Anda di halaman 1dari 1

Dibawah Pohon Kersen

Suatu sore yang indah, di bawah pohon kersen yang mulai meranggas, aku dan sahabat
lawasku bermalas-malasan dibawah naungan pohon kersen. Menikmati sepoi angin yang
menggelitik.
Dia, perempuan, sahabatku, menoleh ke arahku. Kami sungguh dekat, membuat jantung
meletup-letup. Nampaknya ia tak akan pernah canggung bila sedekat ini denganku. Dia selalu
menganggap bahwa aku dan dia selamanya berteman.
Segera ku mengalihkan pandangan. Menatap segerombolan permen kapas yang berarak
lembut di langit senja.
"Kau mengapa? Menatapku seperti itu?"
Perempuan itu terbangun. Menyenderkan punggung ke batang pohon kersen.
"Kau beradu mulut lagi dengan ayahmu, kan?"
Aku membisu. Mengapa dia tahu?
"Kau, selepas bertengkar dengan ayahmu, keningmu selalu berkeringat. Sudah ku
perhatikan sejak kecil. Kebiasaan yang aneh."
Aku hanya menggumam.
"Berhentilah bertengkar dengannya." Nada suaranya sedingin es.
"Dia selalu membuat ulah."
"Kau yang tidak bisa memahaminya", balasnya tak kalah sengit.

Anda mungkin juga menyukai