Anda di halaman 1dari 13

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


PRESENTASI KASUS
IDENTITAS
Nama lengkap
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Masuk RS tanggal
Bangsal

: Ny. R
: 23 tahun
: Perempuan
: Warung Boto, Yogyakarta
: 4 Maret 2016
: Dahlia Kelas 3 putri

Preceptor : dr. Basuki Rahmat Sp.An


I.

Ko-asisten : Septian Wisnu Sewaka

DATA SUBJEKTIF (Auto dan Alloanamnesis 4 Maret 2016 PUKUL 17.00 WIB) DI

BANGSAL DAHLIA
A. Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang perempuan usia 22 tahun dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah dirasakan
hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu, memberat sejak satu minggu ini keluhan lain seperti
sesak nafas (-) batuk (-) mual (-) muntah (-) pusing (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa (-)
2. Riwayat asma (-)
3. Alergi obat dan atau makanan/minuman (-)
4. Riwayat mondok (-)
5. Riwayat operasi sebelumnya (-)
D. Riwayat Penyakit pada keluarga
1. Riwayat keluhan serupa (-)
2. Riwayat asma atau alergi (-)
3. Riwayat hipertensi, DM (-)
E. Anamnesis Sistem
Sistem SSP

: demam (-), pusing (-)

Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)


Sistem respirasi

: nyeri telan (-) sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-)

Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut kanan bawah (+), diare (-),
sembelit (-)
Sistem urogenital

: nyeri berkemih (-)

Sistem integumentum : pucat (-), kuning (-), bengkak-bengkak (-)


Sistem muskuloskeletal : gerakan otot dan tulang bebas (+), nyeri sendi/otot (-).
RM 01

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


II.

DATA OBJEKTIF (28 Juli 2015 PUKUL 17.00 WIB) DI BANGSAL BOUGENVILE
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : baik, compos mentis
2. Tanda Utama : Nadi
: 86 x/menit, isi & tegangan cukup, teratur, simetris
Suhu
: 36,5 OC (axila)
Pernapasan : 20 x/menit, tipe thorakoabdominal
3. Antropometri :
TB : 145
BB : 45
4. Pemeriksaan Umum
a. Kulit: sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), rash (-)
b. Otot: eutrofi (+), tonus baik (+), tanda radang (-), kekuatan : 5/5/5/5
c. Tulang: tanda radang (-), deformitas (-)
d. Sendi: tanda radang (-), gerakan bebas (+)
5. Pemeriksaan Khusus dan Status Interna
a. Kepala: mesosefal, rambut: hitam, tidak mudah dicabut
- Mata: CA -/-, SI -/-, edema palpebra -/- Hidung: rhinorea -/-, epistaksis -/- Sinus: tanda peradangan (-)
- Mulut: mukosa bibir basah (+), stomatitis (-), gusi berdarah (-),
hiperemis faring (-), tonsil hipertrofi (+)
- Telinga: ottorea - /-, tragus pain - / b. Leher
Simetris (+), pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar gondok (-),
pembesaran massa (-), peningkatan JVP (-),
c. Thorak
Cor

Pulmo

Inspeksi:
- Iktus kordis tidak tampak

Palpasi:
- Ictus kordis tidak teraba
Perkusi:
- Batas
jantung
mengalami pergeseran
Auskultasi:
- Suara jantung:

tidak

Inspeksi:
- Bentuk dada simetris (+) N
- Nafas thorakoabdominal (+)
- Ketinggalan gerak (-)
- Retraksi (-)
Palpasi:
- Fremitus suara hemithorak dextra
= sinistra (+)
- Pergerakkan dada kesan simetris
Perkusi:
- Sonor pada semua lapang paru,
- Pemeriksaan batas paru hepar
SIC V
Auskultasi:
- Suara paru: Suara dasar vesikuler
RM 02

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

S1 - S2 reguler, bising jantung (-),


+/+, suara tambahan -/-.
gallop (-)
d. Abdomen
Inspeksi: tanda peradangan (-)
Auskultasi: peristaltik usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi: timpani (+), nyeri ketok ginjal (-), undulasi (-)
Palpasi: supel (+),nyeri tekan mc.burney (+), obturator sign (-), psoas sign (-), hepar/lien
ttb, balotement (-), massa ttb
e. Ekstremitas
Pemeriksaan

Superior
Dextra/Sinistra
Hangat
+/+, kuat

Inferior
Dextra/Sinistra
Hangat

Perfusi akral
Pulsasi a. Brachialis
Pulsasi a. Dorsalis Pedis
+/+, kuat
Kekuatan
5/5
5/5
Reflek fisiologis
+/+, N
+/+, N
c. Anogenital: tidak dilakukan.
6. Status Anestesi
a. Airway: jalan nafas bersih, buka mulut > 3 jari, gigi palsu (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).
b. Breathing: suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-, sesak (-),
ekspansi paru simetris (+)
c. Circulation: nadi 86 x/menit, s1-s2 reguler, bising (-), gallop (-), akral
hangat nadi kuat dengan CRT < 2
d. Disability: GCS E4V5M6, Kesadaran kompos mentis, KU: baik
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 28 Juli 2015 pukul 12.30
WIB
PARAMETER

HASIL

HEMATOLOGI
Leukosit
5,8
Eritrosit
4,69
Hemoglobin
13,4
Hematokrit
40,4
MCV
86,2
MCH
28,6
MCHC
33,1
Trombosit
438
Differential Telling Mikroskopis

NILAI
RUJUKAN

UNIT

4.0-10
4.00-5.50
11.0-16.0
32-44
81-99
27-31
33-37
150-450

10e3/ul
10e3/ul
gr/dl
%
Fl
Pg
Gr/dl
10e3/ul
RM 03

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


Neutrofil%
Lymposit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil#
Lymposit#
Monosit#
Eosinofil#
Basofil#
Golongan Darah
Rhesus
Masa Perdarahan
Masa Penjendalan
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu

68,0
24,6
2,0
5,1
0,3
12,74
4,61
0,39
0,94
0,06
A
Positif (+)
200
810

50-70
20-40
3-12
0,5-5,0
0-1
2-7
0,8-4
0,12-1,2
0,02-0,50
0-1

91

70-140

%
%
%
%
%
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul

<6
<12
mg/dl

III.

DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis klinis : Observasi abdominal pain suspek app kronik
2. Status anestesi : ASA I

IV.

PLANNING DAN PERSIAPAN PRE-OPERASI


a. Puasa 10 jam sebelum induksi anestesi
b. Planning anestesi : digunakan general anestesi dengan penguasaan jalan nafas
menggunakan ETT

V.

STATUS ANESTESI (INTRAOPERASI) tanggal 5 Maret 2016


Nama

: Ny. R

Umur

: 22 tahun

Bangsal/ kelas

: Dahlia kelas 3 putri

Diagnosis Pra-Bedah : Appendisitis kronis


Diagnosis Pasca Bedah: Post appendiktomi ec appendisitis kronis
ASA

:I

Ahli anestesi

: dr. Basuki. Sp. An

Ahli bedah

: dr. Yunada H. R., Sp. B., KBD

Perawat anestesi

: Rohim
RM 04

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


Pemeriksaan Fisik
- Vital sign

:
Nadi

: 87x/menit

Suhu

: 36,2 oC

Respiration rate

: 20 x/menit

- Berat badan
: 45 kg
- Jantung dan Paru : BJ regular, bising (-), ronkhi -/-, wheezing -/Jenis anestesi: General Anesthesia
-

Premedikasi Fentanyl 25 mcg

Induksi: Propofol 100 mg

Pemeliharaan: O2, N20, Sevo

Teknik penguasaan jalan nafas

: ETT

Ijin Operasi

: (+)

Tanggal Operasi

: 5 Maret 2016

Jenis Operasi

: Appendiktomi

GDS

: 91 mg/dl

Obat-obat

Ondansentron 4 mg

Ketorolac 30 mg

Jumlah Cairan
Infus:

Maintenance : 45 x 2 cc = 90 cc/ jam


Puasa: 10 jam pengganti puasa : 10 (jam) x 90 cc = 900 cc/jam
Stres operasi sedang: 6 cc/kgBB/jam 6 x 100 = 600 cc/jam
Pada jam I : 90+ 600 + (900) = 990 cc/jam
Pada jam II/III : 90+ 600 + (900) = 225 cc/jam

Instruksi Pasca Bedah


a. Infus

: RL 20 tpm

b. Antibiotika

: Amoxicillin syr 250 mg / 8 jam


RM 05

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

VI.

c. Analgesika

: Paracetamol syr 250 mg / 8 jam

d. Anti muntah

: Ondansentron 4 mg (k/p)

e. Posisi pasien

: Supine

f. Roborantia

: Awasi KU, vital sign, balance cairan dan perdarahan.

g. Lain-lain

:-

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

VII.

PEMBAHASAN
Tonsilektomi didefinisikan

sebagai

operasi

pengangkatan

seluruh

tonsil

palatine.

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring


yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk
terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi
saluran napas dan hipertrofi tonsil.

a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan

tidur dan komplikasi kardiopulmoner.


Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.

b. Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik -laktamase resisten.

c. Kontraindikasi
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
A. Persiapan Praoperasi
a. Penilaian Praanestesia

RM 06

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian
klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur
bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter

ahli anestesia dan terdiri dari :


Anamnesis dan Evaluasi rekam medic
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui
riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama
adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi.
Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter
anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisikondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam
medik.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility
intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien.
Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.
B. Teknik Anestesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter
anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi
umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan
tujuan untuk pendidikan.

a.

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:


Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik.
Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi.
Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-obatan yang

dibutuhkan.
Menyediakan rapid emergence.

b. Premedikasi
RM 07

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat
premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat terlatih.
Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau
dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.
c. Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter
tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi
yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen
bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan
mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan
operasi namun masih memegang kendali jalan napas.

Anestesi dengan endotrakeal tube


Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG
(bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan
darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.
Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan
halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus
menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau
sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi
selama

induksi

inhalasi

bisa

membantu

menenangkan

anak

yang

gelisah.

Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan
pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke
dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah
supraglotik

tepat

di

atas

pita

suara

dan

sekitar

endotrakeal

tube.

Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).


Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan
operasi.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal
airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. Ekstubasi dapat dilakukan bila
RM 08

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjagabebas (intact protective airway
reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam anestesi dalam.
Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme
pada saat ekstubasi.
Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah
daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di
sekitar pipi dan mudah dihisap keluar. Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi
adalah sebesar 60% sehingga dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.

Anastesi dengan LMA


Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA
dibanding ETT adalah berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas
postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti:
Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan
meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan
compliance paru rendah.
Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil. LMA harus
dilepaskan sebelum pasien sadar kembali. Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi
harus ditimbang juga dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan
harus berdasarkan pertimbangan per individu.

d. Pengamatan selama operasi


Selama operasi yang harus dipantau jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak
mengganggu operasi. Pernapasan dan gerak dada cukup, Saturasi oksigen di atas 95%,
denyut nadi yang teratur, jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk.
e. Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit).
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa
waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan
efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi
sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara
tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum
pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk
RM 09

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


mengawasi adanya perdarahan dini. Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse
oximetry, pola dan frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah
dan suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering
dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.
f. Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara
adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam
keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya
berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat
menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized
oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau
mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah
antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per
oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau
memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien
dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang
berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa
menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus
dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan
pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.
g. Komplikasi anestesi

RM 010

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status

kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:


Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi
intravena
dengan
pentotal
bisa
menyebabkan

hippotensi

dan

henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
Pada pasien ini dilakukan tonsilektomi atas indikasi absolut yaitu pembengkakan tonsil yang
menyebabkan obstruksi sehingga terjadi gangguan tidur dan nyeri telan. Sebelum melakukan
operasi ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu menilai kondisi pasien
praanastesi. Pada penilaian praanastesi dilakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat
kesehatan pasien. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya permasalahan pada jalan nafas yang
dapat menimbulkan kesulitan dalam anastesi. Sedangkan hasil pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan airway, breating dan circulation tidak ditemuakan kelainan. Pada pemeriksaan
penunjang darah rutin tida ditemukan kelainan. Setelah menilai keaadaan pasien praanastesi
selanjutnya menentukan teknik anastesi yang akan dilakukan. Teknik anastesi dipilih
berdasarkan beberapa hal, yaitu jenis operasi, lokasi operasi, usia, kondisi kesehatan pasien,
serta ketersediaan alat dan ketrampilan anastesi. Pada pasien ini jenis operasi yang akan
dilakukan adalah tonsilektomi, yang lokasinya di leher (jalan nafas) dan pada pasien anak anak,
sehingga teknik anastesi yang akan dilakukan adalah general anastesi (intravena dan inhalasi)
dengan manipulasi jalan nafas menggunakan ETT yang dimasukan melalui hidung. Teknik ini
adalah teknik yang direkomendasikan karena dapat menjaga jalan nafas tetap bebas. Selain itu
ETT juga dapat meningkatkan saturasi oksigen dan memudahkan dalam mengontrol obat
anastesi. Pada pasien ini sebelum dilakukan induksi dengan obat intravena, dilakukan induksi
dengan obat inhalasi terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai pertimbangan bahwa pasien
adalah anak anak yang kemungkinan akan kurang kooperatif saat dilakukan induksi intravena.
Pada pasien ini tidak dilakukan general anastesi dengan manipukasi jalan nafas menggunakan
LMA karena akan mengganggu kenyaman operator dalam melakukan tindakan bedah. Selain itu
pemasangan LMA akan sulit dilakukan pada pasien dengan pembesaran tonsil dan
RM 011

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


menimbulkan efek regurgitasi yang lebih besar. Selama operasi berlangsung dilakukan
monitoring vital sign, saturasi oksigen, jumlah perdarahan dan jumlah cairan yang masuk.
Setelah operasi selesai pasien dibaringkan menghadap ke kiri dengan posisi kepala lebih rendah
dan agak mengongak. Observasi pasien dilakukan setelah 6 jam post operasi. Pemberian
analgetik dan antibiotik sesuai dengan indikasi.

VIII.

KESIMPULAN
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatine. Terdapat 2
indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu indkasi absolut dan indikasi rekatif. Selain itu terdapat
pula kontraindikasi tonsilektomi seperti gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut yang berat.
Pada persiapan preoperasi dimulai dengan penilaian praanastesi yang meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Teknik anastesi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan
keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat
anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum. Alat bantu yang
dapat digunakan untuk mempertahan jalan nafas saat melakukan anatesi antara lain dengan
pemasangan ETT atau dengan LMA. Selama operasi dimulai amati tanda tanda vital, saturasi
oksigen harus diatas 95%, jumlah perdarahan serta jumlah cairan yang masuk. Setelah operasi
selesai maka lakukan observasi minimal 6 jam, pastikan tidak terjadi komplikasi pasca operasi
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,
frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Pemberian antibiotik ataupun
analgesik dapat diberikan sesuai dengan indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1.

Brodsky L and Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Bailey. Head and neck
surgery-otolaryngology. Philadelphia. 2001:980-91

RM 012

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


2.

Williams PJ, Bailey PM. Comparison of the reinforced laryngeal mask airway and tracheal
intubation for adenotonsillectomy. Br J Anaesth 1993;70:30-3.

3.

Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anaesthesia
for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal
mask airway. Can J Anaesth 1993;40:1171-7.

Yogyakarta, 11 Agustus 2015


Preceptor,

dr. Ardi Pramono, Sp. An

RM 013

Anda mungkin juga menyukai