Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan
orang yang homogen dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesanpesan yang disampaikan kepada mereka akan selalu diterima.
Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang
dikenal dengan teori Bullet Theory. Asumsi teori ini bahwa media
massa memiliki kemampuan penuh dalam mempengaruhi
seseorang.
Teori Bullet Theory ini merupakan konsep awal sebagai
effek komunikasi massa yang oleh para teoritis komunikasi pada
tahun 1970-an. Teori ini dimunculkan pada tahun 1950 an setelah
peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika
berjudul The Invasion From Mars.
Wilbur Schramm pada tahun 1950 an itu mengatakan
bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru
komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak
berdaya. Tetapi pada tahun 1970-an Scrhamm meminta kepada
khalayak peminatnya agar teori Bullet Theory komunikasi itu
tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa
itu ternyata tidak pasif.
Secara esensial bullet theory ini memandang bahwa
komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar untuk
mempengaruhi komunikan, efek yang ditimbulkan rentan
terhadap komunikasi massa. Menurut Jacques Ellul Sebuah teori
komunikasi massa yang lahir dari efektifitas propaganda, dimana
propaganda jauh dianggap lebih efektif dibandingkan analisaanalisa sementara. Menurut Joseph Klapper bullet theory ialah
Komunikasi massa yang memiliki dampak atau efek umum yang
mempengaruhi penguatan sikap suatu komunitas masyarakat.
Dalam pengaplikasiannya teori n telah diaplikasikan h
banyak
perusahaan
sebagai
salah
satu
cara
ampuh
mempertahankan produk mrk pasaran, n tu bidang
politik, teori n, digunakan untuk mempertahankan keyakinan

anggota suatu partai untuk tetap setia pada partai n mrk


anut n tk terbujuk nn seranganpartai lain. Begitu
juga k m kehidupan sehari-hari k kita ingin berusaha
mempengaruhi orang lain nn pendapat n kita yakini kita
cenderung menggunakn teori n wuun m kegiatan n
tk kita sadari.

B. Rumusan Masalah
1.

Studi kasus

2.

Apa itu bullet theory ?

3.

Apa pengaruh dari teori peluru ?

4.

Apa yang di maksud dengan The invansion from mars ?

5.
Keterkaitan teori peluru dengan teori lain (teori-teori
baru) ?
6.

Bagaimana ruang lingkup dari teori peluru ?

7.

Apa manfaat atau fungsi dari peluru ?

8.

Apa kelebihan dan kekurangan dari teori peluru ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Studi kasus

Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan


orang yang homogen dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesanpesan yang disampaikan pa-da mereka akan selalu diterima.
Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komu-nikasi yang
dikenal dengan teori peluru (Hypodermic Needle Theory). Teori
ini menganggap media massa memiliki kemampuan penuh
dalam mempengaruhi seseorang.

Media massa sangat perkasa dengan efek yang langsung


pada masyarakat. Khalayak dianggap pasif terhadap pesan
media yang disampaikan. bila komunikator dalam hal ini media
massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak,
dengan mudah khalayak menerima pesan yang disampaikan
media. Teori ini makin powerfull ketika siaran radio Orson Welles
(1938) menyiarkan tentang invansi makhluk dari planet mars
menyebabkan ribuan orang di Amerika Serikat panik.

Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga


1940an. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni
media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya
dari audience. dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni
penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai
efek yang sangat kuat terhadap komunikan. Dari beberapa
sumber teori ini bermakna:

1.
Memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa
yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience.[1]

2.
Disini dapat dimaknai bahwa peran media massa di
waktunya (sekitar tahun 1930an) sangat kuat sehingga audience
benar mengikuti apa yang ada dalam media massa.

3.
Selain itu teori ini juga di maknai dalam teori peluru karena
apa yang di sampaikan oleh media langsung sampai terhadap
audience.[2]

Sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat


terhadap audiencenya sehingga tak jarang menimbulkan sebuah
budaya baru dan pe-nyaampaiannya secara langsung dari
komunikator yakni media kepada komuni-kan (audience).
Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang
kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya.

Contoh:

Tentang iklan kampanye calon presiden Susilo Bambang


Yudoyono. Dengan iklan-iklan di media yang menarik sehingga
audience mudah dipe-ngaruhi apa lagi ditambah janji-janji manis
yang terdapat di iklan tersebut sehingga audience semakin
terpengaruhi untuk memilihnya. Yang pada akhirnya dia terpilih
kembali menjadi presiden.Pemberitaan media televisi tentang
kasus Bibit-Candra yang mempengaruhi audience sehingga
menimbulkan efek yang sangat besar. Yang pada akhirnya
menimbulkan demonstrasi dan gerakan mendukung BibitCandra.

B.

Teori Peluru

Teori peluru merupakan teori pertama tentang pengaruh


atau efek komunikasi massa terhadap khalayaknya. Teori peluru
ini pertama kali dikemukakan oleh Wilbur Schramm. Teori peluru
ini diperkenalkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa
penyiaran kaleideskop stasiun radio CBS di Amerika yang
berjudul The Invasion From Mars. Isi teori ini mengatakan
bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan

komunikasi massa. Ia menyebutkan pula bahwa apabila pesan


tepat sasaran, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan.

Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori


peluru adalah sebuah proses di mana seorang komunikator dapat
menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada
khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya. Akan tetapi dalam
karya tulisnya yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an,
Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru
komunikasi itu dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi
sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.

Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya itu


didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld
mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi,
mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang-kadang peluru itu tidak
menembus. Adakalanya pula efek yang timbul berlainan dengan
tujuan si penembak, yaitu media massa. Seringkali pula khalayak
yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak.

Sementara itu, Raymond Bauer menyatakan bahwa


khalayak sasaran tidak pasif. Mereka bandel (stubborn). Secara
aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa. Jika
menemukannya, lalu mereka langsung me-lakukan penafsiran
sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhannya.

Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan


para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori
peluru tadi. Kini timbul apa yang dinamakan limitted effect model
atau model efek terbatas, antara lain penelitian Hovland yang
dilakukan terhadap tentara dengan menayangkan film.Hovland
mengatakan bahwa pesan komunikasi efektif dalam
menyebarkan informasi, tetapi tidak dalam mengubah perilaku.

Selanjutnya penelitian Cooper dan Jahoda pun


menunjukkan bahwa persepsi (sudut pandang) yang selektif
dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan serta penelitian
Lazarsfeld dan kawan-kawan terhadap kegiatan pemilihan umum
menampakkan bahwa hanya sedikit saja orang-orang yang
dijadikan sasaran kampanye pemilihan umum yang terpengaruh
oleh komunikasi massa.

Dari berbagai pemaparan di atas, kita sekarang tahu


bahwa teori komuni-kasi ini terlalu disederhanakan. Sebuah
pesan komunikasi massa tidak memiliki efek yang sama pada
masing-masing orang. Dampaknya pada seseorang tergantung
pada beberapa hal, termasuk karakteristik kepribadian seseorang
dan beragam aspek situasi dan konteks. Namun demikian, teori
peluru merupakan sebuah teori komunikasi massa yang dapat
dimengerti: ia tampaknya lahir dari efektivitas nyata propaganda
setelah Perang Dunia I. Di antaranya karena rakyat begitu naif
dan mempercayai kebohongan. Teori ini mungkin tidak lagi akan
bekerja baik sekarang, tapi pada waktu itu teori ini masih akurat.

Sampai saat ini, teori peluru mungkin belum mati. Ia


muncul dalam bentuk yang sedikit direvisi pada tulisan seorang
filsuf Perancis Jacques Ellul (1973). Ellul berpendapat bahwa
propaganda jauh lebih efektif dibandingkan analisa-analisa yang
dibuat orang Amerika. Dia secara khusus menolak bukti dari
eksperimen-eksperimen, dan mengatakan bahwa propaganda
adalah bagian dari sebuah lingkungan total dan tidak dapat
diduplikasikan dalam laboratorium.
Ellul berpendapat bahwa
propaganda bersifat sangat meresap dalam kehidupan orang
Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak menyadarinya,
tetapi ia mampu mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya, inti dari
nilai-nilai ini adalah gaya hidup orang Amerika.

Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa


dilihat pada iklan-iklan produk kecantikan yang ditayangkan di
TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan keunggulan-

keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik


perhatian para penonton. Walaupun pada kenyataannya, dari
pesan ke-unggulan yang disampaikan tidak memberikan efek
secara langsung dan hanya berdampak pada sebagian orang
dengan jenis kulit yang cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan
peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan produknya
dan diterima para penonton yang mungkin sebagian dari mereka
terkena pengaruhnya dengan cara membeli produk kecantikan
tersebut.

Pengaruh teori Peluru

Audience bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang


disiarkan oleh para pengelola media. Karena teori ini
mengansumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa
audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa
dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki oleh media.
Seperti yang dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media
massa dalam teori peluru mempunyai efek langsung
ditembakkan ke dalam ketidaksadaran audience.

Cerita singkat The invasion from mars

Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang


Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan
serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban
manusia. Barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu
banyak orang dari berbagai lapisan dan berbagai tempat di
Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang
tergoncangkan oleh apa yang terjadi pada waktu itu. Begitulah
Hadley Cantril memulai tulisannya tentang The Invasion of Mars.
[3]

Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara OrsonWelles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga
bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Dalam
cerita itu dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para profesor dari
beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan
Jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata.
Pendengar menganggapnya peristiwa sebenarnya. "Sebelum
siaran itu berakhir", begitu dilaporkan Centril, "diseluruh Amerika
Serikat orang berdoa, menangis, melarikan diri secara panik
untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars.

Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya, ada yang


menelpon menyampaikan ucapan perpisahan atau peringatan,
ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari
surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulance dan
mobil polisi. Sekurang-kurangnnya satu juta manusia ketakutan
mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta manusia
ketakutan atau tergoncangkan.

Keterkaitan teori

Peritiwa The invasion from mars itu menarik perhatian


beberapa orang peneliti sosial yang menurutnya suatu peristiwa
langka telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik karena
menggambarkan keperkasaan media massa dalam
mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media
massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa
yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan
oleh propagandis agama Father Coughlin ( Teknik-teknik
propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for Propaganda
Analysis ).

Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa


beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman
Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media massa

dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis


atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat
membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi
dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang
boleh disebarkan. Radio diperbanyak untuk menambah
efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di
italia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan
fasisme. Sebelumnya, di Rusia juga Lenin berhasil merebut
kekuasaan dengan menggunakan media massa pula.

Tetapi benarkah media massa perkasa ? Menurut Noelle Neumann, penelitian efek media massa selama empat puluh
tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa
tidak perlu diperhatikan, Efeknya tidak begitu berarti, ini
diperkokoh oleh psikolog sosial William McGuire yang menulis
bahwa dampak media massa hasil pengukuran dalam
hubungannya dengan daya persuasif tampaknya kecil saja.
Sejumlah besar penelitian telah dilaksanakan untuk menguji
efektivitas media massa, hasilnya sangat memalukan bagi
pendukung media massa karena ternyata sedikit sekali adanya
bukti perubahan sikap, apalagi perubahan perilaku nyata. Agak
mengherankan, memang. Pada satu sisi, kita melihat kejadiankejadian yang menunjukkan pengaruh media massa. Pada sisi
lain, peneliti sosial menunjukkan tidak ada pengaruh yang cukup
berarti. Manakah yang betul ? Perkasakah media massa atau
tidak ?

Penelitian efek komunikasi mengungkapkan pasang surut


kekuatan media massa. Dari media massa yang perkasa, kepada
media massa yang berpengaruh terbatas, dan kembali lagi pada
media massa yang perkasa. Hingga tahun 1940, pada pasca
Perang Dunia I, kekuatan terhadap propaganda telah
mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat
desrtasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang
Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa
teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio
Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan

psikologi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam


hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang
disebut Melvin DeFleur ( 1975 ) sebagai "instinctive S-R theory".
Menurut teori ini, media menyajikan stimuliperkasa yang secara
seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan
desakan, emosi, atau proses lain yang hempir tidak terkontrol
oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons yang
sama pada stimili yang datang dari media massa.[4] Karena teori
ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh
stimulimedia massa. Teori ini disebut juga teori peluru ( bullet
theory ) atau modedl jarum hipodermis ( Rakhmat, 1984 ), yang
menganalogikan pesam komunikasi seperti obat yang
disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasian. Elisabeth Noelle
- Neumann ( 1973 ) menyebut teori ini " The concept of powerful
mass media ".

Pada tahun 1960-an, Carl I. Hovland melakukan beberapa


penelitian eksperimantal untuk menguji efek film terhadap
tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya
efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam
mengubah sikap. Cooper dan Jahooda meneliti pengaruh film "
Mr. Bigott " yang ditujukan untuk menghilangkan rasial. Mereka
menemukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas
pesan. Serangan terbesar pada model peluru adalah penelitian
Paul Lazarsfeld dan kawan-kawan dari Columbia University pada
pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa
dalam kampanye pemilu pada perilaku pemilih. Daerah sampel
yang dipilih adalah Erie County, di New York. Karena itu,
penelitian mereka lazim dikenal dengan sebutan Erie County
Study.

Apa yang ditemukan Paul Lazarsfeld ? Mengejutkan.


Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih
sebagai " Agent of conversion " ( Media untuk mengubah perilaku
), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan
yang ada. Pengaruh media massa juga disaring oleh pemuka
pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan

daripada media massa. Khalyak juga bukan lagi tubuh passif


yang menerima apa saja yang disuntikkan ke dalamnya.
Khalayak menyaring informasi melalui proses yang disebut
terpaan seletif (selective exposure) dan persepsi selektif
(selective perception).

Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu Psikologi


kognitif datang dengan " theory of cognitive dissonance" (teoti
disonansi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu
berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian
dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh
keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan
dengan kepercayaan yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940
dan 1950-an makin membuktikan keterbatasan pengaruh media
massa. Ahli sosiologi menyimpulkan penelitian pada periode itu
dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan
kelucuannya. Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku
The Effects of Mass Communication. Dari rangkuman hasil-hasil
penelitian, Klapper antara lain menyimpulkan bahwa efek
komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktor-faktor
perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif
( persepsi selektif, terpaan selektif, ingatan selektif, proses
kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinen opini ).

McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada


periode ini sebagai berikut :

1.
Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering
kali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.

2.
Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada
prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi.

3.
Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar
kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah
yang dikehendaki.

4.
Sejauh man suatu persoalan dianggap penting oleh
khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media
massa ( komunikasi massa efektif dalam menimbulkan
pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak
dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting."

5.
Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh
pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma
kelompok.

6.
Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal
pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan
menetukan efek yang terjadi.[5]

Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat


efek madia massa pada orang, para peneliti sekarang
memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media. Fokus
penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate,
dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan
media untuk memenuhi kebutuihannya. Pendekatan ini kemudian
dikenal dengan pendekatan " uses and gratification "
( panggunaan dan pemuasan ).

Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz


( 1959 ) sebagai reaksi terhadap Bernard Berelson yang
mengatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek media
massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian tentang
usaha untuk menjawab pertanyaan : " what do people with the
media ? ". Karena penggunaan media adalah salah satu cara

untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media


sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan
kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh disebut
sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model
efek terbatas dari Klapper.

Model lain yang termasuk model efek moderat adalah


pendekatan agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell E.
McComb dan Donald L. Shaw. Model agenda setting tampaknya
mempengaruhi kembali penelitian efek, yang diabaikan oleh
model uses and gratification. Perbedaanya yang utama dari
model jarum hipodermis adalah fokus penelitian. Bila model yang
disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa
terhadap sikap dan pendapat, agenda setting memusatkan
perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan.
Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek efektif ke
efek kognitif.

Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat


mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media
massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang.
Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak
tentang apa yang dianggap penting. Bila media massa sering
memuat nama seseorang, maka orang itu akan cenderung
dianggap tokoh yang penting.

Bila surat kabar memuat secara besar-besaran


pernikahan seorang ratu, maka pernikahan itu akan menjadi
bahan pembicaraan khalak pula. Begitu pula bila televisi sering
menampilkan adegan kekerasan, orang rajin menontonnya akan
menganggap dunia ini penuh dengan tindakan-tindakan
kejahatan. Pendeknya, media massa memilih informasi yang
dikehendaki berdasarkan informasi yang diterima, dan khalayak
membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa. Mungkin
ucapan Bernard Cohen ( ahli ilmu politik ), berhasil
menyimpulkan model agenda setting dengan dua kalimat

sebagai berikut : " It may not be successful much of the time in


telling people what to think but it is stunningly successful in
telling its readers what to think about." ( Cohen, 1963:13 ). Model
agenda setting masih tetap dikembangkan sampai sekarang.
Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan para peneliti kelihatan
mau kembali kepada efek komunikasi yang perkasa.

Pada awal 1970-an, kampanye media massa terbukti


mempunyai efek yang penting terhadap sikap dan perilaku.
Mendelsonn ( 1973 ) menunjukkan bagaimana kampanye CBS
perihal keselamatan pengemudi telah mendorong 35 ribu
pemirsa mendaftarkan diri pada kursus latihan mengemudi.
Maccoby mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi
penderita penyakit jantung.

Di Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann dapat dianggap


sebagai sarjana yang menekankan pentingnya kembali kepada
konsep efek perkasa dari media massa. Menurut NoelleNeumann, penelitian terdahulu tidak memperhatikan tiga faktor
penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama dalam
membatasi persepsi yang selektif. Faktor itu adalah ubiquity,
kumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.

Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu


mendominasi lingkungan informasi dan berada dimana-mana.
Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari
pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa
bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong
bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu.
Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak
media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para
wartawan ( consonance of journalists ). Siaran berita cenderung
sama, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarakan.

Secara singkat, kita telah melacak perkembangan


penelitian komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai
sekarang. Kira-kira berlangsungnya dalam kurun waktu kurang
lebih setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apaapa dalam sejarah peradaban manusia. Namun beberapa puluh
tahun terakhir ini, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan
komunikasi yang jauh lebih cepat dari pada apa yang terjadi
selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang
memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad
technetronic ( teknologi elektronis ) yang akan datang. Tetapi,
manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol
lingkungan.Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk
mengalami lingkungan secara fenomenologis.

Ruang lingkup teori peluru ( Bullet Theory )

1.

Media Massa

Media massa dalam sejarahnya pernah memiliki kemampuan


yang luar biasa dalam mempengaruhi seseorang, mulai dari
proses kognitif hingga menuntun perilaku. Tapi hal ini terjadi
pada jaman perang, dimana penguasa menjadikan media massa
sebagai alat propaganda untuk menakuti musuh dan
menciptakan loyalitas rakyat untuk mendukung kebijakan
penguasa. Model komunikasi massa yang berlaku pada saat itu
adalah model linear, yaitu komunikator menyebarluaskan pesan
melalui media massa, kepada khalayak.

Sebenarnya, model komunikasi massa seperti ini masih ada


hingga saat ini. Hanya berbeda pada konsep karakteristik
khalayak. Pada waktu itu, khalayak dianggap hanya sekumpulan
orang yang homogen dan tidak berdaya. Sehingga, pesanpesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima
bulat-bulat, apa adanya. Fenomena ini kemudian melahirkan
teori yang dalam ilmu komunikasi dikenal dengan teori jarum

suntik. Inilah teori yang menganggap media massa memiliki


kemampuan powerful dalam mempengaruhi perilaku seseorang.

Ketidakberdayaan khalayak memang disengaja. Kolaborasi


penguasa dengan media massa mendesain pesan sedemikian
rupa dikenal dengan teori agenda setting sebelum
disampaikan pada masyarakat. Hanya informasi yang
menguntungkan pemerintah saja yang bisa disiarkan lewat
media. Informasi yang bertentangan dengan kepentingan
penguasa, walaupun benar, akan dibuang. Masyarakat juga tidak
mendapatkan alternatif sumber informasi, karena pada waktu itu
media massa yang hidup hanya media yang bisa berkolaborasi
dengan pemerintah atau yang diciptakan oleh pemerintah (dan
segala konsekuensi biayanya ditanggung pemerintah).

Seiring dengan berakhirnya perang, pandangan atau teori


jarum suntik mulai ditinggalkan. Paradigma media massa seperti
ini hanya bertahan di beberapa negara otoriter. Di Amerika
Serikat dan negara-negara penganut liberalisme dan kapitalisme,
teori jarum suntik sudah sangat lama ditinggalkan karena dalam
kenyataannya, khalayak ternyata tidak homogen dan terdiri atas
individu-individu yang bebas. Oleh karena itu, model hubungan
media massa dengan khalayak yang berkembang kemudian
adalah model display attention (pameran perhatian). Di
Indonesia, trend per-kembangan media massa sedang dalam
masa transisi ke arah ini.

Model pameran perhatian, sebenarnya merupakan implikasi


perubahan paradigma media massa dari fungsi pelayanan
menjadi industri dalam arti sepenuhnya. Media massa saat ini
sudah berubah menjadi entitas bisnis yang dimiliki oleh satu atau
beberapa investor dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Media mendapatkan keuntungan
dari para pe-masang iklan melalui pesan-pesan komersial yang
disiarkannya. Para pe-masang iklan bersedia membayar mahal

karena iklan-iklan mereka terbukti efektif meningkatkan


penjualan.

Pada sisi lain masyarakat membutuhkan informasi dari media


massa, termasuk juga informasi komersial. Terjadilah lingkaran
simbiosis mutualis-me. Pada fase ini, media massa bukan lagi
barang langka. Dalam satu negara, bisa terdapat puluhan bahkan
ratusan media massa. Dan ini berarti, masyarakat sebagai
khalayak mendapatkan banyak sekali pilihan dan sumber
informasi. Dalam keadaan seperti ini, media massa tidak lagi
powerful dalam mempengaruhi seseorang. Media massa hanya
menyampaikan infor-masi yang kira-kira (menurut hasil
penelitian mereka) dibutuhkan oleh khalayak, sekadar
memamerkan. Sebut saja seperti etalase informasi. Khalayaklah
yang berkuasa dan akan memilih informasi dari media massa
sesuai dengan kebutuhannya.

Khalayak bisa menghukum media jika informasi yang


disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan khalayak. Caranya
dengan beralih ke media yang lain. Inilah fase, dimana media
massa dan khalayak berada pada level yang sama. Walaupun
demikian, dalam interkasi media dan khalayak saat ini, model
linear sebenarnya tetap berlangsung, sehingga media massa
tetap bisa berpengaruh terhadap kognitif hingga perilaku
seseorang. Tapi untuk mengkaji pengaruh pesan pada khalayak,
diperlukan lebih banyak fariabel, antara lain jenis informasi yang
diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti informasi
tersebut, dan juga variabel-variabel internal kahalayak sendiri
seperti, tingkat pendidikan dan wawasan, jenis kelamin, tingkat
usia, dan kelompok sosial lainnya.

Manfaat dan fungsi

1.

Teori Teori Peluru ( BulleTheory )

Berdasarkan teori ini, media massa seperti peluru yang di


tembakkan ke tengah masyarakat. Media massa di pandang
sebagai jarum suntik untuk mengalirkan obat ke dalam tubuh
manusia. Media berperan secara otomatis untuk memasukan
pesan pesan ke pribadi pribadi dan masyarakat umum.

2.

Pendekatan Rangsangan - tanggapan ( Stimulus - Respon )

Berdasarkan teori ini, media massa berperan untuk


mendapatkan dan melihat rangsangan ( respons ) yang
menghasilkan reaksi dari masyarakat. Artinya, media massa
dapat berperan sebagai pemberi informasi kepada masyarakat,
sehingga media ikut menambah wawasan di tengah tengah
masyarakat.

Kelebihan dan kekurangan teori peluru ( bullet theory )

Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan


juga kelemahan. Dan tentunya beberapa teori tersebut hanya
bisa berkembang di masanya dan juga mengalami
penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami
perkembangan.

1.

Kelebihan teori peluru :

a.
media memiliki peranan yang kuat dan dapat
mempengaruhi aveksi, kognisi dan behaviour dari audiencenya.

b.
Pemerintah dalam hal ini adalah penguasa yang dapat
memanfaatkan media untuk kepentingan birokrasi ( negara
otoriter )

c.

Audience dapat lebih mudah di pengaruhi

d.

Pesanya lebih mudah dipahami

e.
Sedikit kontrol karena masyarakat masih dalam kondisi
homogen.

2.

Kekurangan teori peluru :

a.
keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat
mengikis teori ini
tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat

b.
Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat
bisa menentukan pilihan yang menarik bagi dirinya sendiri.

c.
Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience
untuk menerima atau menolak pesan dari media tersebut.

BAB III

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Salah satu teori komunikasi massa dalam media adalah


Bullet Theory atau biasa yang disebut dengan teori peluru,
artinya media massa sangat mempunyai kekuatan penuh dalam
menyampaikan informasi. Apapun pesan yang disiarkan oleh
media bisa dengan sendirinya dapat mempengaruhi
khalayaknya. Teori ini menyatakan bahwa efek-efek merupakan
reaksi spesifik terhadap khalayak. Jika seseorang menerapkan
dan memprediksikan hubungan yang dekat antara pesan media
dan reaksi khalayak, maka media tersebut dapat menembakkan
teori ini tepat pada sasarannya.

Untuk mengkaji pengaruh pesan pada khalayak,


diperlukan lebih banyak fariabel, antara lain jenis informasi yang
diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti informasi
tersebut, dan juga variabel-variabel internal khalayak sendiri
seperti, tingkat pendidikan dan wawasan, jenis kelamin, tingkat
usia, dan kelompok sosial lainnya.

B.

Saran

Komunikasi massa mempelajari hal yang terpenting


dalam segala aspek, untuk itu diperlukan upaya untuk
menganalisa setiap pesan yang datang dari media massa. Proses
komunikasi massa dengan berbentuk peluru membutuh-kan
waktu, ruang, dan tempat yang luas kepada audience. Dalam
konteks inilah kita harus menegaskan kembali persepsi kita
bahwa komunikasi itu bukan sesuatu yang mudah. Karena itu,
berbagai upaya terus menerus kita harus lakukan untuk
meningkatkan pengetahuan komunikasi kita dan kete-rampilan
berkomunikasi.

Anda mungkin juga menyukai