Tina, mahasiswa FKG, 20 tahun datang ke RSGM dengan keluhan sariawan sejak
5 hari yang lalu. Sariawan ini muncul ketika Tina tengah menghadapi ujian
semester. Riwayat sebelumnya menyatakan bahwa sariawan muncul setiap kali
terasa kecapekan atau jika beban pikirannya terlalu banyak. Dokter menjelaskan
bahwa sariawan dan gejala yang terjadi pada Tina merupakan akibat Stres. Stres
dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem imun (psikoneuroimunologi),
sehingga sistem imun terganggu dan mudah terjadi infeksi. Ujian merupakan
Stresor yang dapat menimbulkan manifestasi di rongga mulut Stomatitis Aftosa
Rekuren. Oleh karena itu, selain mendapat obat untuk sariawan, Tina juga
mendapatkan terapi untuk mengatasi stresnya.
Step 1
Psikis
: mental, psikologi, jiwa
Psikoneuroimunologi : cabang ilmu yang membahas mengenai hubungan antara
psikis, yaitu Stres psikologis dengan sistem saraf, sistem
endokrin dan sistem imun yang nantinya juga dihubungkan
Stres
dalam
ketika
tahap
akan
sembuh,
radang
makin
masuk dan apabila telah terjadi luka RAS, penyembuhannya akan menjadi
lebih lama. Penurunan sistem imun dikarenakan Stres mempengaruhi
hipotalamus yang akan merangsang korteks adrenal menghasilkan kortisol.
Kortisol inilah yang akan menyebabkan sistem imun berkurang.
2. Ya. Pada umur 20 tahun (seperti yang tertulis di skenario), utamanya
wanita saat menstruasi akan mengalami penurunan hormone progesterone
sehingga suplai darah dan keseimbangan sel-sel menurun sehingga rongga
mulut menjadi rentan iritasi dan mudah terjadi luka yang pada akhirnya
mengarah ke RAS. Umur 20 tahun pula, sering terjadi ketidakseimbangan
hormone pada saat Stres sehingga meningkatkan terjadinya RAS. Pada
saat menopause, dapat juga terkena RAS karena kondisi epitel rongga
mulut menurun sehingga faktor pertahanan terhadap terjadinya luka juga
menurun. Pada usia 6-7 tahun Stres ujian tidak terlalu berpengaruh karena
belum banyaknya produksi hormone dibandingkan saat remaja. Namun,
umur dan hormone tidak merupakan faktor utama karena masih ada faktorfaktor lain yang mempengaruhi dan tergantung pula pada intensitasnya.
3.
Semakin sering berkontak dengan faktor, RAS bisa lebih mudah terjadi.
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke
pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan
dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain
dialiri
stres
adalah
kelenjar
hormon
dan
terjadilah
perubahan
2
Axis)
dan
HPO
(Hypothalamic-
baik
imunodepresi
(melalui
peningkatan
kadar
karena
rasio
estrogen
androgen
berubah
maka
stres
a. Hormonal
b. Trauma, seperti pemakaian denture dan alat orto sehingga mengiritasi
mukosa
c. Konsumsi makanan keras
d. Penurunan sistem imun
e. Kekurangan zat besi dan vitamin B12
Step 4
mapping
Stres
Sistem Saraf
Hormon
Imunsuppresive
Mukosa mulut
Step 5
Learning Objective
Epitel Rongga
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui:
Mulut Rusak
1. Tentang Stres
2. Mekanisme hubungan psikoneuroimun
RAS berulangdengan
Stres
sehingga
menyebabkan RAS
3. Mekanisme Stres sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
4. Pengaruh Stres terhadap infeksi
Step 6
Mandiri
Step 7
1. Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang stress
Pengertian Stres
Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan
mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk
menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai
berupa respons fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stresor, konteks yang
dan
adaptasi.
Sindrom
adaptasi
umum
atau
Teori
Selye,
distress,
sebagai
akibat
dari
sebuah
stres
akut
yang
c.
d.
sebagainya.
Respon tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
Menurut Hans Selye, 1950 stress adalah respon tubuh yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban di atasnya. Selye memformulasikan
konsepnya dalam General Adaptation Syndrome (GAS). GAS ini berfungsi
sebagai respon otomatis, respon fisik, dan respon emosi pada seorang individu.
Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap berbagai
stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stress berupa serangan bakteri
mikroskopi, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran. Model
GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stress, tubuh kita seperti jam dengan
system alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis.
Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu:
a. Reaksi waspada (alarm reaction stage)
Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan
munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk
mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem
endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini
disebut juga reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight
reaction).
b. Reaksi Resistensi (resistance stage)
Adalah tahap di mana tubuh berusaha untuk bertahan menghadapi
stres yang berkepanjangan dan menjaga sumber-sumber kekuatan
(membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan). Merupakan
tahap adaptasi di mana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap
mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi pada saat
reaksi waspada.
c. Reaksi Kelelahan (exhaustion stage)
Adalah fase penurunan resistensi, meningkatnya aktivitas para
simpatis dan kemungkinan deteriorasi fisik. Yaitu apabila stresor
tetap berlanjut atau terjadi stresor baru yang dapat memperburuk
keadaan. Tahap kelelahanditandai dengan dominasi cabang
parasimpatis dari ANS. Sebagai akibatnya, detak jantung dan
kecepatan nafas menurun. Apabila sumber stres menetap, kita
10
Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2
oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2,
IF- dan IL-12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10
(Elencov 1999)
Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai
imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan
Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba
yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan
dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini
sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk.
(2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi
penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam
sirkulasi. Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan
peningkatan IL-4, Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke
11
peran
otak
tersebut,
psikoneuroimunologi
mengemukakan premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu
kesatuan homeostasis melalui fungsi psiko-biologik.
Substrat biologik respon stress
Respon stress terjadi bila seseorang menghadapi stimulus yang dianggapnya merupakan ancaman bahaya sebagai stresor. Karena itu respon
stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:
12
13
14
dari pada kadar basal glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu
titik tiba-tiba kadar glucocorticoid menurun pada tingkat terminal kelelahan,
yang diikuti kematian. Berdasarkan ini, pengukuran kadar glucocorticoid
darah dipakai sebagai metode deteksi tingkat stress yang dapat membahayakan
kehidupan.
Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan
neurotransmiter (yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada
dinding sel neuron otak dan dinding sel pengendali sistem imun serta dinding
sel berbagai organ endokrin. Temuan ini mengesankan saling keterkaitan
fungsi emosi yang dikendalikan susunan saraf pusat dengan fungsi imun yang
merupakan sistem pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang ber-kaitan
dengan homeostasis.
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan
respon imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental
yang dicetuskan respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental
mempengaruhi respon imun dalam upaya mempertahankan homeostasis
sampai level molekuler. Manifestasi organobiologik SAU ialah hipertrofi
kelenjar adrenal dan atrofi thymus, limpa dan jaringan limfoid, serta ulserasi
gaster.
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise
dasar; otak merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu
parameter homeostasis.
Initial brief alarm reaction sebagai respon terhadap stress akut
Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar
glucocorticoid dalam darah akibat aktifitas otak mela-lui aksis hypothalamicpituitary-adre-nal (HPA), selanjutnya melalui reaksi cascade akan terjadi
aktifitas amigdala dan hippocampus, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,
dan sirkulasi darah, sistem pencernaan, sistem imun, mukosa, dan kulit secara
sistematis sebagai berikut :
Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction
Aktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya,
(NA).
Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah
kepada musuh.
Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi
stress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan
perasaan khawatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku
16
18
termasuk
kortisol
efek
terhadap
sistem
imun,
yaitu
imunosupresi dan efek anti- inflamasi. Efek ini lebih banyak melibatkan respos
imun selular, efek anti inflamasi yaitu menekan penimbunan selsel lekosit
pada daerah radang. Kortisol menekan SigA, IgG dan sel neutrofil akan
menyebabkan mudah terjadi infeksi. Banyaknya mediator IL-1 dan matrik
metaloproteinase menyebabkan terjadinya penyakit RAS
19
20