
dipersyaratkan untuk mampu memisahkan tanggung jawab masa lalu dengan
tanggung jawab masa depan, melalui sebuah proses rekonsiliasi nasional. Disamping
itu ia juga dipersyaratkan mempunyai visi kenegaraan baru yang didasarkan pada
161
nilai-nilai universal dan yang secara common sence bisa dipahami sebagai
kebenaran umum. Pemimpin yang demikian itu, bisa lahir karena keyakinan diri
tentang pentingnya perubahan secara fundamental dari sistem kenegaraan yang ada
saat ini, atau kelak lahir melalui proses panjang karena sebuah keterpaksaan akibat
tekanan keadaan. Oleh karena itu semua pihak yang peduli tehadap kelanjutan
eksistensi dan nasib serta masa depan bangsa dan negara perlu mengembangkan
dialog dan pencerahan publik tentang kebutuhan adanya perubahan sistem
kenegaraan. Sehingga pada saatnya lahir kesadaran publik untuk merumuskan UUD
yang baru. Dengan demikian soal keputusan Negara untuk melaksanakan enginering
politik guna membentuk sebuah Badan Perumus UUD Baru hanyalah persoalan
waktu belaka. Karena proses perubahan itu sendiri dilakukan dengan terukur, maka
masa transisinya pun otomatis akan terkontrol oleh Negara. Kesadaran pentingnya
perumusan UUD Baru diawal sebuah perubahan yang fundamental baik dalam
kategori revolusi ataupun reformasi bukanlah sebuah hiphotesa yang masih
memerlukan pembuktian kebenarannya, tapi afeksi yang nyata-nyata telah
dilaksanakan oleh banyak sekali bangsa dan Negara yang jatuh dalam krisis nasional
kemudian bangkit membangun peradabannya yang baru.
Sejalan dengan penataan demokrasi, maka TNI pun harus ditata ulang sebagai
satu kesatuan tak terpisahkan dari sistem kenegaraan yang berdasarkan paham
demokrasi dengan sistem presidensial. Penataan TNI yang demikian itu sesungguhnya
kebutuhan bangsa, karena TNI sejak kelahirannya memang belum dirancang dalam
sebuah "blue print" sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem kenegaraan secara
keseluruhan. TNI memang bukan bentukan pemerintah, ia tumbuh dan berkembang
lebih dikarenakan tuntutan perjuangan serta dinamika perjalanan bangsanya. Penataan
TNI yang demikian itu haruslah didahului dengan perubahan paradigma, visi dan misi
TNI, sehingga kedepan bangsa ini bisa menumbuh kembangkan "supremasi sipil"
sekaligus mampu membebaskan TNI dari segala persoalan politik praktis. Dengan
tatanan yang menempatkan TNI hanya sebagai alat negara dengan "core bisnis"nya
pada fungsi pertahanan negara, niscaya akan menjamin tidak akan terulang lagi
keterlibatan TNI dalam dinamika politik dengan bentuk apapun. Dengan kedudukan
TNI hanya dibawah Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima
Tertinggi TNI serta wewenang komando operasional juga hanya dipegang oleh
Presiden, maka segala kelemahan dan sisi gelap perjalanan sejarah TNI dimasa lalu
tidak akan terulang lagi. Pimpinan TNI dipegang oleh Seorang Kepala Staf Gabungan
162
yang akan beralih menjadi Panglima TNI manakala keadaan sudah benar-benar
membutuhkannya. Kepala Staf Gabungan membawahi ketiga Kepala Staf
Angkatan, dan Komando-komando Gabungan ditingkat operasional. Dalam
pengurusan anggaran Kepala Staf Gabungan dibawah kordinasi Menhan. Adapun
tugas TNI dimasa damai adalah latihan dan membantu penduduk yang sedang dilanda
musibah kemanusiaan, serta tugas-tugas lain yang tidak mungkin lagi ditangani
dengan cara-cara normal oleh pemerintahan sipil termasuk oleh polisi. Adapun politik
TNI kedepan bukan lagi politik Negara, tapi politik pertahanan Negara. Gelar TNI
juga perlu diatur untuk mendatangkan daya tangkal bagi daerah manapun yang
mempunyai potensi untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dengan
pengaturan yang demikian, kedepan tidak ada lagi kebijakan satuan bawah yang tidak
ada kaitannya dengan tugas pokok TNI yang bisa mengakibatkan jatuhnya korban
terlebih bagi anak bangsa nya sendiri.
Dengan sistem kenegaraan yang baru sebagaimana uraian diatas, Bangsa
Indonesia akan segera tampil tidak hanya sebagai Negara yang demokratis yang kuat
dari semua aspek kehidupan, karena tingkat stabilitas politiknya yang tinggi namun
responsif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berkembang. Kedepan kita
juga akan mempunyai TNI yang kuat sehingga diperhitungkan oleh segenap Negara
sahabat. Dan dari sanalah kita akan membangun peradaban yang baru dalam kerangka
Indonesia yang satu untuk selamanya.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel A., A Discripline Divided: School and Sect in Political Science
(sage, 1990)
Anderson, Benedict, Imagined Communities:
163
Reflections on the Origins and Spread Nationalism (Verso, 1983).
Apter, David E.1977.Introduction to Political
Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, Jakarta: LP3ES.1988
Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah. Jakarta:
Al-Kautsar.1998
Azzelini, Dario dan Boris Kanzleiter (Eds.). La Empresa Guerra, Bisnis Perang dan
Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2005
Ball, Terrence & Richard Dagger. Political Ideologies and the Democratic Ideal. New
York: Harper Collins Publishers.1991
Clapham, C, and Philip G., (eds), The Political Dilemmas of Military Regimes
(Croom Helm, 1985).
Connoly, William J. How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and
The Frist Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996
Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, Jakarta: 2004
Easton, David, A System Analysis of Political Life (John Wiley, 1965).
-----------------, "The Political System be sieged by the State", Political Theory (9),
August 1981.
Edmons, Martin, Armed Services and Society (Westview, 1984).
Elson, R.E. Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, Jakarta:
Minda Utama. 2005
Ebenstein, William. 1985. Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, Jakarta: Erlangga.
1994
____________________________________.
The Great Political Thinkers, New York, Toronto,
Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston.1960
Finer, Samuel E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics
(Preager, 1962).
Fic, Victor M. Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, Edisi Kedua Diterbitkan
di Indonesia dalam bahasa Inggris. Jakarta: Obor, 2005 Hermant, Daniel,
"Coups de 1'Etat et Coups d'Etat", Etudes Polemologioues (41), 1987.
Fishkin, James S. Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories.
Baltimore: John Hopkins University Press, 1979
Gumelar, Agum. Pokok-Pokok Pikiran Visi dan Agenda Reformasi Menuju
Masyarakat Indonesia Baru, dalam St Sularto (editor), Visi Dan Agenda
Reformasi Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Yogyakarta: Kanisius.: 1999
164
Hernandez, Carolina G., "The Dilemmas of the Military in a Period of
Democratic Transition" dalam F. Garcia and E.L. Gutierrez (eds), Back to
the Barracks: The Military in Democratic Transition (NIPS, 1992).
Horowitz, Louis I., "Militarization, Mod ernization and Mobilization: Third World
Development Patterns Reexamined" dalam K. Fidel (ed)., Millitarism in
Developing Countries (Trans action, 1975)
-----------, Beyond Empire and Revolution: Militarization and Consolidation in
the Third World (Oxford University Press, 1992).
Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization. New York: 1995
_________. The Soldier and the State. Harvard University Press. 1959.
_________. Political Order in Changing Societies, terjemahan Sahat Simamora dan
Suryatim, Jakarta: Grafindo Persada. 2003
Haynes, Jeff. 1997. Democracy and Civil Society in Third World Politics and New
Political Movement, terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Obor.2000
Hargens, Boni. Kebangkrutan Agama dan Politik. Jakarta: Gendhis. 2005
____________. Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi. Harian Koran Tempo
tanggal 12 Juli 2006
___________________________.
Efek Kontraproduktif Reformasi TNI. Harian Seputar Indonesia
tanggal 18 Juli 2006
_________.Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi. Suara Pembaruan 3 Oktober
2006
_________. Genealogi Korupsi di Indonesia. Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005
Irsyam, Mahrus. Beberapa Catalan Atas Tinjauan Histpriografis Hubungan Sipil-
Militer : Pola, Arah, Dan Perspektlf, Kumpulan Makalah Seminar Nasional
Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Milter di Indonesia, Jurusan llmu Poiitik
FiSIP Ul. 1999
Janowitz, M., and van Doom, J., (eds). On Military Ideology (Roterdam
University Press, 1971).
----------,"The Future of Military Pro fession" dalam M.M. Wakin (eds)., War,
Morality and the Military Profession (Westview, 1979).
______. The Military in the Political Development of New Nations. Chicago:
University of Chicago Press.1964