Tinea Cruris Pedis Unguium
Tinea Cruris Pedis Unguium
dibedakan
atas
dermatofitosis
dan
non
dermatofitosis.
Regio pedis :
Pada region phalang
pedis Terdapat skuama
halus pada tepi phalang
Dan
pada
regio
interdigitalis
terdapat
maserasi berupa kulit
putih dan rapuh dengan
eritema disekelilingnya.
Pengobatan medikamentosa :
1. Terapi topikal : Mikonazol krim 2 % selama 10 hari (bokong dan kaki).
Siklopiroks nail lacquer 8% (kuku).
2. Terapi sitemik : Ketokonazol 1x 200 mg/hari selama 10 hari ditambah
CTM 3 x 1 tablet.
Prognosis pada pasien ini adalah baik jika pasien patuh dengan anjuran
dokter dan mengikuti program pengobatannya baik yang medikamentosa maupun
nonmedikamentosa. Komplikasi biasanya jarang terjadi, namun mungkin dapat
terjadi komplikasi jika pasien masih sering menggaruk lesinya tersebut.
III. PEMBAHASAN
Pada kasus diatas ditegakkan diagnosis Tinea Cruris, Pedis et Unguium
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologi.
Dari anamnesis, Timbul brercak kemerahan yang terasa gatal di bokong
kanan dan kiri, lipatan paha kanan dan kiri, sela-sela jari kaki dan kuku sejak 1
tahun yang lalu. Adapun riwayat perjalan penyakitnya adalah : sejak 1 tahun
yang lalu timbul bercak kemerahan di daerah kaki dan sela-sela jari kaki, terasa
gatal yang hilang timbul terutama jika kaki basah dan terasa lembab. Pasien
berobat ke klinik dan diberikan obat minum tablet yang diminum 2 kali sehari,
serta salep yang dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi. Pasien mengaku keluhan
berkurang setelah berobat, namun muncul kembali jika obat habis. Kemudian
sekitar 2 minggu yang lalu bercak kemerahan timbul di bokong kanan dan kiri
dan kedua lipat paha yang terasa gatal. Dikarenakan sangat gatal pasien sering
menggaruknya
dapat meluas ke daerah gluteus, sedangkan Tinea Pedis dapat terjadi pada kaki ,
terutama sela-sela jari dan telapak kaki, juga Tinea unguium kelainan pada kuku.
Dalam hal ini disebut Tinea Cruris, pedis et unguium atau sebaliknya. 1 Ditambah
lagi, keluhan gatal tersebut bertambah hebat ketika lembab. Hal ini sesuai dengan
gejala khas Tinea, baik Tinea Cruris, Corporis, atau apapun jenis tineanya, dimana
rasa sensi gatalnya akan bertambah hebat ketika lembab dan berkeringat misalnya
saat beraktivitas.2,4,6
Pasien DM mengalami masalah pada sistem imun yaitu imunodefisiensi
sekunder atau didapat merupakann defisiensi yang tersering ditemukan. Faktor
imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral
dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih
penting. Faktor non-imun yang mikrobial normal merupakan mekanisme protektif
untuk pejamu, karena flora ini mengadakan kompetisi dengan fungi untuk
mendapatkan makanan dan tempat perlekatan pada epitelial dan juga flora ini
dapat menghasilkan produk-produk toksik terhadap jamur. Kulit yang intact
dengan proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier yang efektif
terhadap dermatomikosis. kegagalan florabakteri normal kulit untuk menghambat
pertumbuhan yeast, di mana ketersediaan glukosa merupakan lingkungan yang
cocok bagi yeast untuk berkembang biak. Pada penderita diabetes melitus juga
terjadi gangguan mekanisme imunoregulasi. terjadi gangguan kemotaksis lekosit
dan fagositosis pada penderita diabetes melitus, terutama selama hiperglikemia.
Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa factor predisposisi pada
pasien ini adalah penyakit diabetes mellitus yang dialaminya.
Pada pemeriksaan dermatologi di Regio gluteus didapatkan plak
eritematosa, jumlahnya 3, polisiklik, sirkumkripta, terdapat central healing yang
ditutupi skuama psoriasisformis. Central healing merupakan peradangan di tepi
lebih nyata daripada dibagian tengahnya. Keluhan pada daerah ini dirasakan sejak
2 minggu yang lalu, dimana awalnya bercak kemerahan tersebut sebesar uang
logam seratus rupiah, kemudian semakin lama semakin melebar hingga terlihat
seperti saat ini. Berdasarkan tinjauan pustaka diketahui bahwa pada stadium akut
Tinea itu (kurang dari 3 bulan) lesi kulitnya dapat berupa eritematosa kecil dengan
batas tegas (sirkumkripta), dapat berupa papul yang menyebar sehingga dapat
berupa plak eritematosa. Efloresensi kemudian dapat berkembang menjadi
berbagai macam bentuk primer maupun sekunder (polimorf). 1-3,5,6
Pada pemeriksaan dermatologi di Regio pedis Desktra et Sinistra
didapatkan skuama halus dan maserasi pada interdigitalis. Keluhan pada daerah ini
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Temuan ini sesuai dengan lokasi predileksi
dan efloresensi dari Tinea Cruris et pedis.
Pada pemeriksaan dermatologi pada kuku tangan dan kaki pasien
ditemukan kuku tampak rusak dan rapuh serta warna putih kekuningan. Keluhan
pada daerah ini dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Temuan ini sesuai dengan
perubahan lokasi predileksi dan efloresensi dari Tinea unguium.
Terjadinya temuan klinis diatas dapat dimengerti bedasarkan pathogenesis
dari infeksi dermatofita, dimana infeksinya diawali dengan adhesi artrokonidia ke
keratinosit, umumnya berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti
dengan penetrasi. Dermatofita menghasilkan keratinase yang memungkinkan
untuk mencerna keratin dan mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sambil
memakan keratin kulit yang tampak sebagai skuama. Sebagai respon terhadap
keberadaan jamur, tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas
antimikrobial dari leukosit PMN yang bermanifestasi sebagai eritema, papul,
vesikel dan pustul. Fungsi ini terutama didukung oleh transferin tak jenuh serta
asam lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur 5.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus ini antara lain
yaitu pemeriksaan mikologi berupa pemeriksaan langsung sediaan basah dan
kerokan kulit, pemeriksaan biakan atau kultur dengan agar dekstrosa sabouraud,
dan Lampu Wood. Pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan langsung sediaan
basah dan kerokan kulit dengan larutan KOH yaitu dengan cara 3 :
1. Ambil kulit yang ingin diperiksa dengan cara dikerok menggunakan
pisau tumpul steril, untuk kulit yang berambut dicabut terlebih
9
kepada
pasien
tentang
penyakit
dan
prinsip
pengobatannya.
2. Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menghindari faktor risiko
seperti menjaga kebersihan diri dengan mandi 2 kali sehari
menggunakan sabun dan air bersih, mengganti pakaian dan pakaian
dalam setiap habis mandi dan terasa lembab ataupun basah,
menggunakan pakaian longgar dan menyerap keringat, menjemur
pakaian pada terik matahari, menjaga agar tubuh tidak terlalu
berkeringat, menghindari kontak langsung dengan orang sekitar seperti
penggunaan handuk atau barang pribadi lainya secara bersamaan,
memotong kuku agar tidak menimbulkan luka saat menggaruk.
3. Pasien diedukasi untuk dan tidak menggaruk lesinya.
4. Menjalankan pengobatan secara teratur.
5. Selalu mengontrol gula darah dan rutin dalam pengobatan DM-nya.
Kemudian untuk pengobatan medikamentosanya yaitu Terapi yang diberikan
berupa terapi antifungal sistemik yaitu ketokonazol 200 mg 1 kali sehari.
11
Sebenarnya ada beberapa obat antifungi sistemik yang dapat digunakan antara lain
griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol dan terbinafin. Griseofulvin sekarang sudah
jarang digunakan karena banyak ditemukan kasus-kasus yang telah mengalami
resistensi, sedangkan itrakonazol dan terbinafin sulit didapatkan dan harganya
relatif lebih mahal. Sehingga ketokonazol lah yang dipilih sebagai antifungi
sistemik pada kasus ini. Perlu diingat, pemberian ketokonazol lebih dari 10 hari
bersifat hepatotoksik.1,3,5 Karena itu, disini saya meresepkan ketokonazol oral
selama 10 hari saja, kemudian setelah 10 hari dilihat dulu hasilnya dan
adatidaknya keluhan lain pada pasien. Diberikan juga antifungal topikal, yaitu
untuk bokong dan sela sela jari mikonazol 2% dalam bentuk salep pemakaian 2
kali sehari selama 10 hari karena ruam pada kasus ini terdapat lebih dari satu
tempat dan sebagai pertimbangan untuk mempercepat proses penyembuhan.1
untuk kuku Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat
fungisidal, sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada
kulit dan kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail
lacquer 8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan
mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari
pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku dalam
beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan dicapai
setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan pertama,
setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga
hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklosporik
tidak melebihi dari 6 bulan.6,10 Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya
masa pengobatan panjang. Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai
keterbatasan, namun masih dapat digunakan sebagai pengobatan tinea unguium
karena tidak mempunyai risiko sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan oral untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu
bentuk cat kuku juga mudah digunakan. Pemberian CTM 1x4 mg per oral disini
bertujuan untuk mengambil efek sedatifnya sehingga dapat meningkatkan kualitas
istirahan pasien, terutama bila rasa gatalnya kambuh. Dan diberitahukan kepada
pasien bahwa, bila obat habis segera kontrol ulang ke poli kulit dan kelamin untuk
12
IV.
KESIMPULAN
13
Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Kruris, Tinea Pedis et Tinea unguium
pada seorang wanita usia 58 tahun. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik dan dermatologis. Pasien dirawat jalan dan diberi terapi
mikonazol krim 2%, siklopiroks nail lacquer 8% ketokonazol oral, dan CTM oral
selama 10 hari. Hasilnya belum dapat dilaporkan karena pasien belum kembali
untuk kontrol ulang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.
DAFTAR PUSTAKA
14
15