Anda di halaman 1dari 5

Serenade Hera

(Andini Tri Indah Sari)


Tepat tengah malam, Laura kecil yang sedari tadi rewel karena demam, kini telah terlelap.
Ibunya yang lelah, mulai merebahkan tubuh ringkihnya diatas kasur yang nyaman. Tak
menunggu hitungan menit, mata Ibu Laura telah terpejam. Beranjak pergi dari dunia nyata,
pergi mengarungi indahnya mimpi. Namun selang dua jam, terdengar gemeletuk api yang
mencoba melahap setiap bangunan yang ia lewati. Asap hitam mulai mengepul, menyesakkan
dada. Kampung Laura terbakar. Laura dan Ibunya tetap terjaga.
***
Berkas-berkas cahaya surya mencoba menerebos diantara rumah-rumah, menebarkan
kehangatan yang ada disekitarnya. Kicau burung riuh rendah menyanyikan syair-syair
indahnya. Tak mau kalah, desing mesin motor dan obrolan antar manusia juga ikut
memeriahkan. Ah, hari sudah pagi.
Diantara deretan rumah itu, nampak gadis cantik dengan rambutnya yang panjang sedang
menjemur pakaian. Salah satu mucikari yang ada disana menyapanya.
Eii, rajin banget sih lu. Pagi-pagi udah nyuci. Sama aku aja sini, olahraga bareng terus
dandan. Kali aja nanti lu dapat pelanggan. Lumayan kan ya?
Gadis itu hanya tertawa.
Gue nggak minat, jawabnya dengan singkat sembari meninggalkan tiang jemuran.
Mucikari itu hanya mendengus sebal. Lalu berjalan meninggalkan Si Gadis.
Gadis itu menoleh, memandang Si mucikari berlalu.
Ogah gue kayak lu. Walaupun gue tinggal sama germo paling top di daerah sini, gue nggak
mau kerja busuk kayak lu, batin Gadis itu.
Hera. Ngapain lu disana? Sini bantu tante bersih-bersih rumah.
Gadis itu terlonjak kaget, lantas menoleh. Menatap perempuan setengah baya berdandan
menor yang berdiri tepat dibelakangnya.
Ngapain sih, pagi banget. Capek tau abis nyuci baju-baju anak asuhan lu.

Eh, berani bantah. Salah sendiri lu nggak mau jadi anak asuhan gue. Untung lu masih gue
izinin tinggal disini, ngasih lu makan. Gak nuntut imbalan dari lu. Udah sana masuk. Beresin
tuh rumah, kata perempuan itu sembari menggerak-gerakkan kipasnya.
Gadis itu, Hera, mendengus sebal. Merutuk didalam hati, mengapa Ia harus tinggal di tempat
seperti ini. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai, masuk kedalam rumah.
***
Malam tak membuat kampung Hera sepi. Pub, diskotik, panti pijat plus plus mulai ramai oleh
pengunjung. Suara musik berdentum keras, memekakkan telinga.
Lalu, dimana Hera? Ya, setiap malam, Ia memilih sendiri. Duduk santai di atap rumahnya,
memandang bintang-bintang. Sesekali Ia bertanya tentang keberadaan orangtuanya. Kata
Tante Meli, perempuan setengah baya yang merawatnya itu, orangutanya sengaja
meninggalkan Hera di teras rumahnya. Jika benar, mengapa Ia sekarang tetap hidup?
Seharusnya Ia sudah mati terpanggang, tertimbun reruntuhan rumahnya.
Woi Hera. Dimana lu?, teriak seseorang.
Ah, pasti sih Daroji. Ngapain sih? Ganggu gue aja, batin Hera.
Nah, beneran kan lu disini? Dicari Jeng Meli noh, kata Daroji.
Ngapain sih? Tugas gue kan udah selesai, sekarang waktunya gue istirahat.
Yaelah, lu jangan bandel deh. Mending sekarang lu turun, samperin Jeng Meli. Daripada dia
ngamuk-ngamuk ntar.
Hera tak banyak berkomentar. Dengan gesit Ia turun dari atap, menemui Tante Meli.
***
Darimana aja lu? Genteng?, tanya Tante Meli sembari menghisap rokoknya.
Hera hanya mengangguk.
Hera, Hera. Lu itu cewek, ngapain juga naik ke genteng, kata salah satu mucikari.
Hera bergeming, Ia tetap membisu.
Eh, lu bisu ya? Ngomong dong!, bentak mucikari tadi.

Udah, udah. Lu Diem Nensi!, kata Tante Meli sembari membuang puntung rokok didepan
Nensi.
Yaudah lu ambilin rokok gue di kamar, sambung Tante Meli.
Hah? Lu nyuruh gue turun cuman buat ngambil rokok doang? Lu kan bisa nyuruh anak asuh
lu buat ngambilin rokok, kata Hera dengan marah.
Ra, cuman lu yang gue percaya di rumah ini. Ya, walaupun lu sedikit bandel, begundal, tapi
gue yakin lu itu anaknya jujur.
Lu yang bikin gue bandel plus begundal, dasar, batin Hera.
Ngapain lu masih diem disini? Sono ke kamar gue, ambilin rokok.
Hera tak banyak bicara. Ia segera pergi, menuju kamar Tante Meli.
***
Lama banget lu. Mana rokok gue?.
Hera bergeming. Ia menatap Tante Meli dengan tajam.
Kenapa lu? Sini rokok gue!, kata Tante Meli sembari mengambil rokok dari tangan Hera.
Gue makasih banget lu mau ngerawat gue dari kecil sampe sekarang. Lu juga nggak jadiin
gue kayak pelacur-pelacur itu, Tante. Tapi asal lu tau, gue benci sama pembohong. Kata
Hera dengan dingin.
Ngapain lu di kamar gue?, tanya Tante Meli penuh dengan selidik. Ia mulai ketakutan.
Lu bilang Bapak Ibu gue nggak peduli sama gue. Nelantarin gue di teras rumah. Terus ini
apa?!, teriak Hera sembari melempar potongan koran tepat di depan Tante Meli.
Tante Meli memungut potongan koran tersebut. Ia membaca kembali judul koran tersebut,
Demi Anaknya, Sepasang Suami Istri Kehilangan Nyawa. Sontak tubuh Tante Meli bergetar,
Ia ketakutan.
Lu juga yang ganti nama gue jadi Hera. Penipu lu!
Lu tau kalo nama asli lu bukan Hera?, tanya Tante Meli. Suaranya terdengar gemetar.

Daroji yang ngasih tau gue setahun yang lalu. Tapi gue perlu bukti buat ngebuktiin kalo
omongan Daroji itu bener, jawab Hera dengan dingin.
Lu bilang kalo orangtua gue pembunuh. Padahal selama ini gue tinggal sama pembunuh.
Lu!, teriak Hera.
Lu yang ngebakar tempat tinggal gue cuman buat ngebangun lokalisasi ini. Busuk lu!
Tante Meli membisu. Potongan koran itu masih berada dalam genggamannya.
Lu nggak usah khawatir Tante, gue nggak bakal ngelaporin lu ke polisi. Ini sebagai balas
budi gue karena lu udah ngerawat gue dari kecil. Biar Tuhan yang ngebalas kelakuan bejat lu!
Satu lagi, jangan ganggu Daroji. Gue pergi.
***
Sudah tiga tahun Hera telah meninggalkan rumah gedong milik Tante Meli. Selama tiga
tahun itu pulalah Ia mencoba berbenah, menebus kesalahan yang Ia perbuat yang sungguh
memberatkan Ibu Bapaknya. Rasa prasangka dan benci yang sempat Ia suguhkan sejak enam
belas tahun terakhir seketika luruh karena memang tak pantas Ia hadiahkan kepada
orangtuanya.
Kini, Hera hidup jauh lebih baik. Memiliki keluarga kecil yang bahagia, suami yang
menerima masa lalunya dengan lapang dada. Kalau bukan karena dipertemukan dengan lelaki
yang kini menggenggam erat tangannya, mungkin hidup Hera tak akan seindah ini.
Terimakasih telah Kau pertemukan aku dengannya di tanggal dimana enam belas tahun yang
lalu aku kehilangan kekuatan hidupku, Ayah dan Ibu. Untuk suamiku, terimakasih atas
khimar merah jambu yang kau berikan mas. Karena khimar itulah, aku seperti sekarang ini,
batin Hera sembari menatap lekat suaminya. Suaminya membalas tatapan Hera, penuh
dengan cinta.

Andini Tri Indah Sari alias kupingkopong merupakan bungsu dari tiga bersaudara.
Ketertarikannya dalam dunia penulisan tumbuh sejak SD. Kini, ia masih melanjutkan studi
S1nya di Universitas Negeri Surabaya. Apabila ingin mengenali penulis lebih jauh, silahkan
menambahkan akun Facebooknya, Andini Tri Indahsari atau menghubungi nomornya yaitu
085785450447.

Anda mungkin juga menyukai