2, September : 48 - 55
ISSN 1907-1744
MONITORING DAN EVALUASI PROSES PERKULIAHAN DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP
UNIVERSITAS MATARAM PADA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2013/2014
I Gde Mertha1, Agil Al Idrus1, M. Liwa Ilhamdi1, I Putu Artayasa1, dan I Wayan Merta1
1
Abstrak : Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah melakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi terhadap proses perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu perkulihan di Prodi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptip, dengan
populasi seluruh dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram yang mengajar pada semester genap tahun
2013/2014 yang bejumlah 29 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel populasi. Data diperoleh
dengan menggunakan instrumen angket diberikan kepada dosen untuk melihat kesiapan mengajar serta
keterlaksanaan perkuliahan dan kepada mahasiswa untuk mengungkapkan tentang pelaksanaan proses
perkuliahan. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, selanjutnya dideskripsikan. Kesimpulan dalam
penelitian ini bahwa respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan menunjukkan kualitas ketercapaian
berkategori baikdan sangat baik 65,57%, cukup baik/sedang27,05%, dan kurang 6,29%.
Kata kunci: : monitoring dan evaluasi,mutu perkuliahan, respon
Abstract : The aim of this research are monitoring and evaluating the lecturing process in biologys
department in teacher training and education faculty as the efforts to increase its quality. Methods used in this
research is descriptive, with population of all lecturers in biologys department in faculty of teacher training and
education of mataram University that teach in year of 2013/2014 in total of 29 lecturers. Samples of this research
are getting by using questionnaire given to all 29 lecturers to see how ready are them to teach and lecturing
implementation, as well to students to express how the learning process run. Data were analysed by qualitative
and quantitative ways, then fully described. The results of this research revealed that the students responds
toward teaching process are in good category and very good category 65,57%, good enough 27,05%, and poor
6,29%.
Keywords : monitoring and evaluating, lecturing quality, responds
1. PENDAHULUAN
Kondisi sekarang ini menunjukkan terjadinya perubahan
yang sangan pesat dalam berbagai bidang termasuk dalam
bidang pendidikan sebagai akibat dari kemujuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Akibat dari kemajuan tersebut
dan akibat dari isu persaingan global termasuk persaingan
dalam bidang tenaga kerja menyebabkan banyak orang
dari berbagai profesi berlomba-lomba meningkatkan
profesionalmenya. Sebagai seorang yang bekerja di
perguruan tinggi, dosen juga dituntut untuk meningkatkan
profesionalsmenya. Pengertian profesionalisme adalah
sebagai komitmen para anggota suatu profesi, dalam hal
ini sebagai dosen, untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan profesinya [1].
Tugas dosen sesuai dengan tuntunan tri darma
perguruan tinggi adalah melakukan penelitian, pengajaran,
dan pengabdian pada masyarakat. Khusunya dalam
bidang pengajaran berbagai upaya harus dilakukan untuk
meningkatkan profesionalismenya. Peningkatan
48
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
evaluasi [4]. Setidaknya ada tiga manfaat evaluasi dalam
PBM, yaitu (1) memahami sesuatu, (2) membuat keputusan,
dan (3) meningkatkan proses tersebut tidak dilakukan
secara berkelanjutan, padahal dinamika proses belajar
mengajar saat ini tidak sepenuhnya sama dengan yang
dahulu, sehingga data hasil evalusi terbaru sangat
diperlukan sebagai informasi untuk perbaikan proses
belajar mengajar saat ini [3]. Diseminasi hasil evaluasi
proses perkuliahan di Prodi Biologi FKIP Unram terakhir
kali dilakukan dalam bentuk presentasi hasil evaluasi
perkuliahan dihadapan para dosen FKIP Unram pada tahun
2008, namun dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini,
publikasi maupun penyampaian hasil evaluasi perkuliahan
tersebut tidak pernal lagi dilakukan. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka sekarang ini sangat mendesak
dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap proses
perkulihan di Prodi Biologi FKIP Unram sebagai usaha
untuk meningkatkan mutu perkuliahan di prodi tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Prodi Biologi FKIP Unram
pada semester genap yaitu dari bulan Mei sampai dengan
bulan September 2014. Populasi dan sampel penelitian ini
adalah seluruh dosen Prodi Pendidikan Biologi Unram
yang mengajar pada semester genap tahun 2013/2014.
Instrumen penelitian ini adalah berupa angket
pelaksanan proses perkuliahan di Prodi Pendidikan Biologi
FKIP Unram. Angket yang digunakan mengacu pada
angket kinerja dosen khusunya dalam bidang pengajaran
yang disusun oleh pusat Penjaminan Mutu Universitas
Brawijaya tahun 2007 [5] dengan beberapa perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi perkuliahan di FKIP Unram.
Data diambil dengan mengisi angket, selanjutnya skor
angket yang diperoleh dianalisa dengan menghitung ratarata skor pada setiap indikator. Rata-rata skor pada setiap
indikator selanjutnya akan memberikan petunjuk tentang
kualitas proses perkuliahan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Hasil Penelitian.
49
50
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
pembelajaran (8,93%), serta sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (5,4%).
Hasil penilaian dengan kategori cukup/sedang dan kurang
memiliki persentase kurang dari 20%. Persentase tertinggi
dosen yang setuju bahwa proses pembelajaran berada
pada kategori cukup ditemukan pada komponen kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum (14,3%) dan pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(14,3%). Sedangkan pada komponen yang lain, persentase
kategori tersebut kurang dari 5%. Dosen yang merespon
bahwa kualitas perkuliahan masih kurang, tampak cukup
jelas pada 2 komponen, yaitu proses evaluasi perkuliahan
(2,38%) serta sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(7,14%).
Berdasarkan data pada Gambar 2 secara umum
digambarkan bahwa kualitas ketercapaian perkuliahan
yang berjalan normal (baik dan sangat baik) jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan perkuliahan yang belum
berjalan normal (cukup dan kurang). Persentase kualitas
ketercapaian baik dan sangat baik pada masing-masing
komponen sebagai berikut: proses evaluasi perkuliahan
93,29% (64,29% baik dan 29% sangat baik), kualitas materi
perkuliahan 77,9% (57% baik dan 20% sangat baik), kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum 76,57% (53,57% baik
dan 23% sangat baik), sarana dan prasarana perkuliahan/
praktikum 71.47% (66,07% baik dan 5,4% sangat baik), dan
ketersediaan mutu dan perangkat pembelajaran 69,64%
(60,71% baik dan 8,93% sangat baik).
Hasil penilaian proses perkuliahan oleh
mahasiswa umumnya menunjukkan kecenderungan data
yang hampir sama dengan jawaban yang diberikan dosen
(Gambar 3). Kesamaan tersebut terdapat pada tiga
komponen penilaian, yaitu kemampuan dosen dalam PBM
(46,65%), kualitas materi perkuliahan (49,04%), dan proses
evaluasi perkuliahan (44,45%). Persentase yang ada pada
masing-masing komponen tersebut merupakan persentase
tertinggi jumlah mahasiswa yang memberikan jawaban
pada kategori baik. Perbedaan antara jawaban yang
diberikan dosen dengan mahasiswa terletak pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum.
Sebanyak 66,07% dosen (merupakan persentase
51
52
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
berada pada kategori baik, 26,12% pada kategori sangat
baik, dan 29,21% pada kategori cukup. Berdasarkan data
tersebut, maka persentase mahasiswa yang merespon
indikator tersebut pada kategori baik dan sangat baik, yaitu
65,44%. Nilai ini merupakan persentase terendah dalam
parameter kualitas materi perkuliahan. Kemungkinan hal
ini disebabkan karena pada saat menyusun materi kuliah,
dosen jarang menggunakan jurnal, atau jarang
menyampaikan hasil-hasil penelitiannya untuk dijadikan
sebagai materi ajar. Untuk mengatasi masalah ini, dosen
diharapkan dapat membuka perpustakaan on line yang
dapat diakses gratis yang selama ini dilanggan oleh Dikti
atau Unram.
Pelaksanaan evaluasi proses perkuliahan
menunjukkan bahwa indikator kualitas test yang baik
ditunjang oleh indikator isi test yang baik (Gambar 6).
Sebanyak 55,12% mahasiswa mengakui bahwa kualitas test
berada pada kategori baik, 27,60% berada pada kategori
sangat baik, 14,56% berada pada kategori cukup, dan 2,06%
berada pada kategori kurang. Berdasarkan data tersebut,
maka kualitas test yang disusun dosen yang mendapat
53
54
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
ketersediaan dan relevansi media pembelajaran 71,43%,
dan ketersediaan kontrak perkuliahan 57,14%. Jika
persentase responden pada kategori baik digabung
dengan persentase responden pada kategori amat baik,
maka masing-masing indikator (kategori baik dan sangat
baik) akan memiliki persentase sebagai berikut:
Kelengkapan dan mutu silabus 100%, kelengkapan dan
mutu SAP92,86%, ketersediaan dan relevansi media
pembelajaran 85,72%, dan ketersediaan kontrak perkuliahan
92.85%. Data ini menggambarkan bahwa kesiapan dosen
dalam proses perkuliahan sangat tinggi. Ketersediaan dan
mutu perangkat pembelajaran dengan kualitas
ketercapaian yang sangat bagus ini agar terus
dipertahaknan dan dimantapkan.
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Danin, S., 2002, Inovasi Pendidikan, Penerbit Pustaka
Setia, Bandung.
[2] Prastati, T. dan P. Irawan, 1994, Media Instruksional,
Pusat antar Universitas Dirjen Dikti Depdikbud,
Jakarta.
[3] Irawan, P., 1994, Evaluasi Proses Belajar, Pusat antar
Universitas Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
[4] Depdikbud, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar, Balai Pustaka, Jakarta.
[5] Tim Penjamin Mutu Universitas Brawijaya, 2007,
Evaluasi Kinerja Di Program Studi Universitas
Brawijaya, Pusat Penjaminan Mutu Unibraw,
Malang.
[6] Hasan, S. 2014. Keberhasilan proses belajar biologi
dan pemberdayaan keterampilan berpikir tinggi.
Jurnal Pendidikan Biologi, Volume 5, Nomor
2, Februari 2014: 186-193.
55
Abstrak : Hasil studi dalam perkuliahan Fisika Dasar I memperlihatkan bahwa mahasiswa calon guru fisika
pada umumnya memiliki konsepsi keliru tentang gaya gesek. Konsepsi keliru tersebut meliputi penentuan syarat
terjadinya gaya gesek antara dua benda, jenis gaya gesek (statik atau kinetik), arah gaya gesek, serta nilainya. Melalui
pembahasan fenomena orang berjalan dan mobil bergerak dengan penggerak roda depan, dan menggunakan pendekatan
paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi, serta hukum-hukum Newton tentang gerak terbukti
dapat mengubah konsepsi keliru mahasiswa tersebut menjadi konsepsi yang benar. Akhir pembelajaran menggunakan
dua pendekatan tersebut terbukti mahasiswa memiliki pemahaman gaya gesek yang lebih sempurna, khususnya
berkenaan dengan syarat terjadinya gaya gesek, penentuan jenis, arah, dan nilai gaya gesek.
Kata kunci: : Pendekatan paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi, pendekatan analogi, serta syarat
kemunculan, jenis, arah, dan nilai gaya gesek.
Abstract : The Study results in Fundamental Physics I lecturing showed that pre service Students of Physics
in general have misconceptions about friction force. The misconceptions include determining of requirements of
friction force happening, sort of the friction force (static or kinetic), direction and value of the friction force. Through
discussions ofthe phenomena of a human being walking and a car moving with front wheel activator, and used
approaches of a paradigm that friction force as a reactive-force and analogy, also used the Newtons laws about
movement it proved that those could changethe misconceptions to be true conceptions. The last of lecturing using the
two approaches the Students have beter understanding of friction force, especially with rescpet to the requirements of
its happening, determining its sorts (static or kinetic), direction, and its value.
Keywords : Approache of a paradigm that friction force as a reactive-force, analogy approache, also
requirements of its happening, determining of sort, direction, and value of the friction force.
1. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sub-materi dalam pokok materi
mekanika dalam fisika, konsep gaya gesek selalu dibahas
dalam uraian pembelajaran fisika pada bagian mekanika.
Hal ini terjadi pula dalam pembelajaran fisika pada jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Perguruan
Tinggi. Namun demikian, sepengetahuan panulis,
pembahasan konsep gaya gesek dalam buku-buku pada
kedua jenjang tersebut secara umum belum mampu
memfasilitasi pembelajar untuk memahaminya secara utuh.
Fenomena lebih menyedihkan terjadi bahwa pembahasan
konsep gaya gesek lebih merupakan suatu ringkasan dari
konsep tersebut sehingga semakin menjauhkan pembelajar
untuk memahami konsep gaya gesek tersebut. Fenomena
ini, diperkuat oleh kenyataan bahwa dalam perkuliahan
Fisika Dasar Imahasiswa calon guru fisika secara signifikan
memperlihatkan konsepsi awal yang jauh dari standar
pemahaman konsep gaya gesek.
56
B
Lantai horizontal
Gambar 1 Balok B berada di atas lantai horizontal, permukaan balok B dan lantai kasar.
Fase berikutnya, mahasiswa merasa bingung
untuk memutuskan bagaimana arah yang seharusnya.
Penulis memberi jeda waktu kepada mahasiswa untuk
memikirkan fenomena tersebut. Beberapa saat kemudian
penulis meminta mahasiswa untuk mengaitkan kondisi
sistem balok-lantai itu dengan hukum Newton tentang
gerak. Fakta menunjukkan bahwa balok B berdiam di atas
lantai. Penulis mengingatkan kembali bahwa berdasarkan
hukum I Newton, ketika suatu benda mengalami resultan
gaya nol maka benda itu akan tetap berdiam atau ber-Gerak
Lurus Beraturan (ber-GLB). Fenomena ini juga sejalan
dengan hukum II Newton jika balok B mengalami resultan
gaya nol maka balok itu tidak mengalami percepatan yang
berarti kecepatannya tidak berubah dengan kata lain jika
semula berdiam akan tetap berdiam dan jika semula
bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan.
Jika ungkapan itu dibalik, maka balok B yang sedang
berdiam harus mengalami resultan gaya nol[1, 2, 3].
Akhirnya seluruh mahasiswa sepakat bahwa
jawaban arah gaya gesek itu salah bahkan gaya gesek itu
sendiri tidak ada atau balok B saat itu tidak mengalami
gaya gesek. Alasannya, jika ada gaya gesek yang bekerja
pada balok B sementara itu tidak ada gaya lain yang bekerja
secara horizontal pada balok tersebut berarti balok B
memiliki resultan gaya horizontal sama dengan gaya gesek
tersebut sehingga balok yang semula diam akam bergerak
searah gaya gesek itu dan hal ini jelas mustahil. Namun
demikian, muncul pertanyaan lain: Bagaimana mungkin
dua benda dengan permukaan kasar saling bersentuhan
tidak mengalami gaya gesek? Pada kesempatan ini,
penulis meyakinkan kepada mahasiswa bahwa gaya gesek
pada hakekatnya merupakan gaya-reaksi yang
keberadaannya bergantung ada dan tidaknya gaya aksi.
Jika balok pada Gambar 1 didorong ke kanan maka saat itu
58
61
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan multimedia interaktif sistem koloid yang layak
diterapkan di sekolah, dan menguji keefektifan multimedia interaktif tersebut dengan: 2) mengetahui apakah penguasaan
konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep
siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid; dan 3)
mengetahui apakah keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and development
(R&D) dengan mengikuti model pengembangan Borg &Gall. Hasil validasi ahli oleh 4 validator dan uji coba terbatas
oleh 10 siswa menunjukkan bahwa multimedia interaktif sangat layak digunakan dengan skor masing-masing sebesar
4,21 dan 4,36. Uji coba lapangan menggunakan desain non-equivalent control group design dengan 2 kelas sampel,
menghasilkan nilai probabilitas penguasaan konsep sebesar 0,00 (p < 0,05) dan nilai probabilitas keterampilan berpikir
kritis sebesar 0,00 (p < 0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) pengembangan produk pembelajaran
berupa multimedia interaktif berbasis kontekstual dapat dikembangkan dengan cara melakukan analisis materi pada
setiap sub materi sebagai dasar pengembangan produk awal, selanjutnya diuji kelayakan dan efektivitasnya serta
direvisi lewat validasi ahli, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan sehingga dihasilkan produk akhir yang layak
digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, 2) penguasaan konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid, dan 3) keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid.
Kata kunci: : multimedia interaktif, kontekstual, penguasaan konsep, keterampilan berpikir kritis
Abstract : The aims of this study were to: 1) generate interactive multimedia of colloidal system which is
suitable to be implemented in schools, and to test the effectiveness of an interactive multimedia by: 2) knowing
whether concepts mastery of students who use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery
of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) knowing
whether critical thinking skill of students who use context-based interactive multimedia is better than critical thinking
skill of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of the colloidal system. The
method used in this study was research and development (R&D) according to the model of Borg & Galls development.
The results of the expert validation by 4 validators and limited testing by 10 students showed that the interactive
multimedia was very suitable to be used, with scores of 4.21 and 4.36 for expert validation and limited testing, respectively.
Field trial testing, using a non-equivalent control group design with 2 class samples, resulted in the concept mastery
of probability value of 0.00 (p < 0.05) and the probability of critical thinking skill value of 0.00 (p < 0.05). From this
research we can conclude that: 1) context-based interactive multimedia can be developed by means of analyzing the
material in each sub material as the basis for developing primary form of product, then tested for its feasibility,
effectiveness, and revised through an expert validation, limited field is considered testing, and main field testing,
consecutively, so that the resulting product to be suitable for learning process, 2) concepts mastery of students who
use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery of students who do not use context-based
interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) critical thinking skill of students who use contextbased interactive multimedia is better than critical thinking skill of students who do not use context-based interactive
multimedia on the subject matter of the colloidal system.
Keywords : interactive multimedia, context learning, concept mastery, critical thinking skill
62
Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
1. PENDAHULUAN
Hasil telaah kurikulum 2013 menunjukkan bahwa
salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum 2013
adalah kurikulum berbasis kompetensi yang ditandai oleh
pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan,
keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik
yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran (Dokumen
Kurikulum 2013 SMA/MA). Kimia sebagai salah satu
pelajaran yang diajarkan di tingkat sekolah menengah tidak
hanya sekedar untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari
guru ke siswa, melainkan siswa diharapkan mampu
mengembangkan keterampilan berpikir agar dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki terhadap
situasi kehidupan nyata seperti yang tercantum dalam
kompetensi inti mata pelajaran kimia. Salah satu
keterampilan berpikir yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan tersebut adalah keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis atau yang dikenal dengan
sebutan critical thinking adalah keterampilan seseorang
dalam menggunakan proses berpikirnya untuk
menganalisis argumen dan memberikan interpretasi
berdasarkan persepsi yang sahih melalui logical
reasoning, analisis asumsi dan bias dari argumen dan
interpretasi logis [1].
Dalam pembelajaran kimia di sekolah, siswa masih
belum dapat difasilitasi untuk melatih keterampilan berpikir
kritis dan mendalami penguasaan konsep. Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara di salah satu sekolah yakni
di MAN 2 Mataram, guru biasanya menggunakan model
pembelajaran langsung, di mana siswa memperoleh materi
semata-mata dari guru, sedangkan siswa kurang aktif
terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa
kurang mampu membangun pengetahuan sendiri sehingga
keterampilan berpikirnya tidak dapat terlatih dengan baik.
Terlebih lagi karakteristik ilmu kimia yang bersifat abstrak,
akan sangat membutuhkan keterampilan berpikir dan
penguasaan konsep yang utuh untuk benar-benar
memahami materi sehingga dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu materi kimia yang memiliki banyak
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yakni materi sistem
koloid. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, sistem
koloid di mata para siswa merupakan materi hapalan dan
tidak menarik padahal bila dikaji lebih dalam materi ini
sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena
dalam kehidupan nyata dan memiliki aplikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan. Persepsi siswa
tersebut disebabkan karena karakteristik sistem koloid
yang didominasi oleh aspek mikroskopis (tidak dapat
terlihat), sementara pembelajaran sistem koloid di sekolah
masih belum bisa memberi gambaran yang jelas kepada
siswa mengenai aspek mikroskopis tersebut sehingga
pengetahuan siswa terbatas pada aspek makroskopis
(yang dapat dilihat). Siswa hanya dapat menghapal tanpa
benar-benar memahami materi tersebut. Akibatnya
keterampilan berpikir kritis siswa tidak dapat terlatih dan
penguasaan konsep yang dimiliki siswa menjadi tidak utuh.
Kean & Middlecamp mengemukakan bahwa untuk dapat
memahami suatu konsep dengan utuh, siswa harus dapat
memahami konsep kimia dari level makroskopik hingga level
O3
O1
O3
O2
O4
X
O4
Keterangan:
: Nilai awal kelas eksperimen
: Nilai awal kelas kontrol
: Nilai akhir kelas eksperimen
: Nilai ak hir kelas kontrol
: Penerapan MMI-BK
O2
Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
multimedia interaktif yang menggambarkan sistem koloid
dalam 3 (tiga) representasi baik makroskopis, mikroskopis,
maupun simbolis. Selanjutnya multimedia interaktif
didesain dengan pendekatan kontekstual, di mana
pendalaman konsep dimulai dari aspek konkret
(makroskopis), baru kemudian menelaah aspek abstrak
(makroskopis) dan simbolisnya. Dari hasil analisis materi
ini dihasilkan produk awal multimedia interaktif berbasis
kontekstual (MMI-BK) yang selanjutnya divalidasi dan
diujicobakan kepada siswa.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh ratarata skor validasi multimedia sebesar 4.21 (sangat baik),
RPP kelas eksperimen 4,22 (sangat baik), RPP kelas kontrol
4,25 (sangat baik), LKS praktikum 4,20 (baik), dan instrumen
soal 4,23 (sangat baik). Dari hasil tersebut multimedia dan
perangkat pendukung lainnya layak digunakan untuk uji
lapangan. Berdasarkan saran dari para ahli, peneliti
melakukan revisi pada multimedia terutama pada aspek isi
dan tampilan.
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Mann Whitney U-Test Terhadap Nilai Post-Test
PK
KBK
Sig.
Keputusan
0,000
0,000
Ho ditolak
Ho ditolak
65
Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
2. Penguasaan konsep siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada penguasaan konsep siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.
3. Keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Uno, H. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan
Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Sihaloho, M., Ibnu, S., dan Effendy. 2002. Analisis
Pemahaman Konsep Larutan Elektrolit Kuat.
Jurnal MIPA 31 (1), 62-78.
[3] Setiawan, A. 2007. Dasar-Dasar Multimedia Interaktif
(MMI). Bandung : SPs UPI.
[4] Rustaman, N.Y. 2005. Strategi Belajar Mengajar
Biologi.Malang:UniversitasNegeriMalang.
[5] Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual.Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
[6] Borg, W.R., and Gall, M.D. 2003. Educational Research,
An Introduction. Seventh Edition. New York
and London. Longman Inc.
[7] Nachar, Nadim. 2008. The Mann-Whitney U:A Test for
Assessing Whether Two Independent Samples
Comefrom the Same Distribution. Tutorials in
Quantitative Methods for Psychology. Vol. 4(1),
p. 13-20.
[8] Rusman, 2013. Model-Model Pembelajaran. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[9] Iriany, Liliasari, dan Setiabudi. 2010. Model
Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Berbasis
Tekhnologi Informasi pada Konsep Laju Reaksi
Untuk Meningkatkan Keterampilan Generik
Sains dan Keterampilan Berpikir Kreatif
Siswa SMU. Jurnal Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[10] Kariadinata, R. 2013. Aplikasi Multimedia Interaktif
dalam Pembelajaran Matematika Sebagai
Upaya Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Siswa SMA. Jurnal
Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia.
[11] Ratnaningsih, 2013. Pengaruh Pembelajaran
Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Dan Kreatif Matematik Serta
Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Jurnal Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[12] Manao, H. 2013. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL)
67
Abstrak : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimentalyang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran berbasis proyek terhadap hasil belajar kimia materi pokok sistem periodik unsur pada siswa kelas
X SMAN 1 Mataram tahun ajaran 2013/2014. Hasil belajar dalam penelitian ini meliputi hasil belajar dalam bentuk
pengetahuan dan hasil belajar dalam bentuk sikap (kerjasama siswa).Instrumen yang digunakan yaitu tes multiple
choice. Data hasil penelitian yang dianalisis statistikdengan uji t dan lembar observasi kerjasama yang dianalisis
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata 84,62 dengan ketuntasan
klasikal 71,79%, sedangkan pada kelas kontrol diperoleh nilai rata-rata 83,95 dengan ketuntasan klasikal 71,05%. Hasil
uji-t pada taraf signifikan 5% diperoleh Fhitung0,28< Ftabel 1,68 yang berarti Ho pada penelitian ini diterima. Hasil observasi
kerjasama pada kelas eksperimen memiliki tingkat kerjasama yang sama dengan kelas kontrol yaitu sangat tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek tidak berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar kimia materi
pokok sistem periodik unsur kelas X SMAN 1 Mataram tahun ajaran 2013/2014.
Kata kunci: : Pembelajaran berbasis proyek,hasil belajar, sistem periodik unsur
Abstract : This study was a quasi experimental that purpose to know the effect of project-based learning on
learning achievements on elements periodic system for X grade students of SMAN 1 Mataram in 2013/2014 academic
year. The students achievements were knowledge and attitude aspects (students cooperation). The instrument uses
for data collection are a multiple choice test which is statistical analyzed by applying t-test and observation sheet
about student cooperation which is analyzed descriptively. The study revealed that experimental group obtained 84.62
on average with classical mastery was 71.79% whereas the control group obtained 83.95 on average with classical
mastery was 71.05%. The results of t-test on 5% level of significant shows Facc 0.28 < Ftable 1.68 which means that Ho is
accepted. The result of observation sheets shows that whether the students in experimental group or in control group
have an equal level of cooperation. It shows very high level of cooperation. In summary, project-based learning has
no effect on the students chemistry learning achievements on elements periodic system for X grade students of
SMAN 1 Mataram in 2013/2014 academic year.
Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek.... (Nurwahidah, Yayuk Andayani, I Nyoman Loka)
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut adalah diterapkannya model
pembelajaran berbasis proyek. Model pembelajaran
berbasis proyek adalah model pembelajaran dengan
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru
berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara
nyata. Permasalahan tersebut dipecahkan secara
kelompok, dan menghasilkan sebuah produk [3].
Pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan
motivasi dan hasil belajar siswa. Model pembelajaran ini
dapat merubah suasana belajar kearah yang kreatif, aktif,
dan mandiri. Model pembelajaran ini juga memberikan
kebebasan otonom siswa untuk menyelesaikan masalah,
melalui kerjasama dengan kelompok atau individu [4].
Kerjasama merupakan salah satu unsur untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Bekerjasama akan membuat
seseorang mampu melakukan lebih banyak hal daripada
jika bekerja sendirian, dengan adanya kerjasama secara
kelompok, akan mengarah pada efisiensi dan efektivitas
yang lebih baik [5].Penelitian sebelumnya yang dilakukan
Kelas
X MIA 1
X MIA 2
X MIA 3
Jumlah Siswa
38
39
38
Nilai Rata-rata
81,05
80,51
77,00
Aspek
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
38
39
Nilai tertinggi
100
100
Nilai terendah
50
70
Rata-rata
83.95
84.62
Persen ketuntasan
71.05%
7 1.79%
3,25
2,50
1,75
1,00
Interval
=K = 4,00
=K< 3,25
=K<2,50
=K <1,75
Kriteria
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
69
Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek.... (Nurwahidah, Yayuk Andayani, I Nyoman Loka)
eksperimen lebih rendah dibandingkan kelas kontrol pada
deskriptor 2 disebabkan beberapa kelompok belajar dalam
kelas eksperimen masih melakukan penyesuaian terhadap
model pembelajaran yang diterapkan. Skor kerjasama siswa
di kelas eksperimen lebih rendah dibandingkan kelas
kontrol pada deskriptor 9 disebabkan beberapa kelompok
belajar dalam kelas eksperimen masih canggung berdiskusi
dengan model pembelajaran yang diterapkan. Skor
kerjasama siswa di kelas kontrol lebih rendah dibandingkan
kelas eksperimen untuk deskriptor 10 disebabkan karena
beberapa siswa pada kelas kontrol merasa telah memiliki
pemahaman yang lebih terhadap materi/konsep yang
diajarkan, sehingga ketika siswa menyampaikan hasil/
jawaban dari tugas yang diberikan, siswa yang lain kurang
memperdulikan hasil/jawaban tersebut.
Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan,
peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:
a.
Kepada mahasiswa (calon guru kimia) agar dapat
meneliti lebih lanjut dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis proyek pada materi pokok
yang lain.
b. Agar hasil belajar lebih maksimal perlu dilakukan
usaha lain dengan memperhatikan faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1] Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Rineka Cipta, Jakarta.
[2] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 2013. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
[3] Andri. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Proyek terhadap TingkatKerjasama Siswa dan
Hasil Belajar Siswa Kelas x TPM pada Mata
71
72
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan: (a) iklim kelas dengan prestasi belajar siswa;
(b) sikap siswa terhadap pelajaran kimia dengan prestasi belajar siswa; (c)iklim kelas dan sikap siswa secara bersama
dengan prestasi belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram
yang berjumlah 1590 siswa, sedangkan sampelnya diambil dari 4 sekolah dengan proporsi sebesar 15% dari total siswa
kelas XI IPA. Teknik penentuan anggota sampel adalah multistage random sampling dan diperoleh sampel sebanyak
118 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik angket untuk data iklim kelas dan sikap belajar siswa,
sedangkan untuk data prestasi belajar siswa menggunakan teknik dokumentasi hasil ujian semester genap siswa tahun
pelajaran 2012/2013. Hasil analisi skorelasi tunggal pertama antara iklim kelas dengan prestasi belajar siswa diperoleh
thitung (2,66) >ttabel (1,66) pada taraf signifikansi 5%, artinya iklim kelas memiliki hubungan positif dan signifikan dengan
prestasi belajar siswa. Hasil analisis korelasi tunggal kedua antara sikap siswa terhadap pelajaran kimia dengan prestasi
belajar siswa diperoleh thitung (2,90) >ttabel (1,66) pada taraf signifikansi 5%, artinya sikap siswa terhadap pelajaran kimia
memiliki hubungan positif dan signifikan dengan prestasi belajar siswa. Hasil analisis korelasi ganda antara iklim kelas
dan sikap siswa secara bersama dengan prestasi belajar siswa diperoleh Fhitung (5,69) >Ftabel (3,08) pada taraf signifikansi
5%, artinya iklim kelas dan sikap siswa secara bersama memiliki hubungan positif dan signifikan dengan prestasi
belajar siswa.
Kata kunci: : Hubungan, Iklim Kelas, Sikap Siswa, Prestasi Belajar Siswa.
Abstract : This study aims to explore the relationship between: (a) classroom climate and students achievement;
(b) students attitude on learning chemistry and students achievement; (c) classroom climate and students attitude all
together and students achievement. The population are all the students of grade XI science program at state high
schools in Mataram that consist of 1590 students, while the sample was taken from 4 schools with the proportion of
15%from the total number of students in each school. This study employed multistage random sampling and it was
obtained 118 students as samples. Questioner technique was employed to collect the data of classroom climate and
students attitude while documentation technique was applied to gather the data of students achievement of the
second term examination result in academic year 2012/2013. Single corelation analysis between classroom climate and
students achievement resulted in a higher tobserved than ttable (2.66 and 1.66, respectively) at 5% significance level, which
means that classroom climate has a positive and significant corelation with students achievement. The next single
corelation analysis between students attitude in chemistry and students achievement revealed a higher tobserved than
ttable (2.90 and 1.66, respectively) at 5% significance level, which means that students attitude in chemistry has a
positive and significant corelation with students achievement. Finally, a double corelation analysis between classroom
climate and students attitude all together with students achievement resulted in Fobserved of 5.69 which is higher than
Ftable (3.08) at 5% significance level. It suggested that classroom climate and students attitude all together have
positive and significant corelation with students achievement.
1. PENDAHULUAN
Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa.Faktor-faktor tersebut secara global dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal [1]. Iklim kelas merupakan salah satu faktor
eksternal (lingkungan sekolah) yang mempengaruhi
r1
X1
Y
X2
r2
74
X1
X2
r1
r2
Hubungan Iklim Kelas Dan Sikap Siswa Terhadap.... (Siti Elsi P, Agus Abhi Purwoko, Lalu Rudyat Telly Savalas)
tiap-tiap SMA. Jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 118 siswa.
Variabel penelitian yang akan diukur dalam
penelitian ini ada tiga yaitu iklim kelas, sikap siswa
terhadap pelajaran kimia dan prestasi belajar siswa. Untuk
iklim kelas dan sikap siswa menggunakan instrumen
nontest berupa angket (questionnaire) sedangkan prestasi
belajar menggunakan data dokumentasi berupa nilai ujian
semester genap siswa yang didapat dari guru masingmasing sekolah.Angket iklim kelas pembelajaran kimia
dikembangkan dari tiga indikator yaitu kekompakan siswa
di dalam kelas, keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan
dukungan guru dalam pembelajaran [6]. Sedangkan angket
sikap siswa terhadap pelajaran kimia dikembangkan dari
enam indikator yaitu implikasi sosial, sikap terhadap
penemuan ilmiah, adopsi sikap ilmiah, kesenangan belajar
kimia, pengisian waktu senggang dan minat berkarir di
bidang kimia [7].
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pedoman konversi skala 5, iklim kelas
pembelajaran kimia siswa kelas XI IPA SMA Negeri seKota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013 berada pada
kategori tinggi yaitu sebesar 45,76%. Sedangkan sikap
siswa terhadap pelajaran kimia sebagian besar terletak pada
kategori tinggi yaitu sebesar 53,39% dan prestasi belajar
kimia siswa sebagian besar juga terletak pada kategori
tinggi yaitu sebesar 53,39%.
Korelasi menggambarkan keeratan hubungan
antara variabel X dan Y. Dengan mensubstitusikan antara
harga iklim kelas dan prestasi belajar kimia siswa pada
rumus korelasi product moment diperoleh nilai rhitung sebesar
0,24 dan untuk hubungan antara sikap siswa terhadap
pelajaran kimia dan prestasi belajar kimia siswa diperoleh
nilai rhitung sebesar 0,26 yang keduanya berada pada kategori
rendah. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi linier
sederhana untuk hubungan antara iklim kelas dengan
prestasi belajar kimia siswa dengan uji t diperoleh
thitungsebesar 2,66 sedangkan dengan taraf signifikansi 5%
dan dk = n-2 =116 diperoleh ttabel sebesar 1,66. Karena thitung>
ttabelmaka terdapat hubungan yang signifikan antara iklim
kelas dengan prestasi belajar kimia siswa kelas XI IPA SMA
Negeri se-Kota Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013. Untuk
uji signifikansi koefisien korelasi linier sederhana untuk
hubungan antara sikap siswa terhadap pelajaran kimia
dengan prestasi belajar kimia siswa dengan uji t diperoleh
thitungsebesar 2,90 dengan taraf signifikansi 5% dan dk = n2 =116 diperoleh ttabelsebesar 1,66. Karena thitung> ttabelmaka
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa
terhadap pelajaran kimia dengan prestasi belajar kimia
siswa kelas XI IPA SMA Negeri se-Kota Mataram Tahun
Pelajaran 2012/2013.
Dengan mensubstitusikan harga koefisien
korelasi antara masing-masing variabel pada rumus
korelasi berganda maka diperoleh koefisien korelasi ganda
(R) antara iklim kelas dan sikap siswa dengan prestasi
belajar sebesar 0,30. Untuk uji signifikansi korelasi
berganda digunakan rumus uji F dan diperoleh nilai
Fhitungsebesar 5,69. Pada taraf signifikansi 5% dengan N=118
diperoleh Ftabelsebesar 3,08, sehingga Fhitung> Ftabel. Hal ini
75
Hubungan Iklim Kelas Dan Sikap Siswa Terhadap.... (Siti Elsi P, Agus Abhi Purwoko, Lalu Rudyat Telly Savalas)
Kelas pada Siswa yang Mengikuti Program
PercepatanBelajar. JurnalPsikologia, 1 (1).
(online): http://repository.usu.ac.id/handle/
123456789/15707. Diakses tanggal 14 Februari
2013.
[4] Sarifah, I. 2008. Korelasi Antara Sikap Siswa terhadap
Pembelajaran PAI Dengan Prestasi Belajar
PAI Siswa Kelas XII SMA Negeri Rowokele
Kebumen. Skripsi S1. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. (online): http://
digilib.uin-suka.ac.id/1035/. Diakses tanggal
15 Maret 2013.
[5] Cozby, P. C. 2009. Method in Behavioral Research
Edisi Kesembilan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[6] Widoyoko, E. P. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[7] Mardiyanti, H.S. 2012. Perbedaan Keterampilan
Berpikir Kritis melalui Penerapan Strategi
Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok dan
Tipe NHT Ditinjau dari Sikap Siswa terhadap
Biologi. Tesis S2. Universitas Mataram.
[8]Tarmidi. 2006. Iklim Kelas dan Prestasi Belajar. Medan:
USU Repository. (online): http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
1928/3/06010310.pdf.txt. Diakses tanggal 14
Februari 2013.
[9] Limpo, J. N., Oetomo, H., dan Suprapto, M. H. 2013.
Pengaruh Lingkungan Kelas terhadap
Sikap Siswa untuk Pelajaran Matematika.
Jurnal Humanitas, 10 (1). (online): http://
w ww. j ou r n a l . u a d . a c . i d / i n d e x . p h p /
HUMANITAS/article/download/1458/825.
Diakses tanggal 18 Januari 2013.
[10] Suryabrata, S. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
77
Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: sunggaraniFz@gmail.com
Abstrak : Ilmu kimia sebagai ilmu yang berdasarkan pada penelitian (induktif), yang seharusnya mampu
menyajikan soal yang menantang dan tersebar dalam enam level kognitif, hanya saja kondisi sebenarnya soal-soal
kimia masih dibuat tradisional dengan berada pada level kognitif rendah. Soal olimpiade sebagai ajang kompetisi
nasional siswa-siswa berprestasi di Indonesia pun belum diketahui level kognitif yang terkandung di dalamnya. Maka
tujuan penelitian ini yakni, mendeskripsikan komposisi penyebaran soal terhadap tabel Taksonomi Bloom revisi,
mendeskripsikan perbandingan soal OSN dan IChO (International Chemistry Olympiad) pada materi yang sama, dan
memetakan soal-soal tersebut terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA/MA. Hasil analisis menunjukkan
bahwa pada tahun 2012 tersebar pada prosedural-mengaplikasikan dan konseptual-memahami. Pada tahun 2013 tersebar
pada dimensi prosedural-mengaplikasikan dan faktual-memahami. Berdasarkan konten materi dalam satu soal IChO
menuntut siswa dapat menemukan keterkaitan suatu materi dengan materi lainnya guna menyelesaikan soal tersebut
sedangkan OSN tidak, tetapi keduanya memiliki dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif yang tidak terlalu
berbeda yakni pada lingkup prosedural-mengaplikasikan dan prosedural-menganalisis. Hasil pemetaan terhadap SKKD SMA/MA menunjukkan sebesar setengah dari jumlah ksesluruhan soal dapat dipetakan. Adanya analisis ini
diharapkan menjadi masukan bagi guru untuk memberikan penguatan konsep kimia pada pembelajaran, agar siswa
mampu mengerjakan berbagai macam soal, salah satunya soal OSN. Penelitian ini masih terbatas pada tahun 2012 dan
2013, sehingga dapat dikembangkan analisis untuk tahun-tahun lainnya.
Kata kunci: : Analisis, Taksonomi Bloom revisi, Dimensi Pengetahuan, Dimensi Proses Kognitif
Abstract : Chemistry as a science that is based on research (inductive), which is supposed to be able to
present a challenging problem and scattered in six cognitive levels, its just that the actual conditions of chemical
problems are still made traditionally with low cognitive level. Olympics as a matter of national competition top
students in Indonesia is not yet known cognitive level contained therein. So the purpose of this study, describing the
composition of matter of the spread of the revised Blooms Taxonomy tables, describing the comparison about OSN
and IChO (International Chemistry Olympiad) on the same material, and to map these problems to the standards of
competence and basic competences SMA/MA. The analysis showed that in 2012 spread over-apply procedural and
conceptual understanding. In 2013 spread to the dimension-apply procedural and factual-understand. Based on the
content of the material in a matter of IChO requires students to be able to find a material relationship with the other
materials in order to resolve these problems while OSN does not, but both have dimensions of knowledge and
cognitive process dimensions are not too different from that in the scope of procedural-procedural-applying and
analyzing. The results of the mapping of the SK-KD SMA / MA shows only half the number of ksesluruhan matter can
be mapped. The existence of this analysis are expected to be the input for the teacher to provide reinforcement in
learning chemistry concepts, so that students are able to do a variety of problems, one of which is a matter of OSN.
This study was limited in 2012 and 2013, so that the analysis can be developed for other years.
Keywords : Analysis, revised Blooms Taxonomy, Knowledge Dimension, The Cognitive Process Dimension
1. PENDAHULUAN
Ilmu kimia merupakan ilmu yang dikembangkan
berdasarkan penelitian (induktif), ilmu yang dapat
menjabarkan fenomena-fenomena alam dan penjelasannya
berhubungan dengan stuktur, sifat, komposisi, dinamika,
78
energi, dan lainnya [1]. Dijelaskan oleh Atjenon [2], soalsoal yang diujikan khususnya pada materi kimia harusnya
bersifat menantang dan mampu memisahkan siswa-siswa
kedalam suatu kelompok tinggi atau rendah, sehingga
Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
sebaiknya soal mampu tersebar pada enam jenjang dimensi
proses kognitif. Tetapi pada kenyataannya, di lapangan
dunia pendidikan kimia kebanyakan soal berada pada
kelompok LOCS (Lower-Order Cognitive Skills) atau
kelompok rendah [3].
Penelitian yang telah dilakukan oleh Satrisman
[4] menunjukkan soal level ujian nasional kimia pada tahun
2013 menempati presentasi terbanyak pada kelompok
kognitif rendah, sedangkan ujian nasional di Finland
persentasi terbanyak ditempati oleh level kognitif tinggi
[5]. Penelitian lain di bidang soal olimpiade rumpun IPA
seperti IPhO (International Physic Olympad)
menunjukkan kebanyak soal berada pada perhitungan
matematik yang berhubungan dengan pengetahuhan
prosedural [6]. Penelitian lainnya seperti pada soal
matematika PISA (Programme for International Student
Assessment) menunjukkan pemecahan soal yang tidak
familiar perlunya penalaran dan berhubungan dengan
pengetahuan konseptual juga pengetahuan prosedural
yang menuntut siswa berpikir dengan fleksibel, memikirkan
jawaban dari setiap langkah dan tidak bergantung pada
pemikiran awal saja [7].
Sebagai salah satu program penyaringan siswa
yang akan dikutsertakan dalam kompetisi internasional,
maka soal-soal yang diujikan dalam Olimpiade Sains
Nasional, menjadi point yang penting, mengingat level
soal secara nasional (Ujian Nasional) yang dibuat oleh
Indonesia seringnya berada pada level kognitif kelompok
rendah. Selain itu, dalam OSN ini pada setiap tahunnya
tidak dicantumkan nama dari pembuat soal, juga tidak
terdapatnya situs resmi yang bisa mengakses segala hal
mengenai soal olimpiade tersebut, maka perlunya analisis
terhadap soal-soal yang disajikan dalam olimpiade sains
nasional ini. Pengelompokkan soal terhadap kognitif tinggi
dan rendah dapat ditunjukkan pada analisis Taksonomi
Bloom revisi [5], mengingat Taksonomi ini satu-satunya
yang digunakan di Indonesia dan memilliki tingkat
kepsefisikan yang baik dengan adanya dimensi proses
kognitif dan pengetahuan.
79
3. METODE PENELITIAN
Soal yang dianalisis pada tahun 2012 berjumlah
33 soal uraian dan pada tahun 2013 berjumlah 44 soal
uraian dengan penyajian wacana pada setiap pokok soal.
Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif dengan jenis
Tabel.2 Penyebaran soal Tahun 2012 dan 2013 pada tabel Taksonomi
80
Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
Soal untuk dimensi mengaplikasikan (C3)prosedural ditunjukkan pada soal perhitungan persen
massa komposisi suatu alloy. Penggunaan rumusan
konsep stoikiometri dengan pengerjaan yang bertahap
merupakan dimensi proses kognitif mengaplikasikan dan
penerapan perhitungan matematik dalam menyelesaikan
soal kimia dikategorikan kedalam dimensi pengetahuan
prosedural. Soal berdimensi kognitif mengaplikasikan (C3)konseptual ditunjukkan pada soal penentuan suatu jenis
senyawa hidrat yang di paparkan tiga kemungkinan jenis
senyawa tersebut. Pada soal ini siswa diminta menyarankan
uji untuk menentukkan kandungan senyawa, maka siswa
perlu mengaplikasikan konsep penelitian/fenomena atau
teori untuk menentukkan uji yang paling efektif. Pola soal
mengaplikasikan(C3)-mengimplementasikan yang
ditunjukkan pada OSN ini yakni penerapan terhadap
rumusan pengerjaan matematik, berkenaan subtitusi data
terhadap data lain, dan mengaplikasikan-melaksanakan
ditunjukkan pada penerapan prinsip-prinsip kimia seperti
penulisan persamaan reaksi.
Komposisi terbanyak kedua yakni soal-soal
berdimensi proses kognitif menganalisis. Dimensi ini
melibatkan proses memecah materi menjadi bagian kecil
(membedakan) dan menentukan hubungan antara setiap
bagian tersebut (mengorganisasi) [9]. Beberapa soal
diantaranya memerlukan proses identifikasi elemen-elemen
atau situasi agar siswa dapat menentukan struktur yang
koheren dan menyelesaikan masalah, kategori ini yang
disebut dengan mengorganisasi. Soal berdimensi
menganalisis (C4)-prosedural ditunjukkan pada soal
perhitungan konsentrasi awal senyawa dengan prinsip
kesetimbangan kimia. Analisis dilakukan pada
pengorganisasian data senyawa tersebut agar dapat
disusun langkah prosedural yang tepat guna
menyelesaikan masalah tersebut. Soal berdimensi kognitif
menganalisis (C4)-konseptual ditunjukkan pada soal
dengan materi subtitusi benzena, dalam hal ini perlunya
analisis terhadap subtituen yang terkandung di dalamnya
dan juga memerhatikan subtituen kedua yang akan masuk.
Prinsip mengenai gugus prioritas pada materi ini merupakan
pengetahuan konseptual.
Kategori dimensi kognitif memahami ini memiliki
subkategori yang lain, yakni menafsirkan, mencontohkan,
mengklasifikan, merangkum, dan menyimpulkan.
Kebanyakan dari soal ini termasuk kategori menafsirkan
yang menuntut siswa untuk pengubahan dari grafik
menjadi tulisan, atau dari tulisan menjadi sebuah bahasa
simbol. Soal berdimensi memahami (C2)-faktual di
tunjukkan pada soal dengan materi kimia inti.
Dikelompokkan ke dalam dimensi ini, karena soal telah
menyebutkan nama unsur yang bereaksi, sehingga siswa
hanya perlu menuliskan lambang simbol dari unsur tersebut
tetapi juga perlunya memahami prinsip persamaan reaksi
pada kimia inti yakni jumlah massa atom dan jumlah proton
pada reaktan dengan produk haruslah sama, sehingga
persamaan reaksi dapat dituliskan secara setara. Soal
berdimensi mehamami (C2)-konseptual ditunjukkan pada
soal materi energi pengaktifan. Pada soal disajikan
81
82
Analisis Soal-Soal Olimpiade Sains Nasional (OSN).... (Tita Sunggarani, Euis Nursaadah, Yunita)
terkandung dalam soal-soal olimpiade sains nasional
khususnya pada bidang kimia dan juga memberikan
masukan kepada guru untuk mengetahui kedalaman
konten soal yang diujikan pada olimpiade sains nasional,
agar guru mengetahui tingkat kedalaman materi
pembelajaran yang harus di berikan kepada para siswa
tertentu yang akan mengikuti ajang kompetisi ini.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil analisis menunjukkan bahwa soal-soal OSN
pada tahun 2012 dan 2013 untuk bidang kimia memiliki
persentase terbesar yakni pada dimensi kognitif
mengaplikasikan (C3) dan pengetahun prosedural.
Persamaan OSN dan IChO terdapat pada dimensi yang
digunakan, sedangkan perbedaannya pada tingkat
kedalaman konten materi soal yang diujikan. Soal ini dapat
dipetakan terhadap SK-KD SMA/MA Kimia sebesar 50,7%
dari jumlah keseluruhan yakni sebanyak 77 soal.
Saran
Kekosongan pada level kognitif mengevaluasi
dan mencipta dapat ditambahkan dengan mengubah pola
soal seperti, adanya gambar sebagai stimulus agar siswa
lebih menganalisis kondisi, keterhubungan antara
fenomena alam dengan materi kimia lebih dibangun agar
siswa mampu merancang percobaan penyelesaian masalah,
dan lainnya. Soal IChO memiliki konten materi yang lebih
luas dibandingkan dengan OSN, maka sebaiknya soal
dapat dibuat dengan mengacu pada kecenderungan
konten materi yang terdapat pada IChO. Bagi para guru,
baiknya perkuat konsep yang diberikan kepada siswa agar
bentuk soal semacam olimpiade atau lainnya mampu
diselesaikan oleh siswa dan mulai mengenalkan tipe soal
OSN pada latihan soal dalam pembelajaran, sebagai
bentuk pengembangan soal agar lebih menggali
kemampuan siswa sehingga mampu bersaing di dunia
internasional.
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas X
SMAN 7 Mataram pada bidang studi matematika peminatan dengan materi Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat melalui
penerapan model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Jenis Penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus, dengan setiap siklusnya terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi. Adapun indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah jika terdapat
peningkatan rata-rata skor aktivitas dan peningkatan persentase ketuntasan untuk setiap siklusnya. Hasil penelitian
siklus 1 menunjukkan aktivitas belajar sebesar 7,38 dan siklus 2 sebesar 85,71. Begitu pula dengan ketuntasan klasikal
sebesar 70,25% pada siklus 1 dan 80,26% pada siklus 2. Jadi penerapan model pembelajaran CUPs dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 7 Mataram.
Abstract : This research is aim at increasing mathematical learning activity and achievement of X grade
students of SMAN 7 Mataram in the topic of Linear and Second order Equations System through the application of
Conceptual Understanding Procedures (CUPs) learning model. This research belong to class action research was
conducted in 2 cycle. Each cycle consisted of planning, Action, Observation, Evaluation,and reflection. Meanwhile
the achievement indicators in this research was the increase of mean scores of activities and the increase of completion
percentage in each cycle. The results of cycle 1 indicated learning activities which equal to 77,38 and cycle 2 was equal
85,71. In addition, the classical completion was 70,25 % in cycle 1 and 80,26% in cycle 2. Therefore, the application of
CUPs learning model was able to increase the activities and learning achievements in mathematical of X grade students
of SMAN 7 Mataram.
Keywords : CUPs Learning Model, Learning Activity, Learning Achievement
1. PENDAHULUAN
Matematika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
dan menjadi ilmu dasar bagi pengembangan disiplin ilmu
lainnya seharusnya dapat menjadi alternatif untuk
mencapai tujuan pendidikan. Matematika sebagai alat yang
efisien dan diperlukan oleh semua ilmu pengetahuan,
disamping itu juga implementasinya sangat dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika
dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di tingkat
sekolah dasar sampai sekolah menengah dan salah satu
mata pelajaran yang ditetapkan pemerintah untuk kelulusan
seorang siswa, baik siswa sekolah dasar, sekolah
menengah pertama maupun siswa sekolah menengah atas.
Namun, pentingnya peranan matematika bagi
kehidupan tidak sejalan dengan pendidikan matematika
yang ada. Ada kecenderungan yang mengkahwatirkan dari
sosok pelajaran matematika, dimana matematika masih
dianggap sebagai suatu pelajaran yang sulit dimengerti
dan terkesan menakutkan. Banyak siswa merasa kesulitan
dalam memahami matematika karena matematika bersifat
84
Penerapan Model Pembelajaran Conceptual.... (Nurul Hikmah1, Baidowi1 dan Nani Kurniati1)
kualitas pembelajaran yang siswa dapatkan yang kemudian
dipengaruhi oleh kemampuan (kompetensi) guru, suasana
belajar, kepribadian guru sebagai manusia model [2].
Di sisi lain, guru sering menyajikan pembelajaran
yang cenderung abstrak, masih secara klasikal dan satu
arah dari guru kepada murid melalui metode ceramah tanpa
banyak melihat kemungkinan penerapan metode
pembelajaran lain yang sesuai yang membuat proses
belajar matematika siswa yang kurang bermakna. Siswa
yang tidak terlibat langsung dalam pembelajaran dan
didominasi sepenuhnya oleh guru seharusnya menjadi
suatu bahan yang patut dievaluasi. Karena Pembelajaran
pada hakikatnya adalah kegiatan guru dalam
membelajarkan siswa, ini berarti bahwa proses
pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa
dalam kondisi belajar.
Membuat siswa dalam kondisi belajar berarti
perlu diciptakannya suatu suasana pembelajaran yang
berpusat pada siswa dengan memberikan kesempatan
kepada siswa sendiri untuk aktif dalam membangun
pengetahuannya agar memberi makna terhadap
pengetahuan tersebut, hal tersebut tentunya muncul jika
guru mau memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan ide-ide atau gagasan-gagasannya [3].
Pada akhirnya, pemilihan model pembelajaran
diharapkan dapat menjadi solusi agar anak dapat bergerak
aktif dan pembelajaran menjadi menyenangkan. Pemilihan
model pembelajaran dimaksudkan agar anak dapat menjadi
student centred dan guru tetap menjadi pembimbing
sekaligus fasilitator dalam perkembangan anak
mengemukakan pengetahuan dan pendapatnya. Salah
satunya melalui penerapan model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Model
pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) berlandaskan kepada pendekatan kontruktivisme
yang didasari pada kepercayaan bahwa siswa
mengkontruksi pemahaman konsep dengan memperluas
atau memodifikasi pengetahuan yang sudah ada. Dengan
pendekatan konstruktivisme siswa ditugaskan untuk
membaca, mengamati, bereksperimen atau bertanya jawab
kemudian dari hasil belajarnya, siswa mengkontruksi
pengetahuannya dengan kemungkinan miskonsepsi atau
keliru konsep yang dikontruksinya. Dengan demikian
dalam kegiatan pembelajaran, guru melatih siswa belajar
mandiri, sehingga otak kanannya terlatih dan retensinya
menjadi kuat [4].
Dalam pelaksanaan dengan menggunakan Model
Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri
dari tiga orang (triplet) yang dibentuk secara heterogen,
dengan mempertimbangkan kemampuan siswa dan bahan
diskusi yang diberikan kepada siswa. Guru lebih berperan
sebagai fasilitator, membantu mengaktifkan siswa tersebut
dalam pembentukan pengetahuan, sehingga siswa tidak
hanya duduk, memperhatikan, belajar menerima dan
memahami apa yang disampaikan oleh guru, tetapi siswa
lebih aktif membangun pemahaman yang berkaitan dengan
materi pelajaran matematika yang sedang dipelajari. Selain
itu siswa juga didorong untuk mengemukakan
85
86
dengan :
KB
= ketuntasan belajar klasikal
n
= banyaknya siswa yang memperoleh
nilai
N
KKM
= jumlah peserta yang mengikuti tes.
Dimana :
G
: persentase aktivitas guru
Penerapan Model Pembelajaran Conceptual.... (Nurul Hikmah1, Baidowi1 dan Nani Kurniati1)
: deskriptor ke-g yang tampak dengan g=12,3,.
Berdasarkan pedoman norma skala absolut skala
lima, selanjutnya skor yang diperoleh dikategorikan atas
lima kategori .
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan dari penelitian ini adalah
tercapainya aktivitas dan hasil belajar yang memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a. Aktivitas belajar siswa dikatakan meningkat jika terjadi
peningkatan rata-rata skor aktivitas untuk setiap siklusnya
dan minimal berkategori aktif.
b. Hasil belajar dikatakan meningkat jika rata-rata hasil
belajar mengalami peningkatan tiap siklusnya dan terjadi
peningkatan persentase ketuntasan dalam setiap siklus.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Siklus 1
Sebelum dilaksanakan Siklus 1 terlebih dahulu
dibentuk kelompok-kelompok siswa yang heterogen. Pada
saat pembelajaran siswa sudah duduk dengan anggota
kelompoknya masing-masing. Berdasarkan hasil observasi
siklus 1 diperoleh beberapa gambaran terkait aktivitas
siswa, dimana antusiasme siswa sudah terlihat baik
terutama dalam bertanya dalam rangka mengkonstruksi
konsep sendiri siswa untuk menemukan konsep SPLKDV,
aktivitas siswa berkategori aktif. Hal ini terlihat dari
antusiasme siswa untuk bertanya tentang materi yanng
mereka pelajari yang ada di LKS, sampai guru merasa
kewalahan untuk membimbing kelompok siswa karena
hampir semua kelompok ingin bertanya. Banyaknya siswa
yang bertanya juga terkait materi yang dipelajari ternyata
merupakan materi yang belum pernah mereka pelajari
sebelumnya di matematika wajib, sehingga butuh waktu
untuk mereka mengingat kembali materi SMP dahulu,
akibatnya alokasi untuk mengerjakan LKS menjadi lebih
lama, sehingga latihan individu yang diharapkan bisa
terlaksana menjadi Pekerjaan Rumah. Sedangkan dari
aktivitas guru, guru sudah bertindak sebagai fasilitator
sekaligus motivator dalam membimbing siswa untuk
menemukan konsep SPLKDV. Adapun data hasil observasi
kegiatan guru pada siklus 1 ini sudah berkategori sangat
baik.
Berdasarkan hasil evaluasi terlihat bahwa siswa
yang tidak tuntas sebanyka 9 orang dengan ketuntasan
klasikal sebesar 70,97% dengan nilai rata-rata sebesar
65,79. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas sudah
melebihi indikator kerja, namun ini baru permulaan/awal
siklus, sehingga butuh kelanjutan ke siklus selanjutnya
untuk memastikan penerapan dari model yang telah
diterapkan.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi diperoleh
gambaran terkait kekurangan dalam siklus 1 ini, sehingga
perlu di adakan perbaikan sebagai berikut
1) Guru lebih tegas dalam menghimbau siswa untuk lebih
bekerjama dengan baik dalam kelompoknya sehingga
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan
sebaik-baiknya.
2) Guru mengkondisikan siswa agar lebih siap dalam
pembelajaran baik secara psikis maupun mental.
87
88
Abstrak : Dalam pembelajaran matematika di kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/2014, terdapat
permasalahan, yaitu siswa terbilang pasif selama proses pembelajaran, selain itu, siswa juga banyak mengalami kesulitan
selama belajar matematika. Permasalahan tersebut berdampak terhadap rendahnya aktivitas dan prestasi belajar
matematika siswa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan menerapkan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) pada siswa kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/
2014 pada materi pokok trigonometri. Penerapan pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) terdiri atas 5
(lima) tahap, yaitu tahap intentionality, appropriatenes, structure, collaboration, internatization. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi peningkatan nilai rata rata dari siklus 1 ke siklus 3 yaitu 66,56;75,28; dan 84,50. Ketuntasan
belajar yang dicapai adalah 33,33%, 66,67%, dan 88,89%. Skor aktivitas belajar siswa pada siklus I sampai siklus III
yaitu 10; 12; 17,dengan kategori cukup aktif, aktif, dan sangat aktif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerapan pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding) dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar
siswa di kelas X B SMAN 1 Labuapi tahun pelajaran 2013/2014.
Kata kunci: : Scaffolding, aktivitas dan prestasi belajar.
Abstract : Mathematics learning process in X B class of senior high school number 1 Labuapi academic year
2013/2014 had some problems, students are not motivated to learn activity by their self, students meet difficulties in
learning mathematics. Those problems causes the low of students mathematics learning activity and achievement in
X B class of senior high school number 1 Labuapi. Therefore, this research aims to solve that problems, by implementing
scaffolding learning in teaching trigonometri material trough students in X B class of senior high school number 1
Labuapi academic year 2013/2014. The implementation of scaffolding learning method is held in five (5) steps. The
result showed that an increase in the average value from cycle 1 to cycle 3, which is 66,56; 75,28; and 84,50. Mastery
learning from cycle 1 to cycle 3 respectively are 33,33%, 66,67%, and 88,89%. In cycle 1, the mean score of students
learning activities is 10, 12, and 17, with quite active, active, and very active category. From this result it can be
concluded that implementation of scaffolding learning can improve the mathematics activity and learning achievement
in X Bclass students of senior high school number 1 Labuapi in material of trigonometry academic year 2013/2014.
Keywords : Scaffolding, learning activities, and learning achievement.
1. PENDAHULUAN
Pendidikan matematika mempunyai peranan
penting dalam menghadapi era global. Melalui pendidikan
matematika, siswa dilatih untuk menumbuh kembangkan
kemampuan berfikir kritis, logis, cermat, sistematis kreatif
dan inovatif. Disamping itu pendidikan matematika dapat
menumbuh kembangkan sikap positif yang sangat
berguna dalam kehidupan siswa, seperti: rasa percaya diri
pantang menyerah, ulet, perhatian serta memiliki rasa ingin
tahu. Dengan demikian kegiatan pembelajaran perlu
berpusat pada peserta didik, pembangkitan motivasi
belajar siswa, berlangsung dalam kondisi menyenangkan
dan menantang serta menyediakan pengalaman belajar.
89
Kelas
Jumlah Siswa
Nilai rata-rata
XA
21
50
75
XB
23
42
75
XC
23
49
75
XD
21
49
75
Sumber : Daftar nilai guru Matematika SMAN 1 Labuapi
KKM
Ketuntasan belajar
35%
5%
5%
11%
Penerapan Pembelajaran Dengan Bantuan.... (Made Dewi Ariani, Baidowi, Syahrul Azmi)
1) Sumber dan Analisis Data
Sumber data penelitian ini adalah siswa di kelas
X B semester II di SMA Negeri 1 Labuapi tahun ajaran
2013/2014. Data hasil belajar diambil dengan
memberikan tes kepada siswa pada akhir tiap siklus,
data aktivitas belajar siswa dan aktivitas mengajar guru
diambil dengan menggunakan lembar observasi yang
dilakukan pada tiap pertemuan.
Data Prestasi Belajar Siswa dianalisis dengan
rumus sebagai berikut [5]:
Keterangan:
x = Nilai rata-rata skor siswa
x i = Nilai skor masing-masing siswa
xi
x
i 1
Z
Keterangan :
x100%
66,56
100
48
18
0
33,33%
6 orang
KB = Ketuntasan belajar
X = Banyak siswa yang memperoleh nilai ? 75
(KKM mata pelajaran
Matematika di SMAN 1 Labuapi) Z = Banyak
siswa
Data aktivitas siswa akan dianalisis dengan cara
sebagai berikut:
n
Ti
A
i 1
Keterangan :
A = Rata - rata skor aktivitas siswa
75,28
100
52
18
0
66,67%
12 orang
91
84, 50
100
61
18
0
88,89 %
16 orang
Nilai rata
rata
Ketuntasan
belajar
I
II
III
66,56
75,28
84,50
33,33 %
66,67%
88,89%
Aktivitas Siswa
Rata - rata
Kategori
skor
10
Cukup aktif
12
Aktif
17,5
Sangat aktif
Aktivitas Guru
Rata - rata
Kategori
skor
14
Sangat baik
18
Sangat baik
17,5
Sangat baik
Penerapan Pembelajaran Dengan Bantuan.... (Made Dewi Ariani, Baidowi, Syahrul Azmi)
penguasaan siswa ini, masing masing anak dalam tiap
kelompok dapat bertukar informasi, dimana siswa yang
pandai dapat mentransfer pengetahuan yang dimilikinya
kepada siswa yang kurang pandai. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Stahl yang menyebutkan
bahwa dengan melaksanakan pembelajaran kooperatif,
siswa dimungkinkan dapat meraih kesuksesan dalam
belajar, disamping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki
keterampilan, baik keterampilan berfikir (thinking skill)
maupun keterampilan social (social skill), seperti
keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima
saran dan masukan orang lain, bekerjasama, rasa setia
kawan, mengurangi timbulnya prilaku menyimpang dalam
kehidupan kelas [3].
Sehingga berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya
memperbaiki proses belajar mengajar melalui penerapan
pembelajaran dengan bantuan bertahap (Scaffolding),
dengan beberapa faktor pendukung seperti adanya
pengefisienan waktu yang baik oleh guru dalam
pembelajaran, kondisi siswa saat pembelajaran, dan adanya
motivasi yang diberikan guru kepada siswa untuk belajar
akan berdampak pada peningkatan aktivitas dan prestasi
belajar siswa, istimewanya di kelas X B SMA Negeri 1
Labuapi tahun pelajaran 2013/2014.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dalam
penelitian ini adalah penerapan pembelajaran dengan
bantuan bertahap (Scaffolding) dapat meningkatkan
aktivitas dan prestasi belajar siswa untuk pokok bahasan
trigonometri pada siswa kelas X B semester II SMAN 1
Lapuapi tahun pelajaran 2013/2014.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suryosubroto, B. 2005.Tata Laksana Kurikulum.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 84 85
[2] Nurkencana, Wayan dan Sumartana. 1990.
Evaluasi Pendidikan. Suraba ya:
UsahaNasional.
[3] Isjoni. 2010. Cooperative Learning. Bandung: PT
Alfabeta.
[4] Aqib, Zainal, dkk. 2008. Penelitian Tindakan
Kelas. Bandung: PT Yrama widya.
[5] Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT.
Tarsito Bandung.
[6] Depdikbud. 1992. GBPP SMU Kurikulum
Sekolah
Menengah.
Jakarta:
Depdikbud.
93