TETANUS
Disusun oleh
Denti Mardianti
Muminah
220110100039
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan
tonus
otot
ini
selalu
tampak
pada
otot
masseter
dan
otot-otot
rangka.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5
milimikron. Kuman ini berspora dan termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh
genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini
(tetanospasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini
labil pada pemanasan, pada suhu 65C akan hancur dalam 5 menit. Di samping itu dikenal pula
tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian dari Tetanus
2. Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
3. Mengetahui Patofisiologi dari Tetanus
4. Mengetahui Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
5. Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
6. Mengetahui proses pada pasien dengan Tetanus
BAB 2
KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil
Clostridium tetani yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin. Biasanya masuk ke dalam
tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau
gigitan serangga) (Dorland, 2002).
Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi
baru lahir. Infeksi tetanus disebabkan oleh sejenis bakteri yang menghasilkan toksin yang
mematikan bakteri tersebut tumbuh dalam keadaan yang kotor. Kuman penyebab tetanus adalah
Clostridium tetani (Depkes, 2003).
Tetanus adalah gangguang neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani (Aru W, 2007).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang
diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang menginfeksi atau mengkontaminasi pada
luka tusuk/ traumatik yang ditandai dengan gejala kekauan dan kejang otot. Tetanus yang sering
terjadi adalah tetanus neonatorum.
2.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani.
Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga
bisa p a d a m a n u s i a d a n j u g a p a d a t a n a h y a n g t e r ko n t a m i n a s i
d e n g a n t i n j a binatang tersebut. Clostridium tetani adalah kuman
berbentuk batang, ramping, berukuran 25 x 0,40,5 milimikron yang
berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Dalam kondisi anaerobik y a n g d i j u m p a i p a d a j a r i n g a n n e k r o t i k
d a n t e r i n f e k s i , b a s i l t e t a n u s mensekresi dua macam toksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup yang mengelilingi s u m b e r
mengoptimalkan
ko nd i s i
yang
infeksi
memungkinkan
dan
multiplikasi
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus
yang
ditandai
dengan
ko n t r a k s i
otot
tetanik
dan
h i p e rre fl e k s i , y a n g mengakibatkan trismus (rahang terkunci),
spasme glotis, spasme otot umum, opistotonus, spasme
respiratoris, serangan kejang dan paralisis. (Dorland, 2002).
2.
3.
4.
Derajat I (ringan)
Trismus ringan
sampai
sedang,
spastisitas
generalisata,
tanpa
Derajat II (Sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 30 - 35 kali/ menit, disfagia ringan.
3.
spastisitas
generalisata,
spasme
refleks
2.
3.
4.
5.
6.
2.
3.
4.
Asfiksia
Atelektasis karena obstruksi secret.
Fraktur Kompresi
2.7 Penatalaksanaan
1.
Nonfarmakologi
Bila yang ada hanya ATS suntikkan i.m atau i.v 20.000 40.000
IU/hari selama 3 hari atau 20.000 IU/ hari untuk anak-anak selama
2 hari.
penderita,
mengendalikan
kejang
dan
Farmakologi
a.
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari
i.m.
Sedangkan
dosis 50.000 Unit/ kgBB/ 12 jam secara i.m. diberikan selama 7-10
hari. Bila sensitif terhadap Peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/ kgBB/ 24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi (4 dosis). Bila
digunakan
dengan
tersedia
Peniciline
intravena,
dapat
Bila
dijumpai
adanya
komplikasi,
pemberian
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 unit, satu kali pemberian saja, secara
i.m.
tidak
boleh
diberikan
secara
intravena
karena
TIG
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus
Toksoid
bersamaan dengan
(TT)
yang
pertama,
dilakukan
terhadap
tetanus
selesai.
Tabel
imunisasi
berikut
ini
pada
keadaan luka.
Tabel 4 : Petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan
luka.
___________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI
___________________________________________________________________
(dosis)
Antitoksin
Tet.Toksoid (TT)
Antitoksin
___________________________________________________________________
Tidak diketahui
ya
tidak
ya
tidak
ya
ya
01
ya
ya
2
ya
tidak
ya
tidak*
3 atau lebih
tidak**
tidak**
tidak
tidak
___________________________________________________________________
*
**
Antikonvulsan
Dosis
Efek Samping
___________________________________________________________________
Diazepam
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi
pernafasan
Darah
Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
2.
3.
Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu vaksinasi lebih
lanjut.
2.
3.
Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan
vaksinasi.
Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan
immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan.
Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena
kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
BAB III
PATOFISIOLOGI
(Lampiran 1)
3.1 Faktor Resiko
1. Lesi kulit kronik (ulkus, abses, gangren) berhubungan dengan diabetes mellitus maupun
cedera akut
2.
3.
Alergen:
Debu rumah, tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit
binatang seperti kucing, anjing, dan hewan berbulu lainnya
Air liur dan air kencing binatang peliharaan
Debu rumah terdiri dari bermacam alergen, seperti sisa makanan,
potongan rambut, kulit binatang, kecoa dan serangga lainnya
Luka tusuk, gigitan binatang maupun manusia, luka bakar, luka operasi yang tidak
dirawat dan dibersihkan dengan baik
Otitis media purulenta, karies gigi
3.3 Patogenesis
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat
berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar
intrakasonal sampai ganglin/ simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus
otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun menyeluruh. Bila toksin banyak,
selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh. Toksin ini menyebabkan
jaringan mati, ditambah dengan adanya benda asing menyebabkan infeksi aktif. Clostridium
tetani tidak mencetuskan peradangan (port de entry terabaikan). Toksin terikat terminal
neuromotorik perifer menyebabkan masuknya akson menuju sel body batang otak sampai
pada medulla spinalis. Toksin melintasi sinaps menuju terminal presinaps, memblok
pelepasan neurotransmitter inhibitor Glisin & Gama Aminobutyric Acid (GABA).
Terhambatnya inhibisi menyebabkan rigiditas sehingga refleknya terhambat dan spasme
meningkat. Bila neuron preganglionik simpatik terkena dapat menyebabkan hiperaktivitas
simpatik. (Aru W, 2004)
Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu
limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP).
Toksin bersifak antigen, sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila
dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik.
Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin
spesifik.
3.4 Prognosis
Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun
lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin
pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4. Pengkajian
4.1 Data Subjektif
1. Biodata/Identitas
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal
masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian
terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan
diagnosis keperawatan (Marilynn E. Doenges et al, 1998).
1.1.1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Biasaya didapatkan suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran
(Muttaqin, Arif. 2011)
3. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang:
Faktor riwayat penyakit sangat penting untuk diketahui untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Gejala yang timbul, mulainya serangan, bertambah baik atau
bertambah buruk, tindakan apa saja yang sudah dilakukan, adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang
menginflamasi jaringan otak, perubahan perilaku, dan semakin berkembangnya penyakit
dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
Ada beberapa tahap dari serangan tetanus, yaitu:
-Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa
penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama
infeksi tetanus masih berlangsung.
Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat
sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali.
Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan
terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut
mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan
tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke
belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit
bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan
di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang
terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.
Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini
bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya
rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan
sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama
akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat
menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkansulit buang
air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi
akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang
otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran
nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.
(selekta,kapita. 2010)
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai:
System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat
kontraksi otot pernafasan.
System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan
perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40Catau febris sampai ke
terminal 43 - 44C.
System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi
(akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan
urine output tidak ada/oliguria)
System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan
usus.
System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada
tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya
didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan
kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan
menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi
dan kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat trauma kepala, luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka
yang menyembuh, luka yang tertutup debu, luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah, gigi berlubang dengan benda yang kotor, dan caries gigi, menunjang
berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin atau OMP yang
dibersihkan dengan kain yang kotor.
Adanya imunisasi yang tidak adekuat.
Riwayat kesehatan keluarga
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana selera makan anak?
Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari?
Pola Eliminasi:
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan
bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah? Serta ditanyakan apakah
disertai nyeri saat kencing.
BAB: ditanyakan
kapan
waktu
BAB,
teratur
atau
tidak?
Bagaimana
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan
kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan
neurologi.
2. Pemeriksaan Khusus
Sistem pernafasan: dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi
otot pernafasan.
Sistem
kardiovascular: disritmia, takicardi, hipertensi dan
perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40C atau febris sampai ke
terminal 43 - 44C.
Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin
output tidak ada/oliguria)
Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
Sistem integumen dan muskuloskletal: nyeri kesemutan pada
tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului
trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata,
risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum. (Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
3. Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40
C berhubungan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu
pusat pengatur suhu tubuh. Bila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya
normal.
B1 (Breathing)
Inspeksi bila klien batuk, terdapat produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu,
dan peningkatan frekuensi pernapasan, disertai dengan adanya ketidakefektifan bersihan
jalan napas. Palpasi toraks terdapat adanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan ditandai dengan ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskular terdapat renjatan (syok hipovolemik), tekanan darah biasanya
normal, peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit
B3 (Brain)
Tingkat kesadaran: compos mentis, pada tingkat lanjut kesadaran mulai mengalami
penurunan pada tingkat letargi, stuor, dan semikomatosa. Jika klien mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran dan pemantauan
pemberian asuhan.
Fungsi Serebri (status mental): observasi penampilan dan tingkah laku, gaya bicara,
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada tahap lanjut akan mengalami
perubahan
Sistem Motorik
Kekuatan otak menurun, kontrol keseimbangan, dan koordinasi pada tahap lanjut
mengalami perubahan.
Pemeriksaan Refleks
Pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal
Sistem Sensorik
Adanya perasaan raba dan nyeri normal, suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh.
B4 (Bladder)
Penurunan volume keluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan curah
jantung ke ginjal, adanya retensi urine karena kejang dan sebaiknya pengeluaran urine
dengan menggunakan kateter.
B5 (Bowel)
Mual, muntah berhubungan dengan peningkatan produksi asam lambung, pemenuhan
nutrisi karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut, dan spasme otot yang
menyebabkan sulitnya BAB
B6 (Bone)
Adanya kejang sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas seharihari, kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme
otot pada abdomen (opistotonus).
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2.
3.
4.
5.
kemampuan batuk menurun, ditandai dengan sesak napas, RR meningkat, retraksi ICS,
ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan: AGD abnormal (asidosis respiratorik)
Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek
toksin (bakterimia) di jaringan otak ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat
menjadi 38-40 C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3
Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan (trismus) ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat
mulut kembali lagi dapat melalui hidung, dan berat badan menurun disertai hasil
pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%
Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang,
Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit ditandai dengan klien merasa cemas
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret dalam trakhea dan
kemampuan batuk menurun ditandai dengan sesak napas,RR meningkat, retraksi ICS,
ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan: AGD abnormal (asidosis respiratorik)
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan nafas kembali
efektif.
Kriteria hasil: secara subjektif sesak nafas (-), RR 16-20x/mnt. Tidak menggunakan otot
bantu nafas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-), sianosis (-), dyspnea (-), AGD normal (pH=7.357,45; PCO2=35-45 mmHg, PO2=80-100 mmHg)
Intervensi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas
Rasional
Memantau dan mengatasi komplikasi
kekentalan sputum
Pemeriksaan fisik:
-Auskultasi mendengar suara nafas (adakah
sekali. .
efektif
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus
2500ml/hari
Lakukan penghisapan lendir dijalan nafas
mengencerkan
secret
yang
2. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di
jaringan otak ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat menjadi 38-40 C,
hiperhidrasi sel darah putih lebih dari 10.000/m3
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : suhu tubuh normal 36-37C, hasil laboratorium sel darah putih (leukosit)
antara 5000-10.000/mm3
Intervensi
Monitor suhu tubuh klien.
Rasional
Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus
rangsang kejang pada klien tetanus.
perawatan
kemungkinan
toksin
luka
mengeleminasi
yang
masih
berada
disekitar luka.
Beri kompres dingin di kepala dan aksila bila Memberikan respons dingin pada pusat pengtur
tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
Kolaborasi
antibacterial, ATS
3.
Kriteria hasil
misalnya illeus.
Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan
maknan.
Beri makan dengan cara meninggikan kepala. Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau
bubur kasar.
b. Pemberian carian per IV line
Bila klien sering kejang berikan makanan
lewat NGT.
dapat dipertahankan.
Tujuan
: dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang
disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadran.
Kriteria hasil : klien tidak mengalami cidera apabila kejang berulang ada.
Intervensi
Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
(trismus), kuduk (epistotonus), dinding perut, memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
tulang belakang
terjadinya komplikasi.
Pagar tempat tidur melindungi klien terjatuh
suction selalu berada dekat klien dan lindungi bantalanpada pagar tempat tidur dapat
klien dari cedera dengan menggunakan
phenobarbital.
Rasionalisasi
-Pada saat terjadi kejang, pakaian klien dapat
tersingkap, sehingga perlu dijaga privasinya
Tujuan
: Kecemasan hilang atau berkurang
Kriteria hasil : Mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasin penyebab atau faktor
yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal
Reksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi,
Hindari konfrontasi.
penyembuhan.
Mengurangi ransangan eksternal yang tidak perlu.
positif.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
orang terdekat.
BAB V
PENUTUP
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi,
infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan
berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.
Dengan faktor pencetus, yaitu sebagai berikut.
1.
2.
3.
Alergen:
Debu rumah, tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit
binatang seperti kucing, anjing, dan hewan berbulu lainnya
Air liur dan air kencing binatang peliharaan
Debu rumah terdiri dari bermacam alergen, seperti sisa makanan,
potongan rambut, kulit binatang, kecoa dan serangga lainnya
Luka tusuk, gigitan binatang maupun manusia, luka bakar, luka operasi yang tidak
dirawat dan dibersihkan dengan baik
Otitis media purulenta, karies gigi
Diagnosa yang mungkin pada klien dengan kasus tetanus, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret dalam trakhea
ditandai dengan RR meningkat
Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di
jaringan otak ditandai dengan demam
Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan, keadaan kejang abdomen ditandai dengan trismus
Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran.
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kejang berulang
Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit ditandai dengan klien merasa cemas
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Adams. R.D,dkk : Tetanus in : Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205 - 1207.
Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. DiphteriaPertusisTetanus Vaccine Teactogenicity of
Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256260.
Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders Company,
1996, 815 -817.
Dorland. 2002. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.