Anda di halaman 1dari 34

WEEKLY REPORT

(23 Juni 2013 - 30 Juni 2013)

Disusun Oleh :
Febriani Sari (2011-61-118)
Marcella Auditta (2011-61-119)
Andrew Sutheno (2011-61-120)

Frieda Yanuar (2012-61-061)


Haris Cakrasana (2012-61-059)
Michelle Martina (2012-61-060)

Pembimbing : dr. Yuma.S Sp.OG

ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
Periode 3 Juni 2013 17 Agustus 2013
0

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pada Tuhan yang Maha Esa kami panjatkan atas semua berkat dan
penyertaanNya

dalam

pembuatan

referat

Endometriosis

ini

sehingga

kami

dapat

menyelesaikannya tepat waktu.


Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Pim Gonta, Sp.OG, selaku pembimbing referat ini
karena atas bimbingannya, kami dapat menyelesaikan dan referat ini dengan lebih baik.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut berperan baik
langsung maupun tidak langsung selama proses pembuatan dan penyusunan referat ini.
Kami menyadari pembuatan referat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan di masa
mendatang.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca dan terima kasih.

Jakarta, 6 Juni 2013

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........1
DAFTAR ISI .........2
DAFTAR TABEL .........................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR .........4
BAB I. PENDAHULUAN .............5
BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................................................................6
2.1 Siklus Menstruasi.. ...............................6
2.2 Definisi Endometriosis.......... ..............................9
2.3 Epidemiologi Endometriosis ................................9
2.4 Klasifikasi Endometriosis. .....................................10
2.5 Faktor Resiko..............................................................................................12
2.6 Etiologi dan Patofisiologi...............................13
2.7 Manifestasi Klinis...............................................................................................17
2.8 Diagnosis ...........................................................................................19
2.9 Tatalaksana .22
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN31
DAFTAR PUSTAKA ......................32

DAFTAR TABEL
Tabel 1.Stadium Endometriosis....................10
Tabel 2. Pemberian Obat NSAID pada Endometriosis24
Tabel 3. Obat GnRH yang Dipakai Untuk Pengobatan Endometriosis27

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Menstruasi........................................................8
Gambar2. Lokasi Implantasi Endometriosis Yang Ditemukan Melalui Laparoskopi.........9
Gambar 3. Stadium Endometriosis11
Gambar 4. Patofisiologi Endometriosis..14
Gambar 5. Alur Diagnosis dan Pengobatan Endometriosis22

BAB I
PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita oleh kaum wanita, merupakan
sebuah penyakit yang disebabkan oleh ditandai dengan adanya kelenjar endometrial dan stroma
diluar dari lokasi normal.1 Sebanyak kurang lebih 5-10% dari populasi wanita di dunia
mengalami endometriosis, namun angka ini sulit untuk disimpulkan karena banyaknya kasus
endometriosis yang tidak menimbulkan gejala klinis.2 Prevalensi dari endometriosis di Indonesia
belum dapat diperkirakan karena belum adanya studi epidemiologik, namun perkiraan angka dari
temuan rumah sakit berkisar sebanyak 13,6-69,5% pada kelompok wanita yang mengalami
infertilitas.3
Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik. Gangguan sistem
kekebalan tubuh yang memungkinkan sel endometrium melekat dan berkembang, serta
pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Selain itu, ada banyak faktor resiko lainnnya dari
perkembangan endometriosis, seperti zat-zat toksin yang ada pada limbah maupun plastik.1
Penyakit endometriosis biasanya muncul pada usia reproduktif, dan gejalanya sangat
tergantung dari letak sel endometrium tersebut. Yang paling menonjol adalah dengan adanya
nyeri panggul, sehingga hampir semua kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri yang kronis dan
hebat pada saat haid. Selain itu juga bisa disertai dengan nyeri pada saat melakukan hubungan
seksual. Sisanya, biasanya diketahui akibat keluhan infertil. Selain itu, kasus endometriosis juga
sering terjadi pada keluarga dengan riwayat endometriosis sebelumnya, terbukti pada penelitian
dimana resiko terjadinya endometriosis lebih tinggi pada saudara kandung yang memiliki
endometriosis, juga pada wanita kembar monozigot.1,4

BAB II
PEMBAHASAN
Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim. Permukaannya
terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar sekresi mukosa Rahim yang
berbentuk invaginasi ke dalam stroma selular. Kelenjar dan stroma akan megalami perubahan
siklik dan bergantian antara pengelupasan dan pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari.
Terdapat 2 lapisan endometrium yaitu lapisan fungsional yang letaknya superfisial dan
lapisan basal tempat lapisan fungsional berasal. Lapisan fungsional akan mengalami
pengelupasan setiap bulan dan mengalamu perubahan proliferasi aktif setelah periode haid
sampai terjadinya ovulasi, sedangkan lapisan basal tidak ikut mengelupas.5
2.1 Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukkan
endometrium. Lamanya siklus haid yang normal atau dianggap siklus haid klasik adalah 28 hari
ditambah atau dikurangi dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda pada wanita yang sehat
dan normal. Siklus haid mulai teratur jika wanita sudah berusia 25 tahun.
Siklus ini dikendalikan oleh hormon-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium. Ada 2 siklus terkait dalam menstruasi, yang pertama adalah
siklus ovarium dan yang kedua adalah siklus uterus. Siklus ovarium terdiri dari :
Fase Folikular
Pada akhir siklus menstruasi, hipotalamus mengeluarkan hormone gonadotropin. Hormon
ini akan merangsang hipofisis untuk melepaskan follicle stimulating hormone (FSH) atau
hormone pemicu pertumbuhan folikel. Pada awal siklus berikutnya pada hari pertama sampai ke14, folikel akan melanjutkan perkembangannya karena pengaruh FSH dalam ovarium. Setelah
itu terbentuk folikel yang sudah masak (folikel de Graaf), sedangkan folikel lainnya akan
mengalami atresia. Folikel de Graaf akan menghasilkan estrogen yang akan menghasilkan
umpan balik negatif dan menhentikan produksi gonadotropin, sehingga pematangan jumlah
folikel dapat terinhibisi.

Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan pembesaran folikel secara cepat yang diikuti dengan protrusi dari
permukaan korteks varium dan pecahnya folikel dengan ekstrusinya oosit. Terjadi peningkatan
dari leutinizing hormone (LH) yang mengakibatkan meningkatnya produksi estrogen dan
androgen. Segera sebelum ovulasi akan terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan
peningkatan progesteron.

Fase Luteal
LH merangsang folikel yang telah kosong untuk membentuk korpus luteum (badan
kuning). Selanjutnya korpus ini menghasilkan progesterone. Selama 10 hari setelah ovulasi,
progesteron berfungsi mempersiapkan uterus untuk kemungkinan hamil. Uterus pada tahap ini
siap

menerima

dan

member

sel

telur

yang

telah

dibuahi

(zigot).

Jika tidak terjadi fertilisasi corpus luteum berubah menjadi corpus albicans dan berhenti
menghasilkan progesteron.
Siklus uterus terdiri dari :
Lapisan superfisial dari endometrium akan ikut mengelupas dan lapisan basal yang tidak
akan mengelupas ikut dalam proses regenerasi lapisan superfisial untuk siklus beriktnya. Batas
antara 2 lapis tersebut ditandai dengan perubahan dalam karakteristik arteriola yang memasok
endometrium.
Fase Proliferasi :
Selama fase folukular di ovarium, endometrium dibawah pengaruh estrogen, kelenjar
tubular dalam fase ini tersusun rapis eajar dengan sedikit sekresi

Fase Sekretoris :

Setelah ovulasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi endometrium,


tampak sekretori dari vakuola dalam epitel kelenjar dibawah nucleus, ekresi maternal ke dalam
lumen kelenjar dan menjadi berkelok-kelok
Fase Haid :
Normal fase luteal berlangsung 14 hari, pada fase ini terjadi regresi dari korpus luteum
ang ada hubungannya dengan menurunnya produksi estrogen dan progesterone ovarium.
Penurunan ini akan diikuti kontraksi spasmodic kemudian endometrium menjadi iskemik dan
nekrosis serta terjadi pengelupasan lapisan superfisial endometrium dan terjadilah perdarahan.5,6

Gambar 1. Siklus menstruasi


2.2 Definisi Endometriosis

Endometriosis adalah kelaianan ginekologis jinak yang ditandai dengan adanya kelenjar
endometrial dan stroma diluar dari lokasi normal, biasanya pada peritoneum pelvis dan ovarium,
namun dapat juga ditemukan pada septum retrovagina, ureter, dan di kandung kemih,
pericardium dan pleura pada sebagian kecil kasus.1,2
Endometriosis merupakan sebuah penyakit inflamasi yang berhubungan dengan estrogen,
mengenai wanita pada usia reproduktif yang dapat dikarenakan perubahan anatomis maupun
kelainan biokimia pada uterus. Wanita yang mengalami endometriosis dapat mengalami
infertilitas, sakit pada saat berhubungan, sakit pada bagian pevis atau ketignya.2

2.3 Epidemiologi Endometriosis

Gambar 2. Lokasi anatomis implantasi endometriosis yang ditemukan melalui laparoskopi7

Sekitar 10% dari wanita memiliki endometriosis, namun banyak yang tidak mengalami
atau sedikit mengalami gejala, sehingga sulit untuk ditentukan prevalensi yang sebenarnya dari
9

kasus endometriosis. Endometriosis dapat mengenai wanita yang telah memiliki anak, remaja
maupun wanita muda. Namun, sebagian peneliti merasa bahwa endometriosis lebih sering
ditemukan pada wanita yang belum pernah mengandung. Endometriosis dapat ditemukan pada
24-50% wanita yang mengalami infertilitas dan 20% wanita yang mengalami sakit kronik di
bagian pelvis.1,2
2.4 Klasifikasi Endometriosis
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dapat
dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, serta keterlibatan ovarium
dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan diatas didapatkan nilai-nilai dari skoring yang
kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis.

10

Tabel 1. Stadium endometriosis

11

Gambar 3. Stadium endometriosis4

12

Nilai 1-4 adalah minimal yaitu stadium 1, ditandai dengan implantasi serta adhesi yang
minima. skor 5-15 adalah ringan yaitu stadium II, ditandai dengan kista coklat dan adhesi yang
lebih berat. skor 16-40 adalah sedang yaitu stadium III dan stadium IV bila skor lebih dari 40.
Klasifikasi stadium endometriosis tidak berhubungan dengan keparahan dari gejala, namun pada
stadium IV, resiko infertilitas sangat tinggi.2

2.5 Faktor Resiko


1. Genetik
Walaupun tidak ada pola yang bisa diidentifikasi dari faktor genetik, namun terbukti
adanya peningkatan insidensi pada first degree relatives. Sebuah penelitian membuktikan bahwa
ada 5,9% anak dari 8,1% ibu dengan endometriosis, juga dibuktikan bahwa

insidensi

endometriosis pada wanita dengan first degree relatives yang juga terkena biasanya memiliki
endometriois yang lebih parah. Pada sebuah penelitian terlihat bahwa perbadningan resiko
terkenanya endometriosis pada keluarga adalah 5,2 pada saudara kandung dan 1,56 pada saudara
sepupu. Selain itu, penelitian pada wanita kembar monozigot juga menunjukkan adanya faktor
genetik serta familial pada penyakit endometriosis.
2. Mutasi genetik
Adanya ekspresi gen tertentu pada endometriosis membuktikan bahawa ada peran genetik
pada insidensi endometriosis. Kromosom 10q26 terbukti memiliki peran pada terjadinya
endometriosis pada saudara kandung. Selain itu ditemukan juga kromosom 20p13 yang memiliki
hubungan. Elain itu ada 2 gen yyang juga berhubungan, yaitu EMX2, yang merupakan fakrot
transkripsi untuk perkembangan traktus reproduktif serta PTEN, yang merupakan tumor
suppressor gene, menjadi predisposisi terjadinya transformasi malignan dari endometriosis.

13

3. Defek Anatomi
Obstruksi dari traktus reproduktif dapat menjadi faktor predisposisi dari perkembangan
endometriosis dikarenakan adanya mekanisme menstruasi retrograd. Endometriosis terjadi pada
wanita dengan uterus unikornis, imperforasi dari hymen dan septum vagina transversal.
4. Toksin
Banyak penelitian yang menghubungkan adanya hubungan dari toksin dengan
pekembangan dari endometriosis. Toksin yang berperan adalah 2,3,7,8-tetraklorodibenzo-pdioxin (TCDD) dan komponen dioxin lainnnnya. TCDD akan berikatan dengan reseptor
hidrokarbon, yang berperan sebagai faktor transkripsi, sehingga akan menstimulasi
endometriosis dengan menaikkan level interleukin dan aktivasi ezim sitokrom P-450 seperti
romatase, dan perubahan serta remodeling dari jaringan.
Senyawa TCDD sendiri didapatkan dari limbah proses industri. Senyawa lainnya yaitu
dioksim didapatkan dari hasil sampingan berbagai proses kimia terutama plastic, pengilangan
logam, pembakaran bensin yang mengandung timbal dalam otomobil, pembuatan produk kertas,
pembuatan herbisida, pembakaran sampah organic yang mengandung klorin Konsumsi dari
daging merah dan trans fat dapat meningkatkan resiko endometriosis, sedangkan konsumsi dari
sayuran hijau dan buah-buahan dapat menurunkan resiko endometriosis.1,8

2.6 Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab pasti endometriosis belum diketahui secara pasti. Beberapa teori yang diduga
menjadi penyebab endometriosis yaitu mensturasi retrograde, penyebaran limfatik dan vaskular,
coelomic metaplasia, teori induksi, ketergantungan hormon, sistem imun, genetik, dan faktor
keluarga.
1. Retrograde Mensturation
Pada mensturasi retrograde, terjadi penyebaran jaringan endometrium dalam
kavum peritoneum. Bagian endometrium yang refluks menempel dan menginvasi mesotel
peritoneum dan membuat pembuluh darah, yang menyokong pertumbuhan implantasi
14

fragmen endometrium. Implantasi pada endometrium ini mensekresi prostaglandin


(PGE2) dan estradiol (E2) yang mengaktifkan makrofag (monocyte chemotactic protein
1) dan peptida neurotropik (nerve growth factor), dan enzim MMP (Matrix
Metalloproteinase) yang menyebabkan remodelling jaringan endometrium, serta faktor
proangiogenik yaitu VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dan Interleukin-8. Lesi
ini mensekresikan haptogoblin yang mengurangi adhesi dari makrofag dan fungsi fagosit.

Gambar 4. Patofisiologi terjadinya endometriosis8


2. Penyebaran limfatik dan vaskular
Penelitian menduga bahwa endometriosis berasal dari pembuluh darah dan
jaringan limfatik yang menyimpang dari jaringan endometrium. Bagian retroperitoneum
memiliki banyak sirkulasi limfatik.
3. Coelomic metaplasia
Teori coelomic metaplasia menduga bahwa peritoneum jaringan pluripotensial
yang dapat bertransformasi dari jaringan endometrium normal. Ovarium dan duktus
Mullerian yang merupakan progenitor endometrium berasal dari epitel coelomic,
sehingga apabila terjadi metaplasia akan terjadi endomentriosis.
4. Teori Induksi

15

Faktor biologis dan hormonal diduga dapat menyebabkan diferensiasi dari


jaringan endometrium. Faktor ini dapat berasal dari eksogen atau dilepaskan secara
langsung dari endometrium. Pada penelitian in vitro terhadap jaringan epitel
endometrium yang diberikan estrogen, terdapat transformasi lesi endometriotik.
5. Ketergantungan Hormon
Estrogen dihasilkan oleh ovarium, dan jaringan perifer melalui aromasisasi
ovarium dan androgen adrenal. Implant pada endometrium dapat mengekspresikan
aromatase dan 17-hydroxysteroud dehydrogenase tipe 1, enzim yang mengkonversi
androstenedione menjadi estron, dan estron menjadi estradiol. Akan tetapi, pada implant
terdapat defisiensi 17-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2, yang menginaktivasikan
estrogen.
Pada endometrium normal tidak mengekspresikan aromatase dan memiliki 17hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 sebagai respon terhadap progesterone. Progesterone
merupakan anagonis dari estrogen yang memiliki efek terhadap endometrium normal
selama siklus mensturasi fase luteal.
Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan enzim paling kuat yang menginduksi
aktivitas aromatase pada sel stroma endometrium. Estradiol diproduksi sebagai respon
terhadapt aktivitas aromatase dengan menstimulasi enzim siklooksigenasi tipe 2 (COX-2)
pada sel endotel uterus. Hal ini menyebabkan feedback positif dan memiliki efek
estrogenik pada proliferasi endometriosis. Konsep produksi estrogen dan efek estrogen
terhadap terjadinya endometriosis digunakan sebagai dasar terapi farmakologis untuk
pengobatan endometriosis. Prostaglandin mengaktifkan saraf nyeri dan NGF (Nerve
Growth Factor) yang menyebabkan penyebaran dari saraf nosiseptor sehingga
mengakibatkan inflamasi persisten dan menghambat apoptosis dari neuron.

16

6. Sistem Imun
Sebagian besar wanita pernah mengalami mensturasi retrograde yang dapat
menyebabkan terjadinya implant pada endometrium yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstrual dan endometrium yang refluks
ke kavum peritoneum dapat dibersihkan oleh sistem imun seperti makrofag, sel natural
killer (NK), dan limfosit. Disfungsi sistem imun dapat merupakan salah satu mekanisme
pembentukan endometriosis pada mensturasi retrograde. Gangguan imunitas seluler dan
humoral serta perubahan growth factor dan sinyal sitokin juga ditemukan pada jaringan
endometriosis.
Makrofag berperan sebagai pembersih berbagai jaringan dan peningkatan jumlah
makrofag ditemukan pada kavum peritoneum wanita dengan endometriosis. Makrofag
pada beberapa orang dapat mensupresi proliferasi dari jaringan endometrium, tetapi
mempunyai efek terhadap jaringan endometriotik. Monosit pada wanita dengan
endometriosis meningkatkan proliferasi sel endometrium, sedangkan pada wanita tanpa
endometriosis memiliki efek sebaliknya.
Sel natural killer (NK) merupakan sel imun yang memiliki aktivitas sitotoksik
terhadap sel asing. Pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis, ditemukan
terjadinya penurunan aktivitas sitotoksik sel terhadap jaringan endometrium. Cairan
peritoneum pada wanita dengan endometriosis mempunyai peran untuk menekan
aktivitas sel NK, maka faktor tertentu yang dapat larut pada cairan peritoneum dapat
mensupresi aktivitas sel NK.
Imunitas selular pada wanita dengan endometriosis juga terganggu melibatkan sel
limfosit T. Pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal
didapatkan total limfosit pada cairan peritoneum meningkat. Aktivitasi sitotoksik dari sel
limfosit T juga terganggu pada wanita dengan endometriosis.
Imunitasi humoral yang terganggu pada endometriosis dan berperan terhadap
terjadinya endometriosis. Pada serum wanita dengan endometriosis lebih banyak
ditemukan antibodi kelas IgG. Penelitian lain menemukan keterlibatan autoantibodi IgG
dan IgA terhadap jaringan endometrium dan jaringan ovarium pada serviks dan sekresi
vagina, yang menduga bahwa terdapat keterlibatan penyakit autoimun.
Sitokin berukuran kecil, faktor terlarut yang terlibat dalam sinyal parakrin dan
autokrin terhadap sel imun lainnya. Sitokin dalam jumlah yang banyak, terutama
17

interleukin, diduga terlibat dalam proses terjadinya endometriosis. Peningkatan jumlah


interleukin-1 (IL-1) ditemukan pada cairan endometrium pada wanita dengan
endometriosis. Pada penelitian lain menemukan bahwa IL-6 meningkat pada sel stroma
endometriosis. Serum IL-6 lebih dari 2 pg/mL dan tumor necrosis factor (TNF) lebih dari
15 pg/mL dapat digunakan untuk membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis.
Selain itu, jumlah IL-8 pada cairan peritoneum juga meningkat pada endometriosis dan
dapat

menstimulasi

proliferasi

sel

stroma

endometrium.

2.7 Manifestasi Klinis


Pada wanita dengan endometriosis dapat asimptomatik. Pada wanita dengan
endometriosis stadium 4 dapat menunjukkan beberapa gejala yang tidak signifikan, sedangkan
pada endometriosis stadium 1 menimbulkan gejala nyeri yang signifikan, subfertilitas, atau ke
duanya.
1. Nyeri Pelvis
Endometriosis merupakan penyebab nyeri pelvis yang bervariasi pada setiap
orang. Nyeri dapat bersifat siklik atau pun kronis. Patofisiologi dari nyeri pada
endometriosis belum diketahui secara pasti. Sitokin inflamasi dan prostaglandin yang
dilepaskan oleh implant endometriotik ke cairan peritoneum dapat menjadi satu sumber
nyeri. Penelitian lain mengatakan bahwa intensitas nyeri berkaitan dengan kedalaman
invasi dan area nyeri dapat memprediksi lokasi lesi. Data sebelumnya menyatakan bahwa
nyeri pada endometriosis dapat berasal dari invasi neuronal dari implant endometriotik
yang mengaktifkan saraf sensoris dan simpatetik, sehingga terjadi sensitisasi sistem saraf
pusat. Hal ini mengakibatkan hipereksitabilitas dari neuron dan nyeri persisten. Nyeri
akan dirasakan semakin lama semakin parah. Wanita dengan endometriosis dapat
menunjukan gejala nyeri yang berbeda pada setiap individu. Nyeri yang dirasakan dapat
bersifat tumpul atau pun tajam, terus menerus, dan diperparah dengan aktivitas fisik.
Nyeri pelvis pada endometriosis bersifat kronis dan merupakan gejala yang
berkaitan erat dengan endometriosis dan dapat berlangsung lebih lama dari 6 bulan. Pada
40-60% wanita dengan gejala nyeri pelvis kronis didiagnosis sebagai endometriosis pada
saat laparoskopi. Fokus nyeri pada setiap wanita dapat berbeda satu sama lain. Apabila
18

terdapat septum rektovaginal atau ligament uterosakral, maka nyeri dapat menjalar ke
rectum atau punggung bawah.

2. Dismenorea
Nyeri siklik saat mensturasi dialami pada wanita dengan endometriosis.
Dismenorea pada endometriosis kurang responsif terhadap obat nonsteroid anti inflamasi
dan kombinasi kontrasepsi oral. Dismenorea pada endometriosis lebih parah
dibandingkan dengan dismenorea primer dan dapat berlangsung lebih lama bahkan
hingga mensturasi selesai. Infiltrasi endometriosis yang meluas lebih dari 5 mm di bawah
permukaan peritoneum mempunyai korelasi positif terhadap derajat keparahan
dismenorea.
3. Dispareunia
Dispaneuria yang terjadi pada endometriosis berkaitan dengan adanya septum
pada rektovaginal atau penyakit ligament uterosakral. Beberapa wanita dengan
endometriosis dapat mengalami dispareunia setelah koitus. Dispaneuria yang
berhubungan dengan endometriosis diduga apabila nyeri timbul setelah beberapa tahun
tidak merasakan nyeri.
4. Disuria
Keluhan nyeri saat berkemih dapat terjadi pada wanita dengan endometriosis
meskipun gejala ini tidak umum. Endometriosis dapat diduga apabila hasil kultur urin
negatif.
5. Nyeri defekasi
Nyeri defekasi merupakan manifestasi yang jarang terjadi pada endometriosis
dibandingkan dengan manifestasi lainnya. Gejala yang timbul dapat bersifat siklik
maupun kronis dan berhubungan dengan konstipasi, diare, atau hematochezia siklik.
Selain itu, pasien dengan endometriosis juga dapat mengeluh gejala gastrointestinal lain
seperti nausea dan distensi abdomen.
6. Infertilitas
Angka kejadian infertilitas pada endometriosis adalah 20 sampai 30%. Pasien
dengan infertilitas memiliki resiko menderita endometriosis berat dibandingkan dengan
pasien fertil. Hal ini diduga karena terjadi karena toksin yang dihasilkan dari proses
19

inflamasi yang mempunyai efek terhadap gamet dan embrio dan mengganggu fungsi
fimbriae sehingga terjadi hambatan jalan pada tuba fallopi.
Selain itu, sitokin inflamasi juga dapat menyebabkan perdarahan pada
endometriosis terjadi karena terjadi gangguan ekspresi Endometrial Bleeding Factor
(EBAF) yang mengakibatkan perdarahan uterus.
2.8 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi Visual
Umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan inspeksi visual.
Pengecualian dapat ditemukan pada luka epiostomi dan luka operasi (terutama insisi
Pfannenstiel). Kasus jarang lainnya, misalnya ditemukan endometriosis pada area
perineum dan perianal.
2. Inspeksi Spekulum
Pada pemeriksaan inspekulo untuk menilai cervix dan vagina, jarang ditemukan
kelainan. Kadang ditemukan gambaran kebiruan atau sepeti luka bakar kemerahan
menyerupai serbuk. Umumnya hanya akan ditemukan kelainan pada deeply infiltrating
endometriosis.

3. Pemeriksaan Bimanual
Palpasi bisa menemukan abnormalitas anatomis yang sugestif endometriosis.
Ditemukannya nodul di ligamen nodulosacral

dan rasa nyeri bisa menunjukkan

endometrisis aktif atau perlukaan di ligamen. Bila ditemukan endometrioma, dapat teraba
massa kistik di adneksa yang membesar yang dapat mobile atau melekat pada jaringan
anatomis sekitarnya. Walaupun demikian, sensitivitas dan spesifitasnya berkisar dari 3690%, sehingga tidak dapat begitu diandalkan.
Pemeriksaan Laboratorium

20

Tujuan pemeriksaan laboratorium adalah untuk menyingkirkan diferensial diagnosis dari


endometriosis. Pemeriksaan awal yang dilakukan umumnya adalah hitung darah lengkap,
urinalisis, kultur urin, kultur cairan vagina dan swab cervix, untuk bertujuan menyingkirkan
kemungkinan infeksi, infeksi menular seksual dan pelvic inflammatory disease.
1. Serum Cancer Antigen 125 (CA125)
CA125 diidentifikasi di jaringan orang dewasa, yakni di epitel tuba fallopi,
endometrium, endocervix, pleura dan peritoneum. Penggunaan CA125 sebagai salah satu
marker dalam diagnosa endometiosis sudah lama diteliti. Peningkatan level CA125
memiliki korelasi positif terhadap derajat keparahan endometriosis, spesifitasnya makin
tinggi bagi endometriosis derajat III dan IV. Walau spesiitasnya tinggi, CA125 tidak
sensitif untuk mendeteksi endometriosis ringan.
2. Pemeriksaan Serum Lainnya
Serum CA19-9 diteliti juga menunjukkan derajat berat ringannya endometriosis.
Serum placental protein 14 (PP14) walau sudah menunjukkan sensitivitas yang adekuat,
namun belum terkonfirmasi. Peningkatan level Interleukin 6 (IL-6) lebih dari dua kali
dan peningkatan Tumor Necrosis Factor- (TNF-) di>15 pg/mL pada cairan peritonium
dapat digunakan untuk membedakan pasien dengan atau tanpa endometriosis. Beberapa
jenis serum lainnya masih diteliti dan masih jarang digunakan di luar penelitian.

Pemeriksaan Radiologis
1. Ultrasonography (USG)
USG, baik secara transabdominal dan transvaginal (yang lebih sensitif), sering
digunakan secara luas untuk penilaian endometriosis. Walau akurat untuk mendeteksi
endometrioma, deteksi endometriosis superfisial atau adhesi endometriosis masih kurang
adekuat. Sonovaginography, teknik yang melibatkan instilasi saline vagina dapat
melokalisasi endometriosis rectovaginal. Transvaginal ultrasongraphy, bersama dengan
transrectal ultrasonography dalam menilai endometriosis pelvis posterior. Untuk deteksi
21

endometrioma pada penggunaan USG, dapat ditemukan gambaran struktur kista dengan
low-level internal echoes, septasi tebal, penebalan dinding, dan fokus echogenic di
dinding. 1
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan metode invasif yang sering digunakan untuk diagnosa
endometriosis. Nodul-nodul kecil dapat terlihat sebagai lesi hiperintens pada T1 dengan
kecenderungan hipintensitas pada T2. Gambaran cincin hipointens yang mengelilingi
endometrioma yang kemudian akan enchanced setelah diberikan kontras. Bila
dibandingkan dengan transvaginal ultrasonography, penggunaan MRI menunjukkan
hasil yang kurang lebih sama. Namun MRI menunjukkan korelasi yang lebih tinggi
dengan temuan laparoskopi.9
3. Diagnostic Laparoscopy
Laparoskopi merupakan metode primer dalam mendiagnosa endometriosis.
Tampakan dalam laparoskopi adalah discrete endometriotic lesions, endometrioma, dan
pembentukan adhesi.
Discrete Endometriotic Lesions
Area

yang sering menjadi lokasi endometriosis adalah organ pelvis dan

peritoneum pelvis. Tampakan lesi pada laparoskopi bervariasi, yaitu merah (merah,
merah pink atau jelas), putih (putih atau kuning kecoklatan) dan hitam (hitam sampai
hitam kebiruan). Gambaran lesi gelap yang dipigmentasi dengan deposisi hemosiderin
dari debris menstrual. Gambaran lesi putih dan merah umumnya berkaitan dengan
gambaran histologis endommetrium. Selain itu, gambaran lesi adalah bleb halus pada
permukaan peritoneum, lubang atau defek di antara peritoneum atau gambaran lesi stelata
datar yang sekitarnya diikuti jaringan parut. Lesi endometriosis dapat menginvasi
peritoneum atau organ pelvis.
Endometrioma

22

Endometrioma adalah kista endometrium yang berada di dalam ovarium. Lesi ini
umumnya memberi gambaran dinding halus, kista kecoklatan berisi cairan kecoklatan
seperti coklat. Lesi ini bisa unilokuler, bila multilokuler berdiameter >3 cm. Sensitivitas
deteksi endometrioma dalam laparoskopi adalah 97% dan spesifisitasnya adalah 95%,
sehingga jarang diperlukan biopsi.
Analisa Patologis
Analisa patologis tidak diperlukan untuk evaluasi endometriosis, namun sering
terjadi overdiagnosis. Temuan histologis yang diperlukan adalah keberadaan glandula
endometrium dan stroma di luar uterus. Temuan hemosiderin dan metaplasia
fibromuskular juga temuan lain yang sering ditemukan.1

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan endometriosis bergantung pada gejala klinis, lokasi lesi endometrosis,
tujuan pengobatan dan berkaitan dengan fertilitas pasien di masa depan. Yang paling penting
adalah apakah pasien mencari pengobatan karena masalah nyeri atau infertilitas, karena akan
menentukan arah penatalaksanaan. Tujuan utama endometriosis adalah untuk mengembalikan
anatomi normal dari pelvis, menghilangkan implan endometrium dengan eksisi atau ablasi,
prevensi dari rekurensi sehingga mengurangi nyeri, meningkatkan kehamilan dan kualitas
hidup.10

23

Gambar 5. Alur Diagnosis dan Penanganan Endometriosis1


1. Expectant Management
Gejala yang dirasakan pasien biasanya membuat pasien tidak memilih manajemen
menunggu. Pada penilitan, pada pasien yang menunggu, hanya 29% yang mengalami
regresi, 42% tidak berkembang dan 29% mengalami kelanjutan gejala. Namun pada
pasien infertil, ditemukan bahwa jumlah pasien yang hamil lebih rendah bila
dibandingkan dengan pasien dengan endometriosis yang memilih terapi operatif. Namun
penelitian lebih banyak dilakukan pada pasien dengan endometriosis ringan.
Endometriosis berat masih belum diteliti dengan baik.1
2. Medikamentosa Untuk Nyeri
24

Karena nyeri merupakan salah satu gejala yang sering dirasakan pasien
endometriosis, maka diperlukan penatalaksanaan pada nyeri. Agen-agen seperti
androgen, progesteron, kontrasepsi oral dan agonis GnRH bertujuan untuk menargetkan
ketergantungan hormonal dari endometriosis sehingga dapat menciptakan kondisi
suboptimal secara hormonal untuk pertumbuhan dan pertahanan dari implan
endometriosis yang dikondisikan dari kondisi amenorrhea..10
3. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
NSAID menghambat cyclooxygenase isoenzymes 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2).
Terdapat COX-2 selektif inhibitor yang menghambat isoenzim COX-2. Enzim ini
bertanggung jawab atas sintesis prostaglandin yang menyebabkan nyeri dan inflamasi
yang berkaitan dengan endometriosis. Jarian endometriosis memproduksi COX-2 lebih
tinggi daripada jaringan endometrium normal. Penghambatan COX-2 akan meringankan
nyeri karena endometriosis.
NSAID merupakan lini pertama untuk pengobatan wanita dengan nyeri pelvis
atau dismenorea sebelum ada konfirmasi diagnosis dari laparoskopi. Penggunaan COX-2
selektif inhibitor memang memiliki efektivitas yang baik untuk nyeri , namun memiliki
resiko kardiovaskuler harus digunakan dalam durasi terpendek , sehingga penggunaannya
perlu diberikan dengan dosis terendah dan durasi terpendek mungkin.
Nama Obat
Ibuprofen

Dosis
400 mg/4-6 jam

Mual,

Efek Samping
nyeri epigastrium,

konstipasi,
Naproxen

Dosis awal : 500 mg

gastrointestinal
Mual, nyeri epigastrium,

Dilanjutkan 250 mg/6-8 jam

konstipasi,

Naproxen sodium Dosis awal : 550 mg


Dilanjutkan dosis 275 mg/6-8 jam
Asam mefenamat

perdarahan

perdarahan

gastrointestinal
Mual, nyeri epigastrium,
konstipasi,

perdarahan

gastrointestinal
Dosis awal : 500 mg, dilanjutkan 250 mg Mual, nyeri epigastrium,
per 6 jam dimulai ketika menstruasi konstipasi,

perdarahan
25

sampai 3 hari sesudah mens

gastrointestinal

Tabel 2. Pemberian Obat NSAID pada Endometriosis

4. Kontrasepsi Oral Kombinasi (KOK)


Walau belum ada yang membandingkan efek KOK dengan placebo, namun hasil
observasi menunjukkan bahwa KOK meringankan efek nyeri dalam endometriosis. KOK
menginhibisi pelepasan gonadotropin dan mengurangi menstrual flow. KOK juga
mensupresi ovulasi, serta berefek kontrasepsi. KOK bias digunakan dengan regimen
siklus atau terus berkelanjutan. Regimen berkelanjutan lebih dipilih pada wanita yang
nyerinya tidak berkurang, karena dapat menurunkan frekuensi menstruasi.1
5. Progrestin
Agen progestasional sudah lama digunakan untuk pengobatan endometriosis.
Progrestin merupakan antagonis efek estrogen di endometrium sehingga menyebabkan
desidualisasi dan atrofi endometrium. Cara pemberiannya bias secara oral progrestin,
depot medroxyprogesterone acetate (DMPA), levonorgestrel-releasing intrauterine
device dan selective progresterone-receptor modulators. Walau efeknya baik dalam
mengurangi gejala, namun hanya ada 1 penelitian yang menyatakan bahwa DMPA yang
diberikan 100 mg per oral setiap harinya diberikan selama 6 bulan yang menunjukkan
adanya resolusi parsial atau total pada laparoskopi. Gejala umumnya berkurang, terutama
nyeri pelvis. Dalam klinis, pemnberian MPA adalah 20-100 mg per hari. Depot tidak
diberikan pada ibu-ibu yang mengharapkan kehamilan, karena menghambat ovulasi dan
siklus menstruasi normal. Dapat juga diberikan secara intramuscular 150 mg untuk 3
bulan. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah edema, jerawat, peningkatan berat
badan, rasa nyeri di payudara dan perdarahan menstruasi ireguler.
Levonegostrel-releasing IUD

melepaskan levanogestrel secara langsung ke

endometrium dan efektif sampai 5 tahun. Gejala akan menunjukkan perubahan, hingga
26

30 bulan. Gejala yang paling mengalami keringanan adalah gejala nyeri abdomennya.
Walau demikian, banyak yang menghentikan terapi karena tidak dapat menolerir
perdarahan ireguler dan peningkatan berat badan. Terapi ini sayangnya belum disetujui
oleh FDA.1,10
6. Selective Progestererone Receptor Modulators (SPRM)
SPRM ini merupakan merupakan progesterone selektif reseptor modulator, di
mana adanya ligand yang mengikat progesteron, yang dapat mengaktivasi maupun
menginaktivasi reseptor, sehingga memiliki aktivitas antagonis dan agonis. Salah satu
SPRM, yaitu mifepristone, ditemukan mengurangi nyeri dan penyebaran endometriosis
dalam penggunaan selama 6 bulan. SPRM lainnya adalah asoprisnil yang masih dalam
tahap penelitian di mana menunjukkan perbaikan gejala dismenorhea dan nyeri pelvis.
Obat ini bisa menjadi masa depan dalam pengobatan endometriosis.
7. Androgen
Pengobatan pertama yang dipakai untuk endometriosis adalah androgen danazol.
Mekanismenya adalah

mensupresi

peningkatan tajam luteinizing hormone (LH) di

tengah siklus, sehingga mengakibatkan kondisi anovulasi kronik. Danazol juga berikatan
dengan sex-hormone binding globulin (SHBG) sehingga meningkatkan level serum
testosterone bebas dan berikatan secara langsung dengan reseptor androgen dan
progesterone. Danazol akan mengakibatkan kondisi hipoestrogenik, hiperandrogenik
yang memicu atrofi endometrial pada endometrium. Danazol diberikan 200 mg tiga kali
sehari per oral (dosis rekomendasi 600-800 mg per hari), sayangnya efek samping
androgenik, yakni jerawat, hirsutisme, hot flashes, peningkatan enzim liver, perubahan
mood dan perubahan enzim lipid. Pemberian danazol harus dipantau dengan durasi lebih
pendek.
Gestrinone merupakan obat anti progesterone yang diresepkan di Eropa untuk
endometriosis.

Efeknya antiprogestasional, antiestrogen, dan androgenik. Perubahan

endokrin yang bisa dilihat adalah konsentrasi basal dari hormone gonadotropin tidak
berubah, level estradiol tidak berubah dengan efek samping androgenik.

27

Efektivitas gestrinone sama dengan danazol dan agonis GnRH berkaitan dengan
nyeri akibat endometriosis. Gestrinon lebih efektif untuk terapi nyeri akibat nyeri sedang
hingga berat. Efek samping gestrinon lainnya yang perlu diperhatikan adalah penurunan
level high density lipoprotein. Gestrinon diberikan secara oral 2,5-10 mg per oral per
minggu, dapat diberikan setiap hari atau seminggu tiga kali.1
8. GnRH Agonis
Pelepasan GnRH endogen secara pulsatil akan menyebabkan pelepasan
gonadotrop dari pituitari anterior. Pelepasan ini kemudian merangsang pelepasan
gonadotropin yang akan menyebabkan pembentukan steroidogenesis ovarium dan
ovulasi. Pelepasan non pulsatil berkelanjutan dari GnRH akan menyebabkan desensitisasi
dari pituitari dan menyebabkan hilangnya pemebntukan steroid ovarium. Dengan
hilangnya produksi estradiol ovarium, kondisi hipoestrogen akan menghilangkan stimulai
normal yang diberikan oleh implant endometriosis dan menyebabkan kondisi
pseudomenopausal dalam pengobatan. Pemberian dapat dilakukan secara intranasal,
subkutan, dan intramuskular dengan rentang waktu dua hari sekali sampai sekali dalam
sebulan.

Tabel 3. Obat GnRH yang Dipakai Untuk Pengobatan Endometriosis


Penggunaan terapi GnRH agonis umumnya digunakan pada wanita sebelum
laparoskopi

yang mengeluhkan nyeri pelvis kronis dan dengan kecurigaan

endometriosis. Dalam 3 bulan, nyeri berkurang secara signifikan dibanding dengan


placebo. Walau gejala nyeri berkurang, namun agonis GnRH kurang memperbaiki gejala
dispareunia dari endometriosis. Efek hiposetrogen merupakan efek penting yang harus
diawasi, dengan efek insomnia, hot flushes, kekeringan vagina dan sakit kepala serta
28

efeknya pada bone mineral density (BMD). Resiko osteoporosis menyebabkan terapi
diberikan umumnya kurang dari 6 bulan. Bila ingin diberikan jangka panjang, GnRH
agonis dapat diberikan dnegan tambahan terapi estrogen dari golongan KOK untuk
melawan efek osteoporosis sehingga disebut add-back therapy. Pemberian norethindrone
acetate, 5 mg oer oral per hari, dengan atau tanpa tambahan estrogen 0,625 mg per hari
untuk 12 bulan. Terapi ini memberikan efek menghilangkan nyeri selama durasi
pengobatan dengan menjaga densitas tulang. Efek samping ini bergantung pada dosis
yang diberikan.10
9. Inhibitor Aromatase
Jaringan endometrium memproduksi aromatase yang kemudian bertanggung
jawab atas sintesis estrogen. Aromatase androgen di lesi endometriosis akan
menyebabkan pembentukan estrogen dari androgen bebas. Penggunaan aromatase
inhibitor menunjukkan penurunan ukuran lesi endometriosis dan perbaikan rasa nyeri
yang signifikan. Penggabungan dengan KOK sedang diteliti dan menunjukkan efek yang
baik. Inhibitor aromatase memiliki efek samping yang sama dengan agonis GnRH dan
memiliki masa depan yang cerah pada kasus endometriosis berat refrakter.1
10. Terapi operatif
Terapi operatif yang diberikan dapat dilakukan secara abdominal dan laparoskopi.
Terapi operatif tujuannya adalah untuk menghancurkan sebanyak mungkin jaringan yang
terkena sehingga mengembalikan anatomi yang normal. Laparoskopi memberikan
visualisasi yang lebih baik, trauma jaringan lebih sedikit, adhesi yang lebih sedikit,masa
rawat di rumah sakit yang lebih pendek, dan rasa nyaman pada pasien yang lebih baik.10

29

Lesion Removal and Adhesiolysis


Metode primer dalam mendiagnosa endometriosis adalah laparoskopi, sehingga
pengobatan operatif setelah diagnosa menjadi pilihan. Pasien yang menjalani removal
dari lesi endometrium, mengalami perbaikan nyeri signifikan. Yang menjadi masalah
adalah kekambuhan, yang kemungkinan akan timbul dalam 20 bulan setelah tindakan.
Penggunaan ablasio masih kontroversial, dikarenakan cenderung tidak lebih
efektif dibandingkan cara konvensional dengan ablasio

electrosurgical untuk

endometriosis. Kedua terapi di atas sama-sama memberi hasil yang sama dalam
pengurangan nyeri. Adhesiolysis diduga dapat mengurangi rasa nyeri di pasien
endometriosis dengan mengembalikan anatomi normal. Hasilnya hingga kini masih
kurang diketahui dan desain studi yang dipakai untuk mempelajarinya masih hanya
retrospektif dan belum menunjukkan hasil dignifikan.
Reseksi Endometrioma
Endometrioma sering diterapi secara operatif dan gejalanya sering menyebabkan
terapi yang agresif. TErapinya adalah cystectomy ovarium total atau dengan aspirasi dan
ablasi dari kapsul kista. Cystectomy memiliki efek samping nyeri pelvis dibanding
dengan drainase dan koagulasi. Cystectomy juga menunjukkan angka kehamilan yang
lebih tinggi. Endometrioma dapat timbul kembali, kurang lebih 15% kasus akan timbul
kembali, 2 tahun setelah operasi pertama.
Histerektomi dengan Oovorektomi Bilateral
Terapi histerektomi dengan oovorektomi bilateral merupakan terapi yang paling
efektif dan definitif bagi wanita dengan endometriosis yang tidak ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya lagi. Keterbatasannya ada pada resiko operasi, berulangnya nyeri
dan efek hipoestrogenisme yang dihasilkan. Sekitar 10% mengalami rekurensi. Terapi ini
hanya dilakukan pada wanita yang sudah memiliki anak yang sesuai dinginkan dengan
gejala endometriosis yang jelas serta menyadari resiko hipoestrogenisme, termasuk
kemungkinan osteoporosis dan penurunan libido. Tidak ada approach tertentu yang
menentukan operasi dengan cara apa yang lebih baik. Namun keterlibatan organ sekitar
30

dan perubahan anatomi dapat menjadi pertimbangan di mana approach tertentu lebih
sulit. Termasuk yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan alat, pengalaman
operator dan luas dan beratnya endometriosis yang diderita.
Postoperative Hormon Replacement
Wanita yang menderita endometriosis dan menjalani histerektomi dengan
oovorektomi, dapat mendapat keuntungan lebih dari terapi pengganti hormon. Wanita
yang mengalami menopause akibat operasi, harus diberikan terapi pengganti estrogen
untuk mencegah efek samping hipoestrogenisme. Namun ditemukan kasus rekuren pada
pasien yang memiliki endometriosis berat yang diberikan terapi estrogen pengganti.

11. Terapi yang Berkaitan dengan Infertilitasi Akibat Endometriosis


Terapi medikamentosa untuk mengurangi nyeri pada endometriosis tidak efektif
untuk mengatasi masalah infertilitas pada wanita dengan endometriosis. Ablasio
disarankan bagi wanita dengan endometriosis minimal hingga ringan, walau efeknya
minimal. Endometriosis sedang hingga berat baiknya diterapi operatif untuk
mengembalikan anatomi normal dan fungsi tuba. Pasien dengan endometriosis berat,
menjadi kandidat bagi terapi fertilitas seperti hiperstimulasi ovarian, inseminasi
intrauterin dan fertilisasi in vitro.1

31

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Endometriosis merupakan penyakit yang sering timbul pada wanita namun dapat tidak
menimbulkan gejala sehingga seringkali kurang diperhatikan. Penyebab utama endometriosis
belum dapat dipastikan, akan tetapi dapat disebabkan oleh retrograde menstruation, faktor
genetik, metaplasia, ataupun pencemaran lingkungan.
Gejala dari endometriosis dapat dirasakan antara lain berupa nyeri haid, nyeri pada saat
berhubungan, nyeri kronis pada bagian pelvis, dan infertilitas. Penanganan dari endometriosis
dapat dilakukan dengan terapi medik untuk membantu mengurangi gejala seperti penggunaan
obat-obatan kontrasepsi oral, progestin, danazol, GnRH agonis, serta NSAID untuk mengurangi
nyeri, terapi pembedahan untuk menghilangkan kista endometriotik dan melakukan rekonstruksi
anatomis sebaik mungkin dapat dilakukan secara laparoskopi dengan melakukan pelepasan
perlekatan. Selain itu perlu juga diinformasikan tentang penyakit ini dan penangan endometriosis
pada wanita agar dapat ditangani serta dicegah dengan baik.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Schorge, J. Schaffer, L. Halvorson, B. Hoffman, K. Bradshaw, & F. G. Cunningham (Eds.),


Williams gynecology (pp. 225243). New York: McGraw Hill

2. Serdar E. Bulun, M.D. Mechanism Of Disease Endometriosis : Review Article. N Engl J


Med. 2009; 360:268-279
3. Widhi, N.K. 2007. Plastik, Fast food & Rokok Biang Utama Endometriosis.
(http://www.detiknews/com/kanal/10/berita/10.html, diakses tanggal 4 Juni 2013)
4. American Society for Reproductive Medicine. Endometriosis : A Guide For Patients.
2012
5. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
6. Sherwood, L. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem, EGC, Jakarta, 2006
7. Fortner, KB. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Baltimore
8.

Lippincott Williams & Wilkins 3rd ed. 2007; Chap : 34.


Linda, C. Giudice. Endometriosis. The New Journal of English Medicine. Juni 2010; 362

(25).
9. Grasso RF, Di Giacomo V, Sedati P, Florio G, et all. Diagnosis of deep infiltrating
endometriosis : accuracy of magnetic resonance imaging and transvaginal 3D
ultrasonography. Abdomen Imaging (2010) 35:716725
10. Ozkan S, Arici A. Advances in treatment options of endometriosis. Gynecol Obstet Invest
2009;67:81-9191

33

Anda mungkin juga menyukai