Anda di halaman 1dari 20

Skenario 1: Sariawan di saat Ujian Semester

Tina, mahasiswa FKG, 20 tahun datang ke RSGM dengan keluhan sariawan sejak
5 hari yang lalu. Sariawan ini muncul ketika Tina tengah menghadapi ujian
semester. Riwayat sebelumnya menyatakan bahwa sariawan muncul setiap kali
terasa kecapekan atau jika beban pikirannya terlalu banyak. Dokter menjelaskan
bahwa sariawan dan gejala yang terjadi pada Tina merupakan akibat Stres. Stres
dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem imun (psikoneuroimunologi),
sehingga sistem imun terganggu dan mudah terjadi infeksi. Ujian merupakan
Stresor yang dapat menimbulkan manifestasi di rongga mulut Stomatitis Aftosa
Rekuren. Oleh karena itu, selain mendapat obat untuk sariawan, Tina juga
mendapatkan terapi untuk mengatasi stresnya.
Step 1
Psikis
: mental, psikologi, jiwa
Psikoneuroimunologi : cabang ilmu yang membahas mengenai hubungan antara
psikis, yaitu Stres psikologis dengan sistem saraf, sistem
endokrin dan sistem imun yang nantinya juga dihubungkan
Stres

dengan manifestasinya di seluruh tubuh.


: Respon tubuh baik fisik maupun psikis

dalam

menyesuaikan diri terhadap tekanan yang berpengaruh pada


fisik dan emosi. Apabila terjadi terus menerus Stres dapat
mengakibatkan gangguan pada tubuh.
Stres dibagi menjadi dua, Stres akut yang terjadi dalam
jangka waktu pendek dan Stres kronis yang terjadi dalam
jangka waktu panjang.
Stomatitis Aftosa Rekuren: peradangan pada mukosa rongga mulut yang berwarna
putih kekuningan, dengan bentuk bulat atau lonjong, dan
terkadang disertai rasa terbakar pada bagian yang sakit.
Gejala klinis: ulser putih kekuningan, tepi meradang.
Namun

ketika

tahap

akan

sembuh,

radang

makin

menghilang. Penyakit yang terlihat sepele, namun dapat


menyebabkan rasa tidak nyaman sehingga kesulitan
mengunyah.
Step 2

1. Bagaimanakah hubungan antara Stres dengan terjadinya RAS?


2. Apakah umur pasien mempengaruhi terjadinya RAS?
3. Bagaimanakah Stres dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem
imun?
4. Apa manifestasi penyakit lain di rongga mulut selain RAS yang
dikarenakan Stresor ujian?
5. Terapi apa yang bisa mengatasi Stres?
6. Apakah RAS dapat terjadi bila disebabkan faktor lain selain ujian?
Step 3
1. Stres menyebabkan penurunan sistem imun, seperti limfosit, NK dan TNF

sehingga ketika sebelum terjadi RAS, infeksi menjadi lebih mudah

masuk dan apabila telah terjadi luka RAS, penyembuhannya akan menjadi
lebih lama. Penurunan sistem imun dikarenakan Stres mempengaruhi
hipotalamus yang akan merangsang korteks adrenal menghasilkan kortisol.
Kortisol inilah yang akan menyebabkan sistem imun berkurang.
2. Ya. Pada umur 20 tahun (seperti yang tertulis di skenario), utamanya
wanita saat menstruasi akan mengalami penurunan hormone progesterone
sehingga suplai darah dan keseimbangan sel-sel menurun sehingga rongga
mulut menjadi rentan iritasi dan mudah terjadi luka yang pada akhirnya
mengarah ke RAS. Umur 20 tahun pula, sering terjadi ketidakseimbangan
hormone pada saat Stres sehingga meningkatkan terjadinya RAS. Pada
saat menopause, dapat juga terkena RAS karena kondisi epitel rongga
mulut menurun sehingga faktor pertahanan terhadap terjadinya luka juga
menurun. Pada usia 6-7 tahun Stres ujian tidak terlalu berpengaruh karena
belum banyaknya produksi hormone dibandingkan saat remaja. Namun,
umur dan hormone tidak merupakan faktor utama karena masih ada faktorfaktor lain yang mempengaruhi dan tergantung pula pada intensitasnya.
3.

Semakin sering berkontak dengan faktor, RAS bisa lebih mudah terjadi.
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke
pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan
dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain
dialiri

stres

adalah

kelenjar

hormon

dan

terjadilah

perubahan
2

keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan


fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres
telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui
berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT
(Hypothalamic-Pituitary-Thyroid

Axis)

dan

HPO

(Hypothalamic-

Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling


banyak diteliti Aksis.
Stres dan sistem imun tubuh menerima berbagai input, termasuk
stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular
nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan
mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine
vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke
hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis
anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari
prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya.
Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan
glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada
primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai
reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh
secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang
diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor.
Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid
disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui
mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya
disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid
dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan
menyebabkan

baik

imunodepresi

(melalui

peningkatan

kadar

glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid


gonadal),

karena

rasio

estrogen

androgen

berubah

maka

stres

menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding prial.


Selain kenaikan kadar ACTH, beta endorfin, enkefalin dan
katekolamin di peredaran darah juga terjadi penekanan aktifitas sel NK

saat stres. Blalock (1981) melaporkan bahwa limfosit yang mengalami


infeksi virus dapat menghasilkan hormon imunoreaktif (ir), antara lain
irACTH, ir endorfin, irTSH dan limfokin yang sangat mirip dengan
hormon sejenis yang dihasilkan di luar limfosit. Limfosit B dan limfosit T
yang merupakan sel efektor respon imun diketahui mempunyai reseptor
opioid yang berbeda, sehingga pengaturan kualitas maupun kuantitas
opioid ini dapat mengatur respon imun. Pengaruh stres terhadap sistem
imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor
neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Kecocokan neuropeptida dan
reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem
imun seseorang.
Beberapa penelitian imunologis menunjukkan stres menyebabkan
penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A),
aktifitas sel natural killer (NK) turun dan produksi interferon gama (IFN-)
turun.
4. Manifestasi selain RAS yaitu herpes, lichen planus dan BMS (Burning
Mouth Syndrome)
5. Terapi yang bisa diberikan antara lain memperbaiki faktor yang
menyebabkan terjadinya Stres, seperti ketika ujian tidak belajar lalu Stres
berarti ketika ada ujian selanjutnya, pasien diarahkan untuk belajar. Terapi
juga bisa dengan berkomunikasi dengan orang lain dan konsultasi dengan
psikolog serta mengkonsumsi makanan-makanan sehat. Selain itu, Stres
yang terjadi akibat dikeluarkannya hormon kortisol dapat diantisipasi
dengan pemberian hormone kortikosteroid secara sistemik.
Terapi untuk mengatasi Stres dapat juga dilakukan dengan:
a. Edukasi : memberi informasi pada pasien sehingga pasien paham
dan mengerti
b. Intruksi : pencegahan dan penghindaran Stres berupa pemberian
nasehat
c. Terapi pengobatan: pemberian obat-obatan untuk mengatasi Stres
seperti kortikosteroid
d. Pencegahan: tindakan pencegahan Stres, seperti menjaga kebersihan
dan konsumsi makanan sehat.
6. Selain Stres, RAS juga dapat terjadi dikarenakan faktor-faktor berikut:

a. Hormonal
b. Trauma, seperti pemakaian denture dan alat orto sehingga mengiritasi
mukosa
c. Konsumsi makanan keras
d. Penurunan sistem imun
e. Kekurangan zat besi dan vitamin B12
Step 4
mapping
Stres
Sistem Saraf

Hormon

Imunsuppresive
Mukosa mulut
Step 5
Learning Objective
Epitel Rongga
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui:
Mulut Rusak
1. Tentang Stres
2. Mekanisme hubungan psikoneuroimun
RAS berulangdengan

Stres

sehingga

menyebabkan RAS
3. Mekanisme Stres sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
4. Pengaruh Stres terhadap infeksi
Step 6
Mandiri
Step 7
1. Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang stress
Pengertian Stres
Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan
mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk
menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai
berupa respons fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stresor, konteks yang

menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres,


semua sebagai suatu sistem (WHO;2003).
Menurut Hans Selye dalam bukunya Hawari (2001) stress adalah respon
tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila
seseorang telah mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih
organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjelaskan fungsi
pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut distres. Pada gejala stres, gejala
yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik),
tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Tidak semua bentuk stres
mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut
dikatakan eustres.
Menurut Robert S. Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang
menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun
membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis,
emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stress dapat
saja positif (misalnya: merencanakan perkawinan) atau negative (contoh:
kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan
(stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh
individu.
Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan
menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan
koping

dan

adaptasi.

Sindrom

adaptasi

umum

atau

Teori

Selye,

menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa


mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons
tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu
(Issac, 2004)
Jenis Stres
Jenis-jenis Stres menurut Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis
stres menjadi dua, yaitu:
a. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif,
dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan

individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,


b.

fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.


Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk
konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular
dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan
dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Dalam hal ini, gejala stres yang akan diteliti merupaka gejala stres yang
bersifat

distress,

sebagai

akibat

dari

sebuah

stres

akut

yang

berkepanjangan dihitung mulai dari 3 bulan pasca kejadian (stressor)


muncul.
Sumber Stres
Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan
reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stres reaction acute (reaksi
stres akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada seorang individu
tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau
mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari.
Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan
peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya.
Empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi mekanisme
respons stres:
a) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor
yang mengurangi intensitas respon stress
b) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres
yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.
c) Persepsi: pendangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini
dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respon stres.
d) Respons koping: ketersediaan dan efektifitas mekanisme mengikat
ansietas, dapat menambah atau mengurangi respon stres.
Sumber stres yang dapat menjadi pemicu munculnya stres pada individu
yaitu:
a. Stressor atau Frustrasi Eksternal (Frustrasi = kekecewaan yang
mendalam).
7

Stressor eksternal : berasal dari luar diri seseorang, misalnya perubahan


bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau
sosial, tekanan dari pasangan
b. Stressor atau Frustrasi Internal
Stressor internal : berasal dari dalam diri seseorang, misalnya demam,
kondisi seperti kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi
seperti rasa bersalah).
Stressor untuk stress dibagi menjadi tiga:
a) Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lainlain.
b) Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian,
jatuh cinta dan lain-lain.
c) Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain
Gejala Stres
Menurut Robert S. Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang
menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun
membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis,
emosional, kognitif dan perilaku.
Taylor (1991) menyatakan, stress dapat menghasilkan berbagai respon.
Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat
berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat
stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek,
yaitu:
a. Respon fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
b.

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.


Respon kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif
individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,

c.

pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.


Respon emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang
mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan

d.

sebagainya.
Respon tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi

yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.


Tahap Stres
8

Menurut Hans Selye, 1950 stress adalah respon tubuh yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban di atasnya. Selye memformulasikan
konsepnya dalam General Adaptation Syndrome (GAS). GAS ini berfungsi
sebagai respon otomatis, respon fisik, dan respon emosi pada seorang individu.
Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap berbagai
stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stress berupa serangan bakteri
mikroskopi, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran. Model
GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stress, tubuh kita seperti jam dengan
system alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis.
Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu:
a. Reaksi waspada (alarm reaction stage)
Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan
munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk
mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem
endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini
disebut juga reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight
reaction).
b. Reaksi Resistensi (resistance stage)
Adalah tahap di mana tubuh berusaha untuk bertahan menghadapi
stres yang berkepanjangan dan menjaga sumber-sumber kekuatan
(membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan). Merupakan
tahap adaptasi di mana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap
mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi pada saat
reaksi waspada.
c. Reaksi Kelelahan (exhaustion stage)
Adalah fase penurunan resistensi, meningkatnya aktivitas para
simpatis dan kemungkinan deteriorasi fisik. Yaitu apabila stresor
tetap berlanjut atau terjadi stresor baru yang dapat memperburuk
keadaan. Tahap kelelahanditandai dengan dominasi cabang
parasimpatis dari ANS. Sebagai akibatnya, detak jantung dan
kecepatan nafas menurun. Apabila sumber stres menetap, kita

dapat menngalami penyalit adaptasi (disease of adaptation),


penyakit yang rentangnya panjang, mulai dari reaksi alergi sampai
penyakit jantung, bahkan sampai kematian.
2. Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui mekanisme hubungan
psikoneuroimun dengan Stres sehingga menyebabkan RAS
Stimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang
berperan sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi
selanjutkan akan mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat
untuk selanjutnya akan membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular
maupun molekular. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap
berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh
dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat
merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres utama yaitu
glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin dan
sebagainya. Respon stress tersebut akan membangkitkan suatu rentetan reaksi
melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya menjaga homeostasis, ada 5
sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal
(HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari (SAM), 3, Sumbu CRH-Sel
Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu
HPA- Sistem reproduksi.
Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus
paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkan corticotropin releasing
hormone (CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskan
adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks
adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini
merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya
efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi
keseimbangan sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor
glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan
ke hypotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon

10

tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofise


anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks
adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH,
korteks adrenal melepaskan hormon kortisol sedangkan bagian medula kelenjar
adrenal yang akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan
norepinefrin. (lihat gambar 1).

Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2
oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2,
IF- dan IL-12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10
(Elencov 1999)
Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai
imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan
Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba
yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan
dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini
sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk.
(2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi
penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam
sirkulasi. Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan
peningkatan IL-4, Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke

11

ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat


radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.
Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di
permukaan makrofag, sel natural killer dan sel Th terdapat reseptor
terhadap glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan
mempengaruhi transkripsi sistesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan
stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis
meningkatkan fungsi sel Th1. Penurunan sistesis kortisol akan
menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat
menerangkan berbagai penyakit kulit. Atas dasar mekanisme tersebut
kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi
serta sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal.
Selain yang dijabarkan diatas, mekanisme stress hingga akhirnya
menyebabkan RAS dapat dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut.
Stresor untuk organisme kompleks multiseluler seperti manusia,
didefinisikan sebagai stimulus yang oleh otak dianggap ancaman dan
menimbulkan keadaan disforik, serta fisiologis meningkatkan produksi
noradrenalin dan adrenalin untuk mekanisme melawan atau lari. Stresor itu
mencakup rasa nyeri, persepsi ancaman, dan keterpaksaan melakukan
aktifitas yang tidak mengikuti ritme fisiologik seperti ritme Sirkadian.
Semua stresor ini dipersepsi oleh otak sebagai kondisi disforik yang
menimbulkan kondisi stres dan mempengaruhi semua fungsi homeostasis
mulai dari kardiovaskular sampai fungsi imun. Selanjutnya ditemukan
bahwa sitokin sebagai bagian sistem imun ternyata juga mengendalikan
neuron dan sel glia otak.
Berdasarkan

peran

otak

tersebut,

psikoneuroimunologi

mengemukakan premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu
kesatuan homeostasis melalui fungsi psiko-biologik.
Substrat biologik respon stress
Respon stress terjadi bila seseorang menghadapi stimulus yang dianggapnya merupakan ancaman bahaya sebagai stresor. Karena itu respon
stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:

12

1. Etape persepsi stresor


2. Etape respon stress
3. Etape persepsi keberhasilan respon
Setiap etape ini mempunyai substrat biologik utama.
1. Etape persepsi stresor
Substrat biologiknya ialah korteks prefrontalis (KPF), nukleus amigdala,
dan hipocampus, serta sistem reward mesolimbik yang terdiri dari area
tegmental ventralis (ATV), nukleus akumben (NAk). Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah GABA (gamma-aminobutiric acid), hormon
katekolamin yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA),
serotonin (5-HT) serta neuropeptida S.
Apabila terjadi stimulus dari luar, maka KPF akan menilai apakah stimulus
itu berbahaya atau tidak dengan menggunakan informasi yang disimpan dalam
hipocampus (memori dari pelajaran atau pengalaman lalu). Bila dinilai
berbahaya, maka neurotransmiter penghambat GABA dihambat, tercetus
sinyal ke amigdala yang akan mencetuskan muatan emosional dari respon
stress tergantung penilaian. Bila menakutkan respon lari, bila memarahkan
respon melawan. Kedua-nya disebut respon melawan atau lari (fight or flight).
Apapun responnya, terjadi reaksi cascade dimulai pening-katan sekresi
serotonin, diikuti pening-katan sekresi dopamin, yang diikuti lagi oleh
peningkatan adrenalin sehing-ga terjadi emosi disforik (tidak nyaman). Proses
berikutnya adalah etape respon stress.
2. Etape respon stress
Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus
(LS)-Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang
juga disebut lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan
ritme Sirkadian. Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA,
glucocorticoid dengan cortisol sebagai hormon stress utama, serta melatonin
yang berkaitan dengan ritme Sirkadian. Etape ini disebut juga Sindroma
Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief alarm reaction. Etape ini sangat

13

mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara umum mengalami


peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami supresi.
Peningkatan NA segera diikuti pening-katan A. Terjadi adrenalin rush, yang
memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari.
Adrenalin rush menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai
ke point of no return dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam
etape ini mengalami disinhibisi sehingga perilaku melawan atau lari terjadi
secara otomatis tanpa pengendalian.(9, 10)
3. Etape keberhasilan respon
Substrat biologiknya ialah KPF, dan sistem reward mesolimbik.
Sedangkan neurotransmiter yang paling berperan ialah DA sebagai
neurotransmiter kenikmatan.
Bila perilaku melawan atau lari segera menyelesaikan masalah (hanya
terjadi pada tingkat peradaban pemburu-pengembara), maka kita masuk ke
respon relaksasi. Dalam hal ini DA terikat pada reseptor DRD2 di NAk,
timbul perasaan nyaman, adrenalin dan noradrenalin menurun, glucocorticoid
menurun, semua fungsi homeostasis turun kembali ketingkat basal.
Bagaimana bila respon stress akut gagal mengatasi kondisi stress?
Artinya kita selalu dalam kondisi stress akut yang memobilisasi fungsi
homeostasis sehingga kita selalu dalam reaksi melawan atau lari. Tentu saja
suatu saat kita akan kehabisan energi dan terjadi kerusakan pada hampir
semua sistem organ yang mengganggu homeostasis.
Untuk memahami proses yang terjadi kita akan membahas Sindroma
Adaptasi Umum sebagai respon fisiologik stress.
Sindroma Adaptasi Umum (SAU) sebagai respon fisiologik stress
Melalui penelitian selama 10 tahun pada berbagai hewan, Selye pada tahun
1974 mendeskripsikan tiga tingkat adaptasi terhadap stress berke-lanjutan
(prolonged stres) yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (SAU). Dimulai
dengan initial brief alarm reaction, diikuti periode resistensi berlanjut
(prolonged resistance period) dan diakhiri tingkat terminal kelelahan
(terminal stage of exhaustion and death).
Riset glucocorticoid menemukan pada initial brief alarm reaction terjadi
peningkatan tajam kadar gluco-corticoid darah. Selanjutnya pada periode
resistensi ketajaman peningkatan mulai mendatar, tetapi masih lebih tinggi

14

dari pada kadar basal glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu
titik tiba-tiba kadar glucocorticoid menurun pada tingkat terminal kelelahan,
yang diikuti kematian. Berdasarkan ini, pengukuran kadar glucocorticoid
darah dipakai sebagai metode deteksi tingkat stress yang dapat membahayakan
kehidupan.
Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan
neurotransmiter (yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada
dinding sel neuron otak dan dinding sel pengendali sistem imun serta dinding
sel berbagai organ endokrin. Temuan ini mengesankan saling keterkaitan
fungsi emosi yang dikendalikan susunan saraf pusat dengan fungsi imun yang
merupakan sistem pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang ber-kaitan
dengan homeostasis.
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan
respon imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental
yang dicetuskan respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental
mempengaruhi respon imun dalam upaya mempertahankan homeostasis
sampai level molekuler. Manifestasi organobiologik SAU ialah hipertrofi
kelenjar adrenal dan atrofi thymus, limpa dan jaringan limfoid, serta ulserasi
gaster.
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise
dasar; otak merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu
parameter homeostasis.
Initial brief alarm reaction sebagai respon terhadap stress akut
Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar
glucocorticoid dalam darah akibat aktifitas otak mela-lui aksis hypothalamicpituitary-adre-nal (HPA), selanjutnya melalui reaksi cascade akan terjadi
aktifitas amigdala dan hippocampus, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,
dan sirkulasi darah, sistem pencernaan, sistem imun, mukosa, dan kulit secara
sistematis sebagai berikut :
Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction
Aktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya,

seperti menghadapi binatang buas atau gempa bumi.


Aktivasi sistem Lokus Sereleus (LS)-Noradrenalin (NA)
15

Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama cortisol.


Aksis HPA meningkatkan produksi dan pelepasan glucocorticoid termasuk
hormone stress utama cortisol. Selanjutnya cortisol memobilisasi aktifitas
hampir semua sistem homeostasis seperti kardiovaskular, respirasi,
pencernaan, metabolisme, sistem imun, kulit dan mukosa, dalam persiapan

reaksi melawan atau lari (fight or flight).


Pelepasan katekolamin
Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai
neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin

(NA).
Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah

kepada musuh.
Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi
stress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan
perasaan khawatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku

melawan atau lari (fight or flight).


Efek pencetus perilaku instinktual
Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi
korteks pre-frontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek,
inhibisi, konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses
mental ini memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau
lari secara individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma.
Karena memori jangka pendek dan inhibisi ditekan, satu-satunya fungsi

sosial yang melekat adalah ikatan pada keluarga langsung.


Efek pada memori jangka panjang
Pada saat yang sama, katekolamin sebagai neurotransmiter member sinyal
ke hippocampus untuk merekam pengalaman stresor yang padat emosi ini
sebagai memori jangka panjang. Pada masa prasejarah, kerja otak ini
sangat vital untuk kelestarian karena memori jangka panjang tentang
beragam stimulus berbahaya ini sangat menentukan untuk menghindari
ancaman berbahaya ini di masa depan.

16

Penekanan fungsi rem perilaku otak


Dalam kondisi stress akut, neuron otak dengan sengaja meng interpretasi
sinyal kimiawi neurotransmiter untuk inhi-bisi secara salah. Sinyal off
justru diinterpretasi on, sehingga rem perilaku tidak berfungsi. Terjadi
disinhibisi total perilaku dengan patogenesis yang sama dengan
penggunaan cannabis. Seseorang yang merasa terancam akan melakukan

perilaku apapun dalam upaya melawan atau lari.


Respon imun terhadap stress akut
o Paradox cortisol
Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan
mobilisasi pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam
invasi.
Peningkatan cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian
sistem imun, sehingga sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin
mengalami reposisi. Sel tersebut dikirimkan ke bagian tubuh yang paling
berisiko luka atau terkena infeksi, seperti kulit dan kelenjar limfe. Tetapi
secara umum terjadi penekanan fungsi imun yang disebut paradox cortisol
yang bersifat vital karena semua proses homeostasis dimobilisasi untuk
persiapan reaksi melawan atau lari.
o Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori
Substrat biomolekuler yang meningkat pada respon stress ialah molekul
sitokin pro-inflamatori, terdiri dari; interleukin-1 (IL-1), interleukin-2 (IL2), interleukin-6 (IL-6), interleukin-10 (IL-10), interleukin-12 (IL-12),
interferon-gamma (IFN-Gamma) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-).
Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasi infeksi
apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini.
o Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini
berfungsi langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit
(sel glia) untuk mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga
diproduksi lokal dalam otak, terutama pada hipotalamus. Karena itu
sitokin memberi kontribusi pada efek perilaku akibat stress fisik dan
mental.
17

o Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)


Terjadi disregulasi neuro-hormon yang berekspresi dengan supresi respon
imun anti tumor.
o Mediasi sitokin pada respon stress dan inflamatori melalui otak.
Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan proses
inflamatori. Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan
respon adaptif dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon
stress, reaksi inflamasi sangat penting untuk survival. Reaksi inflamasi
sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat fungsi utama yaitu: reaksi
fase akut, sindroma sakit, nyeri, respon stress.
Keempat fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem simpatis.
Dalam hal ini penyakit seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik, dan
sepsis mempunyai karakteristik adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin
pro-inflamatori terhadap anti-inflamatori dan antara T helper (Th1) terhadap
(Th2).

3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mekanisme Stres sehingga


menyebabkan kerusakan jaringan
Glukokortikoid termasuk kortisol akan menekan fungsi imun seperti fungsi
SigA, IgG dan fungsi neutrofil. Stres juga mengakibatkan respons yang akan
ditransmisikan ke sistem saraf otonom, lalu ke medula adrenal, yang akan
disekresikan katekolamin berupa epinerin dan norepinefrin. Katekolamin
menginduksi pelepasan prostaglandin dan protease, jika keduanya kadarnya
tinggi dapat menyebabkan distruksi jaringan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengaruh stress terhadap
infeksi
Respons stres mengakibatkan hipotalamus mengeluarkan CRH kemudian
CRH stimulasi kelenjar pituitari melepas ACTH, ACTH stimulasi korteks
adrenal memproduksi kortisol. Glukokortikoid termasuk kortisol menekan
fungsi imun seperti fungsi SIgA, IgG dan fungsi neutrofil. IgA dirangkaian
dengan sekretori yang di produksi oleh sel lokal, komponen sekretori bertindak
sebagai reseptor untuk memudahkan IgA menembus epitel mukosa.

18

Fungsi IgA adalah mengikat virus maupun bakteri sehingga mencegah


mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan mukosa. IgA mengaktivasi
komplemen melalui jalur alternatif sehingga mikroorganisme mudah
difagositosis. Penurunan fungsi IgA pada stres akan mempermudah perlekatan
mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke
mukosa, mikroorganisme juga sulit di fagosit menyebabkan mudah terjadi
infeksi.
IgG merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan
antigen. IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravaskuler dan
melakukan aktivitas antibodi di jaringan. IgG melapisi mikroorganisme
sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis, disamping itu IgG juga mampu
menetralisasi toksin dan virus. IgG dapat melekat pada reseptor Fc yang
terdapat pada permukaan sel sasaran dan memungkinkan terjadinya proses
ADCC. Penurunan fungsi IgG pada stres akan memudahkan terjadinya kondisi
patologis, karena penurunan fagositosis, toksin dan virus tidak bisa dinetralisir.
Neutrofil bereaksi cepat terhadap rangsangan, dapat bergerak menuju
daerah inflamasi karena dirangsang oleh faktor kemotaktik antara lain
dilepaskan oleh komplemen dan limfosit teraktivasi.
Seperti halnya makrofag, fungsi neutrofil yang utama adalah memberikan
respon imun non spesifik dengan melakukan fagositosis serta membunuh dan
menyingkirkan mikroorganisme. Fungsi ini didukung dan ditingkatkan oleh
komplemen atau antibodi. Neutrofil juga mempunyai granula yang berisi enzim
perusak dan berbagai protein yang merusak mikroorganisme pada kondisi stres
fungsi neurtofil mengalami penurunan, fagositosis menurun, penurunan dalam
membunuh mikroorganisme.
Respons dari stres mengeluarkan glukokortikoid termasuk kortisol,
glukokortikoid

termasuk

kortisol

efek

terhadap

sistem

imun,

yaitu

imunosupresi dan efek anti- inflamasi. Efek ini lebih banyak melibatkan respos
imun selular, efek anti inflamasi yaitu menekan penimbunan selsel lekosit
pada daerah radang. Kortisol menekan SigA, IgG dan sel neutrofil akan
menyebabkan mudah terjadi infeksi. Banyaknya mediator IL-1 dan matrik
metaloproteinase menyebabkan terjadinya penyakit RAS

19

20

Anda mungkin juga menyukai