Anda di halaman 1dari 46

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.

2, September : 48 - 55
ISSN 1907-1744
MONITORING DAN EVALUASI PROSES PERKULIAHAN DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP
UNIVERSITAS MATARAM PADA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2013/2014
I Gde Mertha1, Agil Al Idrus1, M. Liwa Ilhamdi1, I Putu Artayasa1, dan I Wayan Merta1
1

Program Studi Pendidikan BiologiFKIP Universitas Mataram


E-mail: igdemertha@yahoo.co.id

Abstrak : Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah melakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi terhadap proses perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu perkulihan di Prodi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptip, dengan
populasi seluruh dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram yang mengajar pada semester genap tahun
2013/2014 yang bejumlah 29 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel populasi. Data diperoleh
dengan menggunakan instrumen angket diberikan kepada dosen untuk melihat kesiapan mengajar serta
keterlaksanaan perkuliahan dan kepada mahasiswa untuk mengungkapkan tentang pelaksanaan proses
perkuliahan. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, selanjutnya dideskripsikan. Kesimpulan dalam
penelitian ini bahwa respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan menunjukkan kualitas ketercapaian
berkategori baikdan sangat baik 65,57%, cukup baik/sedang27,05%, dan kurang 6,29%.
Kata kunci: : monitoring dan evaluasi,mutu perkuliahan, respon

Abstract : The aim of this research are monitoring and evaluating the lecturing process in biologys
department in teacher training and education faculty as the efforts to increase its quality. Methods used in this
research is descriptive, with population of all lecturers in biologys department in faculty of teacher training and
education of mataram University that teach in year of 2013/2014 in total of 29 lecturers. Samples of this research
are getting by using questionnaire given to all 29 lecturers to see how ready are them to teach and lecturing
implementation, as well to students to express how the learning process run. Data were analysed by qualitative
and quantitative ways, then fully described. The results of this research revealed that the students responds
toward teaching process are in good category and very good category 65,57%, good enough 27,05%, and poor
6,29%.
Keywords : monitoring and evaluating, lecturing quality, responds
1. PENDAHULUAN
Kondisi sekarang ini menunjukkan terjadinya perubahan
yang sangan pesat dalam berbagai bidang termasuk dalam
bidang pendidikan sebagai akibat dari kemujuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Akibat dari kemajuan tersebut
dan akibat dari isu persaingan global termasuk persaingan
dalam bidang tenaga kerja menyebabkan banyak orang
dari berbagai profesi berlomba-lomba meningkatkan
profesionalmenya. Sebagai seorang yang bekerja di
perguruan tinggi, dosen juga dituntut untuk meningkatkan
profesionalsmenya. Pengertian profesionalisme adalah
sebagai komitmen para anggota suatu profesi, dalam hal
ini sebagai dosen, untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan profesinya [1].
Tugas dosen sesuai dengan tuntunan tri darma
perguruan tinggi adalah melakukan penelitian, pengajaran,
dan pengabdian pada masyarakat. Khusunya dalam
bidang pengajaran berbagai upaya harus dilakukan untuk
meningkatkan profesionalismenya. Peningkatan
48

profesionalime tersebut dilakukan secara sinergi baik oleh


institusi tempat mereka bekerja maupun oleh dosen
bersangkutan, dilakukan baik secara berkelompok
maupun perorangan. Upaya yang telah dilakukan untuk
meningkatkan profesionalme dosen dalam bidang
pengajaran adalah meningkatkan proses pembelajaran
melalui perbaikan perangkat pembelajaran, metode
mengajar, dan peningkatan mutu media pembelajaran[2].
Upaya perbaikan ini tidak akan bermanfaat banyak bila
tidak diikuti dengan kegiatan monitoring dan evalusi
terhadap upaya perbaikan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Irawan [3]bahwa tidak ada satu pun usaha untuk
peningkatan kualitas PBM.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sejauh ini
pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses perkuliahan
di Prodi Pendidikan Biologi FKIP Unram dilakukan oleh
tim penjamin mutu fakultas, namun sayangnya
memperbaiki mutu proses belajar mengajar (PMB) yang
dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah

Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
evaluasi [4]. Setidaknya ada tiga manfaat evaluasi dalam
PBM, yaitu (1) memahami sesuatu, (2) membuat keputusan,
dan (3) meningkatkan proses tersebut tidak dilakukan
secara berkelanjutan, padahal dinamika proses belajar
mengajar saat ini tidak sepenuhnya sama dengan yang
dahulu, sehingga data hasil evalusi terbaru sangat
diperlukan sebagai informasi untuk perbaikan proses
belajar mengajar saat ini [3]. Diseminasi hasil evaluasi
proses perkuliahan di Prodi Biologi FKIP Unram terakhir
kali dilakukan dalam bentuk presentasi hasil evaluasi
perkuliahan dihadapan para dosen FKIP Unram pada tahun
2008, namun dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini,
publikasi maupun penyampaian hasil evaluasi perkuliahan
tersebut tidak pernal lagi dilakukan. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka sekarang ini sangat mendesak
dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap proses
perkulihan di Prodi Biologi FKIP Unram sebagai usaha
untuk meningkatkan mutu perkuliahan di prodi tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Prodi Biologi FKIP Unram
pada semester genap yaitu dari bulan Mei sampai dengan
bulan September 2014. Populasi dan sampel penelitian ini
adalah seluruh dosen Prodi Pendidikan Biologi Unram
yang mengajar pada semester genap tahun 2013/2014.
Instrumen penelitian ini adalah berupa angket
pelaksanan proses perkuliahan di Prodi Pendidikan Biologi
FKIP Unram. Angket yang digunakan mengacu pada
angket kinerja dosen khusunya dalam bidang pengajaran
yang disusun oleh pusat Penjaminan Mutu Universitas
Brawijaya tahun 2007 [5] dengan beberapa perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi perkuliahan di FKIP Unram.
Data diambil dengan mengisi angket, selanjutnya skor
angket yang diperoleh dianalisa dengan menghitung ratarata skor pada setiap indikator. Rata-rata skor pada setiap
indikator selanjutnya akan memberikan petunjuk tentang
kualitas proses perkuliahan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Hasil Penelitian.

Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan


bahwa pelaksanaan proses perkuliahan di prodi pendidikan
Biologi FKIP Universitas Mataram pada semester Genap
2013/2014, umumnya telah berjalan dengan baik. Penilaian
yang diberikan dosen dan mahasiswa, masing-masing
tampak seperti membentuk kurva normal (Gambar 1).
Kualitas ketercapaian indikator dengan kategori baik
berada pada puncak kurva, yang berarti bahwa responden
(dosen dan mahasiswa) yang setuju dengan pilihan
kategori tersebut jumlahnya paling banyak.
Jumlah dosen dan mahasiswa yang menilai
bahwa proses perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus
(baik dan sangat baik) lebih banyak dibandingkan dengan
yang menilai belum berjalan dengan baik (cukup dan
kurang) (Gambar 1). Sebanyak 77,79% dosen setuju bahwa
perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus (60,51% baik
dan 17,28% sangat baik), sedangkan 9,28% dosen belum
setuju perkuliahan berjalan dengan baik (1,90% kurang
dan 7,38% cukup). Mahasiswa yang menilai bahwa proses
perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus, yakni 65,67%
(43,92% baik dan 21,65% sangat baik), sedangkan 33,34%
menilai perkuliahan belum berjalan dengan baik (27,05%
cukup dan 6,29% kurang). Jika kedua kelompok data hasil
penelitian tersebut (respon dosen dan respon mahasiswa)
yang berada pada kategori normal (baik dan sangat baik)
tersebut dibandingkan dengan rentang penilaian yang
umum digunakan dalam menentukan kelulusan mahasiswa,
maka proses perkuliahan di prodi Biologi FKIP Unram pada
semester genap 2013/2014 memiliki nilai dengan konversi
B (rentang 65-71) dan B+ (rentang 72-79).
Selisih antara jumlah dosen dan jumlah
mahasiswa yang memilih masing-masing kategori
ketercapaian proses perkuliahan (sangat baik, baik, cukup,
dan kurang) berada dibawah 20%. Perbedaan persentase
tersebut pada masing-masing kategori, yaitu kurang
(4,39%), cukup (19,67%), baik (16,59%), dan sangat baik
(4.37%). Hal ini menunjukkan bahwa penilaian dosen dan
mahasiswa terhadap proses perkuliahan di prodi Biologi
hampir sama, karena selisih persentase pada masingmasing kategori tidak jauh berbeda.

49

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55


Komponen Pencapaian Proses Perkuliahan
Monitoring dan evaluasi ditargetkan pada enam
pencapaian kinerja dosen dalam proses perkuliahan. Kinerja
dosen yang dinilai tersebut meliputi: (1) kemampuan dosen
dalam PBM, (2) kualitas materi perkuliahan, (3) ketersediaan
dan mutu perangkat pembelajaran, (4) kualitas buku ajar
dan petunjuk praktikum, (5) proses evaluasi perkuliahan,
dan (6) sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum. Data
yang diminta dari responden pada masing-masing penilaian
tersebut, yakni: kemampuan dosen dalam PBM (oleh
mahasiswa); ketersediaan dan mutu perangkat
pembelajaran (oleh dosen), kualitas buku ajar dan petunjuk
praktikum (oleh dosen); kualitas materi perkuliahan, proses
evaluasi perkuliahan, dan sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (oleh mahasiswa dan dosen).
Hasil penilaian kinerja oleh dosen (Gambar 2)
menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian pada kategori
baik memiliki rata-rata nilai persentase tertinggi pada
semua komponen yang dinilai. Persentase masing-masing

50

komponen dalam kategori tersebut, sebagai berikut:


ketersediaan dan mutu perangkat pembelajaran (60,71%),
kualitas buku ajar dan petunjuk praktikum (53,57%),
kualitas materi perkuliahan (57,9%), proses evaluasi
perkuliahan (64,29%), serta sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (66,07%). Hal ini berarti bahwa lebih
dari 50% dari jumlah dosen yang mengajar pada semester
genap 2013/2014, telah menjalankan proses perkuliahan
dengan baik.
Selain hasil penilaian pada kategori baik, penilaian
pada kategori sangat baik juga menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dibanding kategori yang lain pada semua
komponen yang dinilai pada penelitian ini. Persentase
tertinggi jumlah dosen yang menilai bahwa perkuliahan
berjalan sangat baik, yaitu pada komponen proses evaluasi
perkuliahan (29%). Persentase kategori tersebut pada
komponen yang lainnya kurang dari 29%, yaitu kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum (23%), kualitas materi
perkuliahan (20%), ketersediaan dan mutu perangkat

Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
pembelajaran (8,93%), serta sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (5,4%).
Hasil penilaian dengan kategori cukup/sedang dan kurang
memiliki persentase kurang dari 20%. Persentase tertinggi
dosen yang setuju bahwa proses pembelajaran berada
pada kategori cukup ditemukan pada komponen kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum (14,3%) dan pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(14,3%). Sedangkan pada komponen yang lain, persentase
kategori tersebut kurang dari 5%. Dosen yang merespon
bahwa kualitas perkuliahan masih kurang, tampak cukup
jelas pada 2 komponen, yaitu proses evaluasi perkuliahan
(2,38%) serta sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(7,14%).
Berdasarkan data pada Gambar 2 secara umum
digambarkan bahwa kualitas ketercapaian perkuliahan
yang berjalan normal (baik dan sangat baik) jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan perkuliahan yang belum
berjalan normal (cukup dan kurang). Persentase kualitas
ketercapaian baik dan sangat baik pada masing-masing
komponen sebagai berikut: proses evaluasi perkuliahan
93,29% (64,29% baik dan 29% sangat baik), kualitas materi
perkuliahan 77,9% (57% baik dan 20% sangat baik), kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum 76,57% (53,57% baik
dan 23% sangat baik), sarana dan prasarana perkuliahan/
praktikum 71.47% (66,07% baik dan 5,4% sangat baik), dan
ketersediaan mutu dan perangkat pembelajaran 69,64%
(60,71% baik dan 8,93% sangat baik).
Hasil penilaian proses perkuliahan oleh
mahasiswa umumnya menunjukkan kecenderungan data
yang hampir sama dengan jawaban yang diberikan dosen
(Gambar 3). Kesamaan tersebut terdapat pada tiga
komponen penilaian, yaitu kemampuan dosen dalam PBM
(46,65%), kualitas materi perkuliahan (49,04%), dan proses
evaluasi perkuliahan (44,45%). Persentase yang ada pada
masing-masing komponen tersebut merupakan persentase
tertinggi jumlah mahasiswa yang memberikan jawaban
pada kategori baik. Perbedaan antara jawaban yang
diberikan dosen dengan mahasiswa terletak pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum.
Sebanyak 66,07% dosen (merupakan persentase

terbanyak) menganggap bahwa sarana dan prasarana


tersebut termasuk dalam kategori baik dalam menunjang
perkuliahan (Gambar 2), namun hal tersebut berbeda cukup
jauh dengan jawaban yang diberikan mahasiswa, yaitu
hanya 35,57% mahasiswa setuju komponen tersebut
berada pada kategori baik. Mahasiswa yang merespon
komponen tersebut pada kategori cukup (40,88%) dan
kurang (17,41%) lebih banyak jumlahnya (Gambar 3)
dibandingkan dengan jawaban yang diberikan dosen,
yaitu masing-masing 14,3% cukup dan 7,14% kurang
(Gambar 2). Hal ini diduga karena tidak semua dosen terlibat
langsung dalam praktikum di laboratorium.
Berdasarkan data pada Gambar 3 secara umum
menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian perkuliahan
yang berjalan dengan kualitas bagus (baik dan sangat baik)
lebih tinggi dibanding perkuliahan yang belum berjalan
dengan baik (cukup dan kurang), kecuali pada komponen
sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum. Persentase
kualitas ketercapaian baik dan sangat baik pada masingmasing komponen tersebut sebagai berikut: proses
evaluasi perkuliahan 64,99% (44,45% baik dan 20,54%
sangat baik), kualitas materi perkuliahan 77,51% (49.04%
baik dan 28,47% sangat baik), kemampuan dosen dalam
PBM 78,19% (46,65% baik dan 31,54% sangat baik).
Kualitas ketercapaian cukup dan kurang yang lebih rendah
dibanding kualitas ketercapaian baik dan sangat baik, yaitu
pada komponen proses evaluasi perkuliahan sebesar
33,68% (29,23% cukup dan 4,45% kurang), kualitas materi
perkuliahan 20,26% (18.16% cukup dan 1.66% kurang),
kemampuan dosen dalam PBM 21.18% (19,51% cukup dan
1,67% kurang). Jika katergori kualitas ketercapaian
perkuliahan pada komponen sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum dibandingkan, maka kualitas
ketercapaian yang baik dan sangat baik (41.63%) akan lebih
rendah dibanding kualitas ketercapaian cukup dan kurang
(58.29%).
Indikator Komponen Pencapaian Proses Perkuliahan
Hasil monitoring terhadap persepsi mahasiswa terhadap
kemampuan dosen dalam PBM (Gambar 4), menunjukkan
bahwa 51,05% mahasiswa setuju bahwa penguasaan

51

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55


dosen terhadap materi kuliah berada pada kategori baik,
40,14% mahasiswa setuju pada kategori sangat baik, dan
8,14% mahasiswa setuju pada kategori cukup.
Berdasarkan data tersebut, maka 91,19% mahasiswa
merespon proses perkuliahan di prodi pendidikan Biologi
pada semester genap 2013/2014 telah berjalan dengan baik
dan sangat baik. Data ini didukung kemampuan dosen
dalam menjelaskan yang juga tergolong tinggi (81,43%)
yang merupakan gabungan kategori baik (49,96%) dan
sangat baik (31,47%). Hal ini diduga karena kualifikasi
akademik dosen yang mengajar pada prodi Biologi FKIP
Universitas Mataram pada semester genap 2013/2014
cukup tinggi, yaitu Guru Besar 3 orang, doktor (S-3) 12
orang, dan magister (S-2) 14 orang.
Persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dosen
dalam bertanya, menunjukkan bahwa 43,80% setuju
kualitas ketercapaian keampuan tersebut berada pada
kategori baik, 23,56% pada kategori sangat baik, dan
29,30% pada kategori cukup (Gambar 4). Berdasarkan data
tersebut, maka persentase mahasiswa yang merespon
bahwa kemampuan dosen dalam bertanya berada pada
kategori baik dan sangat baik, yaitu 67,36%. Data tersebut
didukung indikator kemampuan dosen berdialog dengan
mahasiswa, yaitu 41,77% mahasiswa setuju kemampuan
tersebut berada pada kategori baik, 30,98% pada kategori
sangat baik, 24,03% pada kategori cukup. Dengan demikian
persentase jumlah mahasiswa yang merespon bahwa
kemampuan dosen dalam berdialog dengan mahasiswa
berada pada kategori baik dan amat baik adalah 72,75%.
Kemampuan dosen dalam bertanya dan berdialog dengan
mahasiswa ini memiliki persentase ketercapaian yang
sedikit lebih rendah pada kategori baik dan sangat baik
dibandingkan dengan penguasaan dosen terhadap materi
kuliah dan kemampaun dosen dalam menjelaskan. Hal ini
diduga ada hubungannya dengan ketersediaan waktu
mengajar yang singkat, namun materi yang dismpaikan
cukup padat, dan juga kondisi ruang dosen yang kurang
kondusif karena masih terbuka. Hal ini akan mempengaruhi
kegiatan konsultasi mahasiswa dan dosen. Agar dialog
berjalan dengan lancar, maka perlu dilakukan penyekatan
ruang dosen.

52

Hasil monitoring indikator mutu tugas/latihan (Gambar 5),


yaitu 55,73% mahasiswa setuju bahwa mutu tugas/latihan
yang diberikan dosen tergolong baik, 26,70% tergolong
sangat baik, 15,44% tergolong cukup. Berdasarkan data
monitoring ini, maka persentase persepsi mahasiswa yang
memilih kualitas ketercapaian tersebut pada katrgori baik
dan sangat baik menjadi cukup tinggi, yaitu 82,43%
(55,73% baik dan 26,12% sangat baik). Data tersebut
berkorelasi positif dengan indikator mutu soal-soal ujian,
bahwa 86,16% mahasiswa setuju mutu soal-soal yang
diberikan dosen tersebut tergolong baik dan sangat baik.
Sebanyak 49,34% mahasiswa setuju bahwa mutu soal-soal
ujian termasuk kategori baik dan 36.82% termasuk kategori
sangat baik. Persepsi mahasiswa yang sangat tinggi pada
mutu tugas latihan dan mutu soal-soal ujian tersebut
diduga karena kedua komponen tersebut didesain untuk
berfikir tinggi (tingkat kesulitan soal mulai C4
keatas).Kondisi tersebut akan menantang mahasiswa
untuk berfikir kritis, jika ingin hasil belajar meningkat.
Menurut Hasan [6], terdapat hubungan antara
keterampilan metakognisi dan berfikir kritis terhadap hasil
belajar biologi.
Pengamatan terhadap parameter sistematika
urutan materi kuliah (Gambar 5), menunjukkan bahwa
51,75% mahasiswa setuju sistematika urutan tersebut
berada pada kategori baik, 24,26% pada kategori sangat
baik, 21.32% pada kategori cukup. Berdasarkan data
tersebut, maka pelaksanaan proses perkuliahan yang
terkait dengan indikator sistematika urutan materi kuliah
yang berada pada kategori baik dan sangat baik menjadi
cukup tinggi, yaitu 76,01%. Ketercapaian persentase yang
cukup bagus ini diduga karena sudah ada pembagian
materi yang jelas diantara tim pengampu matakuliah. Selain
itu, latar belakang pendidikan dosen yang mengampu
matakuliah sesuai dengan keahlian masing-masing.
Kemutakhiran bahan bacaan yang digunakan
dosen menunjukkan persentase ketercapaian yang paling
rendah dibanding indikator lainnyadalam parameter
kualitas materi perkuliahan(Gambar 5). Persepsi mahasiswa
terhadap kemutakhiran bahan bacaan menunjukkan bahwa
39,32% setuju kualitas ketercapaian kemampuan tersebut

Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
berada pada kategori baik, 26,12% pada kategori sangat
baik, dan 29,21% pada kategori cukup. Berdasarkan data
tersebut, maka persentase mahasiswa yang merespon
indikator tersebut pada kategori baik dan sangat baik, yaitu
65,44%. Nilai ini merupakan persentase terendah dalam
parameter kualitas materi perkuliahan. Kemungkinan hal
ini disebabkan karena pada saat menyusun materi kuliah,
dosen jarang menggunakan jurnal, atau jarang
menyampaikan hasil-hasil penelitiannya untuk dijadikan
sebagai materi ajar. Untuk mengatasi masalah ini, dosen
diharapkan dapat membuka perpustakaan on line yang
dapat diakses gratis yang selama ini dilanggan oleh Dikti
atau Unram.
Pelaksanaan evaluasi proses perkuliahan
menunjukkan bahwa indikator kualitas test yang baik
ditunjang oleh indikator isi test yang baik (Gambar 6).
Sebanyak 55,12% mahasiswa mengakui bahwa kualitas test
berada pada kategori baik, 27,60% berada pada kategori
sangat baik, 14,56% berada pada kategori cukup, dan 2,06%
berada pada kategori kurang. Berdasarkan data tersebut,
maka kualitas test yang disusun dosen yang mendapat

respon baik dan amat baik sebanyak 82,72%. Kenaikan


persentase kualitas test pada kategori baik ini, diikuti
kenaikan persentase kualitas test sesuai dengasn isi
silabus dan SAP. Kecenderungan seperti ini terjadi diduga
karena test yang disusun oleh dosen di prodi pendidikan
Biologi FKIP Universitas Mataram dirancang untuk
kemampuan berfikir tinggi, terutama soal-soal yang
berbentuk essay. Dengan demikian maka wajar saja variasi
alat evaluasi yang diberikan dosen kurang bervariasi.
Berbeda dengan kedua indikator dalam parameter
proses evaluasi tersebut diatas, indikator evaluasi yang
dilaksanakan pada setiap akhir pokok bahasan
menunjukkan persentase tertinggi dengan kualitas
ketercapaian pada kategori cukup (Gambar 6). Hal ini berarti
bahwa dosen jarang melaksanakan proses evaluasi pada
setiap akhir pokok bahasan. Kondisi seperti itu
kemungkinan disebabkan karena proses evaluasi yang
dilaksanakan dosen selama ini masih terbatas pada
kelengkapan penilaian untuk U-1, U-2, dan U-3 saja yang
sebagian besar dilaksanakan mengikuti jadual panitia ujian
yang dibentuk Fakultas.

53

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55


Hasil monitoring sarana dan prasarana perkuliahan/
praktikum yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan
proses perkuliahan menunjukkan bahwa persentase
responden yang memilih kategori ketercapaian baik, tidak
ada yang mencapai 50%. Demikian pula penggabungan
persentase jumlah responen yang merespon baik dan
kurang baik juga menjadi kurang dari 50% (Gambar 7).
Mutu perkuliahan pada indikator kualitas fasilitas
perkuliahan/praktikum, menunjukkan persentase
ketercapaian yang tidak jauh berbeda antara kategori baik
(41,05%) dengan kategori cukup (36,86%). Demikian pula
pada indikator jumlah fasilitas perkuliahan/praktikum,
bahwa persentase responden pada kategori baik (40,70%)
tidak jauh berbeda dengan kategori cukup (34,75%).
Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena fasilitas yang
tersedia untuk menunjang kegiatan perkuliahan dan
praktikum banyak yang tidak up to date lagi yang tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru, demikian pula
jumlah peralatan yang masih kurang. Selain itu,
kemungkinan banyak alat yang tidak berfungsi karena
rusak. Kondisi seperti ini juga berlaku untuk LCD dan
bahan-bahan praktikum. Untuk mengatasi hal ini, maka
pihak pengelola laboratorium perlu berkoordinasi dengan
dosen pengampu matakuliah untuk pengadaan alat-alat
baru. Untuk meningkatkan kualitas bahan-bahan
praktikum, perlu dilakukan revitalisasi dan optimalisasi
penggunaan Kebun Biologi dalam penyediaan bahan
tersebut.
Kualitas ketercapaian indikator pada kategori
kurang dalam komponen sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (Gambar 7) menunjukkan
persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua
data yang telah dibahas sebelumnya. Persentase
responden yang memilih kategori cukup mengalami
peningkatan, yaitu berkisar antara 11,50% 27,50%
(Gambar 7). Kebersihan dan keindahan ruangan kuliah/
praktikum perlu mendapat perhatian karena menunjukkan
kategori kurang dengan persentase paling tinggi. Selain
itu, indikator ini juga menunjukkan kategori cukup (belum
baik) dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kategori baik dan amat baik. Hal ini diduga ada

54

hubungannya dengan kondisi laboratorium, terutama pada


matakuliah yang melaksanakan praktikum. Kebersihan dan
keindahan ruangan kuliah/praktikum mendapat respon
negatif diduga karena cleaning service yang bertugas
membersihkan laboratorium tidak selalu ada saat praktikum
berlangsung. Ruangan seringkali dibersihkan pada malam
atau sore hari saja, kemudian pekerjaan dilanjutkan
keesokan hari dengan waktu yang sama. Selain itu,
kesadaran praktikan untuk membersihkan alat-alat
laboratorium dan tidak membuang sampah sembarangan
masih kurang. Penyebab lain yang juga diduga
mempengaruhi kebersihan laboratorium karena frekuensi
penggunaan laboratorium yang sangat padat dengan
ukuran ruangan yang belum ideal. Hal ini terjadi karena
pada awal laboratorium biologi dibentuk, luasnya 2 kali
ukuran yang sekarang. Namun karena telah dibuka prodi
Kimia, ruangan laboratorium tersebut disekat menjadi dua
ruangan yang masing-masing sebagai tempat praktikum
mahasiswa biologi dan mahasiswa kimia.
Monitoring terhadap prosedur peminjaman/
penggunaan media perkuliahan dan alat-alat praktikum
menunjukkan bahwa responden yang menilai pada kategori
cukup 47,36%, jumlahnya lebih tinggi dibandingkan
dengan responen yang menilai pada kategori baik 34,90%
dan sangat baik 5,56%. Hal ini menggambarkan bahwa
prosedur peminjaman/penggunaan media perkuliahan dan
alat-alat praktikum tersebut belum berjalan dengan baik.
Hambatan ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
tanggung jawab masing-masing laboran dan pegawai
administrasi yang masing-masing berkewajiban menangani
peralatan penunjang perkuliahan, belum berjalan optimal
sesuai uraian pembagian tugas. Untuk meningkatkan
kualitas layanan yang lebih baik, perlu saling koordinasi
yang intensif diantara petugas.
Hasil monitoring terhadap ketersediaan dan mutu
perangkat pembelajaran yang diperoleh dari respon dosen
menunjukkan bahwa semua indikator yang dinilai pada
komponen ini memiliki persentase tertinggi pada kategori
baik (Gambar 8). Persentase responden dalam kategori baik
tersebut sebagai berikut: Kelengkapan dan mutu
SAP92,86%, kelengkapan dan mutu silabus 78,57%,

Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
ketersediaan dan relevansi media pembelajaran 71,43%,
dan ketersediaan kontrak perkuliahan 57,14%. Jika
persentase responden pada kategori baik digabung
dengan persentase responden pada kategori amat baik,
maka masing-masing indikator (kategori baik dan sangat
baik) akan memiliki persentase sebagai berikut:
Kelengkapan dan mutu silabus 100%, kelengkapan dan
mutu SAP92,86%, ketersediaan dan relevansi media
pembelajaran 85,72%, dan ketersediaan kontrak perkuliahan
92.85%. Data ini menggambarkan bahwa kesiapan dosen
dalam proses perkuliahan sangat tinggi. Ketersediaan dan
mutu perangkat pembelajaran dengan kualitas
ketercapaian yang sangat bagus ini agar terus
dipertahaknan dan dimantapkan.

1.

Semua indikator dalam paremeter kualitas buku


ajar dan petunjuk praktikum yang telah direspon responden
(dosen) menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian
indikator tersebut berada pada kategori baik, dengan
persentase yang paling tinggi (Gambar 9). Persentase
responden dalam kategori baik tersebut, yaitu keterbacaan
(mudah tidaknya dipahami) buku ajar dan petunjuk
praktikum 64,29%, sistematika penyusunan buku ajar dan
petunjuk praktikum 57,14%, kemutakhiran referensi pada
buku ajar dan petunjuk praktikum 50%, dan relevansi buku
ajar dan petunjuk praktikum dengan silabus dan SAP
42,86%. Jika persentase responden pada kategori baik
digabung dengan persentase responden pada kategori
amat baik, maka masing-masing indikator (kategori baik
dan sangat baik) akan mengakumulasikan persentase
sebagai berikut: keterbacaan (mudah tidaknya dipahami)
buku ajar dan petunjuk praktikum 85,72%, sistematika
penyusunan buku ajar dan petunjuk praktikum 71,43%,
kemutakhiran referensi pada buku ajar dan petunjuk
praktikum 78,57%, dan relevansi buku ajar dan petunjuk
praktikum dengan silabus dan SAP 71,43%. Hasil ini
menggambarkan bahwa kesiapan dosen dalam menyiapkan
materi perkuliahan cukup tinggi.

2.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Pelaksanaan proses perkuliahan di program studi


pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram
pada Semester Genap 2013/2014 berjalan
dengan baik.
2. Respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan
menunjukkan kualitas ketercapaian berkategori
baikdan sangat baik 65,57%, cukup baik/sedang
27,05%, dan kurang 6,29%.
Saran
1. Ketua tim matakuliah agar selalu mengkoordinasi
tim matakuliah dalam penyempurnaan silabus,
SAP, dan kontrak kuliah.

3.

Dalam kegiatan praktikum, diharapkan agar dosen


hadir pada semua mata acara yang
dipraktikumkan.
Sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
perlu diperhatikan agar dapat menunjang
perkuliahan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Danin, S., 2002, Inovasi Pendidikan, Penerbit Pustaka
Setia, Bandung.
[2] Prastati, T. dan P. Irawan, 1994, Media Instruksional,
Pusat antar Universitas Dirjen Dikti Depdikbud,
Jakarta.
[3] Irawan, P., 1994, Evaluasi Proses Belajar, Pusat antar
Universitas Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
[4] Depdikbud, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar, Balai Pustaka, Jakarta.
[5] Tim Penjamin Mutu Universitas Brawijaya, 2007,
Evaluasi Kinerja Di Program Studi Universitas
Brawijaya, Pusat Penjaminan Mutu Unibraw,
Malang.
[6] Hasan, S. 2014. Keberhasilan proses belajar biologi
dan pemberdayaan keterampilan berpikir tinggi.
Jurnal Pendidikan Biologi, Volume 5, Nomor
2, Februari 2014: 186-193.
55

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 56 - 61


ISSN 1907-1744
PENGGUNAAN PARADIGMA GAYA-REAKSI DAN PENDEKATANANALOGI UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP GAYA GESEK BAGI MAHASISWA CALON GURU FISIKA (STUDI KASUS
PERKULIAHAN FISIKA DASAR I)
Joni Rokhmat
Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Mataram
Email: joni.fkip.unram@gmail.com

Abstrak : Hasil studi dalam perkuliahan Fisika Dasar I memperlihatkan bahwa mahasiswa calon guru fisika
pada umumnya memiliki konsepsi keliru tentang gaya gesek. Konsepsi keliru tersebut meliputi penentuan syarat
terjadinya gaya gesek antara dua benda, jenis gaya gesek (statik atau kinetik), arah gaya gesek, serta nilainya. Melalui
pembahasan fenomena orang berjalan dan mobil bergerak dengan penggerak roda depan, dan menggunakan pendekatan
paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi, serta hukum-hukum Newton tentang gerak terbukti
dapat mengubah konsepsi keliru mahasiswa tersebut menjadi konsepsi yang benar. Akhir pembelajaran menggunakan
dua pendekatan tersebut terbukti mahasiswa memiliki pemahaman gaya gesek yang lebih sempurna, khususnya
berkenaan dengan syarat terjadinya gaya gesek, penentuan jenis, arah, dan nilai gaya gesek.
Kata kunci: : Pendekatan paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi, pendekatan analogi, serta syarat
kemunculan, jenis, arah, dan nilai gaya gesek.

Abstract : The Study results in Fundamental Physics I lecturing showed that pre service Students of Physics
in general have misconceptions about friction force. The misconceptions include determining of requirements of
friction force happening, sort of the friction force (static or kinetic), direction and value of the friction force. Through
discussions ofthe phenomena of a human being walking and a car moving with front wheel activator, and used
approaches of a paradigm that friction force as a reactive-force and analogy, also used the Newtons laws about
movement it proved that those could changethe misconceptions to be true conceptions. The last of lecturing using the
two approaches the Students have beter understanding of friction force, especially with rescpet to the requirements of
its happening, determining its sorts (static or kinetic), direction, and its value.
Keywords : Approache of a paradigm that friction force as a reactive-force, analogy approache, also
requirements of its happening, determining of sort, direction, and value of the friction force.

1. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sub-materi dalam pokok materi
mekanika dalam fisika, konsep gaya gesek selalu dibahas
dalam uraian pembelajaran fisika pada bagian mekanika.
Hal ini terjadi pula dalam pembelajaran fisika pada jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Perguruan
Tinggi. Namun demikian, sepengetahuan panulis,
pembahasan konsep gaya gesek dalam buku-buku pada
kedua jenjang tersebut secara umum belum mampu
memfasilitasi pembelajar untuk memahaminya secara utuh.
Fenomena lebih menyedihkan terjadi bahwa pembahasan
konsep gaya gesek lebih merupakan suatu ringkasan dari
konsep tersebut sehingga semakin menjauhkan pembelajar
untuk memahami konsep gaya gesek tersebut. Fenomena
ini, diperkuat oleh kenyataan bahwa dalam perkuliahan
Fisika Dasar Imahasiswa calon guru fisika secara signifikan
memperlihatkan konsepsi awal yang jauh dari standar
pemahaman konsep gaya gesek.
56

Gaya gesek merupakan salah satu konsep fisika yang cukup


populer di kalangan mahasiswa fisika maupun siswa SMA.
Namun demikian hasil analisis kasus dalam proses
perkuliahan fisika dasar I memperlihatkan bahwa
mahasiswa pada umumnya memiliki konsepsi yang keliru
tentang gaya gesek. Konsepsi-konsepsi mahasiswa yang
keliru ini antara lain meliputi: (1) paradigma gaya gesek
sebagai gaya-reaksi, (2) penentuan persyaratan agar gaya
gesek terjadi di antara dua benda, (3) penentuan jenis gaya
gesek (statik atau kinetik), dan (4) penentuan arah gaya
gesek, dan (5) penentuan nilai gaya gesek.
Sesuai dengan judul, pada bagian pembahasan
dari tulisan ini porsi terbesar mengulas penerapan
pendekatan gaya-reaksi dalam upaya memfasilitasi
pembelajar memahami konsep gaya gesek secara utuh.
Penerapan pendekatan ini difokuskan untuk mengatasi
konsepsi-konsepsi keliru nomor 2 sampai dengan 5

Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)


sebagaimana disebutkan pada alinea di atas meskipun
untuk bagian terakhir (nilai gaya gesek) tidak dibahas
secara rinci mengingat terbatasnya halaman tulisan ini.
Untuk menambah kedalaman pembahasan, dalam ulasan
atau pembahasan tersebut akan dikaitkan dengan hukum
Newton tentang gerak, baik hukum pertama, kedua,
maupun ketiga, serta menggunakan contoh-contoh
fenomena fisika yang dijadikan fokus pembahasan dalam
perkuliahan Fisika Dasar I. Namun demikian, sebelum
mengulas penerapannya, dalam tulisan ini dibahas lebih
dulu pengertian paradigma gaya-reaksi.
2. PEMBAHASAN
Pengertian Paradigma Gaya-Reaksi
Penulis tertarik mengawali pembahasan
pengertian paradigma ini dengan menggali makna kata
reaksi. Hampir dalam setiap pembelajaran, dan dalam
pembahasan setiap konsep fisika, penulis selalu
menggunakan pendekatan konsep reaksi. Sepanjang
pengetahuan penulis, hampir seluruh peristiwa yang terjadi
di lingkungan sekitar yang mengarah pada diri kita
merupakan peristiwa reaksi dari sebuah atau beberapa aksi
yang kita lakukan terhadap lingkungan sekitar tersebut.
Fenomena sejalan dengan Hukum III Newton bahwa ketika
ada gaya aksi yang dikerjakan suatu benda pada benda
lain maka benda kedua ini akan memberikan gaya-reaksi
pada benda pertama [1, 2, 3].
Apabila saat kita memberi kuliah atau mengajar
terdapat benda-benda, seperti bangku, meja, papan tulis,
dinding ruangan, atau sebagian atau seluruh mahasiswa
atau siswa yang dirasakan menjadikan kita tidak nyaman
berada di ruang kuliah atau kelas, sesungguhnya peristiwa
tersebut merupakan reaksi dari apa yang telah kita lakukan
di kelas. Jadi pada dasarnya kita dapat menciptakan kondisi
ruang kuliah atau kelas menjadi tempat yang
menyenangkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang
menyenangkan bagi mahasiswa, siswa, bahkan bagi bendabenda di sekitar kita yang berkategori benda mati
Berdasar uraian di atas, paradigma gaya-reaksi
dapat dijelaskan sebagai berikut: Secara umum gaya yang
dapat diartikan sebagai suatu dorongan atau tarikan dapat
dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok gaya aksi
dan gaya-reaksi. Gaya aksi dapat diartikan sebagai suatu
gaya yang kemunculannya tanpa didahului adanya gaya
lain. Dalam pengertian hubungan sebab-akibat (kausalitas),
kelompok gaya ini dapat dikategorikan sebagai gaya-gaya
muncul pertama atau dalam hubungan kausalitas gaya
ini merupakan cause atau penyebab yang memungkinkan
munculnya effect atau akibat. Sementara itu, gaya-reaksi
dikategorikan kelompok gaya yang kemunculannya
didahului oleh kelompok gaya pertama. Dalam hubungan
kausalitas, kelompok gaya ini termasuk effect atau akibat
dari sebuah atau sejumlah cause atau penyebab. Pada
dasarnya, dalam konteks gaya gesek hubungan kelompok
gaya aksi dan gaya-reaksi ini dapat pula diadopsi dari
pengertian pasangan gaya aksi-reaksi.
Penulis mendefinisikan pasangan gaya aksireaksi sebagai dua gaya yang masing-masing dihasilkan
oleh subjek-1 dan subjek-2 sedemikian rupa sehingga gaya
oleh subjek-1 bekerja pada subjek-2 dan secara langsung

gaya ini mengakibatkan munculnya gaya oleh subjek-2


yang bekerja pada subjek-1 atau sebaliknya. Bandingkan
peristiwa di atas dengan peristiwa berikut: Subjek-1 dan
subjek-2 keduanya memberi gaya pada subjek-3 dan kedua
gaya ini sama besar tetapi berlawanan arah maka gayagaya yang diberikan oleh subjek-1 dan subjek-2 bukan
pasangan gaya aksi-reaksi.
Pengertian Pendekatan Analogi
James Clerk Maxwell dalam [4]sedara eksplisit
menyatakan bahwa analogi-analogi sangat diperlukan
dalam pembahasan ilmu-ilmu fisika. Sementara itu,
Podolefsky [4] menyebutkan beberapa contoh pasangan
analogi esensial dalam fisika, seperti hukum Coulomb
dengan hukum gravitasi, medan listrik dengan medan suhu,
energi yang tersimpan dalam kapasitor dengan yang
tersimpan dalam pegas, aliran aurs listrik dengan aliran air
dalam pipa, dan sebagainya. Artinya, untuk memudahkan
pembahasan suatu konsep dapat dilakukan dengan
menganalogikan konsep itu dengan konsep lain yang
sudah dikenal atau dipahami lebih baik atau dengan konsep
lain yang lebih kongkrit[1, 2, 3].
Dalam tulisan ini penulis mengartikan pendekatan
analogi untuk pembelajaran fisika sebagai penggunaan
objek atau cara lain yang dipandang lebih dikenal dan
lebih mudah dipahami dalam menjelaskan suatu masalah.
Pembahasan dalam tulisan ini gaya aksi yang diberikan
kaki orang (Gambar 2) atau roda mobil (Gambar 3) pada
permukaan jalan yang semula sangat sulit atau bahkan
tidak mungkin dideteksi secara visual dianalogikan dengan
gaya aksi kaki orang atau roda mobil di atas terhadap
hamparan pasir yang cukup tebal. Dengan penganalogian
ini, gaya aksi kaki atau roda di atas dapatdideteksi dari
pergerakan butiran-butiran pasir yang bergerak atau
terlempar.Dengan mengetahui arah gaya aksi yang
diberikan oleh kaki orang yang berjalan atau yang diberikan
roda mobil yang bergerak terhadap permukaan jalan maka
kita dengan mudah dapat menentukan arah gaya reaksi
yang diberikan permukaan jalan terhadap kaki orang atau
roda mobil tersebut, yaitu pada arah yang berlawanan
dengan arah gaya aksinya.
Penentuan Persyaratan agar Gaya Gesek Terjadi di
antara Dua Benda
Dalam suatu proses perkuliahan Fisika Dasar I,
penulis kepada 28 mahasiswa tahun pertama yang
mengikuti perkuliahan tersebut menanyakan kapan gaya
gesek antara dua benda dapat terjadi. Seluruh mahasiswa
terhadap pertanyaan tersebut menyatakan bahwa gaya
gesek antara dua benda terjadi apabila dua benda tersebut
bersentuhan dan keduanya berpermukaan kasar. Terhadap
jawaban tersebut, penulis tidak memberi komentar kecuali
membuat catatan di papan tulis bahwa seluruh mahasiswa
setuju ketika dua benda berpermukaan kasar saling
bersentuhan terjadi gaya gesek di antara kedua benda
tersebut. Selanjutnya penulis memperlihatkan fenomena
seperti pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan sebuah
balok B bermassa M diletakkan di atas lantai horizontal
dan diketahui bahwa permukaan balok dan lantai adalah
kasar. Dengan mengamati Gambar 1 ini, kepada mahasiswa
57

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 56 - 61


penulis mengajukan pertanyhaan berikut: Apakah antara
permukaan bawah balok B dan permukaan lantai terjadi
gaya gesek?. Dengan mendasarkan pada konsepsi awal
mereka, seluruh mahasiswa menjawab ya. Saat itu,
penulis tidak membenarkan atau menyalahkan jawaban
mahasiswa tetapi mengajukan pertanyaan lanjutan berikut:
Kemanakah arah gaya gesek tersebut? Terhadap
pertanyaan terakhir ini ada seorang mahasiswa yang
menjawab bahwa gaya gesek berarah ke kiri. Kemudian
penulis meminta konfirmasi mahasiswa lainnya terhadap
jawaban tersebut. Ada sekitar delapan mahasiswa setuju
dengan jawaban temannya tetapi yang lainnya tetap diam.
Terakhir, sebelum menuntaskan pembahasan ini, penulis
mengajukan pertanyaan lanjutan yaitu Mengapa arah
gaya gesek tersebut tidak ke kanan, ke belakang (tegak
lurus menembus bidang gambar), ke depan (tegak lurus
keluar dari bidang gambar), atau ke arah lainnya?

permukaan bawah balok itu mendorong (memberi gaya


aksi) permukaan lantai ke kanan. Selanjutnya, permukaan
lantai bereaksi mendorong (memberi gaya-reaksi)
permukaan bawah balok itu ke kiri. Kedua gaya ini
memenuhi kriteria pasangan gaya aksi-reaksi dan sesuai
hukum III Newton nilai kedua gaya ini sama tetapi arahnya
berlawanan, yaitu gaya aksi dorongan permukaan bawah
balok ke kanan dan gaya-reaksi dorongan permukaan lantai
ke kiri[1, 2, 3].
Hasil pembahasan Gambar 1 dalam perkuliahan
tersebut meyakinkan mahasiswa tentang dua hal, pertama
bahwa gaya gesek pada hakekatnya merupakan gayareaksi dan kedua bahwa agar pada dua permukaan benda
terjadi gaya gesek ada tiga syarat, yaitu: (1) kedua benda
bersentuhan, (2) kedua permukaan benda kasar, dan (3)
ada upaya saling bergeser antara dua permukaan tersebut
sehingga kedua permukaan itu tetap saling berdiam atau

B
Lantai horizontal
Gambar 1 Balok B berada di atas lantai horizontal, permukaan balok B dan lantai kasar.
Fase berikutnya, mahasiswa merasa bingung
untuk memutuskan bagaimana arah yang seharusnya.
Penulis memberi jeda waktu kepada mahasiswa untuk
memikirkan fenomena tersebut. Beberapa saat kemudian
penulis meminta mahasiswa untuk mengaitkan kondisi
sistem balok-lantai itu dengan hukum Newton tentang
gerak. Fakta menunjukkan bahwa balok B berdiam di atas
lantai. Penulis mengingatkan kembali bahwa berdasarkan
hukum I Newton, ketika suatu benda mengalami resultan
gaya nol maka benda itu akan tetap berdiam atau ber-Gerak
Lurus Beraturan (ber-GLB). Fenomena ini juga sejalan
dengan hukum II Newton jika balok B mengalami resultan
gaya nol maka balok itu tidak mengalami percepatan yang
berarti kecepatannya tidak berubah dengan kata lain jika
semula berdiam akan tetap berdiam dan jika semula
bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan.
Jika ungkapan itu dibalik, maka balok B yang sedang
berdiam harus mengalami resultan gaya nol[1, 2, 3].
Akhirnya seluruh mahasiswa sepakat bahwa
jawaban arah gaya gesek itu salah bahkan gaya gesek itu
sendiri tidak ada atau balok B saat itu tidak mengalami
gaya gesek. Alasannya, jika ada gaya gesek yang bekerja
pada balok B sementara itu tidak ada gaya lain yang bekerja
secara horizontal pada balok tersebut berarti balok B
memiliki resultan gaya horizontal sama dengan gaya gesek
tersebut sehingga balok yang semula diam akam bergerak
searah gaya gesek itu dan hal ini jelas mustahil. Namun
demikian, muncul pertanyaan lain: Bagaimana mungkin
dua benda dengan permukaan kasar saling bersentuhan
tidak mengalami gaya gesek? Pada kesempatan ini,
penulis meyakinkan kepada mahasiswa bahwa gaya gesek
pada hakekatnya merupakan gaya-reaksi yang
keberadaannya bergantung ada dan tidaknya gaya aksi.
Jika balok pada Gambar 1 didorong ke kanan maka saat itu
58

saling bergerak. Dalam fenomena Gambar 1, tarikan


gravitasi bumi menyebabkan balok B menyentuh
permukaan lantai dan ketika balok B didorong ke kanan
berarti permukaan bawah balok itu berupaya bergeser
kekanan di atas permukaan lantai. Perlu dicatat pengertian
bersentuhan, bahwa dua benda dikatakan bersentuhan
apabila ada komponen normal gaya dari satu permukaan
yang menekan (gaya aksi) permukaan kedua sehingga pada
permukaan kedua ini terjadi gaya normal yang menahan
permukaan pertama sebagai gaya-reaksi terhadap gaya
tekan tersebut.

Penentuan Jenis Gaya Gesek (Statik atau Kinetik)


Pada Gambar 1 penulis ketika ada dorongan ke
kanan pada balok B seluruh mahasiswa akhirnya sepakan
terjadi gaya gesek antara balok itu dengan lantai.
Selanjutnya, penulis berusaha menanamkan pemahaman
konsep jenis gaya geseknya. Untuk menambah kedalaman
pehamanam jenis gaya gesek ini, selain fenomena balok B
di atas, penulis menghadapkan fenomena lainnya kepada
mahasiswa. fenomena-fenomena itu seperti gaya gesek
antara telapak kaki dan permukaan jalan pada peristiwa
orang berjalan kaki, gaya gesek antara permukaan roda
dengan jalan pada mobil yang sedang bergerak.
Pada Gambar 1, ketika balok B didorong ke elative dua
kemungkinan keadaan gerak balok itu, pertama balok tetap
berdiam dan kedua balok bergerak ke kanan. Pada kedua
keadaan ini mahasiswa memiliki konsepsi benar yaitu
bahwa pada keadaan pertama balok mengalami gaya gesek
statik ke kiri sedangkan ketika bergerak ke kanan balok itu
mengalami gaya gesek kinetik ke kiri. Untuk sementara,
penulis berasumsi bahwa mahasiswa telah memahami
konsep jenis gaya gesek. Untuk menguji sejauhmana

Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)


kealaman pemahamannya, penulis menghadirkan dua
fenomena lainnya (Gambar 2 dan Gambar 3).
Fenomena pertama (Gambar 2), seseorang sedang
berjalan kaki ke kanan. Selanjutnya, penulis meminta
mahasiswa menentukan jenis gaya gesek yang dialami
orang tersebut. Hampir seluruhnya (sekitar 20 mahasiswa)
menyatakan bahwa orang tersebut menalami gaya gesek
kinetik sedangkan sisanya tidak merespon. Ketika penulis
menanyakan alasannya, mereka membuat argumentasi
yang sangat sederhana, yaitu karena orang tersebut
bergerak. Para mahasiswa memiliki konsepsi bahwa
fenomena ini sama dengan peristiwa balok B ketika
didorong dan bergerak ke kanan. Tidak ada satupun
mahasiswa yang menyatakan bahwa gaya gesek yang
dialami orang itu adalah berjenis kinetik. Dari fenomena
ini, penulis menyimpulkan bahwa mahasiswa tidak
memahami pengertian bergerak pada kasus gaya gesek.
Mereka melihat gerak benda berfokus pada benda itu
secara keseluruhan bukan pada bagian dari benda itu yang
bersentuhan dengana benda lain.

(1) Gaya gesek antara balok B dan lantai. Ketika balok B


bergerak, bagian permukaan bawah balok mengalami
pergeseran terhadap permukaan lantai. Pada peristiwa itu,
setiap bagian lantai yang dilalui balok pernah bersentuhan
dengan permukaan bawah balok. Pada peristiwa ini,
penulis menamakan permukaan bawah balok B bergerer
terhadap permukaan lantai sehingga jenis gaya gesek yang
terjadi sebagai hasil interaksi permukaan balok dan lantai
adalah kinetik. (2) Gaya gesek atara kaki (permukaan bawah
alas kaki) orang dengan permpukaan jalan. Ketika orang
itu berjalan, tidak semua permukaan jalan yang dilalui
orang itu bersentuhan dengan kaki orang tersebut. Hal ini
dikarenakan ketika orang itu berjalan, satu kaki orang itu
bersentuhan dengan permukaan tertentu dari jalan
kemudian kaki itu diangkat dan diinjakkan pada permukaan
jalan lainnya sehingga bersentuhan tetapi ada permukaan
jalan lain yang tidak bersentuhan dengan kaki orang
tersebut. Jadi pada fenomena ini, kaki orang tersebut
bersentuhan dengan permukaan jalan, sentuhan dilepas,
kemudian bersentuhan lagi dengan permukaan jalan

Pengertian gerak berkenaan dengan jenis gaya


gesek kinetik pada dasarnya berkaitan dengan syarat ketiga
terjadinya gaya gesek antara dua permukaan, yaitu ada
upaya saling bergeser antara dua permukaan tersebut
sehingga kedua permukaan itu tetap saling berdiam atau
saling bergerak. Apabila kedua permukaan yang
bersentuhan saling berdiam maka gaya gesek yang muncul
bersifat statik tetapi apabila kedua permukaan itu saling
bergeser maka gaya gesek yang muncul bersifat kinetik.
Berdasarkan penjelasan ini, jenis gaya gesek pada Gambar
1 adalah statik ketika balok berdiam dan kinetik ketika balok
itu bergerak ke kanan. Namun demikian, fenomena pada
Gambar 2 jenis gaya gesek yang terjadi antara kaki orang
itu dengan permukaan jalan adalah statik.
Perbedaan jenis gaya gesek pada balok B yang
bergerak dan orang yang berjalan sebagaimana disebutkan
pada alinea di atas adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:

lainnya, dan demikian seterusnya atau penulis menamakan


peristiwa ini kaki orang tersebut pada dasarnya saat
bersentuhan dengan permukaan jalan keduanya saling
berdiam dan dengan sendirinya tidak saling bergerak.
Dengan demikian, gaya gesek yang terjadi antara kaki
orang itu dengan permukaan jalan bersifat statik.
Gambar 3 memperlihatkan sebuah mobil yang
sedang bergerak ke kiri dengan penggerak roda depan
dan pedal gas ditekan secara konstan, serta selama itu
diasumsikan bahwa perputaran mesin belum mancapai
maksimum. Berkenaan dengan fenomena tersebut penulis
meminta mahasiswa (pada kelas berbeda berjumlah 22
mahasiswa) untuk menentukan jenis dan arah gaya gesek
yang dialami roda depan dan belakang sebagai hasil
interaksinya dengan permukaan jalan.
Salah seorang mahasiswa mengemukakan
konsepsi awal bahwa jenis gaya gesek yang dialami
59

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 56 - 61


permukaan roda mobil (bagian depan dan belakang) adalah
gaya gesek kinetik. Saat penulis meminta konfirmasi kepada
mahasiswa lainnya, seluruh mahasiswa menyatakan setuju
dengan konsepsi tersebut. Hampir sama dengan fenomena
Gambar 2, ternyata konsepsi gaya gesek kinetik sematamata didasarkan pada fakta bahwa mobil itu sedang
bergerak.
Selanjutnya penulis meminta mahasiswa untuk
menganalisis secara lebih mendalam terhadap bagaimana
sesungguhnya interaksi permukaan mobil itu dengan
permukaan jalan. Sebagai pembanding, penulis
menggunakan penghapus dan meja, memperagakan dua
peristiwa pergerakan permukaan penghapus terhadap
permukaan meja dengan penganalogian penghapus
sebagai roda mobil dan meja sebagai jalan. Peristiwa
pertama, penghapus digulingkan secara perlahan di atas
meja sedangkan peristiwa kedua penghapus digulingkan
sambil digeser di atas meja. Kemudian, terhadap kedua
peristiwa itu penulis kembali menanyakan jenis gaya gesek
yang dialami permukaan penghapus (permukaan roda
mobil).
Untuk menentukan jenis gaya gesek apa pada
kedua peristiwa di atas, mahasiswa sekarang tampak lebih
berhati-hati. Mereka mulai dapat melihat bahwa pada dua
peristiwa itu cara permukaan penghapus berinteraksi
dengan permukaan meja adalah berbeda. Selanjutnya
dengan membandingkan peristiwa ini dengan penjelasan
pada Gambar 2, yaitu pada peristiwa pertama permukaan
penghapus dan meja terjadi kontak statik karena tidak ada
pergeseran satu dengan lainnya melainkan bersentuhan
kemudian lepas. Sementara, pada peristiwa kedua ada
kontak kinetik karena ada pergeseran antara permukaan
penghapus dengan permukaan meja. Dengan analisis ini,
mahasiswa sepakat bahwa pada peristiwa pertama
permukaan penghapus mengalami gaya gesek statik tetapi
pada peristiwa kedua permukaan itu mengalami gaya gesek
kinetik. Dengan kata lain gaya gesek statik dihasilkan dari
interaksi statik sedangkan gaya gesek kinetik dihasilkan
dari interaksi kinetik.
Akhirnya menggunakan analogi peristiwa
penghapus dan meja mahasiswa dapat meyakini bahwa
jika mobil pada Gambar 3 berjalan tanpa selip (interaksi
statik) maka seluruh permukaan roda mobil mengalami gaya
gesek statik dan jika mobil itu mengalami selip (interaksi
kinetik) maka permukaan roda mobil itu mengalami gaya
gesek kinetik.
Penentuan Arah dan Nilai Gaya Gesek
Pada Gambar 1, ketika balok B di dorong ke kanan
mahasiswa sepakat bahwa balok itu mengalami gaya gesek
berarah ke kiri. Terhadap kesepakatan mahasiswa tersebut
penulis berasumsi bahwa mahasiswa sudah memahami cara
menentukan arah gaya gesek tersebut. Namun demikian,
ketika diminta menentukan arah gaya gesek yang dialami
orang yang sedang berjalan (Gambar 2), semua mahasiswa
menyatakan bahwa gaya gesek iru berarah ke kiri.
Berdasarkan dua fakta di atas penulis berkeyakinan bahwa
mahasiswa belum mengetahui cara mentukan arah gaya
gesek. Hal ini, terutama ditunjukkan mahasiswa ketika
menentukan arah gaya gesesk pada Gambar 2. Jika benar
60

bahwa orang itu mengalami gaya gesek ke kiri, sementara


tidak ada gaya horizontal lain yang bekerja pada orang
tersebut maka orang itu mengalami resultan gaya
horizontal ke kiri. Jika dikaitkan dengan hukum II Newton,
jelas hal ini tidak mungkin karena jika arah gaya itu benar
seharusnya orang itu akan mengalami percepatan ke kiri
sehingga gerakannya juga ke kiri tetapi faktanya orang itu
bergerak (berjalan) ke kanan[1, 2, 3].
Menggunakan paradigma bahwa gaya gesek
adalah gaya-reaksi fenomena pada Gambar 2 dapat dengan
mudah dijelaskan. Ketika orang tersebut berjalan ke kanan,
interaksi kaki (permukaan bawah alas kaki) dengan jalan
adalah sebagai berikut: (1) Saat akan berjalan ke kanan,
kaki orang itu mendorong (menekan) permukaan jalan ke
kiri; Selanjutnya (2) Permukaan jalan memberi gaya reaksi
mendorong kaki orang itu ke kanan. Gaya-reaksi
permukaan jalan terhadap kaki orang itu yang dikenal
sebagai gaya gesek yang dialami kaki, yaitu gaya hasil
interaksi permukaan kaki dan permukaan jalan. Jadi jelas
bahwa pada Gambar 2, orang yang berjalan ke kanan itu
mengalami gaya gesek yang juga ke kanan bukan ke kiri.
Berkaitan dengan Gambar 3, seluruh mahasiswa memiliki
konsepsi awal bahwa gaya gesek yang dialami roda mobil
adalah ke kanan, baik pada roda depan maupun
belakang.Konsepsi ini jelas bertentangan dengan hukum
Newton tentang gerak. Konsekuensi konsepsi ini mobil
mengalami resultan gaya horizontal berarah ke kanan
sehingga gerak mobil akan melambat. Jika mobil itu
bergerak ke kiri dengan kecepatan konstan atau dipercepat
maka mobil harus berresultan gaya horizontal nol (untuk
kecepatan konstan) atau tidak nol berarah ke kiri (untuk
gerak dipercepat ke kiri)[1, 2, 3]. Penulis kembali meminta
mahasiswa menganalisis arah gaya gesek tersebut dengan
pendekatan paradigma gaya-reaksi. Melalui proses
pembahasan, penulis meyakinkan mahasiswa bahwa gaya
eksternal yang dialami mobil hanya gaya gesek pada roda
sebagai interaksinya dengan jalan. Jika diyakini pada roda
ada gaya gesek yang berarah ke kanan maka harus pula
ada yang berarah ke kiri supaya memungkinkan resultan
gaya eksternal nol atau tidak nol dan berarah ke kiri.
Pertanyaan berikutnya, pada roda bagian depan atau
belakangkah yang memungkinkan roda mengalami gaya
gesek ke kiri?
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa konsepsi
awal mahasiswa ada yang salah. Untuk itu, penulis
mencoba memperbaiki konsepsi tersebut dengan
menggunakan paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi
dan pendekatan analogi. Agar dapat menentukan gayareaksi harus didahului menganalisis gaya aksi, yaitu gaya
yang diberikan roda mobil pada jalan. Untuk memudahkan
analisis gaya aksi dan reaksinya, kita pisahkan
pembahasan pada roda depan dan belakang karena kedua
roda ini memiki kondisi berbeda, yaitu roda depan
terhubung dengan mesin penggerak sedangkan roda
belakang tidak terhubung dengan mesin itu.
Gaya aksi dan reaksi pada roda belakang. Pada
dasarnya pergerakan roda belakang ini mengikuti tarikan
as rodanya. Ketika mobil ke kiri berarti as (poros) roda
belakang menarik roda itu ke kiri. Jika permukaan jalan
diganti dengan hamparan pasir yang cukup tebal, ketika

Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)


mobil bergerak ke kiri butiran pasir di depan roda itu akan
terdorong ke kiri. Apa artinya? Hal ini memperlihatkan
bahwa sesungguhnya permukaan roda itu mendorong
pasir ke kiri atau penulis menamakan ini sebagai gaya aksi
oleh roda belakang pada permukaan jalan. Sesuai dengan
hukum III Newton, permukaan jalan memberikan gayareaksi pada roda itu ke kanan[1, 2, 3]. Jadi dapat diterima
bahwa ketika mobil bergerak ke kiri, roda belakang mobil
mengalami gaya gesek ke kanan.
Gaya aksi dan reaksi pada roda depan. Berbeda
dengan roda belakang, roda depan mobil bersifat sebagai
penyebab bergeraknya mobil itu. Jika dikaitkan dengan as
(poros) rodanya, bukan as yang menarik roda tetapi roda
depan itu yang menarik as. Jika permukaan jalan diganti
dengan hamparan pasir yang cukup tebal, ketika pedal
gas ditekan sehingga mobil bergerak ke kiri, terdapat
butiran-butiran pasir yang terdorong atau bahkan
terlempar ke kanan. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya roda depan ini mendorong pasir ke kanan,
penulis menamakan roda depan memberi gaya aksi ke
kanan pada jalan. Sesuai dengan hukum III Newton,
permukaan jalan (pasir) memberi gaya reaksi pada roda
depan ke kiri dan gaya ini merupakan gaya gesek hasil
interaksi permukaan roda dengan permukaan jalan[1, 2, 3].
Jadi uraian ini mengisyaratkan bahwa roda depan mobil
mengalami gaya gesek ke kiri ketika mobil itu bergerak ke
kiri dengan kondisi pedal gas ditekan.
Hal berbeda pada roda depan apabila pedal gas
mobil tidak titekan. Pada kondisi ini, situasi roda depan
sama seperti roda belakang, yaitu roda ditarik as mobil.
Jadi pada situasi ini, pedal gas mobil tidak ditekan dan
mobil sedang berjalan ke kiri, roda depan dan belakang
mengalami gaya gesek ke kanan. Akhirnya, dari semua
penjelasan di atas dapat dimengerti mengapa roda mobil
berkemungkinan mengalami resultan gaya nol, ke kiri, atau
ke kanan. Ketika mobil bergerak dengan kecepatan
konstan ke kiri, mobil itu memiliki resultan gaya eksternal
nol, yaitu gaya gesek ke kanan pada roda belakang sama
besar dengan gaya gesek ke kiri pada roda dean. Ketika
mobil bergerak dipercepat ke kiri, mobil memiliki resultan
gaya eksternal ke kiri, yaitu gaya gesek ke kanan pada
roda belakang lebih kecil dari gaya gesek ke kiri pada roda
depan. Sebaliknya, ketika pedal gas mobil tidak ditekan,
mobil yang sedang berjalan ke kiri akan semakin lambat.
Saat ini mobil memiliki resultan gaya eksternal ke kanan,
yaitu gaya gesek pada roda depan maupun belakang
berarah ke kanan.
Dengan pendekatan paradigma gaya gesek
sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi akhirnya
seluruh mahasiswa sepakat bahwa pada fenomena Gambar
2, orang yang sedang berjalan ke kanan secara normal
mengalami gaya gesek statik ke kanan bukan gaya gesek
kinetik ke kiri seperti konsepsi awal mereka. Selanjutnya,
pada fenomena Gambar 3, seluruh mahasiswa sepakat
bahwa selama mobil tidak mengalami selip, seluruh roda
mengalami gaya gesek statik. Selain itu, mereka juga setuju
bahwa sselama mobil bergerak ke kiri, roda belakang selalu
mengalami gaya gesek berarah ke kanan (ke belakang)
tetapi roda depan yang dihubungkan dengan mesin
mengalami gaya gesek yang arahnya dapat ke kanan (ke

belakang) atau ke kiri (ke depan). Gaya gesek yang


dialaminya berarah ke kanan ketika pedal gas mobil tidak
ditekan tetapi ketika pedal itu ditekan gaya gesek tersebut
berarah ke kiri.
3. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Konsep gaya gesek merupakan konsep mendasar
dalam fisika yang perlu dikuasai pembelajar secara utuh
untuk mendukung pembahasan konsep fisika lebih lanjut.
Namun demikian, secara umum para pendidik belum mampu
membelajarkan peserta didik sehingga pembelajar mampu
mencapai penguasaan gaya gesek secara utuh tersebut.
Strategi pembahasan menggunakan pendekatan paradigma
gesek sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi dalam
proses pembelajaran terbukti mampu memfasilitasi
pembelajar memahami konsep gaya gesek secara utuh.
Pemahaman tersebut meliputi tiga syarat yang harus
dipenuhi agar gaya gesek terjadi, penentuan jenis gaya
gesek (statik atau kinetik), dan dalam menentukan arah,
serta nilai dari gaya gesek tersebut.
Saran
Melalui tulisan ini, disarankan para pendidik
dalam bidang studi fisika mampu menjadikan pendekatan
paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi dan
pendekatan analogi sebagai salah satu strategi dalam
pembelajaran fisika, khususnya pada pembahasan gaya
gesek. Dalam pembelajaran fisika, umumnya konsep gaya
gesek memiliki porsi pembahasan yang elative singkat,
karenanya penulis menghimbau kepada para guru dan
dosen agar menyediakan ruang yang cukup untuk
pembahasan gaya gesek sehingga dimungkinkan
pembelajar dapat menguasai konsepnya secara lebih
sempurna.
Daftar Referensi

[1] Halliday, D. & Resnick, R. (1978).Physics part 1 & 2,


Third Edition. Canada: John Wiley & Sons. Inc.
[2] Tipler, P. A. & Mosca, G.(2008). Physics for Scientists
and Engineers, Sixth edition. New York: W H
Freeman and Company.
[3] Gordon, J. R., McGrew, R. V., & Serway, R. A. (2010).
Physics for Scientists and Engineers, eighth
edition volume 1. USA: Cengage Learning, Inc.
[4] Podolefsky, N.,(2004). The Use of Analogy in Physics
Learning and Instruction. University of
Colorado.

61

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 62 - 67


ISSN 1907-1744
PENGEMBANGAN MULTIMEDIAINTERAKTIFBERBASIS KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN
PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI PADA MATERI
POKOK SISTEM KOLOID
Mardhika Surachman1, Muntari2, Lalu Rudyat Telly Savalas2
1

Alumni Program Studi Magister Pendidikan IPA Universitas Mataram


2

Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram


Email: dhicalady@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan multimedia interaktif sistem koloid yang layak
diterapkan di sekolah, dan menguji keefektifan multimedia interaktif tersebut dengan: 2) mengetahui apakah penguasaan
konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep
siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid; dan 3)
mengetahui apakah keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and development
(R&D) dengan mengikuti model pengembangan Borg &Gall. Hasil validasi ahli oleh 4 validator dan uji coba terbatas
oleh 10 siswa menunjukkan bahwa multimedia interaktif sangat layak digunakan dengan skor masing-masing sebesar
4,21 dan 4,36. Uji coba lapangan menggunakan desain non-equivalent control group design dengan 2 kelas sampel,
menghasilkan nilai probabilitas penguasaan konsep sebesar 0,00 (p < 0,05) dan nilai probabilitas keterampilan berpikir
kritis sebesar 0,00 (p < 0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) pengembangan produk pembelajaran
berupa multimedia interaktif berbasis kontekstual dapat dikembangkan dengan cara melakukan analisis materi pada
setiap sub materi sebagai dasar pengembangan produk awal, selanjutnya diuji kelayakan dan efektivitasnya serta
direvisi lewat validasi ahli, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan sehingga dihasilkan produk akhir yang layak
digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, 2) penguasaan konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid, dan 3) keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid.
Kata kunci: : multimedia interaktif, kontekstual, penguasaan konsep, keterampilan berpikir kritis

Abstract : The aims of this study were to: 1) generate interactive multimedia of colloidal system which is
suitable to be implemented in schools, and to test the effectiveness of an interactive multimedia by: 2) knowing
whether concepts mastery of students who use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery
of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) knowing
whether critical thinking skill of students who use context-based interactive multimedia is better than critical thinking
skill of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of the colloidal system. The
method used in this study was research and development (R&D) according to the model of Borg & Galls development.
The results of the expert validation by 4 validators and limited testing by 10 students showed that the interactive
multimedia was very suitable to be used, with scores of 4.21 and 4.36 for expert validation and limited testing, respectively.
Field trial testing, using a non-equivalent control group design with 2 class samples, resulted in the concept mastery
of probability value of 0.00 (p < 0.05) and the probability of critical thinking skill value of 0.00 (p < 0.05). From this
research we can conclude that: 1) context-based interactive multimedia can be developed by means of analyzing the
material in each sub material as the basis for developing primary form of product, then tested for its feasibility,
effectiveness, and revised through an expert validation, limited field is considered testing, and main field testing,
consecutively, so that the resulting product to be suitable for learning process, 2) concepts mastery of students who
use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery of students who do not use context-based
interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) critical thinking skill of students who use contextbased interactive multimedia is better than critical thinking skill of students who do not use context-based interactive
multimedia on the subject matter of the colloidal system.

Keywords : interactive multimedia, context learning, concept mastery, critical thinking skill

62

Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
1. PENDAHULUAN
Hasil telaah kurikulum 2013 menunjukkan bahwa
salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum 2013
adalah kurikulum berbasis kompetensi yang ditandai oleh
pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan,
keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik
yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran (Dokumen
Kurikulum 2013 SMA/MA). Kimia sebagai salah satu
pelajaran yang diajarkan di tingkat sekolah menengah tidak
hanya sekedar untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari
guru ke siswa, melainkan siswa diharapkan mampu
mengembangkan keterampilan berpikir agar dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki terhadap
situasi kehidupan nyata seperti yang tercantum dalam
kompetensi inti mata pelajaran kimia. Salah satu
keterampilan berpikir yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan tersebut adalah keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis atau yang dikenal dengan
sebutan critical thinking adalah keterampilan seseorang
dalam menggunakan proses berpikirnya untuk
menganalisis argumen dan memberikan interpretasi
berdasarkan persepsi yang sahih melalui logical
reasoning, analisis asumsi dan bias dari argumen dan
interpretasi logis [1].
Dalam pembelajaran kimia di sekolah, siswa masih
belum dapat difasilitasi untuk melatih keterampilan berpikir
kritis dan mendalami penguasaan konsep. Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara di salah satu sekolah yakni
di MAN 2 Mataram, guru biasanya menggunakan model
pembelajaran langsung, di mana siswa memperoleh materi
semata-mata dari guru, sedangkan siswa kurang aktif
terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa
kurang mampu membangun pengetahuan sendiri sehingga
keterampilan berpikirnya tidak dapat terlatih dengan baik.
Terlebih lagi karakteristik ilmu kimia yang bersifat abstrak,
akan sangat membutuhkan keterampilan berpikir dan
penguasaan konsep yang utuh untuk benar-benar
memahami materi sehingga dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu materi kimia yang memiliki banyak
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yakni materi sistem
koloid. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, sistem
koloid di mata para siswa merupakan materi hapalan dan
tidak menarik padahal bila dikaji lebih dalam materi ini
sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena
dalam kehidupan nyata dan memiliki aplikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan. Persepsi siswa
tersebut disebabkan karena karakteristik sistem koloid
yang didominasi oleh aspek mikroskopis (tidak dapat
terlihat), sementara pembelajaran sistem koloid di sekolah
masih belum bisa memberi gambaran yang jelas kepada
siswa mengenai aspek mikroskopis tersebut sehingga
pengetahuan siswa terbatas pada aspek makroskopis
(yang dapat dilihat). Siswa hanya dapat menghapal tanpa
benar-benar memahami materi tersebut. Akibatnya
keterampilan berpikir kritis siswa tidak dapat terlatih dan
penguasaan konsep yang dimiliki siswa menjadi tidak utuh.
Kean & Middlecamp mengemukakan bahwa untuk dapat
memahami suatu konsep dengan utuh, siswa harus dapat
memahami konsep kimia dari level makroskopik hingga level

mikroskopiknya [2]. Adapun media yang dipandang tepat


untuk menggambarkan konsep kimia koloid dari aspek
makroskopis hingga mikroskopisnya adalah multimedia
interaktif. Multimedia adalah media yang
mengkombinasikan elemen-elemen berupa teks, grafis,
gambar, foto, audio, video dan animasi secara terintegrasi
menggunakan komputer. Desain multimedia interaktif
dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan
oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa
yang dikehendaki untuk proses selanjutnya [3].
Penggunaan elemen-elemen berupa teks, grafis, gambar,
foto, audio, video dan animasi pada multimedia
pembelajaran dapat menggambarkan konsep kimia koloid
mencakup tiga aspek kajian baik makroskopis, simbolis,
maupun mikroskopisnya sehingga siswa dapat memiliki
penguasaan konsep yang utuh pada materi sistem koloid.
Dalam proses pembelajaran, penguasaan konsep sangatlah
penting. Dengan penguasaan konsep, siswa dapat
meningkatkan kemahiran intelektualnya dan membantu
dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya serta
menimbulkan pembelajaran bermakna [4]. Dengan kata lain
penguasaan konsep yang dapat diperoleh dari multimedia
interaktif dapat membantu meningkatkan keterampilan
berpikir kritis siswa. Namun siswa tidak serta merta dapat
mengaplikasikan keterampilan berpikir kritis dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk itu dalam proses
pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa perlu dilatih
dan dikembangkan agar siswa dapat mengaitkan dan
menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi
kehidupan nyata.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan
suatu kreativitas pendidik dalam mengembangkan
multimedia interaktif dengan menggunakan suatu
pendekatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa
untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Pendekatan pembelajaran yang dipandang tepat adalah
pendekatan kontekstual.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep
pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan
antara materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa, yang
dapat mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam
kehidupan para siswa sebagai anggota keluarga dan
masyarakat [5]. Dengan menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual maka siswa dapat diarahkan untuk
dapat menjelaskan fenomena nyata dan menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan dibekali
penguasaan konsep yang mereka bangun sendiri lewat
pengamatan visual multimedia. Pada akhirnya multimedia
interaktif berbasis kontekstual diharapkan dapat
memberikan penguasaan konsep yang utuh pada siswa
serta dapat melatih keterampilan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini
antara lain: (1) menghasilkan multimedia interaktif sistem
koloid yang layak untuk diterapkan di sekolah; (2)
mengetahui apakah penguasaan konsep siswa yang
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
lebih baik daripada penguasaan konsep siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid; dan 3) mengetahui apakah
63

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 62 - 67


keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan
atau research and development (R&D) dengan model
pengembangan Borg & Gall [6] yang dibatasai hingga
langkah ke 7, antara lain (1) melakukan pengumpulan
informasi (observasi, kajian pustaka, dan analisis materi);
(2) melakukan perancangan (merumuskan tujuan dan
prosedur kerja penelitian); (3) mengembangkan bentuk
produk awal yaitu MMI-BK dan beberapa perangkat
pendukung lain seperti RPP, LKS, dan instrumen soal; (4)
melakukan ujicoba lapangan permulaan (termasuk validasi
oleh 4 validator ahli dan uji coba terbatas); (5) melakukan
revisi terhadap produk utama; (6) melakukan ujicoba
lapangan utama; (7) melakukan revisi terhadap uji lapangan
utama.
Uji coba lapangan dilakukan pada dua kelas dengan desain
sebagai berikut:

menggunakan produk yang dikembangkan. Tes hasil


belajar berupa tes tertulis yang terdiri dari soal pilihan
ganda untuk mengukur penguasaan konsep dan soal
uraian untuk mengukur keterampilan berpikir kritis.
Data hasil validasi multimedia, perangkat pembelajaran
pendukung dan respon siswa dianalisis dengan
menghitung skor rata-rata dari 4 validator dan mengubah
skor tersebut menjadi kriteria, antara lain sangat baik
(4,21-5,00), baik (3,414,20), cukup (2,613,40),
kurang (1,812,60), dan sangat kurang (1,00-1,80).
Multimedia/perangkat dikatakan layak apabila memenuhi
kriteria minimal cukup. Selanjutnya data hasil belajar
dari kedua kelas dianalisis homogenitas dan normalitasnya
untuk mengetahui jenis uji hipotesis yang digunakan.
Independent Sample T-Test digunakan bila asumsi
parametrik terpenuhi (data normal), sedangkan bila asumsi
parametrik tidak terpenuhi (data tidak normal), uji hipotesis
menggunakan Mann-Whitney U-Test [7].
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis materi, sistem koloid
memuat representasi makroskopis (bersifat konkret),
mikroskopis (bersifat abstrak), dan simbolis secara
bersamaan. Di samping itu, materi ini memiliki aplikasi yang

Tabel 1. Desain Penelitian Non-equivalent Control Group Design


O1

O3

O1
O3
O2
O4
X

O4
Keterangan:
: Nilai awal kelas eksperimen
: Nilai awal kelas kontrol
: Nilai akhir kelas eksperimen
: Nilai ak hir kelas kontrol
: Penerapan MMI-BK

Subjek uji coba dalam penelitian ini adalah siswa


sekolah menengah atas kelas XI Semester II. Untuk uji
coba terbatas subjek terdiri dari 10 orang siswa
(berkemampuan tinggi, sedang, rendah), sedangkan untuk
uji coba lapangan subjek terdiri2 kelas yakni kelas XI IPA
1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2 sebagai
kelas kontrol.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain lembar validasi multimedia dan
perangkat pembelajaran, angket respon peserta didik dan
tes hasil belajar. Lembar validasi media dan perangkat
pembelajaran digunakan untuk memperoleh data tentang
penilaian dan kelayakan dari para ahli terhadap media
pembelajaran dan perangkat pendukung (RPP, LKS,
instrumen soal) yang dikembangkan. Angket respon
digunakan untuk mengetahui tanggapan peserta didik
terhadap multimedia. Lembar validasi dan angket respon
disusun menggunakan skala Likert dengan 5 alternatif
jawaban antara lain: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), RaguRagu (RR), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju
(STS). Tes hasil belajar digunakan untuk memperoleh data
hasil belajar (penguasaan konsep dan keterampilan berpikir
kritis) peserta didik dalam kegiatan pembelajaran setelah
64

O2

luas dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari


(bersifat kontekstual). Sub materi sistem dispersi memuat
kajian makroskopis dan mikroskopis. Kajian makroskopis
terletak pada perbedaan fisis antara larutan sejati, sistem
koloid, dan suspensi serta jenis-jenis koloid, sedangkan
kajian mikroskopis terletak pada distribusi partikel larutan
sejati, koloid, dan suspensi. Sub materi yang kedua yakni
sifat-sifat koloid lebih menekankan pada kajian mikroskopis
daripada makroskopisnya. Kajian mikroskopis berkaitan
dengan proses yang terjadi dalam setiap sifat koloid
sedangkan aspek makroskopisnya berkaitan dengan
aplikasi koloid dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
sifat-sifatnya. Sub materi yang terakhir yakni pembuatan
koloid melibatkan kajian makroskopis, mikroskopis, dan
simbolis. Kajian makroskopis berkaitan dengan
pengamatan fisis pembuatan koloid, sementara kajian
mikroskopisnya berkaitan dengan proses pergerakan dan
perubahan partikel dalam pembuatan koloid, dan simbolis
berkaitan dengan reaksi-reaksi kimia dalam pembuatan
koloid.
Berdasarkan kajian dan analisis materi sistem
koloid pada setiap sub materi, peneliti mengembangkan

Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
multimedia interaktif yang menggambarkan sistem koloid
dalam 3 (tiga) representasi baik makroskopis, mikroskopis,
maupun simbolis. Selanjutnya multimedia interaktif
didesain dengan pendekatan kontekstual, di mana
pendalaman konsep dimulai dari aspek konkret
(makroskopis), baru kemudian menelaah aspek abstrak
(makroskopis) dan simbolisnya. Dari hasil analisis materi
ini dihasilkan produk awal multimedia interaktif berbasis
kontekstual (MMI-BK) yang selanjutnya divalidasi dan
diujicobakan kepada siswa.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh ratarata skor validasi multimedia sebesar 4.21 (sangat baik),
RPP kelas eksperimen 4,22 (sangat baik), RPP kelas kontrol
4,25 (sangat baik), LKS praktikum 4,20 (baik), dan instrumen
soal 4,23 (sangat baik). Dari hasil tersebut multimedia dan
perangkat pendukung lainnya layak digunakan untuk uji
lapangan. Berdasarkan saran dari para ahli, peneliti
melakukan revisi pada multimedia terutama pada aspek isi
dan tampilan.

sebesar 0,906 (p > 0,05) dan nilai signifikansi keterampilan


berpikir kritis sebesar 0,786 (p > 0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan awal (penguasaan konsep
dan keterampilan berpikir kritis) kedua kelas adalah sama
(tidak ada perbedaan).
Setelah pemberian perlakuan pada kedua kelas,
diperoleh data post-test pada kedua kelas dengan hasil
sebagai berikut:
Dari grafik tersebut terlihat perbedaan nilai rata-rata kelas
eksperimen dengan kelas kontrol. Nilai rata-rata
penguasaan konsep kelas eksperimen sebesar 81,44
sedangkan kelas kontrol sebesar 60,32. Nilai rata-rata
keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen sebesar 76.05
sedangkan kelas kontrol sebesar 44,66.
Selanjutnya untuk mengetahui signifikansi
perbedaan nilai kedua kelas tersebut, dilakukan uji
hipotesis menggunakan Mann Whitney U-Test karena data
tidak terdistribusi normal. Berikut adalah rangkuman hasil
uji hipotesis:

Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Mann Whitney U-Test Terhadap Nilai Post-Test

PK
KBK

Sig.

Keputusan

0,000
0,000

Ho ditolak
Ho ditolak

Uji coba terbatas dari 10 siswa menghasilkan skor


rata-rata sebesar 4,36 (sangat baik). Siswa memberi
komentar positif terhadap multimedia, sedangkan saran
dan masukan dari siswa digunakan sebagai bahan
pertimbangan peneliti untuk melakukan revisi selanjutnya
yakni pada audio, bahasa, dan desain tampilan multimedia.
Uji coba lapangan menggunakan 2 kelas yakni kelas
eksperimen menggunakan multimedia interaktif berbasis
kontekstual yang dikembangkan dan kelas kontrol
menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan
hasil analisis data pre-test, kedua kelas dinyatakan
homogen namun tidak terdistribusi normal sehingga untuk
mengetahui perbandingan kemampuan awal siswa
digunakan uji Mann Whitney U Test. Dari hasil analisis
tersebut, diperoleh nilai signifikansi penguasaan konsep

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai


signifikansi penguasaan konsep sebesar 0,00 (p < 0,05)
dan nilai signifikansi keterampilan berpikir kritis sebesar
0,00 (p < 0,05) sehingga menolak hipotesis Ho dan
menerima hipotesis Ha untuk masing-masing variabel
terikat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa
yang menggunakan multimedia interaktif berbasis
kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep dan
keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi
pokok sistem koloid.
Pada kelas eksperimen diterapkan multimedia
interaktif berbasis kontekstual (MMI-BK) di mana langkahlangkah pendekatan kontekstual tergambar dalam
multimedia tersebut. Langkah-langkah pendekatan

65

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 62 - 67


kontekstual dimulai dari pengamatan (observasi),
pemberian masalah kontekstual, pengumpulan data,
hingga mengasosiasi konsep dengan masalah kontekstual.
Semua langkah-langkah tersebut dilaksanakan oleh siswa
pada multimedia interaktif.
Pada kegiatan inti pembelajaran di kelas
eksperimen, siswa secara mandiri dan individual
mempelajari sistem koloid menggunakan multimedia
interaktif berbasis kontekstual (MMI-BK). Pada awalnya,
lewat MMI-BK, siswa mengamati fenomena sehari-hari
yang berkaitan dengan sistem koloid. Pengamatan tersebut
disertai pertanyaan-pertanyaan menarik yang harus
dipecahkan oleh siswa. Dalam Rusman [8] disebutkan
bahwa kegiatan bertanya berguna untuk mengecek
pengetahuan siswa dan membangkitkan respon atau
motivasi siswa. Hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu
siswa untuk mencari tahu jawaban dari permasalahan
tersebut. Selanjutnya untuk memecahkan masalah
tersebut, siswa menelaah konsep koloid lewat pengamatan
visual. Pada tahap ini, MMI-BK tidak langsung
memberikan uraian konsep kepada siswa, namun hanya
diberikan gambar dan animasi disertai pertanyaanpertanyaan penggiring yang dapat menuntun siswa
membangun konsep sendiri secara matang. Pada tahap
inilah penguasaan konsep siswa dibangun. Setelah
membangun konsep secara mandiri, siswa kembali
dihadapkan pada permasalahan kontekstual yang
sebelumnya telah diberikan. Pada tahap ini keterampilan
berpikir siswa dilatih dan diasah untuk dapat
menghubungkan konsep yang telah diperoleh dengan
permasalahan kontestual tersebut sehingga mendukung
tercapainya tujuan pembelajaran.
Ketercapaian tujuan pembelajaran juga turut
didukung oleh sikap siswa selama proses pembelajaran
mengingat proses pembelajaran yang dilaksanakan secara
mandiri menggunakan MMI-BK maka ketercapaian tujuan
pembelajaran ini juga tergantung dari sikap tiap siswa.
Dalam hal ini sikap yang dimaksud yakni kedisiplinan,
kejujuran, ketelitian, dan kritis.
Berdasarkan hasil observasi, rata-rata kedisplinan
siswa kelas eksperimen tergolong sangat baik yakni
sebesar 4,35. Artinya sebagian besar siswa mematuhi
instruksi guru untuk melaksanakan tahap demi tahap
pembelajaran kontekstual menggunakan MMI-BK.
Kedisplinan siswa tersebut dapat disebabkan oleh adanya
ketertarikan siswa untuk mengikuti pembelajaran
kontekstual yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian John Dewey yang
menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika
apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui
dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi
disekelilingnya [5]. Selain itu, dalam menjawab pertanyaan
demi pertanyaan untuk membangun konsep, sebagian
besar siswa dengan jujur dan teliti menjawab pertanyaan
pada MMI-BK dengan jawaban sendiri tanpa mencontek
pada buku ataupun bertanya pada teman di sebelahnya.
Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi sikap kejujuran
dan ketelitian siswa yang tergolong sangat baik yakni
masing-masing sebesar 4,73 dan 4,35. Dengan adanya
sikap disiplin, jujur, dan teliti dalam proses pembelajaran
66

mandiri menggunakan MMI-BK maka tujuan pembelajaran


pun dapat tercapai dengan optimal. Siswa dapat
membangun konsep dan melatih keterampilan berpikir kritis
dengan baik menggunakan MMI-BK. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya peningkatan hasil belajar yang
signifikan setelah penggunaan multimedia interaktif,
dimana penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis
kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Hasil
ini didukung oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya
yakni oleh Iriany dkk [9], Kariadinata [10], Ratnaningsih
[11], dan Manao [12] yang mengungkapkan bahwa
multimedia interaktif dan pembelajaran kontekstual dapat
meningkatkan hasil belajar khususnya penguasaan konsep
dan kemampuan berpikir siswa.
Berdasarkan hasil temuan uji coba lapangan,
dilakukan revisi akhir terhadap produk yang
dikembangkan. Dari hasil pengamatan selama proses
pembelajaran di kelas, terdapat dua siswa yang tidak
menjalankan beberapa animasi yang disajikan pada MMIBK. Hal ini dikarenakan pada MMI-BK hanya terdapat
ikon untuk menjalankan animasi tanpa dilengkapi informasi
teks untuk mengklik ikon tersebut sehingga beberapa siswa
tersebut tidak mengetahui adanya animasi yang
seharusnya diamati untuk mendalami konsep. Pada
akhirnya siswa mengalami kesulitan dalam menjawab
pertanyaan pada MMI-BK dan bertanya pada guru.
Dwijayanto [13] menyebutkan bahwa elemen
multimedia yang menjadi dasar utama dalam penyampaian
informasi yakni elemen teks karena teks merupakan alat
presentasi informasi yang paling sesuai untuk
mendeskripsikan nama, definisi, atau aturan. Atas
pertimbangan hal tersebut, peneliti melakukan perbaikan
pada desain tampilan yaitu dengan menambahkan elemen
teks yang berbunyi play di dekat ikon yang berfungsi
untuk menjalankan animasi pada MMI-BK. Dengan
penambahan teks tersebut, maka akan menuntun para
siswa untuk menjalankan animasi pada multimedia.
Dengan demikian, setiap siswa dipastikan dapat
mengoperasikan MMI-BK dengan optimal dan proses
belajar mandiri dapat terlaksana dengan lebih baik.
Berdasarkan perbaikan-perbaikan yang dilakukan
dari hasil validasi ahli, uji coba terbatas, dan uji coba
lapangan, dihasilkan produk akhir multimedia interaktif
sistem koloid yang layak untuk diterapkan dalam proses
pembelajaran di sekolah.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengembangan produk pembelajaran berupa multimedia
interaktif berbasis kontekstual (MMI-BK) dapat
dikembangkan dengan cara melakukan analisis materi
terlebih dahulu pada setiap sub materi sebagai dasar
mengembangkan produk awal MMI-BK. Selanjutnya
dinilai dan diuji kelayakan serta efektivitasnya lewat
validasi ahli, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan
sehingga diperoleh berbagai saran dan masukan yang
digunakan sebagai dasar perbaikan MMI-BK. Dengan
demikian dihasilkan produk akhir MMI-BK yang layak
digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
2. Penguasaan konsep siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada penguasaan konsep siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.
3. Keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah


dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal
Pendidikan. Universitas Negeri Medan.
[13] Dwijayanto. 2009. Elemen Multimedia dan Aplikasi
Multimedia.
(onli ne):
http://
ap304.wordpress.com/2009/05/17/multimedia-2/
. Diakses tanggal 3 Juni 2013.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Uno, H. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan
Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Sihaloho, M., Ibnu, S., dan Effendy. 2002. Analisis
Pemahaman Konsep Larutan Elektrolit Kuat.
Jurnal MIPA 31 (1), 62-78.
[3] Setiawan, A. 2007. Dasar-Dasar Multimedia Interaktif
(MMI). Bandung : SPs UPI.
[4] Rustaman, N.Y. 2005. Strategi Belajar Mengajar
Biologi.Malang:UniversitasNegeriMalang.
[5] Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual.Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
[6] Borg, W.R., and Gall, M.D. 2003. Educational Research,
An Introduction. Seventh Edition. New York
and London. Longman Inc.
[7] Nachar, Nadim. 2008. The Mann-Whitney U:A Test for
Assessing Whether Two Independent Samples
Comefrom the Same Distribution. Tutorials in
Quantitative Methods for Psychology. Vol. 4(1),
p. 13-20.
[8] Rusman, 2013. Model-Model Pembelajaran. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[9] Iriany, Liliasari, dan Setiabudi. 2010. Model
Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Berbasis
Tekhnologi Informasi pada Konsep Laju Reaksi
Untuk Meningkatkan Keterampilan Generik
Sains dan Keterampilan Berpikir Kreatif
Siswa SMU. Jurnal Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[10] Kariadinata, R. 2013. Aplikasi Multimedia Interaktif
dalam Pembelajaran Matematika Sebagai
Upaya Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Siswa SMA. Jurnal
Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia.
[11] Ratnaningsih, 2013. Pengaruh Pembelajaran
Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Dan Kreatif Matematik Serta
Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Jurnal Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[12] Manao, H. 2013. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL)
67

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 68 - 72


ISSN 1907-1744
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA
MATERI POKOK SISTEM PERIODIK UNSUR PADA SISWA KELAS X SMAN 1 MATARAM TAHUN
AJARAN 2013/2014

Nurwahidah1, Yayuk Andayani2, I Nyoman Loka2


Alumni Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram
2
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram
Email: nunkw2591@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimentalyang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran berbasis proyek terhadap hasil belajar kimia materi pokok sistem periodik unsur pada siswa kelas
X SMAN 1 Mataram tahun ajaran 2013/2014. Hasil belajar dalam penelitian ini meliputi hasil belajar dalam bentuk
pengetahuan dan hasil belajar dalam bentuk sikap (kerjasama siswa).Instrumen yang digunakan yaitu tes multiple
choice. Data hasil penelitian yang dianalisis statistikdengan uji t dan lembar observasi kerjasama yang dianalisis
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata 84,62 dengan ketuntasan
klasikal 71,79%, sedangkan pada kelas kontrol diperoleh nilai rata-rata 83,95 dengan ketuntasan klasikal 71,05%. Hasil
uji-t pada taraf signifikan 5% diperoleh Fhitung0,28< Ftabel 1,68 yang berarti Ho pada penelitian ini diterima. Hasil observasi
kerjasama pada kelas eksperimen memiliki tingkat kerjasama yang sama dengan kelas kontrol yaitu sangat tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek tidak berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar kimia materi
pokok sistem periodik unsur kelas X SMAN 1 Mataram tahun ajaran 2013/2014.
Kata kunci: : Pembelajaran berbasis proyek,hasil belajar, sistem periodik unsur

Abstract : This study was a quasi experimental that purpose to know the effect of project-based learning on
learning achievements on elements periodic system for X grade students of SMAN 1 Mataram in 2013/2014 academic
year. The students achievements were knowledge and attitude aspects (students cooperation). The instrument uses
for data collection are a multiple choice test which is statistical analyzed by applying t-test and observation sheet
about student cooperation which is analyzed descriptively. The study revealed that experimental group obtained 84.62
on average with classical mastery was 71.79% whereas the control group obtained 83.95 on average with classical
mastery was 71.05%. The results of t-test on 5% level of significant shows Facc 0.28 < Ftable 1.68 which means that Ho is
accepted. The result of observation sheets shows that whether the students in experimental group or in control group
have an equal level of cooperation. It shows very high level of cooperation. In summary, project-based learning has
no effect on the students chemistry learning achievements on elements periodic system for X grade students of
SMAN 1 Mataram in 2013/2014 academic year.

Keywords : Project-based learning, learning result, elements periodic system


1. PENDAHULUAN
Sistem periodik unsur adalah materi awal pelajaran
kimia yang diajarkan di kelas X SMA/MA. Sistem periodik
unsur berisi konsep-konsep dasar kimia yang harus
dipahami siswa sebelum melanjutkan ke konsep-konsep
selanjutnya. Hasil observasi lapangan di SMAN 1
Mataram, diperoleh nilai rata-rata hasil belajar siswa pada
materi sistem periodik unsur belum dapat mencapai nilai
KKM. Standar pencapaian nilai KKM sebesar 78,
sedangkan nilai rata-rata ulangan harian siswa kelas X
tahun ajuran 2012/2013 hanya mencapai 75,39. Guru harus
memberikan remedialuntuk mencapai nilai ketuntasan
minimal,.
Menurut Slameto [1] salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi hasil belajar adalah metode
68

pembelajaran.Metode pembelajaran yang diterapkan di


SMAN 1 Mataram adalah pembelajaran konvensional yang
berpusat pada guru. Hasil belajar yang belum mencapai
nilai KKM menunjukkan harus ada yang diperbaiki dalam
pembelajaran kimia, khususnya metode atau model
pembelajaran yang diterapkan.
SMAN 1 Mataram mulai menerapkan kurikulum
2013 pada tahun pelajaran 2013/2014. Kurikulum 2013
bertujuan untuk membuat siswa menjadi lebih aktif, lebih
kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Metode pembelajaran
yang diterapkan berupa student centered, interaktif, belajar
kelompok, dan kritis [2]. Diperlukan metode atau model
pembelajaran yang sesuai untuk menunjang terlaksananya
kurikulum 2013.

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek.... (Nurwahidah, Yayuk Andayani, I Nyoman Loka)
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut adalah diterapkannya model
pembelajaran berbasis proyek. Model pembelajaran
berbasis proyek adalah model pembelajaran dengan
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru
berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara
nyata. Permasalahan tersebut dipecahkan secara
kelompok, dan menghasilkan sebuah produk [3].
Pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan
motivasi dan hasil belajar siswa. Model pembelajaran ini
dapat merubah suasana belajar kearah yang kreatif, aktif,
dan mandiri. Model pembelajaran ini juga memberikan
kebebasan otonom siswa untuk menyelesaikan masalah,
melalui kerjasama dengan kelompok atau individu [4].
Kerjasama merupakan salah satu unsur untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Bekerjasama akan membuat
seseorang mampu melakukan lebih banyak hal daripada
jika bekerja sendirian, dengan adanya kerjasama secara
kelompok, akan mengarah pada efisiensi dan efektivitas
yang lebih baik [5].Penelitian sebelumnya yang dilakukan

1 (kontrol) dan siswa kelas X MIA 2 (eksperimen). Teknik


sampling yang digunakan yaitu purposive sampling.
Variabel yang diamati berupa variabel bebas (model
pembelajaran berbasis proyek) dan variabel terikat(hasil
belajar siswa). Hasil belajar dalam penelitian ini ada dua,
yaitu hasil belajar dalam bentuk pengetahuan dan hasil
belajar dalam bentuk sikap yang berupa penilaian
observasi kerjasama siswa.
Instrumen penelitian terdiri dari instrumen hasil
belajar dalam bentuk pengetahuan (posttest) berupa soal
multiple choice dengan 5 pilihan jawaban, dan instrumen
hasil belajar dalam bentuk sikap (observasi kerjasama)
berupa chek list yang disertai komentar. Data hasil proxy
pretest dan posttest dianalisis menggunakan teknik
statistik, meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan ujit. Data hasil observasi kerjasama siswa dianalisis dengan
teknik deskriptif. Lembar observasi dianalisis berdasarkan
hasil skor yang diperoleh, kemudian ditentukan kriteria
kerjasamanya. Penentuan kriteria kerjasama disusun
berdasarkan petunjuk teknis penyusunan perangkat
penilaian afektif SMA [6].

Tabel 2. Hasil Proxy Pretest Siswa


No.
1
2
3

Kelas
X MIA 1
X MIA 2
X MIA 3

Jumlah Siswa
38
39
38

oleh Andri [3], memberikan hasil bahwa pembelajaran


berbasis proyek pada mata pelajaran menggambar teknik
dapat meningkatkan tingkat kerjasama siswa dan hasil
belajar siswa.Dengan demikian, penerapan model
pembelajaran berbasis proyek diharapkan dapat
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil belajar
siswa pada materi Sistem Periodik Unsur.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah quasi experimental
dengan bentuk desain untreated control group design
with proxy pretest. Populasi dalam penelitian ini adalah

Nilai Rata-rata
81,05
80,51
77,00

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data Hasil Proxy Pretest
Hasil analisis uji beda (uji-t) diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat perbedaan hasilproxy pretest yang signifikan
antara kelas X MIA 1 dan X MIA 2. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa kemampuan awal untuk kedua kelas
tersebut adalah sama atau homogen.
Data Hasil Posttest

Tabel 3. Hasil Posttest Siswa


No.

Aspek

Kelas Kontrol

Kelas Eksperimen

Jumlah siswa yang mengikuti tes

38

39

Nilai tertinggi

100

100

Nilai terendah

50

70

Rata-rata

83.95

84.62

Persen ketuntasan

71.05%

7 1.79%

Tabel 1. Pedoman Kriteria Kerjasama

3,25
2,50
1,75
1,00

Interval
=K = 4,00
=K< 3,25
=K<2,50
=K <1,75

Kriteria
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah

69

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 68 - 72


Berdasarkan tabel di atas terlihat nilai terendah,
nilai rata-rata, dan persen ketuntasan kelas eksperimen
lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini disebabkan siswa
dikelas eksperimen lebih kreatif, mandiri, dan termotivasi
dalam belajar. Kekreatifan siswa ditunjukkan dari produk
yang dihasilkan yaitu siswa dapat mengerjakan LKP
dengan tuntas dan mempresentasikan produknya dengan
menarik, sedangkan kemandirian siswa ditunjukkan ketika
mempelajari suatu materi/konsep berdasarkan hasil temuan
mereka sendiri (mencari, menemukan dan memahami materi/
konsep melalui investigasi yang dilakukan secara
berkelompok). Menurut Muchlis dalam Mariana
[7]pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung
dalam proses pembelajaran dan menemukan sendiri
pengetahuannya, akan memberikan pengetahuan jangka
panjang bagi siswa.
Siswa termotivasi dalam belajar ditunjukkan dari
partisipasi siswa dalam mengerjakan proyek (perencanaan
pengerjaan, investigasi permasalahan, pencapaian produk,
persentasi produk dan evaluasi), mengajukan pertanyaan
dan bersaing dalam menjawab pertanyaan siswa lain atau
guru serta mempresentasikan produk yang dicapai.Hasil
penelitian yang diperoleh sesuai dengan penelitian
Hutasuhut [4] yang menyatakan bahwa pembelajaran
berbasis proyek dapat membuat siswa menjadi aktif, kreatif,
mandiri, dan memberikan kebebasan otonom siswa untuk
menyelesaikan masalah melalui kerjasama dengan
kelompok atau individu. Penelitian Desak [8] juga
memberikan hasil bahwa pembelajaran berbasis proyek
dapat meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa.
Namun hasil penelitian yang diperoleh tersebut
tidak dapat digunakan sebagai acuan bahwa penerapan
model pembelajaran berbasis proyek memberikan pengaruh
yang lebih baik, sehingga dilakukan uji statistik lebih lanjut.
Berdasarkan hasil analisis data posttest dapat terdistribusi
normal dan tidak homogen, sehingga rumus uji-t yang
digunakan yaitu rumus separated varians. Hasil analisis
uji hipotesis (uji-t) diperoleh hasil bahwa model

beberapa faktor, diantaranya kesiapan belajar dan interaksi


antar siswa.
Kesiapan belajar siswa di kelas kontrol dan kelas
eksperimen sudah tampak dari pertemuan pertama, terbukti
dari adanya buku catatan siswa yang berisi rangkuman
materi pelajaran sistem periodik unsur secara lengkap dan
disertai contoh latihan soal, padahal materi sistem periodik
unsur baru akan dipelajari siswa pada pertemuan tersebut.
Kesiapan belajar ini ditunjukkan hampir dari sebagian
siswa di kelas kontrol maupun di kelas eksperimen. Hal ini
sesuai dengan pendapat Slameto [1], bahwa siswa yang
telah memiliki kesiapan dalam belajar maka hasil belajarnya
akan lebih baik.
Interakasi yang baik dapat terlihat pada masingmasing siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hal
ini ditunjukkan pada saat siswa melakukan diskusi
kelompok maupun diskusi kelas, siswa terlihat sangat aktif
menjawab dan mengajukan pertanyaan, mempertahankan
pendapat, serta berusaha memberikan hasil akhir/produk
yang lebih baik dari siswa atau kelompok lain. Interaksi
seperti ini dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Slameto [1]
yang menyatakan bahwa interaksi yang baik antar siswa
dapat memberikan pengaruh yang postif terhadap hasil
belajar siswa.

pembelajaran berbasis proyek tidak memberikan pengaruh


yang lebih baikterhadap hasil belajar siswa materi pokok
sistem periodik unsur kelas X SMA Negeri 1Mataram
Tahun Ajaran 2013/2014. Hal tersebut dipengaruhi
70

Berdasarkan gambar 1 terdapat perbedaan


perolehan skor untuk deskriptor 2, 9, dan 10 pada kelas
kontrol dan eksperimen. Skor kerjasama siswa kelas

Data Hasil Observasi Kerjasama


Hasil analisis lembar observasi kerjasama siswa
menunjukka bahwa tidak terdapat perbedaan kerjasama
siswa pada kelas kontrol yang menggunakan model
pembelajaran konvensional dengan kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran berbasis proyek.
Kerjasama siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen
memiliki kriteria kerjasama yang sama yaitu sangat tinggi.
Skor kerjasama siswa tiap deskriptor di kelas kontrol dan
kelas eksperimen pada pertemuan pertama dan kedua
disajikan pada gambar 1 dan gambar 2.

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek.... (Nurwahidah, Yayuk Andayani, I Nyoman Loka)
eksperimen lebih rendah dibandingkan kelas kontrol pada
deskriptor 2 disebabkan beberapa kelompok belajar dalam
kelas eksperimen masih melakukan penyesuaian terhadap
model pembelajaran yang diterapkan. Skor kerjasama siswa
di kelas eksperimen lebih rendah dibandingkan kelas
kontrol pada deskriptor 9 disebabkan beberapa kelompok
belajar dalam kelas eksperimen masih canggung berdiskusi
dengan model pembelajaran yang diterapkan. Skor
kerjasama siswa di kelas kontrol lebih rendah dibandingkan
kelas eksperimen untuk deskriptor 10 disebabkan karena
beberapa siswa pada kelas kontrol merasa telah memiliki
pemahaman yang lebih terhadap materi/konsep yang
diajarkan, sehingga ketika siswa menyampaikan hasil/
jawaban dari tugas yang diberikan, siswa yang lain kurang
memperdulikan hasil/jawaban tersebut.

dengan skor yang diperoleh pada pertemuan pertama, hal


ini menandakan bahwa tidak ada perubahan sikap
kerjasama siswa pada deskriptor 10, disebabkan beberapa
siswa pada kelas kontrol merasa telah memiliki pemahaman
yang lebih terhadap materi/konsep yang diajarkan.

Berdasarkan gambar 2 terdapat perbedaan


perolehan skor untuk deskriptor 3, 8, dan 10 pada kelas
eksperimen dan kontrol. Skor kerjasama siswa kelas
eksperimen lebih rendah dibandingkan kelas kontrol pada
deskriptor 3 disebabkan beberapa siswa dalam kelompok
belajar di kelas eksperimen memiliki persaingan untuk
menonjolkan kemampuan mereka sendiri, salah satunya
yaitu proyek yang seharusnya dikerjakan bersama-sama
justru dilakukan sendiri-sendiri oleh siswa sehingga
partisipasi siswa dalam mengerjakan proyek berkurang.
Hasil ini juga dikuatkan oleh deskriptor 8 yang memperoleh
skor 3 yaitu beberapa kelompok belajar dalam kelas
eksperimen kurang membantu sesama anggota yang
menghadapi kesulitan, hal ini dapat terjadi dikarenakan
adanya persaingan tersebut.
Skor kerjasama di kelas kontrol untuk deskriptor
8 pada pertemuan kedua memperoleh skor 3 disebabkan
beberapa siswa dalam kelas kontrol menganggap
penyampaian materi/konsep oleh guru dapat
mempermudah pemahaman dan membantu siswa
menjawab pertanyaan, sehingga ketika ada siswa yang
merasa kesulitan dalam menjawab pertanyaan maka siswa
yang lain kurang membantu dikarenakan adanya anggapan
tersebut. Skor kerjasama di kelas kontrol untuk deskriptor
10 juga memperoleh skor 3. Skor deskriptor 10 ini sama

Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan,
peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:
a.
Kepada mahasiswa (calon guru kimia) agar dapat
meneliti lebih lanjut dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis proyek pada materi pokok
yang lain.
b. Agar hasil belajar lebih maksimal perlu dilakukan
usaha lain dengan memperhatikan faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis
proyek tidak memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap hasil belajar kimiamateri pokok sistem periodik
unsur pada siswa kelas X SMAN 1 Mataram tahun ajaran
2013/2014.

5. DAFTAR PUSTAKA
[1] Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Rineka Cipta, Jakarta.
[2] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 2013. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
[3] Andri. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Proyek terhadap TingkatKerjasama Siswa dan
Hasil Belajar Siswa Kelas x TPM pada Mata

71

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 68 - 72


Pelajaran Menggambar di SMKN 1 Jetis
Mojokerto. JPTM. 1 (2): 27.
[4] Hutasuhut, Saidun. 2010. Implementasi Pembelajaran
Berbasis Proyek (ProjectBased Learning )
Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil
Belajar Mata Kuliah Pengantar Ekonomi
Pembangunan Pada Jurusan Manajemen Fe
Unimed. Pekbis Jurnal. 2 (1): 198-202.
[5] Nurnawati, Enis, Dwi Yulianti, Hadi Susanto. 2012.
Peningkatan Kerjasama Siswa SMP Melalui
Penerapan Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan Think Pair Share. Unnes Physics
Education Journal. 1 (1): 2.
[6] Direktorat Pembinaan SMA. 2010. Petunjuk Teknis
Penyusunan Perangkat Penilaian Afektif
SMA. Direktorat Pembinaan SMA.
[7] Mariana, Lilik. 2010. Pengaruh Penerapan Model
Pembelajaran InquiriMelalui Modul
Terhadap Aktivitas dan Prestasi Belajar
Kimia MateriPokok Minyak Bumi Siswa
Kelas X Semester 2 SMA Hangtuah 3
MataramTahun Pelajaran 2009/2010.
(Skripsi). Universitas Mataram.
[8] Desak, Ni Made Sri A. 2011. Pembelajaran Berbasis
Proyek untuk Meningkatkan Kreativitas dan
Hasil Belajar Tentang Hidangan Bali. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran. 44 (1-3): 53-54.

72

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 73 - 77


ISSN 1907-1744
HUBUNGAN IKLIM KELAS DAN SIKAP SISWA TERHADAP PELAJARAN KIMIA DENGAN PRESTASI
BELAJAR KIMIA SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI SE-KOTA MATARAM TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Siti Elsi Pritami1, Agus Abhi Purwoko2, Lalu Rudyat Telly Savalas2
1
Alumni Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram
2
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan: (a) iklim kelas dengan prestasi belajar siswa;
(b) sikap siswa terhadap pelajaran kimia dengan prestasi belajar siswa; (c)iklim kelas dan sikap siswa secara bersama
dengan prestasi belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram
yang berjumlah 1590 siswa, sedangkan sampelnya diambil dari 4 sekolah dengan proporsi sebesar 15% dari total siswa
kelas XI IPA. Teknik penentuan anggota sampel adalah multistage random sampling dan diperoleh sampel sebanyak
118 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik angket untuk data iklim kelas dan sikap belajar siswa,
sedangkan untuk data prestasi belajar siswa menggunakan teknik dokumentasi hasil ujian semester genap siswa tahun
pelajaran 2012/2013. Hasil analisi skorelasi tunggal pertama antara iklim kelas dengan prestasi belajar siswa diperoleh
thitung (2,66) >ttabel (1,66) pada taraf signifikansi 5%, artinya iklim kelas memiliki hubungan positif dan signifikan dengan
prestasi belajar siswa. Hasil analisis korelasi tunggal kedua antara sikap siswa terhadap pelajaran kimia dengan prestasi
belajar siswa diperoleh thitung (2,90) >ttabel (1,66) pada taraf signifikansi 5%, artinya sikap siswa terhadap pelajaran kimia
memiliki hubungan positif dan signifikan dengan prestasi belajar siswa. Hasil analisis korelasi ganda antara iklim kelas
dan sikap siswa secara bersama dengan prestasi belajar siswa diperoleh Fhitung (5,69) >Ftabel (3,08) pada taraf signifikansi
5%, artinya iklim kelas dan sikap siswa secara bersama memiliki hubungan positif dan signifikan dengan prestasi
belajar siswa.

Kata kunci: : Hubungan, Iklim Kelas, Sikap Siswa, Prestasi Belajar Siswa.

Abstract : This study aims to explore the relationship between: (a) classroom climate and students achievement;
(b) students attitude on learning chemistry and students achievement; (c) classroom climate and students attitude all
together and students achievement. The population are all the students of grade XI science program at state high
schools in Mataram that consist of 1590 students, while the sample was taken from 4 schools with the proportion of
15%from the total number of students in each school. This study employed multistage random sampling and it was
obtained 118 students as samples. Questioner technique was employed to collect the data of classroom climate and
students attitude while documentation technique was applied to gather the data of students achievement of the
second term examination result in academic year 2012/2013. Single corelation analysis between classroom climate and
students achievement resulted in a higher tobserved than ttable (2.66 and 1.66, respectively) at 5% significance level, which
means that classroom climate has a positive and significant corelation with students achievement. The next single
corelation analysis between students attitude in chemistry and students achievement revealed a higher tobserved than
ttable (2.90 and 1.66, respectively) at 5% significance level, which means that students attitude in chemistry has a
positive and significant corelation with students achievement. Finally, a double corelation analysis between classroom
climate and students attitude all together with students achievement resulted in Fobserved of 5.69 which is higher than
Ftable (3.08) at 5% significance level. It suggested that classroom climate and students attitude all together have
positive and significant corelation with students achievement.

Keywords : Corelation, Classroom climate, Students attitude, Students achievement.

1. PENDAHULUAN
Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa.Faktor-faktor tersebut secara global dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal [1]. Iklim kelas merupakan salah satu faktor
eksternal (lingkungan sekolah) yang mempengaruhi

prestasi belajar siswa. Kauchak dan Eggen [2] juga


menyatakan bahwa iklim kelas memiliki peran penting dalam
menciptakan suatu lingkungan yang dapat meningkatkan
motivasi belajar dan prestasi siswa. Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tarmidi dan Wulandari [3]
73

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 73 - 77


di SMU Negeri 1 Medan yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara iklim kelas dengan prestasi belajar siswa
(rxy = 0,20) dengan sumbangan efektif iklim kelas terhadap
prestasi belajar sebesar 4,00 %.
Salah satu faktor internal yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa adalah sikap belajar siswa [1]. Sikap
siswa terhadap pelajaran kimia merupakan kecenderungan
bertingkah laku siswa terhadap pelajaran kimia. Sikap siswa
terhadap pelajaran kimia yang positif mempengaruhi cara
belajar kimia, sehingga siswa akan lebih giat belajar dan
akhirnya akan lebih besar kemungkinan mendapatkan
prestasi belajar kimia yang baik. Sarifah [4] dalam
penelitiannya juga menyatakan bahwa terdapat korelasi
positif yang signifikan antara sikap siswa terhadap mata
pelajaran agama Islam dengan prestasi belajar (r xy= 0,73).
Berdasarkan hasil observasi awal di SMA Negeri
1 Mataram, SMA Negeri 3 Mataram dan SMA Negeri 6
Mataram serta hasil observasi selama PPL di SMA Negeri
7 Mataram dapat diketahui bahwa iklim kelas dan sikap
siswa terhadap pelajaran kimia dapat dikatakan bervariasi.
Untuk pembelajaran kimia dirasa kurang kondusif terlihat
dari banyaknya siswa yang kurang antusias dalam belajar,
tidak tertarik dan merasa bosan mengikuti pelajaran.
Kemudian untuk sikap siswa terhadap pelajaran kimia
bervariasi, namun sebagian siswa memiliki sikap terhadap
pelajaran kimia dalam kategori rendah yang terlihat dari
kurang antusiasnya siswa mengikuti pelajaran kimia, pasif
dalam kegiatan pembelajaran dan tidak memperhatikan saat
guru sedang menjelaskan materi pelajaran.
Sama halnya dengan sikap siswa terhadap
pelajaran kimia, prestasi belajar kimia siswa bervariasi ada
yang tinggi, sedang, dan rendah, hal ini terlihat pada data
hasil ujian tengah semester genap tahun pelajaran 2012/
2013 SMA Negeri 3 Mataram, SMA Negeri 6 Mataram dan

SMA Negeri 7 Mataram didapatkan sebagian siswa


memperoleh nilai dibawah kriteria keruntasan minimal
(KKM) dan sebagian kecil siswa mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) serta hanya sebagian kelas
yang memiliki ketuntasan klasikal diatas 50%.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan iklim kelas dan sikap siswa terhadap
pelajaran kimia dengan prestasi belajar kimia siswa kelas
XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
ex-post facto dengan rancangan penelitian deskriptif
korelasional dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
antara: (a) iklim kelas (X1) dengan prestasi belajar siswa
(Y); (b) sikap siswa terhadap pelajaran kimia (X2) dengan
prestasi belajar siswa (Y); (c) iklim kelas (X1) dan sikap
siswa (X2) secara bersama dengan prestasi belajar siswa
(Y). Desain hubungan antara ketiga variabel penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas
XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram yang berjumlah 8
SMA yaitu SMA Negeri 1 Mataram hingga SMA Negeri 8
Mataram yang berjumlah 1590 siswa. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah multistage random
sampling [5]. Pertama ditentukan empat SMA dari delapan
SMA yang dipilih secara random dengan asumsi bahwa
setiap SMA memiliki peluang yang sama untuk dipilih
sebagai sampel. SMA yang masuk sebagai sampel dalam
penelitian ini adalah SMA Negeri 1 Mataram, SMA Negeri
3 Mataram, SMA Negeri 6 Mataram dan SMA Negeri 7
Mataram. Kemudian dari empat SMA tersebut diambil
sampel sebesar 15 % dari keseluruhan siswa kelas XI IPA

r1

X1

Y
X2

r2

Gambar 1. Skema Hubungan Antarvariabel

74

X1

: Iklim kelas pembelajaran kimia.

X2

: Sikap siswa terhadap pelajaran kimia.

: Prestasi belajar kimia siswa.

r1

: Hubungan antara variabel X1 dengan variabel Y.

r2

: Hubungan antara variabel X2 dengan variabel Y.

: Hubungan secara bersama antara variabel X1 dan variabel X2 dengan variabel Y.

Hubungan Iklim Kelas Dan Sikap Siswa Terhadap.... (Siti Elsi P, Agus Abhi Purwoko, Lalu Rudyat Telly Savalas)
tiap-tiap SMA. Jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 118 siswa.
Variabel penelitian yang akan diukur dalam
penelitian ini ada tiga yaitu iklim kelas, sikap siswa
terhadap pelajaran kimia dan prestasi belajar siswa. Untuk
iklim kelas dan sikap siswa menggunakan instrumen
nontest berupa angket (questionnaire) sedangkan prestasi
belajar menggunakan data dokumentasi berupa nilai ujian
semester genap siswa yang didapat dari guru masingmasing sekolah.Angket iklim kelas pembelajaran kimia
dikembangkan dari tiga indikator yaitu kekompakan siswa
di dalam kelas, keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan
dukungan guru dalam pembelajaran [6]. Sedangkan angket
sikap siswa terhadap pelajaran kimia dikembangkan dari
enam indikator yaitu implikasi sosial, sikap terhadap
penemuan ilmiah, adopsi sikap ilmiah, kesenangan belajar
kimia, pengisian waktu senggang dan minat berkarir di
bidang kimia [7].
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pedoman konversi skala 5, iklim kelas
pembelajaran kimia siswa kelas XI IPA SMA Negeri seKota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013 berada pada
kategori tinggi yaitu sebesar 45,76%. Sedangkan sikap
siswa terhadap pelajaran kimia sebagian besar terletak pada
kategori tinggi yaitu sebesar 53,39% dan prestasi belajar
kimia siswa sebagian besar juga terletak pada kategori
tinggi yaitu sebesar 53,39%.
Korelasi menggambarkan keeratan hubungan
antara variabel X dan Y. Dengan mensubstitusikan antara
harga iklim kelas dan prestasi belajar kimia siswa pada
rumus korelasi product moment diperoleh nilai rhitung sebesar
0,24 dan untuk hubungan antara sikap siswa terhadap
pelajaran kimia dan prestasi belajar kimia siswa diperoleh
nilai rhitung sebesar 0,26 yang keduanya berada pada kategori
rendah. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi linier
sederhana untuk hubungan antara iklim kelas dengan
prestasi belajar kimia siswa dengan uji t diperoleh
thitungsebesar 2,66 sedangkan dengan taraf signifikansi 5%
dan dk = n-2 =116 diperoleh ttabel sebesar 1,66. Karena thitung>
ttabelmaka terdapat hubungan yang signifikan antara iklim
kelas dengan prestasi belajar kimia siswa kelas XI IPA SMA
Negeri se-Kota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013. Untuk
uji signifikansi koefisien korelasi linier sederhana untuk
hubungan antara sikap siswa terhadap pelajaran kimia
dengan prestasi belajar kimia siswa dengan uji t diperoleh
thitungsebesar 2,90 dengan taraf signifikansi 5% dan dk = n2 =116 diperoleh ttabelsebesar 1,66. Karena thitung> ttabelmaka
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa
terhadap pelajaran kimia dengan prestasi belajar kimia
siswa kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram Tahun
Pelajaran 2012/2013.
Dengan mensubstitusikan harga koefisien
korelasi antara masing-masing variabel pada rumus
korelasi berganda maka diperoleh koefisien korelasi ganda
(R) antara iklim kelas dan sikap siswa dengan prestasi
belajar sebesar 0,30. Untuk uji signifikansi korelasi
berganda digunakan rumus uji F dan diperoleh nilai
Fhitungsebesar 5,69. Pada taraf signifikansi 5% dengan N=118
diperoleh Ftabelsebesar 3,08, sehingga Fhitung> Ftabel. Hal ini

berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara


iklim kelas dan sikap siswa terhadap pelajaran kimia dengan
prestasi belajar kimia siswa kelas XI IPA SMA Negeri seKota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013.
Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui
bahwa iklim kelas pembelajaran kimia termasuk dalam
kategori tinggi, yaitu sebesar 45,76%. Hal ini menunjukkan
bahwa kekompakan siswa di dalam kelas, keterlibatan
siswa dalam pembelajaran kimia, dan dukungan guru dalam
pembelajaran kimia sudah cukup baik. Jika ditinjau dari
analisis masing-masing indikator iklim kelas hasilnya tidak
jauh berbeda dengan iklim kelas secara keseluruhan.
Indikator pertama yaitu kekompakan siswa di dalam kelas,
45,76% siswa memiliki kekompakan di dalam kelas dalam
kategori tinggi. Indikator selanjutnya yaitu keterlibatan
siswa dalam pembelajaran kimia, sebanyak 54,24% siswa
juga memiliki keterlibatan dalam pembelajaran kimia dalam
kategori tinggi. Dan indikator yang ketiga yaitu dukungan
guru dalam pembelajaran kimia. Sebanyak 32,20%
dukungan guru termasuk dalam kategori tinggi dan sangat
tinggi.
Demikian halnya dengan sikap siswa terhadap
pelajaran kimia, sebagian besar siswa memiliki sikap
terhadap pelajaran kimia dalam kategori tinggi yaitu sebesar
53,39%. Seperti yang diketahui bahwa sikap seseorang
terhadap suatu obyek cenderung berbeda dan banyak
aspek-aspek yang mempengaruhinya baik dari dalam diri
orang tersebut maupun dari luar. Begitu juga halnya
dengan sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran salah
satunya akan dipengaruhi oleh kesenangan dalam
mempelajari pelajaran tersebut dan masih banyak faktor
lainnya. Sehingga berdasarkan hasil analisis data hanya
sebagian siswa yang memiliki sikap terhadap pelajaran
kimia dalam kategori tinggi.
Hasil analisis masing-masing indikator sikap siswa
menunjukkan bahwa indikator pertama yaitu implikasi
sosial 49,15% termasuk dalam kategori tinggi, hal ini
menunjukkan bahwa sebagian siswa memiliki pandangan
yang positif terhadap kimia salah satunya ilmu kimia
memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Indikator kedua yaitu sikap terhadap penemuan ilmiah,
sebagian siswa memiliki sikap terhadap penemuan ilmiah
dalam kategori sedang dan tinggi yaitu sebesar 35,59%
dan 33,05%. Indikator yang ketiga yaitu adopsi sikap
ilmiah, sebagian siswa mengadopsi sikap ilmiah dalam
kategori tinggi yaitu sebanyak 50,85% siswa. Indikator
selanjutnya yaitu kesenangan belajar kimia, sebagian
siswa memiliki kesenangan belajar kimia dalam kategori
tinggi yaitu 38,14% siswa, hal ini menunjukkan bahwa
sebagian siswa memiliki perasaan yang positif terhadap
pelajaran kimia yang ditunjukkan dari perasaan senang
ketika mempelajari kimia. Indikator kelima yaitu pengisian
waktu senggang termasuk dalam kategori sedang dan
tinggi yaitu sebesar 44,07% dan 41,53%, artinya sebagian
siswa mengisi waktu senggang dengan hal-hal yang
berkaitan dengan kimia. Dan indikator keenam yaitu minat
berkarir di bidang kimia, minat siswa berkarir dibidang kimia
termasuk dalam kategori sedang dan tinggi yaitu sebesar
39,83%.

75

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 73 - 77


Sama halnya dengan iklim kelas dan sikap siswa
terhadap pelajaran kimia, prestasi belajar siswa juga
termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 53,39%. Hal
ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang searah
antara iklim kelas, sikap siswa dan prestasi belajar. Dimana
ketika iklim kelas dikatakan baik maka sikap siswa juga
akan tinggi dan akan berimplikasi pada peningkatan
prestasi belajar siswa.
Berdasarkan hasil analisis data, tingkat hubungan
iklim kelas dengan prestasi belajar termasuk dalam kategori
rendah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,24. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara iklim
kelas dengan prestasi belajar namun sangat lemah, artinya
iklim kelas tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap
peningkatan prestasi belajar siswa. Hal ini disebabkan
karena masih banyak faktor-faktor lain yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa yang secara global
digolongkan menjadi dua yaitu faktor eksternal dan
internal, dimana faktor internal terdiri dari faktor fisiologis
dan psikologis sedangkan yang tergolong faktor eksternal
yaitu lingkungan fisik [1]. Hasil ini berbeda dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Tarmidi [8] bahwa
proses belajar mengajar erat sekali kaitannya dengan
lingkungan atau suasana dimana proses itu berlangsung,
sehingga prestasi belajar peserta didik ditentukan oleh
kualitas iklim kelas di mana mereka belajar, dan prestasi
belajar dapat ditingkatkan dengan menciptakan iklim kelas
yang kondusif.
Sedangkan untuk tingkat hubungan antara sikap
siswa terhadap pelajaran kimia dengan prestasi belajar kimia
juga termasuk dalam kategori rendah dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,26. Dalam hal ini memang terdapat
hubungan antara sikap siswa dengan prestasi belajar
namun kekuatan hubungannya sangat lemah, artinya sikap
siswa tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap
peningkatan prestasi belajar siswa. Hasil ini sedikit berbeda
dengan hasil penelitian Sarifah [4] yang menyatakan
bahwa terdapat korelasi yang positif antara sikap siswa
dengan prestasi belajar siswa dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,73 yang berarti tingkat hubungan sikap
siswa dengan prestasi belajar tinggi. Namun pada
penelitian Sarifah [4] ini mengukur sikap siswa terhadap
pelajaran agama Islam, yang berarti sikap siswa terhadap
masing-masing mata pelajaran berbeda-beda.
Untuk tingkat hubungan secara bersama-sama
antara iklim kelas dan sikap siswa dengan prestasi belajar
siswa juga termasuk dalam kategori rendah dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara iklim kelas dan sikap
siswa dengan prestasi belajar siswa namun kekuatan
hubungannya sangat lemah. Sama halnya dengan hasil
penelitian Limpo dkk [9] yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan
kelas dengan sikap siswa (r=0,359) dengan sumbangan
efektif lingkungan kelas terhadap sikap belajar siswa
sebesar 12,9%.
Berdasarkan hasil analisis korelasi tunggal
pertama didapatkan bahwa terdapat hubungan yang positif
dan signifikan antara iklim kelas dengan prestasi belajar
kimia siswa kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram
76

Tahun Pelajaran 2012/2013. Hal ini terlihat dari hasil analisis


data yaitu thitung (2,66) > ttabel (1,66). Hasil ini juga sesuai
dengan hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa
ketika iklim kelas tinggi maka prestasi belajar siswa juga
tinggi. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh Tarmidi dan Wulandari [3] menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara iklim kelas dengan
prestasi belajar siswa (rxy = 0,20) dengan sumbangan efektif
iklim kelas terhadap prestasi belajar sebesar 4,00 %.
Dari hasil analisis korelasi tunggal kedua
didapatkan bahwa thitung (2,90) > ttabel (1,66) sehingga terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara sikap siswa
dengan prestasi belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri
se-Kota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013. Terdapatnya
hubungan yang positif dan signifikan antara sikap siswa
dengan prestasi belajar ini sesuai dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Suryabrata [10], bahwa sikap positif
terhadap mata pelajaran tertentu akan mendorong siswa
untuk mempelajarinya, sehingga berpengaruh terhadap
prestasi belajar. Sedangkan sikap negatif akan menjadi kan
siswa enggan untuk mempelajarinya dan akan berdampak
pada rendahnya prestasi belajar.
Untuk hasil analisis korelasi ganda didapatkan
bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara iklim kelas dan sikap siswa terhadap pelajaran kimia
secara bersama-sama dengan prestasi belajar kimia siswa
kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram Tahun
Pelajaran 2012/2013, yang terlihat dari hasil analisis data
yaitu Fhitung (5,69) > Ftabel (3,08). Hal ini menunjukkan bahwa
iklim kelas dan sikap siswa secara bersama-sama memiliki
hubungan yang positif dan signifikan dengan prestasi
belajar siswa.Artinya jika iklim kelas dirasa kondusif maka
siswa akan memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran
kimia dan hal ini akan berimplikasi pada peningkatan
prestasi belajar siswa.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara iklim kelas
dengan prestasi belajar, sikap siswa dengan prestasi
belajar, serta iklim kelas dan sikap siswa secara bersamasama dengan prestasi belajar. Dengan nilai koefisien
korelasi masing-masing hubungan sebesar 0,24, 0,26, dan
0,30. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Slameto. 2010. Belajar & Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
[2] Puspitasari, D. B. 2012. Hubungan antara Persepsi
terhadap Iklim Kelas dengan Motivasi
Belajar Siswa SMP Negeri 1 Bancak. Jurnal
Empathy, 1 (1). (online): http://
journal.uad.ac.id/index.php/EMPATHY/
article/download/1413/797. Diakses tanggal 18
Januari 2013.
[3] Tarmidi dan Lita H. Wulandari. 2005. Prestasi Belajar
Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Iklim

Hubungan Iklim Kelas Dan Sikap Siswa Terhadap.... (Siti Elsi P, Agus Abhi Purwoko, Lalu Rudyat Telly Savalas)
Kelas pada Siswa yang Mengikuti Program
PercepatanBelajar. JurnalPsikologia, 1 (1).
(online): http://repository.usu.ac.id/handle/
123456789/15707. Diakses tanggal 14 Februari
2013.
[4] Sarifah, I. 2008. Korelasi Antara Sikap Siswa terhadap
Pembelajaran PAI Dengan Prestasi Belajar
PAI Siswa Kelas XII SMA Negeri Rowokele
Kebumen. Skripsi S1. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. (online): http://
digilib.uin-suka.ac.id/1035/. Diakses tanggal
15 Maret 2013.
[5] Cozby, P. C. 2009. Method in Behavioral Research
Edisi Kesembilan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[6] Widoyoko, E. P. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[7] Mardiyanti, H.S. 2012. Perbedaan Keterampilan
Berpikir Kritis melalui Penerapan Strategi
Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok dan
Tipe NHT Ditinjau dari Sikap Siswa terhadap
Biologi. Tesis S2. Universitas Mataram.
[8]Tarmidi. 2006. Iklim Kelas dan Prestasi Belajar. Medan:
USU Repository. (online): http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
1928/3/06010310.pdf.txt. Diakses tanggal 14
Februari 2013.
[9] Limpo, J. N., Oetomo, H., dan Suprapto, M. H. 2013.
Pengaruh Lingkungan Kelas terhadap
Sikap Siswa untuk Pelajaran Matematika.
Jurnal Humanitas, 10 (1). (online): http://
w ww. j ou r n a l . u a d . a c . i d / i n d e x . p h p /
HUMANITAS/article/download/1458/825.
Diakses tanggal 18 Januari 2013.
[10] Suryabrata, S. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

77

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 78 - 83


ISSN 1907-1744
ANALISIS SOAL-SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL (OSN) SMA/MA BIDANG KIMIA TAHUN 2012 DAN
2013 BERDASARKAN DIMENSI PROSES KOGNITIF DAN PENGETAHUAN

Tita Sunggarani1, Euis Nursaadah1, Yunita1


1

Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: sunggaraniFz@gmail.com

Abstrak : Ilmu kimia sebagai ilmu yang berdasarkan pada penelitian (induktif), yang seharusnya mampu
menyajikan soal yang menantang dan tersebar dalam enam level kognitif, hanya saja kondisi sebenarnya soal-soal
kimia masih dibuat tradisional dengan berada pada level kognitif rendah. Soal olimpiade sebagai ajang kompetisi
nasional siswa-siswa berprestasi di Indonesia pun belum diketahui level kognitif yang terkandung di dalamnya. Maka
tujuan penelitian ini yakni, mendeskripsikan komposisi penyebaran soal terhadap tabel Taksonomi Bloom revisi,
mendeskripsikan perbandingan soal OSN dan IChO (International Chemistry Olympiad) pada materi yang sama, dan
memetakan soal-soal tersebut terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA/MA. Hasil analisis menunjukkan
bahwa pada tahun 2012 tersebar pada prosedural-mengaplikasikan dan konseptual-memahami. Pada tahun 2013 tersebar
pada dimensi prosedural-mengaplikasikan dan faktual-memahami. Berdasarkan konten materi dalam satu soal IChO
menuntut siswa dapat menemukan keterkaitan suatu materi dengan materi lainnya guna menyelesaikan soal tersebut
sedangkan OSN tidak, tetapi keduanya memiliki dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif yang tidak terlalu
berbeda yakni pada lingkup prosedural-mengaplikasikan dan prosedural-menganalisis. Hasil pemetaan terhadap SKKD SMA/MA menunjukkan sebesar setengah dari jumlah ksesluruhan soal dapat dipetakan. Adanya analisis ini
diharapkan menjadi masukan bagi guru untuk memberikan penguatan konsep kimia pada pembelajaran, agar siswa
mampu mengerjakan berbagai macam soal, salah satunya soal OSN. Penelitian ini masih terbatas pada tahun 2012 dan
2013, sehingga dapat dikembangkan analisis untuk tahun-tahun lainnya.
Kata kunci: : Analisis, Taksonomi Bloom revisi, Dimensi Pengetahuan, Dimensi Proses Kognitif

Abstract : Chemistry as a science that is based on research (inductive), which is supposed to be able to
present a challenging problem and scattered in six cognitive levels, its just that the actual conditions of chemical
problems are still made traditionally with low cognitive level. Olympics as a matter of national competition top
students in Indonesia is not yet known cognitive level contained therein. So the purpose of this study, describing the
composition of matter of the spread of the revised Blooms Taxonomy tables, describing the comparison about OSN
and IChO (International Chemistry Olympiad) on the same material, and to map these problems to the standards of
competence and basic competences SMA/MA. The analysis showed that in 2012 spread over-apply procedural and
conceptual understanding. In 2013 spread to the dimension-apply procedural and factual-understand. Based on the
content of the material in a matter of IChO requires students to be able to find a material relationship with the other
materials in order to resolve these problems while OSN does not, but both have dimensions of knowledge and
cognitive process dimensions are not too different from that in the scope of procedural-procedural-applying and
analyzing. The results of the mapping of the SK-KD SMA / MA shows only half the number of ksesluruhan matter can
be mapped. The existence of this analysis are expected to be the input for the teacher to provide reinforcement in
learning chemistry concepts, so that students are able to do a variety of problems, one of which is a matter of OSN.
This study was limited in 2012 and 2013, so that the analysis can be developed for other years.
Keywords : Analysis, revised Blooms Taxonomy, Knowledge Dimension, The Cognitive Process Dimension
1. PENDAHULUAN
Ilmu kimia merupakan ilmu yang dikembangkan
berdasarkan penelitian (induktif), ilmu yang dapat
menjabarkan fenomena-fenomena alam dan penjelasannya
berhubungan dengan stuktur, sifat, komposisi, dinamika,
78

energi, dan lainnya [1]. Dijelaskan oleh Atjenon [2], soalsoal yang diujikan khususnya pada materi kimia harusnya
bersifat menantang dan mampu memisahkan siswa-siswa
kedalam suatu kelompok tinggi atau rendah, sehingga

Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
sebaiknya soal mampu tersebar pada enam jenjang dimensi
proses kognitif. Tetapi pada kenyataannya, di lapangan
dunia pendidikan kimia kebanyakan soal berada pada
kelompok LOCS (Lower-Order Cognitive Skills) atau
kelompok rendah [3].
Penelitian yang telah dilakukan oleh Satrisman
[4] menunjukkan soal level ujian nasional kimia pada tahun
2013 menempati presentasi terbanyak pada kelompok
kognitif rendah, sedangkan ujian nasional di Finland
persentasi terbanyak ditempati oleh level kognitif tinggi
[5]. Penelitian lain di bidang soal olimpiade rumpun IPA
seperti IPhO (International Physic Olympad)
menunjukkan kebanyak soal berada pada perhitungan
matematik yang berhubungan dengan pengetahuhan
prosedural [6]. Penelitian lainnya seperti pada soal
matematika PISA (Programme for International Student
Assessment) menunjukkan pemecahan soal yang tidak
familiar perlunya penalaran dan berhubungan dengan
pengetahuan konseptual juga pengetahuan prosedural
yang menuntut siswa berpikir dengan fleksibel, memikirkan
jawaban dari setiap langkah dan tidak bergantung pada
pemikiran awal saja [7].
Sebagai salah satu program penyaringan siswa
yang akan dikutsertakan dalam kompetisi internasional,
maka soal-soal yang diujikan dalam Olimpiade Sains
Nasional, menjadi point yang penting, mengingat level
soal secara nasional (Ujian Nasional) yang dibuat oleh
Indonesia seringnya berada pada level kognitif kelompok
rendah. Selain itu, dalam OSN ini pada setiap tahunnya
tidak dicantumkan nama dari pembuat soal, juga tidak
terdapatnya situs resmi yang bisa mengakses segala hal
mengenai soal olimpiade tersebut, maka perlunya analisis
terhadap soal-soal yang disajikan dalam olimpiade sains
nasional ini. Pengelompokkan soal terhadap kognitif tinggi
dan rendah dapat ditunjukkan pada analisis Taksonomi
Bloom revisi [5], mengingat Taksonomi ini satu-satunya
yang digunakan di Indonesia dan memilliki tingkat
kepsefisikan yang baik dengan adanya dimensi proses
kognitif dan pengetahuan.

Tujuan Berdasarkan beberapa hasil tersebut,


penelitian ini bertujuan menganalisis soal-soal OSN
(Olimpiade Sains Nasional) bidang kimia berdasarkan
Taksonomi Bloom revisi, mendeskripsikan
perbandingannya dengan soal IChO (Intermational
Chemistry Olympiad, dan mengelompokkan soal terhadap
SK-KD SMA/MA.
2. TINJAUAN TEORITIS
Berdasarkan delapan jenis konsep kimia [8],
beberapa topik soal-soal olimpide dapat dikelompokkan
kedalamnya. Stoikiometri termasuk ke dalam jenis konsep
berdasarkan prinsip karena mengandung pemahaman
mengenai konsep mol, juga dapat mengandung konsep
yang menyatakan ukuran atribut karena mengandung
konsep seperti molaritas. Senyawa organik termasuk ke
dalam konsep berdasarkan abstrak contoh konkrit. Konsep
kesetimbangan kimia merupakan jenis konsep prinsip dan
konsep menyatakan simbolik. Termodinamika merupakan
jenis konsep prinsip, tetapi mengandung pula jenis konsep
yang menyatakan simbolik. Asam-basa termasuk ke dalam
konsep abstrak contoh konkrit, karena di dalamnya
terkandung konsep mengenai kuat lemahnya suatu asam
yang tidak terlihat secara langsung mengenai disosiasinya
tetapi contohnya nyata. Kimia inti dan radiokimia dapat
dikelompokkan ke dalam jenis konsep menyatakan abstrak
yang di dalamnya terkadung konsep seperti penembakan
unsur oleh unsur lain yang tidak dapat dilihat secara
langsung, selain itu juga mengandung konsep yang
menyatakan simbolik karena mengandung rumusan
perhitungan kimia seperti waktu paruh dan lainnya.
Pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl telah
melakukan revisi pada Taksonomi Bloom yang telah sekian
lama digunakan di dunia pendidikan [9]. Hasil revisi ini
adanya dua dimensi untuk menjelaskan suatu tujuan
instruksional atau indikator, yakni dimensi proses kognitif
sebagai kata kerja dan dimensi pengetahuan sebagai kata
benda.

Gambar.1 Kombinasi dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif [10]

79

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 78 - 83


Dimensi proses kognitif terdiri dari enam jenjang,
yakni mengingat, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Aplikasi dari
Taksonomi Bloom revisi pada bidang kimia dijelaskan oleh
Kratwohl [11]. Dimensi pengetahuan faktual ialah
pengetahuan mengenai terminologi, contoh dalam studi
kimia seperti simbol kimia, nama ilmuwan kimia, dll.
Pengetahuan Konseptual adalah pengetahuan mengenai
prinsip suatu teori berkenaan dengan generalisasi,
contohnya teori atom atau prinsip Le Chatelier.
Pengetahun prosedural ialah teknik, metode,
kemampuan penggunaan prosedur yang tepat, algoritma,
contoh dalam studi kimia seperti kemampuan dalam
praktikum, penggunan perhitungan matematik dalam kasus
kimia dan lain-lain. Pengetahuan metakognitif yakni
pengetahuan tentang kognisi keadaan seseorang dalam
menyelesaikan masalah, biasanya pengetahuan ini akan
lebih nampak dalam kemampuan psikomotor.
Tabel.1 menunjukkan kompleksitas meningkatkat
dari kiri ke kanan pada dimensi kognitif, dan pada dimensi
pengetahuan menunjukkan dimulai dengan pengetahuan
konkrit (factual) hingga abstrak (metacognitive) [5].

analisis konten. Metode ini dimaksudkan untuk


mengetahui konten dimensi proses kognitif dan
pengetahuan yang terdapat pada soal. Teknik yang
dilakukan yakni, melakukan penyelesaian tahapan soal
kemudian menganalisis dan mengkategorikannya terhadap
kedua dimensi tersebut. Analisis juga dilakukan pada
penyajian soal berhubungan dengan konten baik wacana
soal. Hasil analisis di validasi oleh lima dosen ahli pada
materi yang berkaitan dengan soal. Hasil validasi dihitung
menggunakan CVR (Rasio Validitas Konten) dan CVI
(Indeks Validitas Konten).
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian
besar dari soal-soal OSN tahun 2012 dan 2013 sebanyak
77 soal terdapat pada dimensi proses kognitif
mengaplikasikan dan dimensi pengetahuan prosedural.
Soal ini terdiri dari beberapa materi kimia diantaranya,
stoikiometri, kinetika reaksi, kesetimbangan kimia, senyawa
organik, termodinamika, senyawa koordinasi/kompleks,
kimia inti, dan reaksi redoks. Hasil validasi yang dilakukan
oleh lima validator menunjukkan semua komponen memiliki
nilai CVR dari rentang 0,6-0,99 dan niai CVI memiliki rentang
dari 0,86-0,99 .

3. METODE PENELITIAN
Soal yang dianalisis pada tahun 2012 berjumlah
33 soal uraian dan pada tahun 2013 berjumlah 44 soal
uraian dengan penyajian wacana pada setiap pokok soal.
Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif dengan jenis

Pada Taksonomi Bloom revisi dikenal adanya


tabel Taksonomi (gabungan dari dimensi proses kognitif
dan pengetahuan) yang berfungsi untuk menentukkan
susunan indikator. Hasil penyebaran soal pada tahun 2012
disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Taksonomi Bloom Revisi menurut Anderson dan Krathwohl [9]

Tabel.2 Penyebaran soal Tahun 2012 dan 2013 pada tabel Taksonomi

80

Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
Soal untuk dimensi mengaplikasikan (C3)prosedural ditunjukkan pada soal perhitungan persen
massa komposisi suatu alloy. Penggunaan rumusan
konsep stoikiometri dengan pengerjaan yang bertahap
merupakan dimensi proses kognitif mengaplikasikan dan
penerapan perhitungan matematik dalam menyelesaikan
soal kimia dikategorikan kedalam dimensi pengetahuan
prosedural. Soal berdimensi kognitif mengaplikasikan (C3)konseptual ditunjukkan pada soal penentuan suatu jenis
senyawa hidrat yang di paparkan tiga kemungkinan jenis
senyawa tersebut. Pada soal ini siswa diminta menyarankan
uji untuk menentukkan kandungan senyawa, maka siswa
perlu mengaplikasikan konsep penelitian/fenomena atau
teori untuk menentukkan uji yang paling efektif. Pola soal
mengaplikasikan(C3)-mengimplementasikan yang
ditunjukkan pada OSN ini yakni penerapan terhadap
rumusan pengerjaan matematik, berkenaan subtitusi data
terhadap data lain, dan mengaplikasikan-melaksanakan
ditunjukkan pada penerapan prinsip-prinsip kimia seperti
penulisan persamaan reaksi.
Komposisi terbanyak kedua yakni soal-soal
berdimensi proses kognitif menganalisis. Dimensi ini
melibatkan proses memecah materi menjadi bagian kecil
(membedakan) dan menentukan hubungan antara setiap
bagian tersebut (mengorganisasi) [9]. Beberapa soal
diantaranya memerlukan proses identifikasi elemen-elemen
atau situasi agar siswa dapat menentukan struktur yang
koheren dan menyelesaikan masalah, kategori ini yang
disebut dengan mengorganisasi. Soal berdimensi
menganalisis (C4)-prosedural ditunjukkan pada soal
perhitungan konsentrasi awal senyawa dengan prinsip
kesetimbangan kimia. Analisis dilakukan pada
pengorganisasian data senyawa tersebut agar dapat
disusun langkah prosedural yang tepat guna
menyelesaikan masalah tersebut. Soal berdimensi kognitif
menganalisis (C4)-konseptual ditunjukkan pada soal
dengan materi subtitusi benzena, dalam hal ini perlunya
analisis terhadap subtituen yang terkandung di dalamnya
dan juga memerhatikan subtituen kedua yang akan masuk.
Prinsip mengenai gugus prioritas pada materi ini merupakan
pengetahuan konseptual.
Kategori dimensi kognitif memahami ini memiliki
subkategori yang lain, yakni menafsirkan, mencontohkan,
mengklasifikan, merangkum, dan menyimpulkan.
Kebanyakan dari soal ini termasuk kategori menafsirkan
yang menuntut siswa untuk pengubahan dari grafik
menjadi tulisan, atau dari tulisan menjadi sebuah bahasa
simbol. Soal berdimensi memahami (C2)-faktual di
tunjukkan pada soal dengan materi kimia inti.
Dikelompokkan ke dalam dimensi ini, karena soal telah
menyebutkan nama unsur yang bereaksi, sehingga siswa
hanya perlu menuliskan lambang simbol dari unsur tersebut
tetapi juga perlunya memahami prinsip persamaan reaksi
pada kimia inti yakni jumlah massa atom dan jumlah proton
pada reaktan dengan produk haruslah sama, sehingga
persamaan reaksi dapat dituliskan secara setara. Soal
berdimensi mehamami (C2)-konseptual ditunjukkan pada
soal materi energi pengaktifan. Pada soal disajikan

persamaan reaksi yang diminta untuk diubah ke dalam


bentuk grafik.
Pengetahuan prosedural menjadi dimensi paling
dominan karena kebanyakan dari soal-soal olimpiade
tersebut menuntut siswa menyelesaikan masalah dengan
menggunakan perhitungan matematik dalam kuantitatif
kimia [11]. Menurut hasil penelitian yang dikemukakan oleh
Eisankraft dan Kotlicki [6], menyatakan kebanyakan soal
olimpiade, khususnya bidang fisika (IPhO) berkaitan
dengan fungsi trigonometri yang merupakan perhitungan
matematik, dan hal ini pun ini terlihat pada hasil analisis
soal olimpiade bidang kimia, yang menjadi satu rumpun
dengan fisika (IPA). Kondisi ini dipengaruhi silabus dari
olimpiade tersendiri. Ciri-ciri pengetahuan prosedural
dalam kimia terdiri dari kemampuan dalam praktikum,
investigasi metode kimia dan operasi matematik dalam
kuantitatif kimia, tetapi dalam soal-soal ini pengetahuan
prosedural hanya dtunjukkan pada terdapat pada
keterampilan dalam algoritme saja. Pola soal pada
pengetahuan prosedural ditunjukkan pada pengetahuan
tentang klasifikasi kategori dan pengetahuan mengenai
prinsip generalisasi, sedangkan untuk pengetahuan
mengenai teori, model dan struktur yang mecakup berbagai
paradigm, epistemologi, teori dan model untuk
mendeskripsikan suatu fenomena tidak banyak
dimunculkan. Hubungan antara disiplin ilmu kimia dengan
suatu fenomena hanya terdapat pada beberapa soal saja
dan hal ini menjadi salah satu kelemahan dari soal OSN.
Dimensi paling banyak ditempati oleh
mengaplikasikan. Kondisi ini dapat dijelaskan oleh silabus
OSN yang kebanyakan berisikan materi-materi
berkarakteristik konsep prinsip atau menyatakan simbol
atau ukuran atribut, sehingga soal yang muncul lebih
berkaitan dengan prosedural perhitungan kimia. Tujuan
dari pemberian soal penerapan dengan jumlah yang
banyak bisa saja dikarenakan kognitif mengaplikasikan
lebih menuntut siswa untuk berpikir dan terbiasa
menyelesaikan soal dengan tahapan (pengetahuan
prosedural) dan pemilihan rumusan kimia (Higher-Order
Cognitive Skills), dibandingkan hanya meretensi konsep
kimia (Lower-Order Cognitive Skills). Kelemahan pada
soal ini tidak ditemukannya kognitif mengevaluasi dan
mencipta dan pengetahuan metakognitif. Dimensi
pengetahuan ini lebih berhubungan dengan kemampuan
psikomotor seperti pada kerja praktik.
Pengelompokkan terhadap dimensi ini
berdasarkan tahapan penyelesaian soal yang dilakukan,
walaupun kompleksitas kognitif sebenarnya dipengaruhi
oleh kondisi siswa ketika menjawab soal [11], tetapi
penelitian ini tidak dapat mencakup hingga keadaan
tersebut. Perbandingan pada soal OSN dan IChO
dilakukan pada empat materi yang sama, yakni
kesetimbangan kimia, termodinamika, stoikiometri dan
senyawa organik. Jenis soal yang digunakan pada
keduanya sama, yakni menggunakan uraian objektif
dengan pemberian wacana yang berhubungan dengan
konten materi. Dimensi proses kognitif pada keduanya
berada pada cakupan mengaplikasikan (C3)-menganalisis

81

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 78 - 83


(C4). Dimensi pengetahuan pada keduanya yakni
pengetahuan prosedural.
Konten materi yang diberikan pada IChO lebih
luas dibandingkan dengan soal OSN. Hasil analisis
menunjukkan bahwa cara penyajian konten materi pada
satu soal IChO memiliki keterhubungan dari satu materi
dengan materi yang lain. Contohnya, pada soal
kesetimbangan kimia, diberikan data mengenai absorbansi
senyawa yang terlibat dalam kesetimbangan, pertanyaan
yang diajukan ialah konsentrasi dari senyawa tersebut,
dalam hal ini terlihat adanya hubungan yang dibentuk dari
dua materi kimia dalam penyelesaian satu soal.
Pada analisis wacana untuk kedua olimpiade
dengan materi yang sama menunjukkan pada materi
kesetimbangan kimia, termokimia, laju reaksi, ikatan kimia,
dihadirkan kasus soal dengan cakupan masalah yang
berhubungan dengan penerapan dalam kehidupan seharihari dan penjelasan keberadaan alam menggunakkan ilmu
kimia. Berbeda pada materi reaksi redoks dan sistem
periodik unsur, pada soal IChO seperti halnya wacana
dengan contoh kasus untuk dijelaskan, tetapi pada soal
OSN terdapat wacana yang merupakan pengertian dari
konsep tersebut. Hal ini menunjukkan suatu kelemahan
soal olimpiade sains nasional yang terdapat di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan dalam pedoman penulisan soal
uraian [12], stimulus yang terdapat pada soal merupakan
contoh kasus, grafik, tabel, dll, tetapi pengertian dari
konsep merupakan suatu wacana yang tidak diperlukan.
Perbedaan yang terjadi pada soal kedua jenis
olimpiade ini dikarenakan silabus keduanya yang memiliki
perbedaan. Terlebih untuk olimpiade-olimpiade
internasional, konten materi soal yang muncul juga
disesuaikan dengan karakteristik negara tempat
penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Hasil penyebaran menunjukkan hampir dari
setengah soal OSN pada tahun 2012 dan 2013 tidak memiliki
kompetensi dasar yang sesuai. Hal ini terjadi karena konten
materi soal olimpiade lebih tinggi dibandingkan dengan
jenjang sederajatnya.

Arah olimpiade memiliki silabus tersendiri dan


juga kurikulum pendidikan di Indonesia bertujuan pada
ujian nasional bukan pada ajang olimpiade semacam ini,
kurikulum pun disesuaikan dengan keberagaman kondisi
masyarakat di Indonesia serta pemerataan pendidikan
yang belum berhasil, sehingga pendidikan formal di sekolah
nampaknya tidak cukup untuk menghantarkan siswa ke
ajang seperti OSN dan IChO, maka guru baiknya dapat
memberikan kedalaman materi dalam setiap pembelajaran
beserta latihan soal sejenis soal olimpiade atau siswa
mendapatkan pembelajaran tambahan selain di sekolah
guna meraih kompetisi ini.
Berbeda dengan pemetaan ujian nasional yang
telah memiliki standar kelulusan sehingga soal yang
disajikan akan sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah ditetapkan, sehingga
perbedaan konten materi pun jelas terlihat pada kedua
jenis soal ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Satrisman [4] menunjukkan analisis terhadap soal ujian
nasional, terdapat satu kompetensi dasar tercantum pada
SKL yang tidak memiliki perwakilan soal, penyebaran soal
tersebut pada dimensi proses kognitf yakni pada
mengingat, memahami, mengaplikasikan, dan menganalisis
dengan persentase terbesar pada level C1-C3.
Pada soal ujian nasional kimia tahun 2013
menunjukkan kebanyakan soal memenuhi pengetahuan
konseptual [4], sedangkan soal olimpiade ini memenuhi
pengetahuan prosedural. Perbedaan yang terjadi dapat
dikembalikan pada tujuan adanya kedua program ini sendiri,
jika ujian nasional sebagai bentuk evaluasi yang mengukur
tingkat keberhasilan siswa sesuai dengan kompetensi
dasar yang telah dicantumkan oleh pemerintah, sedangkan
olimpiade sains nasional diselenggarakan guna menjaring
dan memfasilitasi siswa-siswa yang memiliki kemampuan
lebih tinggi dibandingkan siswa lainnya atau berfungsi
menjaring siswa-siswa berprestasi, sehingga soal yang
disajikan dari kedunya pun berbeda dengan cukup
signifikan.
Manfaat dari analisis soal ini dapat memberikan
gambaran tipe, konten materi dan ranah kognitif yang

Tabel. 3 Penyebaran Soal-soal OSN Bidang Kimia pada SK-KD SMA/MA

82

Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
terkandung dalam soal-soal olimpiade sains nasional
khususnya pada bidang kimia dan juga memberikan
masukan kepada guru untuk mengetahui kedalaman
konten soal yang diujikan pada olimpiade sains nasional,
agar guru mengetahui tingkat kedalaman materi
pembelajaran yang harus di berikan kepada para siswa
tertentu yang akan mengikuti ajang kompetisi ini.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil analisis menunjukkan bahwa soal-soal OSN
pada tahun 2012 dan 2013 untuk bidang kimia memiliki
persentase terbesar yakni pada dimensi kognitif
mengaplikasikan (C3) dan pengetahun prosedural.
Persamaan OSN dan IChO terdapat pada dimensi yang
digunakan, sedangkan perbedaannya pada tingkat
kedalaman konten materi soal yang diujikan. Soal ini dapat
dipetakan terhadap SK-KD SMA/MA Kimia sebesar 50,7%
dari jumlah keseluruhan yakni sebanyak 77 soal.
Saran
Kekosongan pada level kognitif mengevaluasi
dan mencipta dapat ditambahkan dengan mengubah pola
soal seperti, adanya gambar sebagai stimulus agar siswa
lebih menganalisis kondisi, keterhubungan antara
fenomena alam dengan materi kimia lebih dibangun agar
siswa mampu merancang percobaan penyelesaian masalah,
dan lainnya. Soal IChO memiliki konten materi yang lebih
luas dibandingkan dengan OSN, maka sebaiknya soal
dapat dibuat dengan mengacu pada kecenderungan
konten materi yang terdapat pada IChO. Bagi para guru,
baiknya perkuat konsep yang diberikan kepada siswa agar
bentuk soal semacam olimpiade atau lainnya mampu
diselesaikan oleh siswa dan mulai mengenalkan tipe soal
OSN pada latihan soal dalam pembelajaran, sebagai
bentuk pengembangan soal agar lebih menggali
kemampuan siswa sehingga mampu bersaing di dunia
internasional.

chemistry: implications for university-class


assessment and examinations. University
Chemistry Education, 7(2), 50-57
[4] Satrisman, Adi. (2013). Analisis Soal Ujian Nasional
Kimia SMA Tahun 2013 Berdasarkan Taksonomi
Bloom Dua Dimensi. Skripsi. Bandung : UPI.
Tidak diterbitkan
[5] Tikkanen, Greta. dan Aksela, Maija. (2012). Analysis of
Finnish chemistry Matriculation Examination
questions according to Cognitive Complexy.
Journals of uio. 8, (3), 258-286
[6] Eisenkraft, Arthur. Kotlicki, Andrezej. (2010).
Theoretical and Experimental Problems of The
International Physics Olympiad-Requirements
and Priorities. Norwegian University of
Science and Technology. [Online].
Tersedia:http://ipho.phy.ntnu.edu.tw/news/
FINAL(Kotlicki).pdf. [Diakses 2 Juni 2014]
[7] Jabubowski, M. (2013). Analysis of the Predictive Power
of PISA Test Items. OECD Education Working
Papers, (87).
[8] Herron, J. Dudley., et.al. (2010). Problems Associated
With Concept Analysis. Journal of Science
Education, 61,(2), 185-199
[9] Anderson, Lorin W dan Krathwohl, David R, (Eds).
(2001). Kerangka Landasan Untuk
Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen.
Terjemahan oleh Agung Prihantoro. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
[10] Gunawan, Imam dan Palupi. (2012). Taksonomi
Bloom-Revisi Ranah Kognitif Kerangka
Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran
dan Penilaian. [Online].Tersedia,http://
www.ikippgrimadiun.ac.id/ejournal/sites/
default/files.pdf. [Diakses 27 September 2013]
[11] Krathwohl, D. R. (2002). A revision of Blooms
taxonomy: An overview. Theory into Practice,
41,(4),212218.
[12] Depdiknas. (2003). Penialaian Tingkat Kelas. Jakarta
: Departemen Pendidikan Nasional

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Ketua Jurusan
Pendidikan MIPA, dan Ketua Prodi Pendidikan Kimia, UIN
Bandung atas kesempatan yang diberikan pada
keikutsertaan dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga
berterima kasih kepada Dr. Yunita, M.Pd. dan Euis
Nursaadah, M.Pd. atas bimbingannya dalam penelitian
ini.
Daftar Rujukan
[1] BSNP. (2006). Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/
MA. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
[2] Atjenon. (2007). Good, bad Assessment. Jyvaskyla:
Gummerus Kirjapaino Oy, 19-170
[3] Tsaparlis dan Zoller. (2003). Evaluation of higher vs.
lower-order cognitive skills-type examinations in
83

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 84 - 88


ISSN 1907-1744
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONCEPTUAL UNDERSTANDING PROCEDURES (CUPs) UNTUK
MENINGKATKANAKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X SMA NEGERI 7
MATARAM

Nurul Hikmah1, Baidowi1 dan Nani Kurniati1


Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram
Email : uyununram@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas X
SMAN 7 Mataram pada bidang studi matematika peminatan dengan materi Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat melalui
penerapan model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Jenis Penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus, dengan setiap siklusnya terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi. Adapun indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah jika terdapat
peningkatan rata-rata skor aktivitas dan peningkatan persentase ketuntasan untuk setiap siklusnya. Hasil penelitian
siklus 1 menunjukkan aktivitas belajar sebesar 7,38 dan siklus 2 sebesar 85,71. Begitu pula dengan ketuntasan klasikal
sebesar 70,25% pada siklus 1 dan 80,26% pada siklus 2. Jadi penerapan model pembelajaran CUPs dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 7 Mataram.

Kata kunci: : Model Pembelajaran CUPs, Aktivitas Belajar, Hasil Belajar

Abstract : This research is aim at increasing mathematical learning activity and achievement of X grade
students of SMAN 7 Mataram in the topic of Linear and Second order Equations System through the application of
Conceptual Understanding Procedures (CUPs) learning model. This research belong to class action research was
conducted in 2 cycle. Each cycle consisted of planning, Action, Observation, Evaluation,and reflection. Meanwhile
the achievement indicators in this research was the increase of mean scores of activities and the increase of completion
percentage in each cycle. The results of cycle 1 indicated learning activities which equal to 77,38 and cycle 2 was equal
85,71. In addition, the classical completion was 70,25 % in cycle 1 and 80,26% in cycle 2. Therefore, the application of
CUPs learning model was able to increase the activities and learning achievements in mathematical of X grade students
of SMAN 7 Mataram.
Keywords : CUPs Learning Model, Learning Activity, Learning Achievement

1. PENDAHULUAN
Matematika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
dan menjadi ilmu dasar bagi pengembangan disiplin ilmu
lainnya seharusnya dapat menjadi alternatif untuk
mencapai tujuan pendidikan. Matematika sebagai alat yang
efisien dan diperlukan oleh semua ilmu pengetahuan,
disamping itu juga implementasinya sangat dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika
dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di tingkat
sekolah dasar sampai sekolah menengah dan salah satu
mata pelajaran yang ditetapkan pemerintah untuk kelulusan
seorang siswa, baik siswa sekolah dasar, sekolah
menengah pertama maupun siswa sekolah menengah atas.
Namun, pentingnya peranan matematika bagi
kehidupan tidak sejalan dengan pendidikan matematika
yang ada. Ada kecenderungan yang mengkahwatirkan dari
sosok pelajaran matematika, dimana matematika masih
dianggap sebagai suatu pelajaran yang sulit dimengerti
dan terkesan menakutkan. Banyak siswa merasa kesulitan
dalam memahami matematika karena matematika bersifat
84

abstrak, sementara alam pikiran kita terbiasa berpikir


tentang obyek konkret [1]. Hal tersebut tentunya
berdampak pada rendahnya hasil belajar matematika yang
dicapai oleh siswa yang digunakan oleh guru untuk
sebagai salah satu ukuran/kriteria dalam mencapai suatu
tujuan pendidikan.
Rendahnya prestasi belajar siswa juga masih
menjadi kendala bagi guru-guru di Nusa Tenggara Barat,
khususnya di SMA Negeri 7 Mataram dengan nilai ratarata tengah ujian semester genap kelas X tahun ajaran
2013/2014 yang belum memenuhi kriteria ketuntasan
minimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru
matematika kelas X SMA Negeri 7 Mataram, banyak faktor
yang ikut mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor-faktor
tersebut dapat bersumber dari siswa sendiri maupun di
luar siswa. Faktor dari dalam diri siswa yakni kecerdasan,
kesiapan dan bakat anak. Sedangkan faktor dari luar diri
siswa didominasi oleh lingkungan, salah satunya berupa

Penerapan Model Pembelajaran Conceptual.... (Nurul Hikmah1, Baidowi1 dan Nani Kurniati1)
kualitas pembelajaran yang siswa dapatkan yang kemudian
dipengaruhi oleh kemampuan (kompetensi) guru, suasana
belajar, kepribadian guru sebagai manusia model [2].
Di sisi lain, guru sering menyajikan pembelajaran
yang cenderung abstrak, masih secara klasikal dan satu
arah dari guru kepada murid melalui metode ceramah tanpa
banyak melihat kemungkinan penerapan metode
pembelajaran lain yang sesuai yang membuat proses
belajar matematika siswa yang kurang bermakna. Siswa
yang tidak terlibat langsung dalam pembelajaran dan
didominasi sepenuhnya oleh guru seharusnya menjadi
suatu bahan yang patut dievaluasi. Karena Pembelajaran
pada hakikatnya adalah kegiatan guru dalam
membelajarkan siswa, ini berarti bahwa proses
pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa
dalam kondisi belajar.
Membuat siswa dalam kondisi belajar berarti
perlu diciptakannya suatu suasana pembelajaran yang
berpusat pada siswa dengan memberikan kesempatan
kepada siswa sendiri untuk aktif dalam membangun
pengetahuannya agar memberi makna terhadap
pengetahuan tersebut, hal tersebut tentunya muncul jika
guru mau memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan ide-ide atau gagasan-gagasannya [3].
Pada akhirnya, pemilihan model pembelajaran
diharapkan dapat menjadi solusi agar anak dapat bergerak
aktif dan pembelajaran menjadi menyenangkan. Pemilihan
model pembelajaran dimaksudkan agar anak dapat menjadi
student centred dan guru tetap menjadi pembimbing
sekaligus fasilitator dalam perkembangan anak
mengemukakan pengetahuan dan pendapatnya. Salah
satunya melalui penerapan model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Model
pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) berlandaskan kepada pendekatan kontruktivisme
yang didasari pada kepercayaan bahwa siswa
mengkontruksi pemahaman konsep dengan memperluas
atau memodifikasi pengetahuan yang sudah ada. Dengan
pendekatan konstruktivisme siswa ditugaskan untuk
membaca, mengamati, bereksperimen atau bertanya jawab
kemudian dari hasil belajarnya, siswa mengkontruksi
pengetahuannya dengan kemungkinan miskonsepsi atau
keliru konsep yang dikontruksinya. Dengan demikian
dalam kegiatan pembelajaran, guru melatih siswa belajar
mandiri, sehingga otak kanannya terlatih dan retensinya
menjadi kuat [4].
Dalam pelaksanaan dengan menggunakan Model
Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri
dari tiga orang (triplet) yang dibentuk secara heterogen,
dengan mempertimbangkan kemampuan siswa dan bahan
diskusi yang diberikan kepada siswa. Guru lebih berperan
sebagai fasilitator, membantu mengaktifkan siswa tersebut
dalam pembentukan pengetahuan, sehingga siswa tidak
hanya duduk, memperhatikan, belajar menerima dan
memahami apa yang disampaikan oleh guru, tetapi siswa
lebih aktif membangun pemahaman yang berkaitan dengan
materi pelajaran matematika yang sedang dipelajari. Selain
itu siswa juga didorong untuk mengemukakan

argumentasi dan bertukar pikiran dengan temannya


mengkomunikasikan ide matematika.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian tindakan
kelas untuk menerapkan model pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs) untuk meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas X SMA
Negeri 7 Mataram, khususnya pada mata pelajaran
matematika peminatan MIPA dengan materi Sistem
Persamaan Linear dan Kuadrat untuk meningkatkan
keaktifan, tanggung jawab, kerjasama, dan kemandirian
siswa dalam belajar, sehingga akan berdampak pada
peningkatan hasil belajarnya.
2. Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian tindakan kelas
(Classroom Action Research). PTK adalah sebuah proses
investigasi terkendali yang berdaur ulang dan bersifat
reflektif mandiri yang dilakukan oleh guru/calon guru yang
memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan terhadap
sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi
pembelajaran [5].
Penelitian ini dilaksanakan pada mata pelajaran
matematika peminatan MIPA kelas X MIA 1 di SMA Negeri
7 Mataram tahun ajaran 2014/2015, dengan subyeknya
adalah guru mata pelajaran matematika dan siswa kelas X
tahun ajaran 2014/2015, sedangkan objeknya adalah
proses belajar mengajar dengan menerapkan model
pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs).
Faktor yang diteliti
Faktor-faktor yang diselidiki dalam penelitian ini
adalah :
a. Faktor siswa, yang diteliti adalah peningkatan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa
melalui penerapan model pembelajaran CUPs.
b. Faktor guru, yang diteliti adalah kegiatan guru
dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas,
apakah sudah sesuai dengan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan.
Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam
2 siklus disesuaikan dengan cakupan materi Sistem
Persamaan Linear dan Kuadrat Dua Variabel. Setiap siklus
meliputi tahapan-tahapan kegiatan, yaitu perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi.
1) Perencanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap
perencanaan antara lain Membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang berorientasi pada model
pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs), mendesain alat evaluasi dan merencanakan
analisa hail tes.
2) Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap
pelaksanaan tindakan ini adalah melaksanakan kegiatan
belajar mengajar di kelas sesuai dengan rencana yang telah
dituangkan pada RPP meliputi sesi-sesi berikut ini :
a. Sesi 1

85

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 84 - 88

86

Siswa diorganisasikan dalam kelompok belajar


heterogen, selanjutnya dibagikan LKS secara
individual. Guru menjelaskan ketentuan dan siswa
diminta untuk memahami apa yang ada di LKS.
b. Sesi 2
Siswa selama 5-10 menit berusaha untuk
menyelesaikan secara individu dan menuliskan ide
dalam kertas A4 yang telah disediakan.
c. Sesi 3
Siswa pindah ke dalam triplet atau kelompok mereka
dan selanjutnya bediskusi dengan memperlihatkan
dan mendengarkan ide dari masing-masing anggota.
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mempersilahkan
mereka untuk menjelaskan apa yang mereka pikirkan,
menemukan kesalahan dalam alasan mereka dan
akhirnya mencapai hasil bersama yang kemudian
ditransferkan ke dalam kertas, yang mana guru harus
memberikan tiga pensil warna yang berbeda kepada
tiap grupnya. Siswa siswi tersebut harus
menggambarkan diagram mereka sebesar mungkin
menggunakan pensil warna yang telah disediakan
agar memudahkan jika dilihat kemudian. Tiap anggota
dari triplet sebaiknya mempersiapkan diri untuk
mempertahankan jawaban grupnya di depan kelas.
Selama diskusi triplet, guru berkeliling kelas, tapi
tidak diperbolehkan terlibat dalam diskusi.
d. Sesi 4
Setelah beberapa waktu, semua jawaban harus
ditempel dipapan tulis dan semua siswa
diperbolehkan untuk duduk lebih dekat dalam jajaran
berbentuk U sehingga dapat dengan mudah melihat
karton yang telah ditempelkan.
e. Sesi 5
Guru harus melihat semua jawaban dan mencari
kesamaan dan perbedaan dan dapat memulai diskusi
dengan memilih karton dimana hasilnya sepertinya
dapat mewakili beberapa jawaban dan meminta
anggotanya untuk menjelaskan jawaban mereka.
Siswa dari triplet lain dengan diagram yang berbeda

menggambarkannya dalam karton kosong di dinding


atau papan tulis.
3) Tahap Observasi dan Evaluasi
Kegiatan observasi dilakukan selama
berlangsungnya pembelajaran dikelas untuk mengetahui
aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran.
Untuk hasil belajar digunakan tes evaluasi pada akhir suatu
siklus.
4) Tahap Refleksi
Pada tahap ini yang dilakukan adalah merefleksi
tindakan yang telah dilakukan dengan melihat hasil
observasi dan evaluasi untuk mengidentifikasi kekurangan
yang ada dan menganalisisnya kemudian dilakukan
langkah-langkah perbaikan pada siklus selanjutnya.
Analisa Data
a. Data Hasil Belajar Siswa
Untuk menghitung ketuntasan belajar secara
klasikal digunakan rumus ketuntasan belajar sebagai
berikut [6] :

kemudian diminta untuk mempertahankan jawaban


mereka. Prosesnya berlangsung dengan siswa
memberikan argumen sampai didapat kesepakatan
mengenai jawaban akhirnya..
f. Sesi 6
Di akhir sesi tersebut setiap siswa harus benar-benar
memahami jawaban yang disetujui. Untuk
membuktikannya guru harus mengulang kembali
jawabannya
dan
mungkin
menulis/

Sedangkan Data aktivitas guru diambil


menggunakan lembar observasi dengan menentukan
persentase aktivitas guru, Selanjutnya skor aktivitas guru
di analisis dengan rumus sebagai berikut [8] :

dengan :
KB
= ketuntasan belajar klasikal
n
= banyaknya siswa yang memperoleh
nilai
N

KKM
= jumlah peserta yang mengikuti tes.

b. Data Aktivitas Belajar Siswa dan Aktivitas


Guru
Data aktivitas belajar siswa di analisis
menggunakan cara sebagai berikut:
1). Menentukan skor aktivitas belajar siswa
secara klasikal
Skor aktivitas belajar siswa ditentukan dengan
menilai setiap deskriptor dari setiap indikator aktivitas
belajar, kemudian menentukan rata-rata skor aktivitas
belajar siswa dan di dikonsultasikan dengan Pedoman
kategori aktivitas belajar sebagai berikut [7] :

Dimana :
G
: persentase aktivitas guru

Penerapan Model Pembelajaran Conceptual.... (Nurul Hikmah1, Baidowi1 dan Nani Kurniati1)
: deskriptor ke-g yang tampak dengan g=12,3,.
Berdasarkan pedoman norma skala absolut skala
lima, selanjutnya skor yang diperoleh dikategorikan atas
lima kategori .
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah
tercapainya aktivitas dan hasil belajar yang memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a. Aktivitas belajar siswa dikatakan meningkat jika terjadi
peningkatan rata-rata skor aktivitas untuk setiap siklusnya
dan minimal berkategori aktif.
b. Hasil belajar dikatakan meningkat jika rata-rata hasil
belajar mengalami peningkatan tiap siklusnya dan terjadi
peningkatan persentase ketuntasan dalam setiap siklus.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Siklus 1
Sebelum dilaksanakan Siklus 1 terlebih dahulu
dibentuk kelompok-kelompok siswa yang heterogen. Pada
saat pembelajaran siswa sudah duduk dengan anggota
kelompoknya masing-masing. Berdasarkan hasil observasi
siklus 1 diperoleh beberapa gambaran terkait aktivitas
siswa, dimana antusiasme siswa sudah terlihat baik
terutama dalam bertanya dalam rangka mengkonstruksi
konsep sendiri siswa untuk menemukan konsep SPLKDV,
aktivitas siswa berkategori aktif. Hal ini terlihat dari
antusiasme siswa untuk bertanya tentang materi yanng
mereka pelajari yang ada di LKS, sampai guru merasa
kewalahan untuk membimbing kelompok siswa karena
hampir semua kelompok ingin bertanya. Banyaknya siswa
yang bertanya juga terkait materi yang dipelajari ternyata
merupakan materi yang belum pernah mereka pelajari
sebelumnya di matematika wajib, sehingga butuh waktu
untuk mereka mengingat kembali materi SMP dahulu,
akibatnya alokasi untuk mengerjakan LKS menjadi lebih
lama, sehingga latihan individu yang diharapkan bisa
terlaksana menjadi Pekerjaan Rumah. Sedangkan dari
aktivitas guru, guru sudah bertindak sebagai fasilitator
sekaligus motivator dalam membimbing siswa untuk
menemukan konsep SPLKDV. Adapun data hasil observasi
kegiatan guru pada siklus 1 ini sudah berkategori sangat
baik.
Berdasarkan hasil evaluasi terlihat bahwa siswa
yang tidak tuntas sebanyka 9 orang dengan ketuntasan
klasikal sebesar 70,97% dengan nilai rata-rata sebesar
65,79. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas sudah
melebihi indikator kerja, namun ini baru permulaan/awal
siklus, sehingga butuh kelanjutan ke siklus selanjutnya
untuk memastikan penerapan dari model yang telah
diterapkan.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi diperoleh
gambaran terkait kekurangan dalam siklus 1 ini, sehingga
perlu di adakan perbaikan sebagai berikut
1) Guru lebih tegas dalam menghimbau siswa untuk lebih
bekerjama dengan baik dalam kelompoknya sehingga
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan
sebaik-baiknya.
2) Guru mengkondisikan siswa agar lebih siap dalam
pembelajaran baik secara psikis maupun mental.

3) Guru memanfaatkan waktu sefektif mungkin dan


menyusun ulang kegiatan pembelajaran agar bisa selesai
tepat waktu.
4) Pada saat apersepsi guru mengingatkan kembali materi
yang telah dipelajari pada siklus 1.
Siklus 2
Dari hasil observasi aktivitas guru, pada siklus 2
ini terlihat bahwa guru sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk meminimalisir kekurangan di siklus 1,
namun belum mampu menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan untuk siswa, dan belum maksimal dalam
memberikan bimbingan pada seluruh kelompok siswa yang
mengalami kesulitan. Dan di akhir pembelajaran guru masih
menyimpulkan materi sendiri tanpa melibatkan siswa.
Namun dari sisi hasil aktivitas guru sudah berkategori
sangat baik.
Berdasarkan data aktivitas siswa berkategori
sangat aktif. Namun masih ada kelompok siswa yang
cenderung tidak mau mengerjakan LKS dan enggan
bertanya kepada teman atau guru tentang dihadapi.
Berdasarkan hasil evaluasi siklus 2 terlihat bahwa siswa
yang tidak tuntas sebanyak 6 orang dengan ketuntasan
klasikal sebesar 80,97% dengan nilai rata-rata sebesar
70,25. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas sudah
memenuhi indikator keberhasilan.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi
diperoleh gambaran terkait kekurangan dalam siklus 2 ini,
sehingga perlu di adakan perbaikan sebagai berikut:
1) Guru lebih menghimbau siswa untuk lebih
bekerjama dengan baik dalam kelompoknya
sehingga siswa yang bisa membantu temannya
yang masih kurang dalam memahami materi
dengan baik.
2) Guru berusaha untuk bisa memberikan bimbingan
secara menyeluruh.
3) Guru bisa memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menyimpulkan materi yang di ajarkan.
4) Guru berusaha untuk mencipatakan kondisi yang
menyenangkan dalam pembelajaran
Dengan adanya pengalaman belajar dalam
menemukan konsep sendiri tentunya berdampak lebih baik
pada siswa baik dari sisi keaktifan, kemandirian, tanggung
jawab maupun kerjasama, sehingga siswa bisa
dioptimalkan potensinya dalam pembelajaran sehingga
siswa betul-betul mampu menjadi fokus atau pusat dalam
pembelajaran bukan guru sehingga materi diharapkan bisa
melekat lebih lama dalam memori siswa untuk jangka yang
lebih panjang dan akibatnya tentunya siswa memiliki hasil
belajar yang lebih baik. Hal ini senada dengan yang
ungkapkan Turmudi [9], dalam proses pembelajaran guru
memberikan permasalahan dan memberi kesempatan siswa
untuk menemukan sendiri penyelesaiannya, sehingga
siswa secara aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan
matematikanya dan proses belajar akan bermakna bagi
siswa. Adapun terkait implementasi dari model
pembelajaran CUPs, sebelum di terapkan alangkah baiknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

87

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 84 - 88


a) Mengkondisikan siswa baik secara psikis
maupun mental untuk siap belajar sebelum
memulai pembelajaran
b) Menciptakan suasana pembelajaran yang rileks
sehingga siswa mampu mengutarakan pendapat
maupun pertanyaan tanpa merasa takut dan malu.
c) Memastikan materi prasyarat terkait materi yang
akan dipelajari sudah dikuasai dengan baik oleh
siswa, sehingga pembelajaran bisa optimal dan
manajemen waktu menjadi lebih efektif dan
efisien.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa Penerapan Model Pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures (CUPs) dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa
kelas X MIA 1 SMA Negeri 7 Mataram tahun ajaran 2014/
2015.
Adapun sarannya adalah bagi guru matematika dapat
menerapkan model pembelajaran CUPs pada materi yang
lain sebagai alternatif pembelajaran dengan
mempertimbangkan karakteristik siswa dan materi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Reni, S. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
SMP. http://www.digilib.unpas.ac.id:diakses
tanggal 5 Januari 2014.
[2] Husnul, C dan Yuyun, D. 2009. Strategi-Strategi
Pembelajaran untuk Penelitian Tindakan
Kelas. Surya Pena Gemilang : Malang.
[3] Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
[4] Berry, A. 2003. Conceptual Understanding Procedures
(CUPs). http://www.education.monash.edu.au/
research/groups/smte/projects/cups/cupsguide.pdf. Download: 18 Oktober 2012.
[5] Susilo, H., dkk 2009. Penelitian Tindakan Kelas.
Bayumedia, Malang.
[6] Depdikbud, 1994. Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar. Jakarta :
[7] Sudjana. 1996. Metode Statistik, Tarsito, Bandung.
[8] Saifuddin, A. 2007. Tes Prestasi Fungsi dan
Pengembangan Prestasi Belajar Edisi II.
Prestasi Belajar, Yogyakarta.
[9] Turmudi,dkk. 2001. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung : JICAUPI.

88

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 89 - 93


ISSN 1907-1744
PENERAPAN PEMBELAJARAN DENGAN BANTUAN BERTAHAP(SCAFFOLDING) UNTUK
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA PADA MATERI POKOK
TRIGONOMETRI KELAS X B SEMESTER II SMAN 1 LABUAPI TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Made Dewi Ariani1, Baidowi2, Syahrul Azmi2


Alumni Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram
2
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram
Email: ewiqwiar@gm

Abstrak : Dalam pembelajaran matematika di kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/2014, terdapat
permasalahan, yaitu siswa terbilang pasif selama proses pembelajaran, selain itu, siswa juga banyak mengalami kesulitan
selama belajar matematika. Permasalahan tersebut berdampak terhadap rendahnya aktivitas dan prestasi belajar
matematika siswa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan menerapkan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) pada siswa kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/
2014 pada materi pokok trigonometri. Penerapan pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) terdiri atas 5
(lima) tahap, yaitu tahap intentionality, appropriatenes, structure, collaboration, internatization. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi peningkatan nilai rata rata dari siklus 1 ke siklus 3 yaitu 66,56;75,28; dan 84,50. Ketuntasan
belajar yang dicapai adalah 33,33%, 66,67%, dan 88,89%. Skor aktivitas belajar siswa pada siklus I sampai siklus III
yaitu 10; 12; 17,dengan kategori cukup aktif, aktif, dan sangat aktif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerapan pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar
siswa di kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/2014.
Kata kunci: : Scaffolding, aktivitas dan prestasi belajar.

Abstract : Mathematics learning process in X B class of senior high school number 1 Labuapi academic year
2013/2014 had some problems, students are not motivated to learn activity by their self, students meet difficulties in
learning mathematics. Those problems causes the low of students mathematics learning activity and achievement in
X B class of senior high school number 1 Labuapi. Therefore, this research aims to solve that problems, by implementing
scaffolding learning in teaching trigonometri material trough students in X B class of senior high school number 1
Labuapi academic year 2013/2014. The implementation of scaffolding learning method is held in five (5) steps. The
result showed that an increase in the average value from cycle 1 to cycle 3, which is 66,56; 75,28; and 84,50. Mastery
learning from cycle 1 to cycle 3 respectively are 33,33%, 66,67%, and 88,89%. In cycle 1, the mean score of students
learning activities is 10, 12, and 17, with quite active, active, and very active category. From this result it can be
concluded that implementation of scaffolding learning can improve the mathematics activity and learning achievement
in X Bclass students of senior high school number 1 Labuapi in material of trigonometry academic year 2013/2014.
Keywords : Scaffolding, learning activities, and learning achievement.

1. PENDAHULUAN
Pendidikan matematika mempunyai peranan
penting dalam menghadapi era global. Melalui pendidikan
matematika, siswa dilatih untuk menumbuh kembangkan
kemampuan berfikir kritis, logis, cermat, sistematis kreatif
dan inovatif. Disamping itu pendidikan matematika dapat
menumbuh kembangkan sikap positif yang sangat
berguna dalam kehidupan siswa, seperti: rasa percaya diri
pantang menyerah, ulet, perhatian serta memiliki rasa ingin
tahu. Dengan demikian kegiatan pembelajaran perlu
berpusat pada peserta didik, pembangkitan motivasi
belajar siswa, berlangsung dalam kondisi menyenangkan
dan menantang serta menyediakan pengalaman belajar.

Berdasarkan hasil observasi awal, diperoleh


informasi bahwa pembelajaran matematika di SMA Negeri
1 Labuapi masih terpusat pada guru. Hal ini ditunjukkan
dari adanya kecenderungan siswa yang hanya menerima
saja apa yang diberikan guru, tanpa disertai keaktifan untuk
belajar mandiri sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas
belajar siswa rendah. Kecenderungan ini tentu berdampak
pada rendahnya prestasi belajar matematika. Kenyataan
ini diperkuat dengan hasil ujian tengah semester (UTS)
matematika siswa kelas X semester I tahun pelajaran 2013/
2014 di SMA Negeri 1 Labuapi adalah, sebagai berikut :

89

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 89 - 93


Tabel 1. Nilai ratarata ujian tengah semester (UTS) matematika kelas X semester I SMAN 1 Labuapi
tahun pelajaran 2013/2014.
No
1
2
3
4

Kelas

Jumlah Siswa

Nilai rata-rata

XA
21
50
75
XB
23
42
75
XC
23
49
75
XD
21
49
75
Sumber : Daftar nilai guru Matematika SMAN 1 Labuapi

Berdasarkan Tabel 1 tersebut, terlihat bahwa


dari 4 (empat) rombongan belajar kelas X yang ada di
SMA Negeri 1 Labuapi, tidak ada satu kelaspun yang
memiliki nilai rata rata di atas 75 dan ketuntasan belajar
masih jauh dibawah e85% (standar ketuntasan kurikulum)
[1].
Adanya informasi dari hasil observasi dan
dengan melihat nilai rata-rata ujian tengah semester
matematika di kelas X, beserta ketuntasan belajar dan nilai
rata-ratanya tersebut, akhirnya peneliti memutuskan untuk
melakukan penelitian pada salah satu kelas di SMA Negeri
1 Labuapi. Adapun untuk kelas penelitiannya yakni kelas
X B sebagai objek penelitian. Pembelajaran matematika
pada kelas tersebut juga masih terpusat pada guru dan
siswa di kelas tersebut memang terbilang pasif selama
pembelajaran berlangsung, dimana mereka lebih banyak
menerima dari apa yang diberikan guru, tanpa disertai
motivasi untuk belajar aktif secara mandiri. Selain itu,
diketahui pula bahwa siswa di kelas XB banyak mengalami
kesulitan selama belajar matematika. Kenyataan ini
ditunjukkan dengan adanya kesulitan siswa dalam
memahami konsep materi pelajaran, ketidaktepatan dalam
menggunakan rumus, karena selama ini mereka cenderung
hanya menghafal rumus - rumus yang ada, serta adanya
kesulitan siswa untuk mengubah soal cerita ke dalam
bentuk model matematika. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, guru harus membimbing dan memberikan
bantuan satu per satu kepada siswa agar mereka paham
terhadap materi pelajaran yang sedang diajarkan. Secara
umum kesulitan belajar yang dialami siswa di kelas X B
selama belajar matematika disebabkan beberapa hal,
yaitu:1) Motivasi belajar matematika siswa yang masih
rendah karena ketidaktahuan mereka akan tujuan
mempelajari matematika, 2) Siswa enggan untuk bertanya
dan mengemukakan gagasan pada guru, walaupun masih
ada materi pelajaran yang belum dipahami, 3) Kemandirian
siswa dalam mengerjakan soal masih kurang, dimana
banyak siswa yang malas untuk mengerjakan soal dan
biasanya siswa baru mengerjakan setelah guru menuliskan
jawabannya, 4) Rendahnya motivasi siswa untuk
mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan di
rumah. Beberapa alasan tersebut disinyalir menjadi
penyebab dari kesulitan belajar siswa, yang pada akhirnya
berujung pada rendahnya aktivitas dan prestasi belajar,
khususnya pada mata pelajaran matematika.
Untuk dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi
belajar siswa, tentu tidak akan serta merta terwujud secara
instant. Apalagi melihat adanya latar belakang nilai
matematika
serta kemandirian siswa dalam belajar
90

KKM

Ketuntasan belajar
35%
5%
5%
11%

matematika, khususnya di kelas X B yang masih sangat


rendah, maka adanya bimbingan dari seorang guru tentu
masih sangat dibutuhkan. Guru dapat memberikan siswa
tangga yang dapat membantu mereka
mencapai
pemahaman yang lebih tinggi, namun tentu diharapkan
agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut [2].
Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat digunakan
guru dalam hal ini adalah pembelajaran dengan bantuan
bertahap (Scaffolding).
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkahlangkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakantindakan lain yang memungkinkan peserta didik untuk
dapat belajar mandiri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada
peserta didik untuk belajar dan memecahkan masalah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan bantuan
bertahap (Scaffolding) ini, selain mendapat bimbingan dan
dukungan dari guru, siswa juga dapat memperoleh
informasi melalui kegiatan diskusi dan bertukar pikiran
dengan siswa lain melalui setting pembelajaran kelompok
(Cooperatif Learning) [3].
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa melalui penerapan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding di
kelas X B semester II SMA Negeri 1 Labuapi tahun ajaran
2013/2014.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research).
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian yang
dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi
diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sehingga
hasil belajar siswa meningkat [4]. Lokasi penelitian ini
adalah di SMA Negeri 1 Labuapi, dengan subyek penelitian
adalah siswa kelas X B semester II tahun ajaran 2013/2014.
Faktor yang diteliti adalah faktor guru dan siswa.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam
tiga siklus, dimana masing-masing siklus terdiri dari tiga
kali pertemuan. Setiap siklus memuat empat tahap
kegiatan yaitu tahap perencanaan tindakan, Pelaksanaan
tidakan, observasi dan evaluasi, dan refleksi

Penerapan Pembelajaran Dengan Bantuan.... (Made Dewi Ariani, Baidowi, Syahrul Azmi)
1) Sumber dan Analisis Data
Sumber data penelitian ini adalah siswa di kelas
X B semester II di SMA Negeri 1 Labuapi tahun ajaran
2013/2014. Data hasil belajar diambil dengan
memberikan tes kepada siswa pada akhir tiap siklus,
data aktivitas belajar siswa dan aktivitas mengajar guru
diambil dengan menggunakan lembar observasi yang
dilakukan pada tiap pertemuan.
Data Prestasi Belajar Siswa dianalisis dengan
rumus sebagai berikut [5]:

Labuapi telah mencapai nilai rata-rata minimal 75 dan


ketuntasan belajar e 85%.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1) Hasil Penelitian Siklus I

Keterangan:
x = Nilai rata-rata skor siswa
x i = Nilai skor masing-masing siswa

Proses belajar mengajar siklus I berlangsung


pada tanggal 3 dan 10 April 2014. Adapun materi yang
dibahas pada pertemuan 1 adalah sudut dan satuannya
dan perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku.
Sedangkan materi yang diberikan untuk pertemuan 2
adalah perbandingan trigonometri di semua kuadran. Ratarata skor a ktivitas guru sebagai wujud keterlaksanaan
pembelajaran scaffolding adalah 14 dengan kategori
sangat baik. Sedangkan Rata-rata skor aktivitas belajar
siswa mencapai skor 10 dengan kategori cukup aktif. Hasil
yang diperoleh siswa setelah dilakukan evaluasi siklus
I dapat dilihat pada tabel berikut:

n = Jumlah siswa yang mengikuti tes

Tabel 2 Ringkasan Hasil Evaluasi Siklus I

xi
x

i 1

Ketuntasan belajar secara klasikal dianalisis


dengan menggunakan rumus berikut [6]:
KB =

Z
Keterangan :

x100%

Nilai rata rata


Nilai tertinggi
Nilai terendah
Jumlah siswa yang hadir
Jumlah siswa yang tidak hadir
Persentase ketuntasan belajar
Jumlah siswa yang nilai =75

66,56
100
48
18
0
33,33%
6 orang

KB = Ketuntasan belajar
X = Banyak siswa yang memperoleh nilai ? 75
(KKM mata pelajaran
Matematika di SMAN 1 Labuapi) Z = Banyak
siswa
Data aktivitas siswa akan dianalisis dengan cara
sebagai berikut:
n

Ti
A

i 1

Keterangan :
A = Rata - rata skor aktivitas siswa

Ti = Total skor aktivitas siswa


n = Banyak pertemuan
2) Indikator Kerja
Kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam
penelitian ini adalah aktivitas belajar siswa kelas X B SMAN
1 Labuapi dikatakan meningkat apabila aktivitas belajar
siswa secara klasikal telah mencapai minimal dalam kategori
aktif serta prestasi belajar siswa kelas XB SMAN 1

Dengan melihat hasil yang diperoleh pada siklus


I, hasil ini belum mampu mencapai indikator penelitian
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan
dilanjutkan ke siklus II.
2) Hasil Penelitian Siklus II
Kegiatan pembelajaran pada siklus II
dilaksanakan pada tanggal 24 dan 30 April 2014.
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II ini lebih
memperhatikan kekurangan kekurangan yang terdapat
pada siklus I, sehingga perbaikan perbaikan
pembelajaran yang telah direncanakan akan dijalankan
semaksimal mungkin. Adapun materi yang dibahas pada
pertemuan 1 adalah Grafik fungsi trigonometri. Sedangkan
materi yang dibahas pada pertemuan 2 adalah Identitas
dan Persamaan trigonometri. Rata-rata skor aktivitas guru
sebagai wujud keterlaksanaan pembelajaran scaffolding
adalah 18 dengan kategori sangat baik. Sedangkan Ratarata skor aktivitas belajar siswa mencapai skor 12 dengan
kategori aktif. Hasil yang diperoleh siswa setelah
dilakukan evaluasi siklus II dapat dilihat pada table
berikut:
Tabel 3 Ringkasan Hasil Evaluasi Siklus II
Nilai rata rata
Nilai tertinggi
Nilai terendah
Jumlah siswa yang hadir
Jumlah siswa yang tidak hadir
Persentase ketuntasan belajar
Jumlah siswa yang nilai =75

75,28
100
52
18
0
66,67%
12 orang

91

J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 89 - 93


Pada tabel di atas terlihat bahwa pada siklus
II ini belum mampu mencapai indikator kerja yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, penelitian ini masih harus
dilanjutkan ke siklus III.
3) Hasil Penelitian Siklus III
Kegiatan pembelajaran pada siklus III
dilaksanakan pada tanggal 8 dan 14 Mei 2014, dengan
melakukan perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang
muncul pada hasil refleksi pembelajaran di siklus II.
Adapun materi yang dibahas pada pertemuan 1 siklus III
adalah aturan sinus dan kosinus dalam suatu segitiga.
Sedangkan materi yang dibahas pada pertemuan 2 siklus
III adalah luas segitiga.Rata-rata skor aktivitas guru
sebagai wujud keterlaksanaan pembelajaran scaffolding
adalah 17,5 dengan kategori sangat baik. Sedangkan Ratarata skor aktivitas belajar siswa mencapai skor 17,5
dengan kategori sangat aktif. Hasil yang diperoleh siswa
setelah dilakukan evaluasi siklus III dapat dilihat pada
table berikut:
Tabel 4. Ringkasan Hasil Evaluasi Siklus III
Nilai rata rata
Nilai tertinggi
Nilai terendah
Jumlah siswa yang hadir
Jumlah siswa yang tidak hadir
Persentase ketuntasan belajar
Jumlah siswa yang nilai =75

84, 50
100
61
18
0
88,89 %
16 orang

Pada tabel diatas pada siklus III ini, dapat disimpulkan


bahwa indikator prestasi belajar siswa telah tercapai.
B. Pembahasan
Dalam penelitian tindakan kelas ini, guru
menerapkan pembelajaran dengan bantuan bertahap
(Scaffolding) untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi
belajar siswa pada materi pokok trigonometri. Pembelajaran
ini diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran,
menyampaikan apersepsi, motivasi belajar kemudian
berlanjut pada 5 (lima) tahapan pembelajaran Scaffolding,
yang meliputi tahap intentionality, tahap appropriatenes,
tahap struc ture , tahap collaboration, tahap
internatization, dan diakhiri dengan kegiatan penutup
yang mencakup penarikan kesimpulan terhadap materi
pelajaran yang telah dipelajari. Berikut ditampilkan tabel
ringkasan data hasil penelitian:

analisis evaluasi siklus I tersebut, kemudian diperoleh


bahwa nilai rata rata kelas yang dicapai adalah sebesar
66,56 dengan ketuntasan belajar 33,33%. Data ini
menunjukkan bahwa nilai rata rata prestasi belajar siswa
masih kurang dari nilai rata rata minimum yang diinginkan
yaitu 75. Selain itu, persentase ketuntasan belajar pada
siklus I ini masih jauh dibawah 85%.
Dari hasil analisa hasil observasi aktivitas belajar
siswa pada siklus II, diperoleh bahwa rata rata skor
aktivitas belajar siswa adalah 12, sehingga tergolong
dalam kategori aktif. Pada siklus II ini juga terjadi
peningkatan aktivitas dari siklus I, baik itu aktivitas siswa
maupun aktivitas guru. Selain itu juga, setelah dilakukan
analisis terhadap hasil evaluasi belajar siswa pada siklus
II, diperoleh bahwa nilai rata rata siswa adalah 75,28
dengan ketuntasan belajar 66,67 %. Hasil yang didapatkan
pada siklus II ini, mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan hasil evaluasi siklus I dan sudah
melampaui nilai rata-rata minimum yang ditetapkan.
Namun, peningkatan hasil belajar tersebut belum dapat
memenuhi indikator kerja dalam penelitian, dikarenakan
ketuntasan belajar siswa yang diperoleh belum mencapai
??85%.
Setelah dilaksanakan proses pembelajaran
sebanyak dua kali pertemuan pada siklus III, yang
termasuk didalamnya adalah pelaksanaan evaluasi, maka
diperoleh hasil bahwa nilai rata rata siswa adalah 84,50
dengan ketuntasan belajar yaitu 88,89%. Hasil ini
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar
siswa pada siklus sebelumnya, dari hasil ini dapat dilihat
bahwa pencapaian yang diperoleh telah mampu
memenuhi indikator kerja yang telah ditetapkan dalam
penelitian. Selain itu, jika dilihat dari hasil observasi, rata
rata skor aktivitas belajar siswa juga mengalami
peningkatan dari siklus sebelumnya sebesar 5,50 dimana
pada siklus III ini rata rata skor aktivitas yang diperoleh
adalah 17,5 sehingga tergolong dalam kategori sangat
aktif.
Dalam proses belajar mengajar melalui penerapan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) ini,
siswa benar -benar diarahkan untuk menguasai tugas
tugas yang diberikan secara maksimal, dimana guru hanya
memberikan bantuan kepada siswa, ketika mereka
menemukan kesulitan, dan diharapkan siswa sendiri yang
dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
belajar melalui permodelan dan arahan yang diberikan oleh
guru. Melalui pembelajaran kooperatif yang diterapkan,
juga memberikan keleluasaan kepada siswa untuk dapat

Tabel 5. Ringkasan Data Hasil Penelitian


Sikus

Nilai rata
rata

Ketuntasan
belajar

I
II
III

66,56
75,28
84,50

33,33 %
66,67%
88,89%

Aktivitas Siswa
Rata - rata
Kategori
skor
10
Cukup aktif
12
Aktif
17,5
Sangat aktif

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pada


siklus I, rata rata skor aktivitas belajar siswa adalah 10,
yang tergolong dalam kategori cukup aktif. Dari hasil
92

Aktivitas Guru
Rata - rata
Kategori
skor
14
Sangat baik
18
Sangat baik
17,5
Sangat baik

bekerja sama secara berkelompok, guna menyelesaikan


permasalahan yang diberikan. Dalam kelompok yang telah
dipilih secara heterogen dengan memperhatikan tingkat

Penerapan Pembelajaran Dengan Bantuan.... (Made Dewi Ariani, Baidowi, Syahrul Azmi)
penguasaan siswa ini, masing masing anak dalam tiap
kelompok dapat bertukar informasi, dimana siswa yang
pandai dapat mentransfer pengetahuan yang dimilikinya
kepada siswa yang kurang pandai. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Stahl yang menyebutkan
bahwa dengan melaksanakan pembelajaran kooperatif,
siswa dimungkinkan dapat meraih kesuksesan dalam
belajar, disamping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki
keterampilan, baik keterampilan berfikir (thinking skill)
maupun keterampilan social (social skill), seperti
keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima
saran dan masukan orang lain, bekerjasama, rasa setia
kawan, mengurangi timbulnya prilaku menyimpang dalam
kehidupan kelas [3].
Sehingga berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya
memperbaiki proses belajar mengajar melalui penerapan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding),
dengan beberapa faktor pendukung seperti adanya
pengefisienan waktu yang baik oleh guru dalam
pembelajaran, kondisi siswa saat pembelajaran, dan adanya
motivasi yang diberikan guru kepada siswa untuk belajar
akan berdampak pada peningkatan aktivitas dan prestasi
belajar siswa, istimewanya di kelas X B SMA Negeri 1
Labuapi tahun pelajaran 2013/2014.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dalam
penelitian ini adalah penerapan pembelajaran dengan
bantuan bertahap (Scaffolding) dapat meningkatkan
aktivitas dan prestasi belajar siswa untuk pokok bahasan
trigonometri pada siswa kelas X B semester II SMAN 1
Lapuapi tahun pelajaran 2013/2014.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suryosubroto, B. 2005.Tata Laksana Kurikulum.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 84 85
[2] Nurkencana, Wayan dan Sumartana. 1990.
Evaluasi Pendidikan. Suraba ya:
UsahaNasional.
[3] Isjoni. 2010. Cooperative Learning. Bandung: PT
Alfabeta.
[4] Aqib, Zainal, dkk. 2008. Penelitian Tindakan
Kelas. Bandung: PT Yrama widya.
[5] Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT.
Tarsito Bandung.
[6] Depdikbud. 1992. GBPP SMU Kurikulum
Sekolah
Menengah.
Jakarta:
Depdikbud.

93

Anda mungkin juga menyukai