dipenjarakan hari itu, tetapi sebaliknya, saya masuk kedalam mobil dan pergi.
Di rumah saya tak dapat berbuat sesuatu. Saya harus memriksa kembali
rancangan naskah buku saya yang terakhir, tetapi saya tak sanggup memusatkan pikiran.
Tak lain yang say pikirkan hanyalah wanita yang bernama Firdaus itu, dan yang sepuluh
hari lagi akan dibawa ke tiang gantungan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali saya telah berada lagi di pintu gerbang
penjara. Saya minta izin kepada seorang sipir wanita untuk melihat Firdaus, tetapi dia
berkata: Tiada gunanya, Dokter. Ia tidak akan mau menemui anda.
Mengapa?
Mereka akan menggantungnya beberapa hari lagi. Apa gunanya anda , atau
orang lain bagi dia? Biarkan saja dia!
Ada nada marah dalam suaranya. Ia melihat pada saya dengan pandangan marah,
seakan-akan sayalah yang akan menggantung Firdaus beberapa hari lagi.
Saya samasekali tidak berurusan dengan para penguasa , baik ditempat ini
maupun ditempat lain kata saya.
Itulah yang selalu mereka katan semua, katanya dengan sikap marah.
Apa sebabnya kau naik pitam? Tanya saya. kau pikir Firdaus itu tidak
bersalah, bahwa dia tidak membunuh orang itu?
Dia menjawab dengan sikap yang lebih galak, Pembunuh atau bukan, dia adalah
seorang wanita yang tidak bersalah dan tidak perlu dihukum gantung. Mereka itulah
orang-orangnya yang harus digantung.
dipenjara lagi. Saya tidak bermaksud berusaha menemui Firdaus, sebab saya tekah
kehilangan harapan. Saya sedang menunggu dokter atau sipir penjara.
Apakah Firdaus berkata kepada Anda bahwa dia mengenal saya? Tanya saya.
Tidak, ia tidak mengatakan apa-apa, jawab sipir, tetapi dia mengenal Anda.
Bagaimana Anda tahu, bahwa dia mengenal saya?
Saya dapat menerka perasaanya
Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu. Saya berusaha untuk bergerak,
untuk pergi ke mobil dan berangkat, tetapi gagal. Suatu perasaan aneh yang memberat
menekan hati dan tubuh saya.
Perasaan ini pernah saya ketahui sebelum peristiwa ini, beberapa tahun yang
telah lampau. Saat itu saya jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak membalas cinta
saya. Saya merasa ditolak, bukan saja oleh dia, bukan saja oleh satu orang diantara sekian
juta yang menghuni dunia yang padat ini, tetapi oleh setiap makhluk atau benda yang ada
di bumi ini, oleh dunia yang luas itu sendiri.
Saya mulai melangkah menuju mobil saya dengan maksud meninggalkan tempat
itu. Perasaan subjektif semacam yang mengekang saya tidak layak bagi seorang pakar
ilmiah. Saya hamper tersenyum sendiri ketika saya membuka pintu mobil. Sentuhan pada
permukaan mobil mobil itu telah membantu saya menemukan identitas saya kembali,
harga diri saya sebagai seorang dokter. Saya putar kunci kontak dan saya tancap gas,
sambil melemparkan perasaan yang dating dengan mendadak {yang kadang-kadang
menghantui diri saya di saat-saat kegagalan), seakan-akan saya ini hanya seekor serangga
yang tak berarti, yang sedang merayap diantara beribu-ribu ekor serangga lainnya yang
sama. Terdengar suara di belakang saya, lebih keras dari suara deru mobil.
Dokter! Dokter!
Itu suara sipir. Ia berlari menghampiri saya dengan napas terengah-engah. Suara
napasnya bmengingatkan saya pada suara-suara yang seringkali saya dengar salam
mimpi.
Saya dengar dia berkata Firdaus, Dokter!. Firdaus ingin bertemu Anda!