Demam Typhoid
Demam Typhoid
DEMAM TIFOID
PEMBIMBING
dr. Fallis Desita
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Portofolio
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internship sekaligus
sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia
di RSI Aisyiyah Nganjuk
20 SEPTEMBER 2016
Mengetahui,
Dokter Internsip,
Dokter Pendamping
PORTOFOLIO
Manajemen
Anak
Remaja
Masalah
Dewasa
Tinjauan
Pustaka
Istimewa
Lansia
Bumil
Neonatus
Deskripsi :
Perempuan berusia 23 tahun datang dengan keluhan utama demam naik turun selama 7
hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang
hari tanpa fase menggigil, Pasien tampak lesu dan tidak nafsu makan. Lidah terasa pahit.
Pasien juga mengeluh nyeri di daerah ulu hati, mual, dan muntah dengan frekuensi 2
kali/hari, banyaknya - gelas belimbing, isi muntahan apa yang dimakan. Buang air
besar dan buang air kecil normal.
Tujuan : Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid
Bahan Bahasan :
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Pustaka
Cara membahas
Diskusi
Presentasi dan Diskusi
Email
Pos
Data Pasien:
Nama: Nn. AW
Umur: 23 tahun
No. Reg : 00.92.79
Nama Rumah Sakit:
Telp :
Terdaftar sejak :
RSI Aisyiyah Nganjuk
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
- Febris
- Malaise, Nausea, Vomitus
- Abdominal pain
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan selama demam
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Riwayat mondok sebelumnya disangkal.
Riwayat keluhan serupa disangkal.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
5. Riwayat Pekerjaan : 6. Lain-lain :
Riwayat bepergian ke luar kota dalam 1 bulan terakhir disangkal
Daftar Pustaka:
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2012.
Diunduh
dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No0
1_08_2012.pdf. 22 Januari 2012
Hasil Pembelajaran
1. Epidemiologi dan Etiologi
2. Patofisiologi demam tifoid
3. Penegakan diagnosis demam tifoid
4. Penatalaksanaan demam tifoid
1. Subjektif :
-
Mual dan muntah dengan frekuensi 2 kali/hari, banyaknya - gelas belimbing, isi
3.
Widal A
Slide
Positif 1/100
Negatif
Widal B
Slide
Negatif
Negatif
Widal H
Slide
Positif 1/400
Negatif
Widal O
Slide
Positif 1/100
Negatif
Assessment :
Pasien berusia 23 tahun datang dengan keluhan utama demam naik turun selama 7
hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang
hari tanpa fase menggigil, Pasien tampak lesu dan tidak nafsu makan. Lidah terasa pahit.
Pasien juga mengeluh nyeri di daerah ulu hati, mual, dan muntah dengan frekuensi 2
kali/hari, banyaknya - gelas belimbing, isi muntahan apa yang dimakan. Buang air
besar dan buang air kecil normal. Dari keluhan utama berupa demam lama dapat
dipikirkan beberapa kemungkinan penyebab, antara lain demam tifoid, malaria, atau TB
paru.
Berdasarkan anamnesa, kemungkinan TB paru dapat disingkirkan karena sifat
demam pada penyakit ini biasanya subfebris. Selain itu penderita juga menyangkal
adanya batuk kronis, penurunan berat badan yang signifikan, dan riwayat kontak dengan
penderita Tb paru. Kemungkinan malaria masih belum dapat disingkirkan meskipun dari
anamnesis didapatkan bahwa pola demam tidak khas untuk malaria, tidak ada keluhan
menggigil, dan riwayat bepergian ke wilayah endemik malaria disangkal. Untuk
memastikan diagnosis malaria perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
apusan darah tebal dan tipis. Dari sifat demam yang remitten dan diikuti oleh adanya
keluhan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri perut, dan BAB cair), maka kecurigaan
sementara diagnosa pasien ini adalah demam tifoid, meskipun harus dibuktikan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, pasien tampak sakit sedang dengan suhu tubuh
37,80C. Hal ini menunjukkan pasien dalam keadaan demam. Lidah tampak kotor dengan
tepi yang hiperemis menunjukkan gambaran typhoid tongue. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan epigastrium dan pembesaran hepar 2 jari bawah arcus costae
dengan permukaan rata dan tepi tumpul. Temuan yang didapatkan dari pemeriksaan fisik
ini semakin menguatkan kecurigaan diagnosis sementara demam tifoid.
Untuk lebih memastikan maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan serologi widal yang bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi di dalam
darah terhadap antigen kuman Salmonella typhi/paratypi. Uji ini dilakukan pada awal
minggu kedua sakit dan dinyatakan positif bila titer O 1/200 atau meningkat lebih dari
4x dalam interval 1 minggu. Pada pasien ini, pemeriksaan serologi widal menunjukkan
hasil kadar titer O 1/300. Dari hasil pemeriksaan widal sudah dapat dipastikan pasien ini
menderita demam tifoid. Maka tatalaksana yang sesuai adalah pemberian antibiotik dan
terapi simptomatik.
4. Plan :
Diagnosis : Demam Tifoid
Penatalaksanaan :
Tirah baring total dan mobilisasi bertahap
Diet bubur
Ciproflokasin tab 2x500 mg sampai 7 hari bebas panas, minimal 10 hari
Parasetamol tab 3x500 mg (jika suhu >37.5oC)
Ranitidin tab 2x150 m
Edukasi keluarga :
1. Memberitahu keluarga bahwa penyakit ini membutuhkan istirahat total
2. Menjaga pola makan pasien dengan diet lunak (bubur saring) yang diberikan dalam
porsi sedikit tapi sering, mengandung kalori dan protein yang tinggi, serta tidak
merangsang (mengandung gas, pedas, asam, dan bebas serat)
3. Menjelaskan bahwa pengobatan memakan waktu selama 10-14 hari
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.2 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Etiologi
Demam tifoid adalah suatu infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2), namun
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam
usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel
endotel
kapiler
dengan
akibat
timbulnya
komplikasi
seperti
gangguan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri.6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga
dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum
pasien.6
d) Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen
klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen
Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.6
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
biasanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang,
sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada
medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian
anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
Dosis Trimetoprim 10