BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma adalah penyebab utama penyakit kronik pada anak, yang menyebabkan
sebagian besar hilangnya hari sekolah akibat penyakit kronik. Asma mempunyai awitan pada
setiap usia. Sekitar 80-90% anak asma mendapat gejala pertama sebelum usia 4-5 tahun. Pada
suatu waktu selama masa anak akan mendapat gejala dan tanda yang sesuai dengan asma.
Kira-kira 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan
menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak Indonesia, namun diperkirakan
berkisar antara 5-10%. Di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari
50% kunjungan merupakan penderita asma.
Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Sebagian besar anak yang menderita
sebagian kecil akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya lebih bersifat menahun
daripada musiman. Yang menyebabkan ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi
hari-hari sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi sehari-hari. Sungguh merupakan hal yang
tidak menyenangkan apabila dalam masa-masa bermain dan beraktivitas, anak-anak
terganggu karena penyakit yang diderita. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian khusus
baik berupa perawatan, pengobatan dan pencegahan.
Oleh karena itu penyakit asma memerlukan penanganan khusus terlebih lagi pada
anak-anak yang selalu diliputi keceriaan dalam hari-hari dalam bermain dan beraktivitas
dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai bidang
multidisipliner. Dalam pelayanan keperawatan, perawat mempunyai peranan sebagai tenaga
profesional yaitu bertindak memberikan asuhan keperawatan, penyuluhan kesehatan kepada
orang tua, memberikan informasi tentang pengertian, tanda dan gejala, serta pencegahan
secara mandiri maupun secara kolaboratif dengan berbagai pihak.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar kita sebagai perawat profesional mampu:
1.
Memperoleh pengalaman nyata di dalam merawat pasien dengan Asma Bronchiale sesuai
dengan konsep asuhan keperawatan yang telah diperoleh dari perkuliahan.
2. Memperoleh informasi atau gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Asma Bronchiale.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah :
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan
Asma Bronchiale.
2. Studi Kasus
Pengambilan kasus langsung di unit Pediatric RN I yang meliputi pengkajian, observasi,
wawancara, intervensi dan evaluasi.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah diawali dengan kata pengantar, daftar isi, kemudian
dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep
dasar diikuti definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, test
diagnostik, pengolahan medik, komplikasi dan konsep asuhan keperawatan yang meliputi
pengkajian, perencanaan. Bab III berisikan pengamatan kasus yang terdiri dari pengkajian,
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Bab IV mengenai pembahasan kasus yang berisi
perbandingan antara kasus teori yang melandasinya. Bab V berisi kesimpulan yang diakhiri
dengan daftar Pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara
luas agar bersentuhan dengan membran-membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar
udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus
yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
a.
Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan.
Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung,
sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan
mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan
bagian bawah.
b. Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di
bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung
dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga
mulut. Tempat hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah
bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah
tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak)
yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:
Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
c.
Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara.
Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh
lebih penting. Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus
sehingga kalau ada benda asing masuk sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi
batuk yang membantu benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.
d. Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan oagar trakea tatap
terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini
bergerak jalan ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang
turut masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e.
Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus
utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan
bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak
simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya
bronkus ini lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi
bronkus lobaris dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan menjadi
bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.
f.
Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar
udara ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan
unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik,
duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya
oleh dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi
tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan
mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.
paru.
Difusi
:
paru.
Transportasi :
3. Etiologi
Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang diketahui
karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus
binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat,
polusi.
Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non
spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma
instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40
tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan
trakeobronchial.
4. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau
lebih dari faktor berikut ini.
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan
prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas
menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls
syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung
syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok,
emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan
pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO 2 darah arteri (pa
CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan
asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali
dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat,
kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai
ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan
terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan
konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran
darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik.
Sunting ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian
penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama,
sehingga ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:
Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi
fungsi paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru
menunjukan obstruksi jalan nafas.
Misal: Tingkat II dijumpai setelah sembuh dari serangan asma.
Tingkat III penderita sembuh tetapi tidak menemukan pengobatannya.
Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan
nafas berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada
serangan asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
a.
b. Cyanosis
c.
Silent chest
d. Gangguan kesadaran
e.
f.
Thacycardi
Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater sementara
terhadap pengobatan yang langsung dipakai.
6. Test Diagnostik
1. Tes kulit (tuberculin dan alergen)
Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
2. Rontgen: foto thorax menunjukan hiperinflasi dan pernafasan diafragma.
3. Pemeriksaan sputum: Dapat jernih atau berbusa (alergi)
Dapat kental dan putih (non alergi)
Dapat berserat (non alergi)
4. Pemeriksaan darah: * Eusinofilia (kenaikan badan eusinofil)
* Peningkatan kadar IgE pada asma alergi
* AGD hipoxi (serangan akut)
7. Penatalaksanaan Medik
Ada lima kategori pengobatan yaitu:
1. Abenis (Beta)
Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism,
menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari
kortikosteroid.
Contoh: Epinenin, Abuterol, Meraproterenol
2. Methil Santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus, meningkatkan
gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi diafragma.
Contoh: Aminofilin, Theofilin
3. Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi
dan methil santin karena penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4. Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan
bronkokonstriktor.
Contoh: hidrokortison, prednison dan deksametason
5. Inhibitor Sel Mast
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan asma yang berfungsi
mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.
8. Komplikasi
1. Pneumothorax
2. Pneumomediastinum dan emfisema subcutis
3. Atelektasis
4. Asper gilosis bronkopulmoner
5. Alergi
6. Gagal nafas
7. Bronchitus
8. Fraktur iga.
1. Pengkajian
a.
c.
Kebiasaan merokok
e.
Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi serangan, tetapi tidak mampu
mengatasi jika serangan datang.
f.
Menurunnya libido
i.
Mengingkari
Marah
Putus asa
2. Diagosa Keperawatan
a.
Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
d.
Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pemasukan yang tidak
adekuat: mual, muntah dan tidak nafsu makan.
e.
f.
Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g.
Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan
menetapnya sekret).
3. Rencana Tindakan
a.
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah
(bronkitis), bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi
nafas (asma berat).
2. Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat radio inspirasi/ekspirasi.
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
3.
Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses
akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan
gravitasi. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan
otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
5.
Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
6. Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ Memberikan pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan
menurunkan jebakan udara.
7. Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah
perkusi dada.
8. Tingkatkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret. Mempermudah pengeluaran. Penggunaan
cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
HYD: - Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang
normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
R/ Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya penyakit.
2. Awasi secara rutin kulit dan membran mukosa.
R/ Kemungkinan cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3. Kaji AGD, pO2, pCO2.
R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
4. Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan gangguan penglihatan.
R/ Sebagai parameter menunjukan beratnya serangan.
5. Monitor TTV dan penggunaan otot bantu pernafasan.
R/ Indikator yang menunjukan hipoxemia dan meningkatkan usaha untuk ventilasi.
c.
Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
HYD: -
d.
Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tidur b.d pemasukan yang tidak
adekuat akibat dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
HYD: -
e.
HYD: -
Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan akut, antisipasi
kebutuhan pasien, berikan keyakinan lingkungan.
f.
Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.
Intervensi:
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya pernafasan
termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.
Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti krekels, mengi,
gesekan pleural.
g.
Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia,
menetapnya sekret.
HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan
pembengkakan.
Intervensi:
1. Observasi TTV.
R/ Indikator tanda-tanda infeksi.
2. Observasi warna, karakter dan bau sputum.
R/ Sekret berbau kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3. Anjurkan pasien membuang tissue dan sputum pada tempatnya.
R/ Mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
4. Dorong keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat.
R/ Menurunkan konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan
pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
5. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
6. Berikan obat sesuai pesanan.
R/ Mencegah terjadinya infeksi.
Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari penambah berat
badan yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping serta
pentingnya minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan
pengetahuan
pasien
dan
pasien
dapat
kooperatif
dalam
proses
penyembuhannya.
4. Discharge Planning
1. Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi substansi yang
mencetuskan terjadinya serangan.
2. Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian jenis tertentu,
hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari.
3.
Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang menyulitkan
seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut atau mengalami infeksi pernafasan.
4. Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5.
Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat mencetuskan
serangan.
C. Patoflowdiagram
* Infeksi
* Alergi
* Latihan
* Iritasi
Refleks fagal mual, tidak nafsu makan, batuk
spasme
Kebutuhan O2
Hiperventilasi paru
Alkalosis respiratorik
Produksi mukus
Hipercapnia
Hipoxemia
Asidosis metabolik
Meninggal
BAB III
PENGAMATAN KASUS
Anak R berusia 7 tahun, agama Islam, bersuku Ambon, pasien adalah anak ke 3
(bungsu) dalam keluarganya. Masuk ke RS Sumber Waras pukul 23.30 dengan keluhan sesak
nafas sejak pukul 22.00. Anak masuk melalui UGD dengan diagnosa medik saat masuk
adalah Asma Bronchiale.
Dalam pengamatan langsung, orang tua anak menceritakan riwayat penyakit anaknya.
Orang tua mengatakan dalam keluarga ada riwayat penyakit asma. Nenek dan kakaknya
(anak ke-1) menderita penyakit yang sama. Orang tua mengatakan anak pernah dirawat
dengan penyakit yang sama saat anak usia 4 tahun.
Orang tua mengatakan pada tanggal 12 November anak sehabis pulang dari sekolah
melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu bermain dengan teman-teman di sekitar pukul
21.00 anak dengan kakaknya sedang latihan nyanyi bersama. Pada pukul 22.00 anak
mengalami sesak nafas dan keringat dingin, batuk hingga dibawa ke UGD, anak masih sesak
dan sulit bernafas. Di UGD anak disarankan dokter untuk dirawat.
Saat pengkajian anak sedang dirawat pada hari pertama di unit RN I, kamar 119 Bed
2. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, anak mengatakan masih
sesak nafas. Terpasang infus dextrose 5% in salin 1500 cc/24 jam (15-16 tetes/menit) di
tangan kanan dan terapi oksigen 2 lt/menit. Observasi tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg,
N: 120 x/menit, P: 30 x/menit dengan bunyi nafas tambahan wheezing dan ronchi di paru kiri
dan S: 36,8oC. Hasil foto thorax tanggal 13 November 2002 adalah asma bronchiale. Hasil
laboratorium tanggal
Dari analisa dan pengamatan kasus di atas, masalah yang menjadi prioritas adalah
ketidakefektifan jalan nafas, gangguan pola nafas, intoleransi aktivitas.
Perencanaan untuk mengatasi masalah-masalah di atas adalah memberi cairan 20003000 cc/24 jam, membantu pemenuhan kebutuhan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
sesuai diit yang ditentukan, yaitu diit lunak dan kebutuhan pemeliharaan kebersihan diri.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Setelah membandingkan antara teori yang telah dipelajari dengan kasus yang diamati
dapat ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara teori dan kasus yang sedang
diamati.
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian penulis mendapatkan kesamaan tanda dan gejala seperti:
dyspnea, wheezing dan ronchi, di paru kiri, batuk dan badan lemas. Yang tidak ditemui pada
pasien adalah nyeri dada, cyanosis, serta mual dan muntah. Menurut analisa penulis tanda dan
gejala di atas tidak ditemukan karena pasien sudah mendapat terapi oksigen 2 l/menit sejak
masuk ke RS Sumber Waras (di UGD) serta anak yang mengalami tanda dan gejala pada
stadium sedang dan segera dibawa ke RS untuk mendapatkan pengobatan, sehingga tanda
seperti tersebut di atas tidak ditemukan.
Pada etiologi disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor intrinsik dan
ekstrinsik, setelah penulis menganalisa pada pasien disebabkan oleh faktor intrinsik dimana
anak mendapat penyakit asma bisa disebabkan karena dalam keluarga ada riwayat penyakit
tersebut (nenek dan kakak pertamanya). Di samping itu faktor pencetus yang menyebabkan
anak terserang asma karena beraktivitas/latihan fisik yaitu bermain-main dengan temantemannya. Pada pasien dilakukan pemeriksaan foto thorax, darah lengkap dan sediaan hapus.
Therapi yang diberikan adalah infus Dextrosa 5% in salin 1500 cc/24 jam (15-16 tts/menit)
ditangan kanan dan diet lunak.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang ditemukan pada pasien maka diagnosa keperawatan yang
diangkat adalah: ketidakefektifan jalan nafas, diagnosa ini penulis angkat sebagai diagnosa
primer karena pada saat pengkajian pasien mengeluh masih sesak, batuk dan pernafasan 32
x/menit.
Gangguan pola pernafasan, diagnosa keperawatan ini penulis angkat sebagai diagnosa
kedua karena pasien mengeluh masih sesak untuk bernafas dan mengatakan lebih enak
bernafas dalam posisi duduk. Pernafasan pasien
32 x/menit. Intoleransi
aktivitas dalam melakukan perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan
fisik, diagnosa ini diangkat karena pada saat pengkajian pasien dibantu penuh oleh perawat
dan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak karena anak tampak lemah.
C. Perencanaan
Perencanaan disusun bersama pasien dan keluarga disesuaikan dengan gangguan yang
terjadi. Perencanaan lebih ditekankan mengobservasi tanda-tanda vital terutama pernafasan.
Membantu anak mendapatkan posisi tidur yang nyaman guna lebih meningkatkan
pengembangan paru, melatih nafas dan batuk efektif, membantu anak dalam pemenuhan
D. Implementasi
Semua rencana keperawatan yang disusun dapat dilaksanakan dari implementasi
dilaksanakan dalam bentuk observasi, tindakan keperawatan dan penyuluhan pada pasien dan
keluarga.
E. Evaluasi
Setelah melakukan tindakan keperawatan maka dilakukan evaluasi berdasarkan
masalah yang muncul pada pasien: ketidakefektifan jalan nafas sudah teratasi karena anak
tidak mengeluh sesak lagi. Batuk agak berkurang, therapi oksigen sudah dihentikan dan
pernafasan 21 x/menit. Gangguan pola nafas sudah teratasi karena anakmengatakan dapat
bernafas lega. Intoleransi aktivitas sudah teratasi karena anak sudah tidak sulit bernafas, infus
Dextrosa 5% sudah di aff, anak dapat melakukan kebutuhan dasarnya seperti mandi, makan
minum, serta buang air besar dan buang air kecil secara mandiri.
BAB V
KESIMPULAN
Asma Bronchiale adalah suatu penyakit serius yang biasa dialami oleh anak-anak
pada usia rata-rata 5 tahun pada tahun pertama. Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan.
Karena kadang-kadang hanya terserang ringan sampai sedang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama karena
mempunyai riwayat genetik/keturunan yang menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat
dicegah dengan menganjurkan pasien untuk banyak istirahat (mengurangi aktivitas-aktivitas
yang cukup berat), mengkonsumsi makanan yang tidak menimbulkan alergi, mengurangi
stres emosional, serta menghindari polusi udara seerti asap rokok, dll. Apabila penyakit ini
tidak dicegah maka akan menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
Penyakit asma dapat ditangani dengan baik, tergantung dari motivasi anak sendiri dan
suport dari orang tua serta keluarga. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan
penyuluhan akan penyebabnya, cara penanggulangannya dan komplikasinya untuk
menambah pengetahuan anak serta terutama pada orang tua yang mengasuh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarths. Text Book Medical Surgical Nursing. Buku I. Philadelphia: JB Lippincott
Company, 2000.
Doengoes
Marilyn.
Rencana
Asuhan
Keperawatan
Pedoman
untuk
Perencanaan
dan