Anda di halaman 1dari 4

2.

Demokrasi di Masa Orde Baru: 11 Maret 1996 21 Mei 1998


Pengalam yang amat menonjol selama masa Demokrasi terpimpin
(Orde Lama) adalah bahwa penyimpangan terhadap aturan dasarhidup
bernegara (Pancasila dan UUD 1945) menimbulkan kekacauan atau
ketidaktertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, semangat yang
menjiwai kelahiran Orde Baru adalah tekad untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Seluruh kegiatan atau penyengaraan pemerintahan Negara,
ataupun hidup bermasyarakat dan berbangsa, dinyatakan harus
dijalankan sesuai dengan tata aturan yang bersumberkan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Dengan begitu, MPR seharusnya berfungsi sebagai lembaga
tertinggi Negara yang memilih dan mengangkat Presiden; dan karenanya
Presiden wajib tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR . DPR
seharusnya bersama Presiden membuat undang-undang. Presiden dibantu
para menteri menjalankankekuasaan eksekusif, dalam system
presidensial. Sedangkan Makamah Agung beserta lembadga peradilannya
menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas pengaruh dari lembaga /
kekuasaan lain.
Pasal 28 UUD 1945 juga menjamin hak warga Negara untuk
berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi melalui penggunaan hak
kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat baik secara lisan
maupun secara tulisan. Jadi, kebebasan pers juga dijamin dan dilindungi
oleh UUd 1945.
Namun, dalam praktiknya cita-cita hidup berbangsa dan bernegara
yang demokratis justru semakin jauh dari kehidupan bangsa Indonesia.
Selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia justru jatuh
menjadi Negara otoliter/totaliter.
Kehidupan masa Orde Baru sama atau lebih buruk dari masa
Demokrasi Terimpin. Pada masa ini terjadi hal-hal berikut.
a. Pembatasan hak-hak politik rakyat
Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia di batasi hanya 3
(PPP,Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan politik harus
mendapatkan izin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi
pemerintah dapat membreidel penerbitan pers (Tempo, editor, Sinar
Harapan, dan lain-lain). Ada perlakuan diskriminatif terhadap anak
keturunan orang yang trelibat G 30 S/PKI. Para pengkritik
pemerintah dikucilkan secara politik, atau bahkan diculik. Pegawai

Negeri dan ABRI diharuskan mendukung partai penguasa, yaitu


Golkar.
b. Pemusatan kekuasaan di tangan Presiden
Walaupun secara formal kekuasaan negar di bagi ke berbai lembaga
Negara (MPR, DPR, MA, dan lain-lain), dalam praktiknya Presiden
dapat mengendalikan berbagai lembaga negara. Anggota MPR yang
diangkat dari ABRI berada di bawah kendali Presiden, karena
Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI. Anggota Utusan Daerah
dapat dikontrol oleh DPRD 1 yangmerupakan bagain Pemerintah
Daerah, bawahan Presiden. Di samping itu, seluruh anggota
DPR/MPR harus lulus penyaringan (screening) yang diadakan oleh
aparat militer. Kekuasaan yudikatif juag dikendalikan Presiden,
sehingga penegakan hokum cendrung menguntungkan penguasa.
c. Pemilu yang tidak demokratis
Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, namun penuh dengan
kecurangan dan ketidak adilan. Aparat birokrasi dan militer
melakukan berbagai cara untuk memenangkan Golkar.
d. Pembentukan lembaga ekstrakonstitusional
Untuk melanggengkan kekuasaanya, pemerintah membentuk
Komando Pengadilan Keamanan dan Ketertiban, yang berfungsi
mengamankan pihak-pihak potensial menjadi aposisi penguasa.
e. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Akibat penggunaan kekuasaan yang terpusat dan tak
terkontrol, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Rakyat
pun sengsara. KKN menjerumuskan bangsa kedalam krisis
multidimensi berkepanjangan.
Pengembangan masa politik pada masa Orde Baru bertumpu
pada upaya penanaman nilai-nilai Pancasila kepada seluruh warga
Negara Indonesia melalui system indoktrinasi Pedoman
Penghayatan dan dan Pengamalan Pancasila (P4). Berbagai lapisan
masyarakat pun memperoleh pendidikan dan penataran P4 dengan
aneka ragam pola.
Sebuah lembaga khusus yang bertugas
mngendalikankurikulum, meteri, narasumber, arah dan saran yang
hendak dituju maupun evaluasi hasil penataran pun dibentuk.
Lembaga yang dikenal dengan nama BP7 itu di bentuk pada tingkat
nasional, provinsi, maupun Kabupaten/kotamadya. Sampai saat ini

belum pernah diadakan evaluasi menyeluruh tentang hasil


penataran itu. Dalam kenyataan, penataran itu dipakai sebagaiajang
melanggengkan legitimasi pemerintah di mata para peserta, dan
bukan membentuk sikap kritis terhadap isu-isu politik yang
dikembangkan pemerintah.
Selain itu, informasi politik yang boleh diberitakan pers pun
telah disaring oleh pemerintah. Alih-alih memberikan kesempatan
kepada rakyat untukmenilai dan menimbang berbagai isu polirik
untuk kemudian menentukan sikap politiknyasecara bertanggung
jawab, pemerintah malah menentukan sendiri apa yang baik dan
perlu diketahui oleh masyarakat. Semuanya itu malah menjauhkan
rakyat dari kesempatan untuk dewasa dalam kerangka budaya
politik demoktratis.
Pemerintahan Soeharto yang otoriter berakhir setelah gerakan
mahasiswa berhasil menekannya untuk mengundurkan diri sebagai
Presiden. Pernyataan pengunruran diri itu dilakukan pada tanggal 21
Mei 1998.
3. Demokrasi di Masa Transisi (22 Mei 1998-sekarang)
Mundurnya Soeharto diikuti pengangkatan B.J Habibie sebagai
POresiden. Sejak saat itu, Prof. Dr. B.J Habibie menjadi Presiden RI yang ke
tiga. Masa pemerintahan Habibie sangat singkat , lebih kurang 18 bulan.
Pemilu yang relative demokratis dan tertib berhasil dilaksanakan
pada tanggal 7 juni 1999, diikuti olehy 48 partai politik. Melalui pemilu itu
dipilih anggota DPR/MPR. Dalam sidang MPR hasil pemilu 1999,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden menggantikan
Habibie. Namun pada waktu 2001 Gus Dur dicopot dari kedudukannya
oleh MPR dan digantikan oleh Megawati Sukarnoputri.
Selama masa itu berbagai langkah demokratisasi terus dilakukan.
Salah satu yang pokok adalah amandemen UUD 1945 yang telah
berlangsung setelah empat kali. Melalui amandemen itu kehidupan
ketatanegaraan RI ditatasesuai dengan cita-cita pemerintahan demokrasi.
Selanjutnya, pemilu demokratis juga dilaksanakan pada tahun 2004.
Melaui pemilihan umum ini rakyat memilih anggota DPR dan DPRD, serta
anggota DPD. Lebih dari itu, dalam pemilu 2004 rakyat Indonesia juga
memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pada masa sekarang kita juga mencatat adanya kebebasan
berorganisasi dan menyatakan pendapat. Namun, kadang kita juga
melihat ada nuansa kebablasan dalam menggunakan kebebasan itu. Para
demonstran sering mengeluarkan kata kata kotor dan menghina pihak

yang di demo tidak memiliki martabat dan harga diri. Massa terkadang
bertindak main hakim sendiri tanpa mengingat bahwa seorang pencuri
pun sebenarnya memiliki hak hidup, dan bahwa kesalahan serta hukuman
bagi seseorang mestinya di tentukan pihak yang berwenang.

Anda mungkin juga menyukai