Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) PADA PEMILUKADA KOTA

SURAKARTA 2015
Pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi rutin
setiap lima tahun sekali melakukan pemilu. Pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada
tahun 1955. Pada waktu itu pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante.
Pemilu pertama indonesia ini diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Setelah pemilu tahun
1955 tersebut, indonesia tidak lagi menyelenggarakan pemilu hingga rezim Soekarno berakhir.
Pemilu mulai diadakan kembali pada awal rezim Soeharto, pada tahun 1971. Saat itu pemilu
diikuti oleh 10 partai politik, yang mana 5 posisi teratas di tempati oleh, Golongan Karya,
Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia, Permusi, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada
pemilu selanjutnya yaitu pemilu pada tahun 1975 terjadi peleburan partai politik melalui
Undang-undnag No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Partai politik yang memiliki
kesamaan ideologi dilebur menjadi satu, seperti yang beraliran nasionalis masuk ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia dan yang berbasis agama masuk ke dalam Partai Persatuan Pembangunan.
Pemilu setelah pemilu 1975 hanya diikuti oleh dua partai politik dan golongan karya.
Pemilu sangat berkaitan erat dengan tingkat partisipasi masyarakat di dalam kegiatan
pemilu. Partisipasi tersebut biasa disebut dengan partisipasi politik. Lalu apakah partisipasi
politik itu? Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah.1 Tingkat partisipasi politik di dalam pemilu selama orde baru cenderung
stagnan dengan jumlah pemilih lebih dari 95% dan golput yang terjadi rendah. Tingkat
partisipasi suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling kuat
yaitu Pengaruh penguasa di dalam kegiatan politik. Selain itu, faktor lingkungan juga sangat
mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak.
Perilaku masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya biasanya disebut dengan
golongan putih. Golongan putih adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan
berbagai faktor dan alasan. Banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menjadi golput. Di
indonesia fenomena golput sudah terjadi sejak pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955,
1

Samuel P. Huntington & Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 6

hal tersebut disebabkan oleh karena ketidaktahuan dan kurangnya informasi yang dimiliki
masyarakat pada saat itu. Isstilah golput pertama kali muncul menjelang pemilu pada tahun
1971. Yang memprakarsai untuk memilih sikap tersebut antara lain Arief Budiman, Julius
Usman, dan Imam Malujo Sumali. Mereka memandang bahwa aturan main dari sistem
demokarasi tidak ditegakkan akan tetapi malah cenderung dilecehkan. Seperti sudah menjadi
kebiasaan bahwa setiap dilangsungkannya pemilihan umum baik presiden, legislatif, maupun
kepala daerah, selalu diwarnai dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai
demokrasi. Kegiatan di dalam demokrasi baru-baru ini sedang heboh dengan diadakannya
pemilihan umum kepala daerah secara serentak, dimana sebelumnya hal tersebut belum pernah
dilakukan.
Setiap pemilu yang diselenggarakan tidak terlepas dari adanya fenomena golongan putih
dalam mewarnai proses pemilu. Seperti yang terjadi pada pemilukada yang dilaksanakan
serentak pada 9 Desember 2015, masih banyak terdapat masyarakat yang tidak menggunakan
hak pilihnya dengan berbagai alasan. Tidak terkecuali dengan kota surakarta, yang mana kota
surakarta merupakan salah satu kota di indonesia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi positif
dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini karena andil yang besar dari pemimpin kota surakarta
pada waktu itu bapak jokowi dan wakilnya. Meskipun jokowi sudah memutuskan unntuk
berhenti menjadi walikota surakarta akan tetapi kemajuan bisa tetap dijalankan oleh wakilnya.
Dalam pemilukada serentak 9 desember 2015, ada dua calon walikota surakarta, yakni Drs. H.
Anung Indro Susanto berpasangan dengan Muhammad Fajri melawan F. X. Hadi Rudyatmo
berpasangan dengan Dr. H. Achmad Purnomo. Dan dimenangkan olleh pasangan nomor dua F. X
Hadi Rudyatmo & Dr. H. Achmad Purnomo, yang mana F. X. Hadi Rudyatmo (Rudy)
merupakan walikota yang saat ini menjabat dengan perolehan suara sebesar 60.39% melawan
39.61%, dengan tingkat partisipasi 73.58% dan tingkat golput sebesar 26.42% atau sekitar
105.670. Angka tersebut lumayan besar untuk ukuran kota besar dengan tingkat pendidikan dan
kesadaran yang sudah tinggi. Akan tetapi banyak alasan dan kemungkinan yang melandasi
mengapa memilih untuk menjadi golongan putih.
Menurut Arbi Sanit, golongan putih adalah gerakan protes yang didasarkan pada segenap
masalah kebangsaan, yang biasanya menjadi sasaran protes dari gerakan golongan putih adalah
penyelenggaraaan pemilihan umum. Berbeda dengan kelompok pemilih yang tidak

menggunakan hak pilih karena berhalangan diluar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak
pilih disebabkan oleh kemungkinan-kemungkinan, yakni;
a. memilih lebih dari satu, maksudnya pada saat pemungutan suara, para golput ini
memilih atau mencoblos kandidatnya lebih dari satu, hal tersebut dikarenakan ketidaktahuan
orang tersebut terhadap para calon.
b. mencoblos pada bagian putih kertas suara, yang menyebabkan suara tidak sah, sebagai
akibat kebingungan dari masyarakat.
c. tidak mendatngu kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
Sedangkan Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golongan putih atas empat golongan;
a. golongan putih teknis : mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (keluarga
meninggal, sakit, ketiduran, etc) sehingga memksa untuk berhalangan hadir ke tempat
pemungutan suara, atau mereka belum paham akan tata cara mencoblos sehingga menyebabkan
suaranya tidak sah.
b. golongan putih teknis-politis : orang-orang yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih
akan tetapi tidak mau mengurus masalah tersebut sehingga memaksa dirinya untuk golput.
c. golongan putih politis : mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tidak percaya bahwa dengan adanya pemilu akan membawa perubahan yang lebih
baik.
d. golongan putih ideologis : adanya ketidak percayaan dari mereka pada mekanisme
demokrasi dan tak mau terlibat di dalamnya karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politk-ideologi lain.
Sedangkan menurut Novel Ali (1999;2) di Indonesia terdapat dua kelompok golongan putih:
a. golongan putih awam: mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena
alasan politik, akan tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan, dsb. Kemampuan kelompok ini
tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai pada tingkat deskriptif saja.

b. golongan putih pilihan: mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu benar-benar alasan politik. sebagai contoh, adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap
partai politik, atau mereka sudah percaya bahwa yang akan terpilihnya nantinya akan
memberikan perubahan kearah yang lebih baik, selain itu bisa disebabkan pula karena sudah
adanya kemapanan ekonomi masyarakat.
Jadi, fenomena golongan putih yang terjadi di kota Surakarta lebih banyak disebabkan
oleh banyak faktor hal tersebut disebabkan karena kota surakarta merupakan kota besar dan
memiliki tingkat kekompleksitasan yang tinggi. Selain itu, kemungkinan terbesar masyarakat
yang memilih untuk golput karena sudah merasa percaya siapapun calon yang terpilih tidak
mempengaruhi kehidupannya yang sudah mapan.

Sumber Bacaan:
Gaffar Afan, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Samuel P. Huntington & Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka
Cipta, Jakarta.
Pamungkas Sigit, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih, dan Kepartaian, Institute for Democracy and
Welfarism, Yogyakarta

http://www.merdeka.com/politik/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-dari-pemilu-1955-2014.html

Anda mungkin juga menyukai