Anda di halaman 1dari 6

Sepotong Hati Zalaiva

(kupingkopong)
Kutai, Juni 2023
Sudah lama aku tidak kembali ke kota ini. Hampir sebelas tahun. Perjalanan yang begitu
melelahkan. Mengelilingi dunia hanya untuk melupakan. Menghujam cinta, memasung rindu.
Kembali malah membuat hatiku teriris. Menorehkan kembali luka yang sempat mengering.
Namun, ibarat bangau yang terbang jauh, aku harus kembali. Rindu. Tak mengapa bila
mengenang sedikit luka itu.
Aku berdiri takzim, memandangi gedung sekolahku yang kini berubah menjadi perlente.
Disinilah awal mula aku jatuh cinta, sekaligus merasa luka.
***
Ramadhan, 2012
Puasa tak membuatku berleha-leha di rumah. Justru aku disibukkan dengan pementasan
perdanaku di acara buka bersama. Ah, sangat menyenangkan. Dengan ditemani Erdi dan
Kinul, aku berkonsentrasi mempersiapkan puisi yang akan ku baca dua hari lagi.
Dua jam berlalu. Aku masih berkutat dengan teksku. Begitu pula dengan Erdi. Masih
disibukkan dengan tuts-tuts pianonya. Dan Kinul, tak henti-hentinya ia mengomentari
bacaanku. Berusaha memperbaiki. Kembali aku melirik arloji yang terpasang rapi di tangan
kiriku, sudah jam sebelas. Para pria harus bersiap untuk sholat Jumat.
Di, sholat jumat dulu gih.
Erdi nampak begitu enggan. Ia masih berkutat dengan tuts-tuts pianonya.
Ntar Ni. Nanggung.
Aku tak banyak berkomentar. Namun tetap mengumpat dalam hati, Dasar, pria malas.
Ditengah kejengkelanku, karena tak ada satupun pria yang di ruangan ini beranjak pergi,
terdengar suara bass dari dalam ruangan ini.
Sholat Jumat yuk, ajaknya.

Suara itu datang bagai angin surga. Menyergap rasa jengkel yang sungguh menyesakkan
dada. Aku menoleh, menatap pemuda itu. Seperkian detik hatiku berdesir, jantungku berdetak
tak teratur. Perasaanku semakin kacau saat ia berjalan melewatiku. Cinta pada pandangan
pertama? Aku menggeleng, menepis dugaan-dugaan yang kini membuatku resah. Bukan,
bukan cinta. Aku membujuk hatiku, berusaha menyakinkan.
Namun apalah daya. Aku memang jatuh cinta. Sekuat tenaga aku mengusirnya, namun
begitulah cinta. Semakin kau berusaha untuk mengingkarinya, ia akan menumbuhkan akarakarnya, menancap kuat dalam hatimu. Begitu pula denganku. Sungguh sedetikpun aku tak
pernah bisa menepis siluet wajahnya dari bola mataku. Jatuh cinta membuatku merasa tak
enak. Bagaimana tidak? Memandangnya saja aku tak sanggup. Setiap menatap wajahnya, aku
mati-matian menenangkan degup jantung yang bertalu-talu. Menyapanya aku pun tak
mampu. Lidahku kelu. Mulutku membatu.
***
Musim penghujan sejak seminggu lalu membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari
kecil, mengembangkan payung putihku, menerobos gerimis, menuju halte yang tidak jauh
dari kos-anku. Tidak jauh? Jika kau tau sebenarnya, halte itu begitu jauh dari tempat
tinggalku sekarang. Yah, aku seperti ini demi pria yang kini membuat hatiku berdesir setiap
kali melihatnya, walau dalam jarak lima belas meter.
Lama menunggu, Bus Armada Sakti terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai
sembari berteriak menyebut tujuan. Bus merapat. Inilah kendaraan yang selalu ku gunakan
setiap berangkat sekolah. Dan dia ada disana. Duduk di bangku depan sebelah kiri, dekat
jendela. Dengan lincah aku melompat ke dalam bus, mencari tempat duduk. Namun aku tak
memilih duduk disampingya yang jelas-jelas masih kosong. Aku memilih duduk di kursi
kedua sebelah ke kanan, mengamati dia dari kejauhan.
Lihat, aku terlihat begitu pecundang. Lamat ku berpikir, memang lebih baik aku seperti ini.
Tak usah mendekat. Cukup memandang dia dari kejauhan. Merindukannya dalam diam, tanpa
ia harus tahu bila tak jauh dari dia, ada aku yang memendam rasa.
***

Tak jauh berbeda didalam bus, di sekolahpun aku bersikap sama. Terlihat tenang saat
didekatnya, walau sebenarnya jantungku tak dapat berdusta. Sepertinya ia tak menyadari.
Baguslah. Memang seperti itu yang aku harapkan.
***
Sabtu siang. Latihan teater. Inilah momen yang paling aku nanti. Kau tau mengapa? Karena
pada hari ini aku dapat memandangi pujaanku dalam waktu yang cukup lama. Walau sedetik
pun ia tak menyadari akan tatapanku. Masih teringat jelas di kepalaku, memori itu berputar
kembali dengan sempurna. Menayangkan adegan-adegan yang semakin menyakinkanku jika
aku benar-benar jatuh hati padanya.
Ra, nama lu siapa?, tanyaku dengan lagak dingin.
Prawira Adhitama, jawabnya dengan singkat.
Ha? Prawira siapa?, tanyaku dalam hati.
Eh, Prawira siapa?, tanyaku sekali lagi.
PRAWIRA ADHITAMA, Zalaiva.
Tak ku sangka, wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Aku tersipu malu. Buru-buru
memalingkan muka. Aku tak mungkin membiarkan wajah kepiting rebusku terlihat olehnya.
Aditama? Atau Adhitama? Pake H?, tanyaku yang masih memalingkan muka dari dia.
Iyah, pake H Zalaiva.
Ussh. Saat ku melukis namanya di buku jurnal teaterku, ada yang sedikit berbeda dalam
hatiku. Eh, kok gini? Eh, tanganku kok gemeteran?, batinku. Sekali lagi ku pandang wajah
indahnya. Ussh. Jantungku kembali berdegup tak karuan. Dengan cepat ku tenggelamkan
wajah merah jambuku didalam buku jurnal.
***
Musim penghujan sejak seminggu lalu membungkus kota. Pagi yang dingin. Aku berlari-lari
kecil, mengembangkan payung putihku, menerobos gerimis, menuju halte yang tidak jauh
dari kos-anku. Tidak jauh? Jika kau tau sebenarnya, halte itu begitu jauh dari tempat

tinggalku sekarang. Yah, aku seperti ini, sekali lagi, demi pria yang kini membuat hatiku
berdesir setiap melihatnya, walau dalam jarak lima belas meter.
Lama menunggu, Bus Armada Sakti terlihat dari kejauhan. Kondekturnya melambai-lambai
sembari berteriak menyebut tujuan. Bus merapat. Inilah kendaraan yang selalu ku gunakan
setiap berangkat sekolah. Dan dia ada disana. Duduk di bangku depan sebelah kiri, dekat
jendela. Dengan lincah aku melompat ke dalam bus, mencari tempat duduk. Namun aku tak
memilih duduk disampingya yang jelas-jelas masih kosong. Aku memilih duduk di kursi
kedua sebelah ke kanan, mengamati dia dari kejauhan.
Namun ada yang berbeda. Ia menoleh kepadaku. Memamerkan sederet gigi putihnya melalui
senyum manis itu. Aku tergugu. Malu-malu membalas senyum indahnya.
Zalaiva, sini duduk disampingku, katanya.
Eh, duduk disampingnya? Dari luar aku terlihat begitu tenang. Namun jika kau tahu isi
hatiku, sungguh aku bersorak riang karena ia memintaku duduk disampingya. Tanpa banyak
berbicara, aku mengiyakan permintaanya. Mengenyakkan pantatku tepat disebelahnya. Tak
menunggu hitungan menit, kami telah terhanyut dalam perbincangan yang menyenangkan.
Inilah kali pertama aku berbicara cukup lama dengannya.
***
Kedekatan kami terus berlanjut. Sungguh tak pernah terlintas didalam benakku. Sudah satu
tahun lebih kami bersama. Namun itu tak bertahan lama. Kami berpisah.
***
Kau tahu? Kesakitanku kian tak berhenti. Mengalir deras. Merongrong hati. Jiwaku sakit.
Aku merana. Makin merana saat terlihat jelas di mataku, Wira telah jatuh hati dengan wanita
lain. Ya, temanku sendiri, Fiah. Aku semakin merana ketika setiap detik ku melihat mereka
bersama. Ya, karena aku satu sekolah dengan mereka.
Dan kelulusan merupakan momentum yang paling berharga. Inilah waktu yang tepat untuk
melupakan segalanya. Cintaku kepada Prawira Adhitama.
***

Ingatan itu bak kaset yang memutar segala macam kejadian sebelas tahun yang lalu. Aku
jatuh hati dengan Wira, dengan cepat pula ia melupakannya. Bila kau mengira ini sekadar
cinta monyet, tapi ketahuilah, sebelas tahun telah berlalu, namun ku tak pernah berhasil
menepis bayangnya. Ada saja yang membuatku tertarik ingin mengetahui bagaimana ia
sekarang. Sedang jatuh hati dengan siapa. Namun saat aku mengetahui, hati ini bagai tertusuk
sembilu. Sakit.
Lama ku berdiri takzim didepan gedung ini.
Zalaiva?, panggil seseorang.
Aku tersentak. Aku benar-benar mengenal suaranya. Apa itu Wira? Segera ku menolehkan
kepala, aku terperangah.
Ya, tepat di belakangku berdirilah Wira. Pria yang selama sebelas tahun ini membuatku tak
berhenti mencintainya, walaupun berkilometer jarak memisahkan aku dan dia. Walau tak
sedetikpun ia menyadarinya. Dia Wira, yang mampu merebut sepotong hatiku.
Aku terpaku memandangnya. Tak mampu membalas sapaanya.
***
Hai, selamat bertemu lagi
Aku sudah lama, menghindarimu
Sial ku lah, kau ada disini
Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin, bernapas lagi
Tegak berdiri di depanmu kini
Sakitnya menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati1
***

1 Tahu Diri Maudy Ayunda

Biodata
Cerpen Sepotong Hati Zalaiva ditulis oleh Andini Tri Indah Sari alias kupingkopong.
Ketertarikannya dalam dunia penulisan tumbuh sejak SD. Kini, ia masih melanjutkan studi
S1-nya di Universitas Negeri Surabaya. Apabila ingin mengenali penulis lebih jauh, silahkan
menambahkan akun Facebooknya, Andini Tri Indahsari atau memfollow akun twitternya,
@donatrotipisang.

Anda mungkin juga menyukai