Anda di halaman 1dari 6

Enzim beta laktamase (ESBL) yang mana bekerja untuk menghidrolisis sebagian besar dari

antibiotik Beta laktam [10,22,23].


Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan resistensi akibat perluasan spektrum beta
laktamase (ESBL), obat obat seperti karbapenem telah diperkenalkan dalam keadaan klinis
tersebut. Meskipun, obat karbapenem memainkan peran yang penting dalam penatalaksanaan
penyakit penyakit infeksi yang disebabkan oleh organisme organisme yang dapat
menghasilkan ESBL akibat aktivitas dan stabilitas spektrum yang cukup besar dari proses
hidrolisis terhadap ESBL [31], resistensi karbapenem diantara anggota Enterobakteriseae,
Pseudomonas dan Acinetobakter telah dilaporkan secara global [11, 15,22,30]. Mekanisme
yang paling sering penyebab resistensi karbapenem merupakan enzim hidrolisasi
karbapenem, perubahan yang terjadi pada membran protein bagian luar, ekspresi yang
berlebihan dari pompa efluksi [32]. Organisme organisme yang resisten terhadap
karbapenem dihubungkan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan memiliki
kemungkinan dapat menyebar secara luas [37]. Meningkatnya penggunaan dari obat obatan
karbapenem juga memiliki ikatan secara langsung dengan bakteri gram negatif yang resisten
[18]. Hingga baru baru ini, sebagian besar dari antibiotik antiobiotik yang telah lama
ditemukan telah mengalami penurunan manfaat akibat penyebaran dari bakteri bakteri yang
resisten terhadap karbapenem. Sebagai hasilnya meningkatnya resistensi terhadap antibiotik
antibiotik generasi terdahulu selama beberapa tahun terakhir, tidaklah mengherankan bahwa
saat ini kita sedang menghadapi prospek dimana kita akan kehilangan kekuatan dalam
melawan berbagai macam penyakit infeksi akibat bakteri. Meskipun antibiotik antibotik
generasi baru telah banyak dihasilkan saat ini untuk dapat mengambil tempat tersebut,
perkembangan dari aliran aliran untuk antibiotik yang baru juga telah mengalami
penurunan. Penurunan terhadap aliran antibitoik tersebut secara khusus terhadap bakteri gram
negatif telah memaksa kita untuk mencari kesempatan kesempatan lainnya untuk dapat
meningkatkan penggunaan dari agen agen antimikroba yang telah ada.
Salah satu pendekatan yang baru baru ini diperkenalkan adalah untuk meningkatkan
efektivitas dari agen agen antimikroba yang telah ada yaitu untuk dengan menggunakan
terapi antibiotik adjuvan, yang mana dapat mempotensiasi aktivitas dari antibiotik. Terapi
adjuvan termasuk kombinasi antibiotik, sinergi antara antibiotik dan obat non antibiotik,
inhibisi terhadap resistensi dengan cara mengubah fisiologi dari sel sel yang tidak sensitif
terhadap antibiotik, seperti pada biofilm.
Diperkenalkannya AAE (entitias antibiotik adjuvan) yang baru dengan menggunakan
EDTA sebagai terapi adjuvan untuk dapat membersihkan dan mengkatalisasi kerja dari

antibiotik antibiotik yang telah ada telah diperlihatkan sebagai harapan saat ini. Suatu
pendekatan yang baru yaitu FDC (seftriakson, sulbaktam dengan EDTA adjuvan) sebuah
entitias antibiotik adjuvan yang baru (AAE) telah dibuktikan efektivitasnya baru baru ini
pada infeksi dengan kisaran yang luas [7, 8].
Penelitian retrospektif observasional ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi suatu
kombinasi dosis tetap (FDC) dari Seftriakson + Sulbaktam dengan edetat dinatrium adjuvan
sebagai obat menghambat resistensi karbapenem dalam penatalaksanaan dari infeksi bakteri
sedang hingga berat pada kasus LRTI, UTI dan IAI.
Metode
Rancangan penelitian
Penelitian retrospektif ini dirancang untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas
dari FDC yang baru dengan membandingkannya terhadap meropenem dalam pengobatan
pasien pasien yang didiagnosis dengan infeksi bakteri gram negatif sedang hingga berat
terkait rumah sakit. Penelitian ini dilakukan pada institut ilmu kedokteran ilmiah Asia ,
Faridabab yang dilakukan selama 18 bulan antara juni 2013 hingga desember 2014. Semua
pasien yang dimasukkan ke dalam rumah sakit selama lebih dari 48 jam dengan infeksi
patogen tunggal dan menunjukkan sensitivitas terhadap pengobatan FDC yang baru atau
meropenem akan dianggap memenuhi persyaratan untuk penelitian ini.
Kertas file kasus rumah sakit dari semua pasien akan di tinjau kembali untuk dapat
mengumpulkan semua data yang dibutuhkan seperti tanda tanda klinis dan gejala gejala
pada saat pasien tersebut dirawat dirumah sakit dan selama periode pengobatan dan pada
akhirnya pada saat akhir dari terapi diberikan. Semua pemeriksaan laboratorium yang penting
seperti sputum, bronkoalveolar lavage (BAL), sekresi endotrakea (ET), urin dan kultur darah
dan laporan sensitivitas, pemeriksaan hematologi, biokimia dan pemeriksaan pemeriksaan
relevan lainnya akan dilakukan pada saat awal penelitian dan diakhir dari masa pengobatan
kemudian akan dievaluasi dari semua pasien yang telah diikutsertakan kedalam penelitian
saat ini.
Identifikasi bakteri
Identifikasi dari bakteri akan dilakukan sesuai dengan metode yang telah dijelaskan
oleh Cheesbrough (2000).

Tabel 1. Karakteristik Demografis dari pasien - pasien yang diobati selama periode
penelitian.
Karakteristik
Pasien yang dievaluasi
Usia, rata rata tahun SD
Jenis Infeksi (%)
UTI
LRTI
IAI
Jumlah dari infeksi dengan keluarga patogen Enterobakteriseae
Jumlah dari infeksi dengan keluarga patogen non - Enterobakteriseae

Nilai
95
58,17 13,98
32 (33,68%)
43 (45,26%)
20 (21,05%)
62 (65,26%)
33 (34,73%)

Analisis demografis dan terapi antibiotik


Karakteristik demografis dan karakteristik pada awal penelitian secara terperinci dari
semua pasien yang diikutsertakan kedalam penelitian ini termasuk jumlah dari pasien yang di
evaluasi, usia, jenis infeksi yang terjadi akan di analisis di dalam penelitain ini dan telah
dimasukkan kedalam Tabel 1. Pasien pasien yang telah ditentukan untuk mendapatkan baik
meropenem (1,0 gram, setiap 8 jam) atau Elores baru, (seftriakson + sulbaktam dengan
EDTA adjuvan, 1,5 gram atau 3,0 gram, setiap 12 jam) melalui pemberian intravena. Untuk
pasien pasien tersebut yang lebih parah atau gagal berespon terhadap FDC yang diberikan,
pemberian kolistin dengan dosis pembebanan 9 MIU diikuti dengan dosis BD 4,5 MIU akan
digunakan bersama sama dengan pemberian antibiotik yang sebelumnya diberikan pada
pasien tersebut.
Terapi antibiotik untuk kedua obat tersebut (FDC atau meropenem) awalnya akan di
mulai secara empiris didasarkan terhadap gejala gejala klinis dan keputusan dari para
dokter yang menangani pasien tersebut dan akan di teruskan atau diganti menjadi terapi
lainnya berdasarka uji kerentanan / sensitivitas mikrobiologis in vitro dan keluaran klinis
pasien. Berdasarkan uji sensitivitas antibiotik in vitro, semua pasien akan dibagi kedalam 3
kelompok untuk dapat mempermudah evaluasi :
Kelompok I (G1) : Pasien - pasien dengan kultur yang sensitif terhadap pemberian
meropenem intermediet dan FDC pada mereka yang diberikan FDC (n = 20, 21,05%).
Kelompok 2 (G2) : Pasien pasien dengan kultur yang sensitif terhadap pemberian
meropenem dan FDC (n = 65, 68,42%).

Kelompok 2A (G2A) : Pasien pasien dengan kultur yang sensitif terhadap pemberian
meropenem dan FDC pada mereka yang telah digunakan meropenem secara empiris (n = 31,
32,63%).
Kelompok 2B (G2B) : Pasien pasien dengan kultur yang sensitif terhadap pemberian
meropenem dan FDC pada mereka yang telah digunakan FDC secara empiris ( n = 34,
35,78%).
Kelompok 3 (G3) : Pasien - pasien dengan kultur yang sensitif terhadap pemberian
meropenem dan FDC intermediet pada mereka yang FDC digunakan secara empiris bersama
sama dengan kolistin ( n = 10, 10,52%).
Uji sensitivitas antibiotik in vitro
Semua, bakteri yang di isolasi, diambil dari semua sampel kultur akan dilakukan uji
sensitivitas untuk FDC, meropenem dan kolistin dengan menggunakan metode piringan
difusi berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh CLSI (2013). Piringan meropenem (10
ug), FDC (45 ug) dan kolistin (10 ug) didapatkan dari Himedia (Mumbai, India). Zona
inhibisi yang berada disekitar dari berbagai macam piringan antibiotik akan diukur dan
dibandingkan dengan CLSI. Sensitivitas dari organisme organisme yang diisolasi terhadap
antibiotik akan dilaporkan dalam bentuk sensitif (S) dan intermediet (I) berdasarkan titik
perubahan.
Evaluasi klinis dari pasien
Efektivitas klinis dari terapi yang diberikan akan dievaluasi dan diklasifikasikan
dalam bentuk sembuh (resolusi terhadap tanda tanda klinis dan gejala gejala atau
perbaikan yang tidak membutuhkan terapi antibakteri lebih lanjut), atau gagal (tanda tanda
klinis yang persisten dan gejala gejala atau perburukan dari tanda dan gejala yang
membutuhkan terapi antimikroba alternatif setelah 72 jam pengobatan). Tingkat efektivitas
secara keseluruhan didefiniskan sebagai proporsi dari pasien yang sembuh. Efektivitas
terhadap bakteri akan dievaluasi berdasarkan empat kategori berikut : eradikasi sepenuhnya
jika terjadi eliminasi dari patogen - patogen penyebab, persistensi jika patogen patogen
penyebab dapat di isolasi berulang kali, substitusi jika organisme baru di isolasi pada kultur
berulang dan infeksi kembali jika terjadi kemunculan kembali dari patogen patogen
penyebab sebelumnya setelah eradikasi dengan dan dengan gejala gejala klinis dari infeksi
tersebut.

Hasil
Rancangan penelitian dan analisis demografis
Sejumlah 107 data pasien telah dievaluasi secara retorspektif didalam penelitian ini.
Variabel variabel dari setiap pasien seperti usia, agen agen penyebab, dan regimen terapi
antibiotik kemudian akan di catat. Dari 107 pasien dari penelitian ini, sejumlah 95 orang
pasien dengan infeksi bakteri tunggal ditatalaksanaa baik dengan menggunakan FDC atau
degnan menggunakan

meropenem. Dua belas orang pasien yang memiliki hasil kultur

negatif atau kegagalan terapi atau kadaluarsa tidak akan diikutkan lagi kedalam penelitian ini.
Usia rata rata dari pasien yang diikutsertakan ke dalam penelitian ini adalah 58.1713.98
tahun.
Sensitivitas antibiotik in vitro
Berdasarkan evaluasi dari data kultur dan sensitivitas, telah ditemukan bahwa sampel
sampel klinis dari pasien

- pasien di kultur pada suatu medium yang sesuai, dan

pertumbuhan yang bermakna ditemukan pada 95 sampel kultur (88,78%) yang mana
menunjukkan patogen yang bermakna secara klinis yang dapat dijadikan sebagai

agen

penyebab dari penyakit. Diantara infeksi bakteri tersebut, patogen yang paling sering
ditemukan pada saat isolasi adalah E.coli yang mana ditemukan dari isolasi sampel 37 pasien
(38,94%) diikuti dengan Klebsiella spp.(n = 25 pasien, 26,31%), Pseudomonas spp. (n 18
pasien, 18,94%) dan Acinetobakter spp. (15 pasien, 15,78). Secara keselutuhan, 62 patogen
(65,26) penyebab infeksi berasal dari keluargan Enterobakteriseae sementara 33 patogen
(34,73%) berasal dari keluarga non enterobakteriseae.
Hasil dari uji sensitivitas antimikroba in vitro untuk FDC dan Meropenem telah
diperlihatkan pada Tabel 2. Semua patogen patogen yang di uji memperlihatkan pola
sensitivitas yang berbeda beda terhadap FDC dan meropenem. Berdasarkan hasil dari uji
sensitivitas, FDC tampak sebagai agen antibakteri yang paling aktif terhadap E. Coli
(94,54%) diikuti dengan Acinetobakter spp. (93,33%), Pseudomonas spp, (88,,88%) dan
Kelbiella spp, (84%). Disisi lain, sensitivitas tingkat tinggi untuk meropenem diperlihatkan
oleh E. Coli (86,47%) diikuti dengan Kelbsiella spp. (64%). Secara keseluruhan dari 95
patogen, sebagian besar dari patogen tersebut (n 85, 89,47%) sensitif terhadap pemberian
FDC dan 10 patogen sisanya (10,52%) menunjukkan respon intermediet terhadap pemberian
FDC.
Penatalaksanaan antibiotik dan evaluasi terhadap efektivitasnya

Pada hari ketiga pengobatan, perkembangan dari terapi akan diukur dalam bentuk
perbaikan dari tanda tanda dan gejala gejala klinis pasien dan hasil uji mikrobiologis.
Pasien pasien dengan patogen yang sensitif dengan perbaikan klinis akan terus
mendapatkan terapi empiris yang didapatkannya. Pasien pasien yang tidak menunjukkan
respon terhadap pemberian FDC, maka akan diberikan kolistin sebagai terapi tambahan
dalam pengobatannya.
Pada G1, dari 20 pasien yang mendapatkan FDC, 15 pasien (75%) secara klinis telah
sembuh dengan eradikasi bakteriologis secara keseluruhan dalam 7 8 hari sedangkan 5
pasien gagal berespon terhada pemberian FDC pada hari ketiga akan diganti menjadi regimen
pengobatan kombinasi FDC + kolistin dan semua pasien tersebut telah sembuh dengan
tambahan 8 hari terapi sehingga total waktu terapi yang dibutuhkan adalah 11 hari. Durasi
dari pengobatan antibiotik pada 15 pasien yang diobati dengan FDC adalah 7,2 1,01 hari
(tabel 3). Untuk G2, diantara 65 pasien yang terinfeksi patogen sensitif baik terhadap
pemberian FDC dan meropenem, 31 pasien mendapatkan meropenem (G2A) dan 34 pasien
mendapatkan FDC (G2B). Penilaian klinis dari kelompok yang mendapatkan meropenem
(G2A) meniunjukkan kesembuhan pada 19 pasien (61, 29%) sementara 12 pasien (38,70%)
tidak menunjukkan perbaikan klinis apapun oleh karenanya diberikan penambahan kolistin
pada terapi yang sedang berjalan tersebut. Pada hari ketiga,
Tabel 2. Uji sensitivitas antibiotik in vitro untuk bakteri yang diisolasi dari infeksi
organisme tunggal.
Jumlah
Patogen diisolasi

E. coli
Klebisella sp.
Pseudomonas sp.
Acitenobacter sp.
Total

Sensitivitas %
FDC seftriakson +

isolasi

sulbaktam + edetat

individu

dinatrium

37
25
18
15
95

S
94,54
84
88,88
93,33
--

I
5,4
16
11,11
6,66
--

Meropenem
S
86,47
64
66,66
78,57
--

I
23,53
36
33,34
21,43
--

Anda mungkin juga menyukai