Disusun Oleh :
Febriani Sari (2011-61-118)
Marcella Auditta (2011-61-119)
Andrew Sutheno (2011-61-120)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pada Tuhan yang Maha Esa kami panjatkan atas semua berkat dan
penyertaanNya
dalam
pembuatan
referat
Endometriosis
ini
sehingga
kami
dapat
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........1
DAFTAR ISI .........2
DAFTAR TABEL .........................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR .........4
BAB I. PENDAHULUAN .............5
BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................................................................6
2.1 Siklus Menstruasi.. ...............................6
2.2 Definisi Endometriosis.......... ..............................9
2.3 Epidemiologi Endometriosis ................................9
2.4 Klasifikasi Endometriosis. .....................................10
2.5 Faktor Resiko..............................................................................................12
2.6 Etiologi dan Patofisiologi...............................13
2.7 Manifestasi Klinis...............................................................................................17
2.8 Diagnosis ...........................................................................................19
2.9 Tatalaksana .22
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN31
DAFTAR PUSTAKA ......................32
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Stadium Endometriosis....................10
Tabel 2. Pemberian Obat NSAID pada Endometriosis24
Tabel 3. Obat GnRH yang Dipakai Untuk Pengobatan Endometriosis27
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Menstruasi........................................................8
Gambar2. Lokasi Implantasi Endometriosis Yang Ditemukan Melalui Laparoskopi.........9
Gambar 3. Stadium Endometriosis11
Gambar 4. Patofisiologi Endometriosis..14
Gambar 5. Alur Diagnosis dan Pengobatan Endometriosis22
BAB I
PENDAHULUAN
Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita oleh kaum wanita, merupakan
sebuah penyakit yang disebabkan oleh ditandai dengan adanya kelenjar endometrial dan stroma
diluar dari lokasi normal.1 Sebanyak kurang lebih 5-10% dari populasi wanita di dunia
mengalami endometriosis, namun angka ini sulit untuk disimpulkan karena banyaknya kasus
endometriosis yang tidak menimbulkan gejala klinis.2 Prevalensi dari endometriosis di Indonesia
belum dapat diperkirakan karena belum adanya studi epidemiologik, namun perkiraan angka dari
temuan rumah sakit berkisar sebanyak 13,6-69,5% pada kelompok wanita yang mengalami
infertilitas.3
Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik. Gangguan sistem
kekebalan tubuh yang memungkinkan sel endometrium melekat dan berkembang, serta
pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Selain itu, ada banyak faktor resiko lainnnya dari
perkembangan endometriosis, seperti zat-zat toksin yang ada pada limbah maupun plastik.1
Penyakit endometriosis biasanya muncul pada usia reproduktif, dan gejalanya sangat
tergantung dari letak sel endometrium tersebut. Yang paling menonjol adalah dengan adanya
nyeri panggul, sehingga hampir semua kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri yang kronis dan
hebat pada saat haid. Selain itu juga bisa disertai dengan nyeri pada saat melakukan hubungan
seksual. Sisanya, biasanya diketahui akibat keluhan infertil. Selain itu, kasus endometriosis juga
sering terjadi pada keluarga dengan riwayat endometriosis sebelumnya, terbukti pada penelitian
dimana resiko terjadinya endometriosis lebih tinggi pada saudara kandung yang memiliki
endometriosis, juga pada wanita kembar monozigot.1,4
BAB II
PEMBAHASAN
Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim. Permukaannya
terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar sekresi mukosa Rahim yang
berbentuk invaginasi ke dalam stroma selular. Kelenjar dan stroma akan megalami perubahan
siklik dan bergantian antara pengelupasan dan pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari.
Terdapat 2 lapisan endometrium yaitu lapisan fungsional yang letaknya superfisial dan
lapisan basal tempat lapisan fungsional berasal. Lapisan fungsional akan mengalami
pengelupasan setiap bulan dan mengalamu perubahan proliferasi aktif setelah periode haid
sampai terjadinya ovulasi, sedangkan lapisan basal tidak ikut mengelupas.5
2.1 Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukkan
endometrium. Lamanya siklus haid yang normal atau dianggap siklus haid klasik adalah 28 hari
ditambah atau dikurangi dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda pada wanita yang sehat
dan normal. Siklus haid mulai teratur jika wanita sudah berusia 25 tahun.
Siklus ini dikendalikan oleh hormon-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium. Ada 2 siklus terkait dalam menstruasi, yang pertama adalah
siklus ovarium dan yang kedua adalah siklus uterus. Siklus ovarium terdiri dari :
Fase Folikular
Pada akhir siklus menstruasi, hipotalamus mengeluarkan hormone gonadotropin. Hormon
ini akan merangsang hipofisis untuk melepaskan follicle stimulating hormone (FSH) atau
hormone pemicu pertumbuhan folikel. Pada awal siklus berikutnya pada hari pertama sampai ke14, folikel akan melanjutkan perkembangannya karena pengaruh FSH dalam ovarium. Setelah
itu terbentuk folikel yang sudah masak (folikel de Graaf), sedangkan folikel lainnya akan
mengalami atresia. Folikel de Graaf akan menghasilkan estrogen yang akan menghasilkan
umpan balik negatif dan menhentikan produksi gonadotropin, sehingga pematangan jumlah
folikel dapat terinhibisi.
Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan pembesaran folikel secara cepat yang diikuti dengan protrusi dari
permukaan korteks varium dan pecahnya folikel dengan ekstrusinya oosit. Terjadi peningkatan
dari leutinizing hormone (LH) yang mengakibatkan meningkatnya produksi estrogen dan
androgen. Segera sebelum ovulasi akan terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan
peningkatan progesteron.
Fase Luteal
LH merangsang folikel yang telah kosong untuk membentuk korpus luteum (badan
kuning). Selanjutnya korpus ini menghasilkan progesterone. Selama 10 hari setelah ovulasi,
progesteron berfungsi mempersiapkan uterus untuk kemungkinan hamil. Uterus pada tahap ini
siap
menerima
dan
member
sel
telur
yang
telah
dibuahi
(zigot).
Jika tidak terjadi fertilisasi corpus luteum berubah menjadi corpus albicans dan berhenti
menghasilkan progesteron.
Siklus uterus terdiri dari :
Lapisan superfisial dari endometrium akan ikut mengelupas dan lapisan basal yang tidak
akan mengelupas ikut dalam proses regenerasi lapisan superfisial untuk siklus beriktnya. Batas
antara 2 lapis tersebut ditandai dengan perubahan dalam karakteristik arteriola yang memasok
endometrium.
Fase Proliferasi :
Selama fase folukular di ovarium, endometrium dibawah pengaruh estrogen, kelenjar
tubular dalam fase ini tersusun rapis eajar dengan sedikit sekresi
Fase Sekretoris :
Endometriosis adalah kelaianan ginekologis jinak yang ditandai dengan adanya kelenjar
endometrial dan stroma diluar dari lokasi normal, biasanya pada peritoneum pelvis dan ovarium,
namun dapat juga ditemukan pada septum retrovagina, ureter, dan di kandung kemih,
pericardium dan pleura pada sebagian kecil kasus.1,2
Endometriosis merupakan sebuah penyakit inflamasi yang berhubungan dengan estrogen,
mengenai wanita pada usia reproduktif yang dapat dikarenakan perubahan anatomis maupun
kelainan biokimia pada uterus. Wanita yang mengalami endometriosis dapat mengalami
infertilitas, sakit pada saat berhubungan, sakit pada bagian pevis atau ketignya.2
Sekitar 10% dari wanita memiliki endometriosis, namun banyak yang tidak mengalami
atau sedikit mengalami gejala, sehingga sulit untuk ditentukan prevalensi yang sebenarnya dari
9
kasus endometriosis. Endometriosis dapat mengenai wanita yang telah memiliki anak, remaja
maupun wanita muda. Namun, sebagian peneliti merasa bahwa endometriosis lebih sering
ditemukan pada wanita yang belum pernah mengandung. Endometriosis dapat ditemukan pada
24-50% wanita yang mengalami infertilitas dan 20% wanita yang mengalami sakit kronik di
bagian pelvis.1,2
2.4 Klasifikasi Endometriosis
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dapat
dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, serta keterlibatan ovarium
dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan diatas didapatkan nilai-nilai dari skoring yang
kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis.
10
11
12
Nilai 1-4 adalah minimal yaitu stadium 1, ditandai dengan implantasi serta adhesi yang
minima. skor 5-15 adalah ringan yaitu stadium II, ditandai dengan kista coklat dan adhesi yang
lebih berat. skor 16-40 adalah sedang yaitu stadium III dan stadium IV bila skor lebih dari 40.
Klasifikasi stadium endometriosis tidak berhubungan dengan keparahan dari gejala, namun pada
stadium IV, resiko infertilitas sangat tinggi.2
insidensi
endometriosis pada wanita dengan first degree relatives yang juga terkena biasanya memiliki
endometriois yang lebih parah. Pada sebuah penelitian terlihat bahwa perbadningan resiko
terkenanya endometriosis pada keluarga adalah 5,2 pada saudara kandung dan 1,56 pada saudara
sepupu. Selain itu, penelitian pada wanita kembar monozigot juga menunjukkan adanya faktor
genetik serta familial pada penyakit endometriosis.
2. Mutasi genetik
Adanya ekspresi gen tertentu pada endometriosis membuktikan bahawa ada peran genetik
pada insidensi endometriosis. Kromosom 10q26 terbukti memiliki peran pada terjadinya
endometriosis pada saudara kandung. Selain itu ditemukan juga kromosom 20p13 yang memiliki
hubungan. Elain itu ada 2 gen yyang juga berhubungan, yaitu EMX2, yang merupakan fakrot
transkripsi untuk perkembangan traktus reproduktif serta PTEN, yang merupakan tumor
suppressor gene, menjadi predisposisi terjadinya transformasi malignan dari endometriosis.
13
3. Defek Anatomi
Obstruksi dari traktus reproduktif dapat menjadi faktor predisposisi dari perkembangan
endometriosis dikarenakan adanya mekanisme menstruasi retrograd. Endometriosis terjadi pada
wanita dengan uterus unikornis, imperforasi dari hymen dan septum vagina transversal.
4. Toksin
Banyak penelitian yang menghubungkan adanya hubungan dari toksin dengan
pekembangan dari endometriosis. Toksin yang berperan adalah 2,3,7,8-tetraklorodibenzo-pdioxin (TCDD) dan komponen dioxin lainnnnya. TCDD akan berikatan dengan reseptor
hidrokarbon, yang berperan sebagai faktor transkripsi, sehingga akan menstimulasi
endometriosis dengan menaikkan level interleukin dan aktivasi ezim sitokrom P-450 seperti
romatase, dan perubahan serta remodeling dari jaringan.
Senyawa TCDD sendiri didapatkan dari limbah proses industri. Senyawa lainnya yaitu
dioksim didapatkan dari hasil sampingan berbagai proses kimia terutama plastic, pengilangan
logam, pembakaran bensin yang mengandung timbal dalam otomobil, pembuatan produk kertas,
pembuatan herbisida, pembakaran sampah organic yang mengandung klorin Konsumsi dari
daging merah dan trans fat dapat meningkatkan resiko endometriosis, sedangkan konsumsi dari
sayuran hijau dan buah-buahan dapat menurunkan resiko endometriosis.1,8
15
16
6. Sistem Imun
Sebagian besar wanita pernah mengalami mensturasi retrograde yang dapat
menyebabkan terjadinya implant pada endometrium yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstrual dan endometrium yang refluks
ke kavum peritoneum dapat dibersihkan oleh sistem imun seperti makrofag, sel natural
killer (NK), dan limfosit. Disfungsi sistem imun dapat merupakan salah satu mekanisme
pembentukan endometriosis pada mensturasi retrograde. Gangguan imunitas seluler dan
humoral serta perubahan growth factor dan sinyal sitokin juga ditemukan pada jaringan
endometriosis.
Makrofag berperan sebagai pembersih berbagai jaringan dan peningkatan jumlah
makrofag ditemukan pada kavum peritoneum wanita dengan endometriosis. Makrofag
pada beberapa orang dapat mensupresi proliferasi dari jaringan endometrium, tetapi
mempunyai efek terhadap jaringan endometriotik. Monosit pada wanita dengan
endometriosis meningkatkan proliferasi sel endometrium, sedangkan pada wanita tanpa
endometriosis memiliki efek sebaliknya.
Sel natural killer (NK) merupakan sel imun yang memiliki aktivitas sitotoksik
terhadap sel asing. Pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis, ditemukan
terjadinya penurunan aktivitas sitotoksik sel terhadap jaringan endometrium. Cairan
peritoneum pada wanita dengan endometriosis mempunyai peran untuk menekan
aktivitas sel NK, maka faktor tertentu yang dapat larut pada cairan peritoneum dapat
mensupresi aktivitas sel NK.
Imunitas selular pada wanita dengan endometriosis juga terganggu melibatkan sel
limfosit T. Pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal
didapatkan total limfosit pada cairan peritoneum meningkat. Aktivitasi sitotoksik dari sel
limfosit T juga terganggu pada wanita dengan endometriosis.
Imunitasi humoral yang terganggu pada endometriosis dan berperan terhadap
terjadinya endometriosis. Pada serum wanita dengan endometriosis lebih banyak
ditemukan antibodi kelas IgG. Penelitian lain menemukan keterlibatan autoantibodi IgG
dan IgA terhadap jaringan endometrium dan jaringan ovarium pada serviks dan sekresi
vagina, yang menduga bahwa terdapat keterlibatan penyakit autoimun.
Sitokin berukuran kecil, faktor terlarut yang terlibat dalam sinyal parakrin dan
autokrin terhadap sel imun lainnya. Sitokin dalam jumlah yang banyak, terutama
17
menstimulasi
proliferasi
sel
stroma
endometrium.
terdapat septum rektovaginal atau ligament uterosakral, maka nyeri dapat menjalar ke
rectum atau punggung bawah.
2. Dismenorea
Nyeri siklik saat mensturasi dialami pada wanita dengan endometriosis.
Dismenorea pada endometriosis kurang responsif terhadap obat nonsteroid anti inflamasi
dan kombinasi kontrasepsi oral. Dismenorea pada endometriosis lebih parah
dibandingkan dengan dismenorea primer dan dapat berlangsung lebih lama bahkan
hingga mensturasi selesai. Infiltrasi endometriosis yang meluas lebih dari 5 mm di bawah
permukaan peritoneum mempunyai korelasi positif terhadap derajat keparahan
dismenorea.
3. Dispareunia
Dispaneuria yang terjadi pada endometriosis berkaitan dengan adanya septum
pada rektovaginal atau penyakit ligament uterosakral. Beberapa wanita dengan
endometriosis dapat mengalami dispareunia setelah koitus. Dispaneuria yang
berhubungan dengan endometriosis diduga apabila nyeri timbul setelah beberapa tahun
tidak merasakan nyeri.
4. Disuria
Keluhan nyeri saat berkemih dapat terjadi pada wanita dengan endometriosis
meskipun gejala ini tidak umum. Endometriosis dapat diduga apabila hasil kultur urin
negatif.
5. Nyeri defekasi
Nyeri defekasi merupakan manifestasi yang jarang terjadi pada endometriosis
dibandingkan dengan manifestasi lainnya. Gejala yang timbul dapat bersifat siklik
maupun kronis dan berhubungan dengan konstipasi, diare, atau hematochezia siklik.
Selain itu, pasien dengan endometriosis juga dapat mengeluh gejala gastrointestinal lain
seperti nausea dan distensi abdomen.
6. Infertilitas
Angka kejadian infertilitas pada endometriosis adalah 20 sampai 30%. Pasien
dengan infertilitas memiliki resiko menderita endometriosis berat dibandingkan dengan
pasien fertil. Hal ini diduga karena terjadi karena toksin yang dihasilkan dari proses
19
inflamasi yang mempunyai efek terhadap gamet dan embrio dan mengganggu fungsi
fimbriae sehingga terjadi hambatan jalan pada tuba fallopi.
Selain itu, sitokin inflamasi juga dapat menyebabkan perdarahan pada
endometriosis terjadi karena terjadi gangguan ekspresi Endometrial Bleeding Factor
(EBAF) yang mengakibatkan perdarahan uterus.
2.8 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi Visual
Umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan inspeksi visual.
Pengecualian dapat ditemukan pada luka epiostomi dan luka operasi (terutama insisi
Pfannenstiel). Kasus jarang lainnya, misalnya ditemukan endometriosis pada area
perineum dan perianal.
2. Inspeksi Spekulum
Pada pemeriksaan inspekulo untuk menilai cervix dan vagina, jarang ditemukan
kelainan. Kadang ditemukan gambaran kebiruan atau sepeti luka bakar kemerahan
menyerupai serbuk. Umumnya hanya akan ditemukan kelainan pada deeply infiltrating
endometriosis.
3. Pemeriksaan Bimanual
Palpasi bisa menemukan abnormalitas anatomis yang sugestif endometriosis.
Ditemukannya nodul di ligamen nodulosacral
endometrisis aktif atau perlukaan di ligamen. Bila ditemukan endometrioma, dapat teraba
massa kistik di adneksa yang membesar yang dapat mobile atau melekat pada jaringan
anatomis sekitarnya. Walaupun demikian, sensitivitas dan spesifitasnya berkisar dari 3690%, sehingga tidak dapat begitu diandalkan.
Pemeriksaan Laboratorium
20
Pemeriksaan Radiologis
1. Ultrasonography (USG)
USG, baik secara transabdominal dan transvaginal (yang lebih sensitif), sering
digunakan secara luas untuk penilaian endometriosis. Walau akurat untuk mendeteksi
endometrioma, deteksi endometriosis superfisial atau adhesi endometriosis masih kurang
adekuat. Sonovaginography, teknik yang melibatkan instilasi saline vagina dapat
melokalisasi endometriosis rectovaginal. Transvaginal ultrasongraphy, bersama dengan
transrectal ultrasonography dalam menilai endometriosis pelvis posterior. Untuk deteksi
21
endometrioma pada penggunaan USG, dapat ditemukan gambaran struktur kista dengan
low-level internal echoes, septasi tebal, penebalan dinding, dan fokus echogenic di
dinding. 1
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan metode invasif yang sering digunakan untuk diagnosa
endometriosis. Nodul-nodul kecil dapat terlihat sebagai lesi hiperintens pada T1 dengan
kecenderungan hipintensitas pada T2. Gambaran cincin hipointens yang mengelilingi
endometrioma yang kemudian akan enchanced setelah diberikan kontras. Bila
dibandingkan dengan transvaginal ultrasonography, penggunaan MRI menunjukkan
hasil yang kurang lebih sama. Namun MRI menunjukkan korelasi yang lebih tinggi
dengan temuan laparoskopi.9
3. Diagnostic Laparoscopy
Laparoskopi merupakan metode primer dalam mendiagnosa endometriosis.
Tampakan dalam laparoskopi adalah discrete endometriotic lesions, endometrioma, dan
pembentukan adhesi.
Discrete Endometriotic Lesions
Area
peritoneum pelvis. Tampakan lesi pada laparoskopi bervariasi, yaitu merah (merah,
merah pink atau jelas), putih (putih atau kuning kecoklatan) dan hitam (hitam sampai
hitam kebiruan). Gambaran lesi gelap yang dipigmentasi dengan deposisi hemosiderin
dari debris menstrual. Gambaran lesi putih dan merah umumnya berkaitan dengan
gambaran histologis endommetrium. Selain itu, gambaran lesi adalah bleb halus pada
permukaan peritoneum, lubang atau defek di antara peritoneum atau gambaran lesi stelata
datar yang sekitarnya diikuti jaringan parut. Lesi endometriosis dapat menginvasi
peritoneum atau organ pelvis.
Endometrioma
22
Endometrioma adalah kista endometrium yang berada di dalam ovarium. Lesi ini
umumnya memberi gambaran dinding halus, kista kecoklatan berisi cairan kecoklatan
seperti coklat. Lesi ini bisa unilokuler, bila multilokuler berdiameter >3 cm. Sensitivitas
deteksi endometrioma dalam laparoskopi adalah 97% dan spesifisitasnya adalah 95%,
sehingga jarang diperlukan biopsi.
Analisa Patologis
Analisa patologis tidak diperlukan untuk evaluasi endometriosis, namun sering
terjadi overdiagnosis. Temuan histologis yang diperlukan adalah keberadaan glandula
endometrium dan stroma di luar uterus. Temuan hemosiderin dan metaplasia
fibromuskular juga temuan lain yang sering ditemukan.1
2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan endometriosis bergantung pada gejala klinis, lokasi lesi endometrosis,
tujuan pengobatan dan berkaitan dengan fertilitas pasien di masa depan. Yang paling penting
adalah apakah pasien mencari pengobatan karena masalah nyeri atau infertilitas, karena akan
menentukan arah penatalaksanaan. Tujuan utama endometriosis adalah untuk mengembalikan
anatomi normal dari pelvis, menghilangkan implan endometrium dengan eksisi atau ablasi,
prevensi dari rekurensi sehingga mengurangi nyeri, meningkatkan kehamilan dan kualitas
hidup.10
23
Karena nyeri merupakan salah satu gejala yang sering dirasakan pasien
endometriosis, maka diperlukan penatalaksanaan pada nyeri. Agen-agen seperti
androgen, progesteron, kontrasepsi oral dan agonis GnRH bertujuan untuk menargetkan
ketergantungan hormonal dari endometriosis sehingga dapat menciptakan kondisi
suboptimal secara hormonal untuk pertumbuhan dan pertahanan dari implan
endometriosis yang dikondisikan dari kondisi amenorrhea..10
3. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
NSAID menghambat cyclooxygenase isoenzymes 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2).
Terdapat COX-2 selektif inhibitor yang menghambat isoenzim COX-2. Enzim ini
bertanggung jawab atas sintesis prostaglandin yang menyebabkan nyeri dan inflamasi
yang berkaitan dengan endometriosis. Jarian endometriosis memproduksi COX-2 lebih
tinggi daripada jaringan endometrium normal. Penghambatan COX-2 akan meringankan
nyeri karena endometriosis.
NSAID merupakan lini pertama untuk pengobatan wanita dengan nyeri pelvis
atau dismenorea sebelum ada konfirmasi diagnosis dari laparoskopi. Penggunaan COX-2
selektif inhibitor memang memiliki efektivitas yang baik untuk nyeri , namun memiliki
resiko kardiovaskuler harus digunakan dalam durasi terpendek , sehingga penggunaannya
perlu diberikan dengan dosis terendah dan durasi terpendek mungkin.
Nama Obat
Ibuprofen
Dosis
400 mg/4-6 jam
Mual,
Efek Samping
nyeri epigastrium,
konstipasi,
Naproxen
gastrointestinal
Mual, nyeri epigastrium,
konstipasi,
perdarahan
perdarahan
gastrointestinal
Mual, nyeri epigastrium,
konstipasi,
perdarahan
gastrointestinal
Dosis awal : 500 mg, dilanjutkan 250 mg Mual, nyeri epigastrium,
per 6 jam dimulai ketika menstruasi konstipasi,
perdarahan
25
gastrointestinal
endometrium dan efektif sampai 5 tahun. Gejala akan menunjukkan perubahan, hingga
26
30 bulan. Gejala yang paling mengalami keringanan adalah gejala nyeri abdomennya.
Walau demikian, banyak yang menghentikan terapi karena tidak dapat menolerir
perdarahan ireguler dan peningkatan berat badan. Terapi ini sayangnya belum disetujui
oleh FDA.1,10
6. Selective Progestererone Receptor Modulators (SPRM)
SPRM ini merupakan merupakan progesterone selektif reseptor modulator, di
mana adanya ligand yang mengikat progesteron, yang dapat mengaktivasi maupun
menginaktivasi reseptor, sehingga memiliki aktivitas antagonis dan agonis. Salah satu
SPRM, yaitu mifepristone, ditemukan mengurangi nyeri dan penyebaran endometriosis
dalam penggunaan selama 6 bulan. SPRM lainnya adalah asoprisnil yang masih dalam
tahap penelitian di mana menunjukkan perbaikan gejala dismenorhea dan nyeri pelvis.
Obat ini bisa menjadi masa depan dalam pengobatan endometriosis.
7. Androgen
Pengobatan pertama yang dipakai untuk endometriosis adalah androgen danazol.
Mekanismenya adalah
mensupresi
tengah siklus, sehingga mengakibatkan kondisi anovulasi kronik. Danazol juga berikatan
dengan sex-hormone binding globulin (SHBG) sehingga meningkatkan level serum
testosterone bebas dan berikatan secara langsung dengan reseptor androgen dan
progesterone. Danazol akan mengakibatkan kondisi hipoestrogenik, hiperandrogenik
yang memicu atrofi endometrial pada endometrium. Danazol diberikan 200 mg tiga kali
sehari per oral (dosis rekomendasi 600-800 mg per hari), sayangnya efek samping
androgenik, yakni jerawat, hirsutisme, hot flashes, peningkatan enzim liver, perubahan
mood dan perubahan enzim lipid. Pemberian danazol harus dipantau dengan durasi lebih
pendek.
Gestrinone merupakan obat anti progesterone yang diresepkan di Eropa untuk
endometriosis.
endokrin yang bisa dilihat adalah konsentrasi basal dari hormone gonadotropin tidak
berubah, level estradiol tidak berubah dengan efek samping androgenik.
27
Efektivitas gestrinone sama dengan danazol dan agonis GnRH berkaitan dengan
nyeri akibat endometriosis. Gestrinon lebih efektif untuk terapi nyeri akibat nyeri sedang
hingga berat. Efek samping gestrinon lainnya yang perlu diperhatikan adalah penurunan
level high density lipoprotein. Gestrinon diberikan secara oral 2,5-10 mg per oral per
minggu, dapat diberikan setiap hari atau seminggu tiga kali.1
8. GnRH Agonis
Pelepasan GnRH endogen secara pulsatil akan menyebabkan pelepasan
gonadotrop dari pituitari anterior. Pelepasan ini kemudian merangsang pelepasan
gonadotropin yang akan menyebabkan pembentukan steroidogenesis ovarium dan
ovulasi. Pelepasan non pulsatil berkelanjutan dari GnRH akan menyebabkan desensitisasi
dari pituitari dan menyebabkan hilangnya pemebntukan steroid ovarium. Dengan
hilangnya produksi estradiol ovarium, kondisi hipoestrogen akan menghilangkan stimulai
normal yang diberikan oleh implant endometriosis dan menyebabkan kondisi
pseudomenopausal dalam pengobatan. Pemberian dapat dilakukan secara intranasal,
subkutan, dan intramuskular dengan rentang waktu dua hari sekali sampai sekali dalam
sebulan.
efeknya pada bone mineral density (BMD). Resiko osteoporosis menyebabkan terapi
diberikan umumnya kurang dari 6 bulan. Bila ingin diberikan jangka panjang, GnRH
agonis dapat diberikan dnegan tambahan terapi estrogen dari golongan KOK untuk
melawan efek osteoporosis sehingga disebut add-back therapy. Pemberian norethindrone
acetate, 5 mg oer oral per hari, dengan atau tanpa tambahan estrogen 0,625 mg per hari
untuk 12 bulan. Terapi ini memberikan efek menghilangkan nyeri selama durasi
pengobatan dengan menjaga densitas tulang. Efek samping ini bergantung pada dosis
yang diberikan.10
9. Inhibitor Aromatase
Jaringan endometrium memproduksi aromatase yang kemudian bertanggung
jawab atas sintesis estrogen. Aromatase androgen di lesi endometriosis akan
menyebabkan pembentukan estrogen dari androgen bebas. Penggunaan aromatase
inhibitor menunjukkan penurunan ukuran lesi endometriosis dan perbaikan rasa nyeri
yang signifikan. Penggabungan dengan KOK sedang diteliti dan menunjukkan efek yang
baik. Inhibitor aromatase memiliki efek samping yang sama dengan agonis GnRH dan
memiliki masa depan yang cerah pada kasus endometriosis berat refrakter.1
10. Terapi operatif
Terapi operatif yang diberikan dapat dilakukan secara abdominal dan laparoskopi.
Terapi operatif tujuannya adalah untuk menghancurkan sebanyak mungkin jaringan yang
terkena sehingga mengembalikan anatomi yang normal. Laparoskopi memberikan
visualisasi yang lebih baik, trauma jaringan lebih sedikit, adhesi yang lebih sedikit,masa
rawat di rumah sakit yang lebih pendek, dan rasa nyaman pada pasien yang lebih baik.10
29
electrosurgical untuk
endometriosis. Kedua terapi di atas sama-sama memberi hasil yang sama dalam
pengurangan nyeri. Adhesiolysis diduga dapat mengurangi rasa nyeri di pasien
endometriosis dengan mengembalikan anatomi normal. Hasilnya hingga kini masih
kurang diketahui dan desain studi yang dipakai untuk mempelajarinya masih hanya
retrospektif dan belum menunjukkan hasil dignifikan.
Reseksi Endometrioma
Endometrioma sering diterapi secara operatif dan gejalanya sering menyebabkan
terapi yang agresif. TErapinya adalah cystectomy ovarium total atau dengan aspirasi dan
ablasi dari kapsul kista. Cystectomy memiliki efek samping nyeri pelvis dibanding
dengan drainase dan koagulasi. Cystectomy juga menunjukkan angka kehamilan yang
lebih tinggi. Endometrioma dapat timbul kembali, kurang lebih 15% kasus akan timbul
kembali, 2 tahun setelah operasi pertama.
Histerektomi dengan Oovorektomi Bilateral
Terapi histerektomi dengan oovorektomi bilateral merupakan terapi yang paling
efektif dan definitif bagi wanita dengan endometriosis yang tidak ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya lagi. Keterbatasannya ada pada resiko operasi, berulangnya nyeri
dan efek hipoestrogenisme yang dihasilkan. Sekitar 10% mengalami rekurensi. Terapi ini
hanya dilakukan pada wanita yang sudah memiliki anak yang sesuai dinginkan dengan
gejala endometriosis yang jelas serta menyadari resiko hipoestrogenisme, termasuk
kemungkinan osteoporosis dan penurunan libido. Tidak ada approach tertentu yang
menentukan operasi dengan cara apa yang lebih baik. Namun keterlibatan organ sekitar
30
dan perubahan anatomi dapat menjadi pertimbangan di mana approach tertentu lebih
sulit. Termasuk yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan alat, pengalaman
operator dan luas dan beratnya endometriosis yang diderita.
Postoperative Hormon Replacement
Wanita yang menderita endometriosis dan menjalani histerektomi dengan
oovorektomi, dapat mendapat keuntungan lebih dari terapi pengganti hormon. Wanita
yang mengalami menopause akibat operasi, harus diberikan terapi pengganti estrogen
untuk mencegah efek samping hipoestrogenisme. Namun ditemukan kasus rekuren pada
pasien yang memiliki endometriosis berat yang diberikan terapi estrogen pengganti.
31
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Endometriosis merupakan penyakit yang sering timbul pada wanita namun dapat tidak
menimbulkan gejala sehingga seringkali kurang diperhatikan. Penyebab utama endometriosis
belum dapat dipastikan, akan tetapi dapat disebabkan oleh retrograde menstruation, faktor
genetik, metaplasia, ataupun pencemaran lingkungan.
Gejala dari endometriosis dapat dirasakan antara lain berupa nyeri haid, nyeri pada saat
berhubungan, nyeri kronis pada bagian pelvis, dan infertilitas. Penanganan dari endometriosis
dapat dilakukan dengan terapi medik untuk membantu mengurangi gejala seperti penggunaan
obat-obatan kontrasepsi oral, progestin, danazol, GnRH agonis, serta NSAID untuk mengurangi
nyeri, terapi pembedahan untuk menghilangkan kista endometriotik dan melakukan rekonstruksi
anatomis sebaik mungkin dapat dilakukan secara laparoskopi dengan melakukan pelepasan
perlekatan. Selain itu perlu juga diinformasikan tentang penyakit ini dan penangan endometriosis
pada wanita agar dapat ditangani serta dicegah dengan baik.
32
DAFTAR PUSTAKA
(25).
9. Grasso RF, Di Giacomo V, Sedati P, Florio G, et all. Diagnosis of deep infiltrating
endometriosis : accuracy of magnetic resonance imaging and transvaginal 3D
ultrasonography. Abdomen Imaging (2010) 35:716725
10. Ozkan S, Arici A. Advances in treatment options of endometriosis. Gynecol Obstet Invest
2009;67:81-9191
33