Anda di halaman 1dari 15

Tinea Cruris, Tinea Pedis, et Tinea Unguium

Rukiyah Mayastira, S.Ked


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Jambi
I. PENDAHULUAN
Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur disebut dermatomikosis.
Dermatomikosis

dibedakan

atas

dermatofitosis

dan

non

dermatofitosis.

Dermatofitosis disebabkan oleh dermatofit yaitu golongan jamur yang mampu


mencerna keratin kulit karena memiliki daya tarik terhadap keratin (keratinofilik)
sehingga dapat menyerang lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai
stratum basalis. Sedangkan non dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur
yang tidak memiliki kemampuan keratinofilik sehingga hanya tetap menyerang
lapisan kulit paling luar 1-3.
Dermatofitosis salah satu contohnya adalah Tinea Cruris dan Tinea Pedis.
Tinea cruris merupakan dermatofitosis pada region cruris seperti sela paha,
perineum, perianal, gluteus dan pubis. Sedangkan Tinea Pedis dermatofitosis pada
kaki dan Tinea Unguium merupakan dermatofitosis pada kuku kaki dan tangan1.
Dermatofit tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi lebih dari 20%
populasi terkena dermatofitosis. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari
seluruh dermatomikosis dan Tinea Cruris merupakan dermatofitosis yang
terbanyak. Infeksi ini dapat mengenai semua orang, baik usia tua ataupun muda,
social ekonomi rendah ataupun tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
terapi yang tepat. Infeksi ini bila tidak diobati ataupun diobati secara tidak
adekuat dapat mengakibatkan penyebaran penyakit yang luas. Angka kekambuhan
tinea cruris cukup tinggi meskipun setelah pemberian terapi topikal dan sistemik,
sehingga diperlukan perhatian untuk dilakukannya pencegahan kekambuhan 2.

II. LAPORAN KASUS


Seorang pasien Ny. N, Usia 58 tahun, jenis kelamin perempuan, alamat
komplek mayang mangurai, seorang guru sekolah dasar, sudah menikah, suku
bangsa melayu datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher
Jambi pada tanggal 24 Maret 2016 dengan keluhan utama: timbul brercak
kemerahan yang terasa gatal di bokong kanan dan kiri, lipatan paha kanan dan
kiri, sela-sela jari kaki dan kuku sejak 1 tahun yang lalu .
Adapun riwayat perjalan penyakitnya adalah : sejak 1 tahun yang lalu
timbul bercak kemerahan di daerah kaki dan sela-sela jari kaki, terasa gatal yang
hilang timbul terutama jika kaki basah dan terasa lembab. Pasien berobat ke klinik
dan diberikan obat minum tablet yang diminum 2 kali sehari, serta salep yang
dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi. Pasien mengaku keluhan berkurang setelah
berobat, namun muncul kembali jika obat habis.
Kemudian sekitar 2 minggu yang lalu bercak kemerahan timbul di bokong
kanan dan kiri dan kedua lipat paha yang terasa gatal. Dikarenakan sangat gatal
pasien sering menggaruknya sampai berdarah dan ketika sudah berdarah gatal
sedikit berkurang kemudian bercak tersebut semakin lama semakin membesar dan
gatalnya bertambah hebat, apalagi ketika pasien merasa lembab. 3 hari yang lalu
pasien merasa keluhan merah dan gatal tersebut menyebar sampai kuku kaki dan
tangannya.
Riwayat Diabetes Melitus tidak terkontrol ada, Riwayat alergi makanan
disangkal, riwayat aleri obat disangkal, riwayat mandi dan ganti pakaian 2 kali
sehari, riwayat memakai sering memakai pakaian lembab ada, riwayat memakai
sepatu sempit ada, riwayat memakai pakaian bersamaan dengan anggota keluarga
disangkal, riwayat sering keputihan disangkal. Sebelumnya pasien mengaku
belum pernah sakit seperti ini tidak anggota keluarga yang mengalami keluhan
yang sama seperti pasien. Karenakan keluhan pasien tersebut dirasakan semakin
menjadi maka pasien pergi berobat ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin RSUD
Raden Mattaher Jambi pada tanggal 24 Maret 2016.
2

Dari hasil pemeriksaan status generalis dijumpai keadaan umum pasien


baik, tampak sakit ringan, kesadaran kompobsmentis, dan tekanan darahnya
diperoleh 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu afebris.
Pada pemeriksaan fisik, dimulai dari kepala diperoleh bentuknya
normocephal, tidak terdapat efloresensi. Pada mata konjungtiva tidak anemis
kanan kiri, sklera tidak ikterik kanan kiri, pupil isokor kanan kiri, dan tidak
terdapat efloresensi pada palpebra.
Pada pemeriksaan THT didapatkan dalam batas normal, tidak terdapat
efloresensi pada mukosa bibir, dan tidak terdapat pembesaran KGB pada
pemeriksaan leher, serta tidak terdapat efloresensi pada bagian THT.
Pada pemeriksaan thoraks mulai dari paru didapatkan dari inspeksi simetris,
tidak ada retraksi otot intercostal pada kedua lapangan paru, pada palpasi
diperoleh stem femitus simetis kanan kiri, diperkusi didapatkan sonor pada kedua
lapang paru, kemudian diauskultasi terdapat suara vesikuler normal dan tidak
ditemukan bunyi suara tambahan. Sedangkan pada jantung, inspeksi iktus kordis
tidak terlihat dan thrill tidak teraba, asukultasi bunyi jantungnya I-II reguler, tidak
ditemukan suara tambahan. Tidak didapatkan efloresensi pada dinding dada.
Pada pemeriksaan abdomennya diperoleh datar, soepel, BU (+) normal,
tidak ditemukan nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, kemudian diperkusi
didapatkan timpani dan tidak terdapat efluoresensi.
Pada pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior akralnya hangat, edema
tidak ada, dan kekuatan motorik normal. Terdapat efluoresensi yang dijelaskan
lebih detail pada pemeriksaan dematologi dibawah ini.
Pada pemeriksaan genitalia tidak dilakukan secara langsung.
Pada pemeriksaan dermatologis, didapatkan :

Regio Gluteal Dekstra et Sinistra :


Plak
eritematosa,
sebanyak
3
buah,
sirkumpkirta, polisiklik,
terdapat central healing
yang ditutupi skuama
psoriasiformis.

Gambar. Regio Gluteal Dekstra Et Sinistra

Regio pedis :
Pada region phalang
pedis Terdapat skuama
halus pada tepi phalang
Dan
pada
regio
interdigitalis
terdapat
maserasi berupa kulit
putih dan rapuh dengan
eritema disekelilingnya.

Pada kuku kaki jari


pertama, kuku tampak
rusak dan rapuh serta
warna kuku tampak putih
kekuningan.

Regio phalang manus :


Pada kuku tangan jari
pertama, kuku tampak rusak
dan rapuh serta warna kuku
tampak putih kekuningan.

Pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan KOH, dimana dari keluhan


dan gambaran klinis pada pasien dicurigai berupa kelainan kulit dikarenakan
jamur.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis, maka
diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan adalah Tinea Cruris, pedis et
unguium, Kandidosis Intertriginosa, Dermatitis, Psoriasis.
Pengobatan pada pasien ini dapat berupa non medikamentosa diantaranya :
1. Menerangkan kepada pasien tentang penyakit dan prinsip pengobatannya.
2. Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menghindari faktor risiko seperti
menjaga kebersihan diri dengan mandi 2 kali sehari menggunakan sabun
dan air bersih, mengganti pakaian dan pakaian dalam setiap habis mandi
dan terasa lembab ataupun basah, menggunakan pakaian longgar dan
menyerap keringat, menjemur pakaian pada terik matahari, menjaga agar
tubuh tidak terlalu berkeringat, menghindari kontak langsung dengan orang
sekitar seperti penggunaan handuk atau barang pribadi lainya secara
bersamaan, memotong kuku agar tidak menimbulkan luka saat menggaruk.
3. Pasien diedukasi untuk dan tidak menggaruk lesinya.
4. Menjalankan pengobatan secara teratur.
5. Selalu mengontrol gula darah dan rutin dalam pengobatan DM-nya.
5

Pengobatan medikamentosa :
1. Terapi topikal : Mikonazol krim 2 % selama 10 hari (bokong dan kaki).
Siklopiroks nail lacquer 8% (kuku).
2. Terapi sitemik : Ketokonazol 1x 200 mg/hari selama 10 hari ditambah
CTM 3 x 1 tablet.

Prognosis pada pasien ini adalah baik jika pasien patuh dengan anjuran
dokter dan mengikuti program pengobatannya baik yang medikamentosa maupun
nonmedikamentosa. Komplikasi biasanya jarang terjadi, namun mungkin dapat
terjadi komplikasi jika pasien masih sering menggaruk lesinya tersebut.

III. PEMBAHASAN
Pada kasus diatas ditegakkan diagnosis Tinea Cruris, Pedis et Unguium
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologi.
Dari anamnesis, Timbul brercak kemerahan yang terasa gatal di bokong
kanan dan kiri, lipatan paha kanan dan kiri, sela-sela jari kaki dan kuku sejak 1
tahun yang lalu. Adapun riwayat perjalan penyakitnya adalah : sejak 1 tahun
yang lalu timbul bercak kemerahan di daerah kaki dan sela-sela jari kaki, terasa
gatal yang hilang timbul terutama jika kaki basah dan terasa lembab. Pasien
berobat ke klinik dan diberikan obat minum tablet yang diminum 2 kali sehari,
serta salep yang dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi. Pasien mengaku keluhan
berkurang setelah berobat, namun muncul kembali jika obat habis. Kemudian
sekitar 2 minggu yang lalu bercak kemerahan timbul di bokong kanan dan kiri
dan kedua lipat paha yang terasa gatal. Dikarenakan sangat gatal pasien sering
menggaruknya

sampai berdarah dan ketika sudah berdarah gatal sedikit

berkurang kemudian bercak tersebut semakin lama semakin membesar dan


gatalnya bertambah hebat, apalagi ketika pasien merasa lembab. 3 hari yang lalu
pasien merasa keluhan merah dan gatal tersebut menyebar sampai kuku kaki dan
tangannya. Riwayat Diabetes Melitus ada dan tidak terkontrol, Riwayat alergi
makanan disangkal, riwayat aleri obat disangkal, riwayat mandi dan ganti pakaian
2 kali sehari, riwayat memakai sering memakai pakaian lembab ada, riwayat
memakai sepatu sempit ada, riwayat memakai pakaian bersamaan dengan anggota
keluarga disangkal, riwayat sering keputihan disangkal. Sebelumnya pasien
mengaku belum pernah sakit seperti ini tidak anggota keluarga yang mengalami
keluhan yang sama seperti pasien.
Bedasarkan anamnesis diperoleh bahwa pasien mengaku timbul bercak
merah yang terasa gatal di bokong kanan dan kiri, lipatan paha dan paha kanan,
kaki kiri dan kanan, Sensasi gatal yang diasakan pasien akan semakin hebat ketika
keadaan lembab. Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa Tinea
Cruris merupakan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, perianal, dan

dapat meluas ke daerah gluteus, sedangkan Tinea Pedis dapat terjadi pada kaki ,
terutama sela-sela jari dan telapak kaki, juga Tinea unguium kelainan pada kuku.
Dalam hal ini disebut Tinea Cruris, pedis et unguium atau sebaliknya. 1 Ditambah
lagi, keluhan gatal tersebut bertambah hebat ketika lembab. Hal ini sesuai dengan
gejala khas Tinea, baik Tinea Cruris, Corporis, atau apapun jenis tineanya, dimana
rasa sensi gatalnya akan bertambah hebat ketika lembab dan berkeringat misalnya
saat beraktivitas.2,4,6
Pasien DM mengalami masalah pada sistem imun yaitu imunodefisiensi
sekunder atau didapat merupakann defisiensi yang tersering ditemukan. Faktor
imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral
dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih
penting. Faktor non-imun yang mikrobial normal merupakan mekanisme protektif
untuk pejamu, karena flora ini mengadakan kompetisi dengan fungi untuk
mendapatkan makanan dan tempat perlekatan pada epitelial dan juga flora ini
dapat menghasilkan produk-produk toksik terhadap jamur. Kulit yang intact
dengan proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier yang efektif
terhadap dermatomikosis. kegagalan florabakteri normal kulit untuk menghambat
pertumbuhan yeast, di mana ketersediaan glukosa merupakan lingkungan yang
cocok bagi yeast untuk berkembang biak. Pada penderita diabetes melitus juga
terjadi gangguan mekanisme imunoregulasi. terjadi gangguan kemotaksis lekosit
dan fagositosis pada penderita diabetes melitus, terutama selama hiperglikemia.
Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa factor predisposisi pada
pasien ini adalah penyakit diabetes mellitus yang dialaminya.
Pada pemeriksaan dermatologi di Regio gluteus didapatkan plak
eritematosa, jumlahnya 3, polisiklik, sirkumkripta, terdapat central healing yang
ditutupi skuama psoriasisformis. Central healing merupakan peradangan di tepi
lebih nyata daripada dibagian tengahnya. Keluhan pada daerah ini dirasakan sejak
2 minggu yang lalu, dimana awalnya bercak kemerahan tersebut sebesar uang
logam seratus rupiah, kemudian semakin lama semakin melebar hingga terlihat
seperti saat ini. Berdasarkan tinjauan pustaka diketahui bahwa pada stadium akut

Tinea itu (kurang dari 3 bulan) lesi kulitnya dapat berupa eritematosa kecil dengan
batas tegas (sirkumkripta), dapat berupa papul yang menyebar sehingga dapat
berupa plak eritematosa. Efloresensi kemudian dapat berkembang menjadi
berbagai macam bentuk primer maupun sekunder (polimorf). 1-3,5,6
Pada pemeriksaan dermatologi di Regio pedis Desktra et Sinistra
didapatkan skuama halus dan maserasi pada interdigitalis. Keluhan pada daerah ini
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Temuan ini sesuai dengan lokasi predileksi
dan efloresensi dari Tinea Cruris et pedis.
Pada pemeriksaan dermatologi pada kuku tangan dan kaki pasien
ditemukan kuku tampak rusak dan rapuh serta warna putih kekuningan. Keluhan
pada daerah ini dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Temuan ini sesuai dengan
perubahan lokasi predileksi dan efloresensi dari Tinea unguium.
Terjadinya temuan klinis diatas dapat dimengerti bedasarkan pathogenesis
dari infeksi dermatofita, dimana infeksinya diawali dengan adhesi artrokonidia ke
keratinosit, umumnya berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti
dengan penetrasi. Dermatofita menghasilkan keratinase yang memungkinkan
untuk mencerna keratin dan mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sambil
memakan keratin kulit yang tampak sebagai skuama. Sebagai respon terhadap
keberadaan jamur, tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas
antimikrobial dari leukosit PMN yang bermanifestasi sebagai eritema, papul,
vesikel dan pustul. Fungsi ini terutama didukung oleh transferin tak jenuh serta
asam lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur 5.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus ini antara lain
yaitu pemeriksaan mikologi berupa pemeriksaan langsung sediaan basah dan
kerokan kulit, pemeriksaan biakan atau kultur dengan agar dekstrosa sabouraud,
dan Lampu Wood. Pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan langsung sediaan
basah dan kerokan kulit dengan larutan KOH yaitu dengan cara 3 :
1. Ambil kulit yang ingin diperiksa dengan cara dikerok menggunakan
pisau tumpul steril, untuk kulit yang berambut dicabut terlebih
9

dahulu rambutnya, kemudian baru kulitnya dikerok untuk


mendapatkan sisiknya.
2. Letakkan hasil kerokan tersebut diatas object glass, kemudian
tambahkan larutan KOH 1-2 tetes dengan konsentrasi 20%.
3. Dapat pula ditambahkan tinta superchroom blue black dengan
tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata.
4. Tunggu selama 15-20 menit untuk melarutkan jaringan.
5. Lihat object glass dengan bantuan mikroskop menggunakan
pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45 untuk menemukan hifa yang
biasanya tampak sebagai dua garis sejajar dengan sekat dan cabang
atau spora berderet (artospora) pada kelainan kulit yang lama dan
atau sudah diobati.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologi maka
diagnosis pada pasien ini mengarah kepada Tinea cruris, pedis et unguium. Pada
kasus ini diambil diagnosis banding lain yang dapat dipertimbangkan yaitu :
1. Kandidosis Intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebkan oleh spesies Candida,biasanya
oleh Candida Albican yang lokasi predileksinya dapat mengenai mulut, vagina,
kuku, lipat paha, dll. Predileksi semua umur. Dari anamnesis didapatkan
keluhan gatal yang hebat, kadang disertai rasa panas seperti terbakar dan dari
lesinya tampak bercak eritem disertai skuama. Hal ini hampir serupa dengan
Tinea Cruris dimana terdapat bercak eritematosa disertai skuama dan lokasi
predileksinya pada lipat paha, namun pada kandidosis Intertriginosa memiliki
gambaran khas konfigurasi hen and chicken serta biasanya basah dan berkrusta.
Pada wanita ada tidaknya fluor albus dapat membantu penegakan diagnosa.
Pada penderita DM, kandisdosis merupakan penyakit yang sering dijumpai.. 1-3,7
2. Dermatitis
Dermatitis adalah perdangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
10

kelainan klinis berupa efluoresensi polimorfik ( eritema, edema, papul, vesikel


skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Hal ini hampir serupa dengan Tinea
Pedis dimana terdapat bercak eritema disertai skuma dan lokasi predileksinya
bisa juga pada kaki. Namun harus dapat dibedakan dengan dermatitis, yang
biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif dari pada bagian
tengah. Adanya vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks)
dapat merupakan reaksi id, yaitu akibat setempat hasil reaksi antigen.
3. Psoriasis
Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat berakhir dengan kelainan yang sama.
Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits), yang terlihat pada psoriasis tidak
didapati pada tinea uguium
Pengobatan pada pasien ini dapat berupa pengobatan non medikamentosa
dan pengobatan medikamentosa. Pertama akan dibahas pengobatan non
medikamentosa diantaranya berupa :
1. Menerangkan

kepada

pasien

tentang

penyakit

dan

prinsip

pengobatannya.
2. Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menghindari faktor risiko
seperti menjaga kebersihan diri dengan mandi 2 kali sehari
menggunakan sabun dan air bersih, mengganti pakaian dan pakaian
dalam setiap habis mandi dan terasa lembab ataupun basah,
menggunakan pakaian longgar dan menyerap keringat, menjemur
pakaian pada terik matahari, menjaga agar tubuh tidak terlalu
berkeringat, menghindari kontak langsung dengan orang sekitar seperti
penggunaan handuk atau barang pribadi lainya secara bersamaan,
memotong kuku agar tidak menimbulkan luka saat menggaruk.
3. Pasien diedukasi untuk dan tidak menggaruk lesinya.
4. Menjalankan pengobatan secara teratur.
5. Selalu mengontrol gula darah dan rutin dalam pengobatan DM-nya.
Kemudian untuk pengobatan medikamentosanya yaitu Terapi yang diberikan
berupa terapi antifungal sistemik yaitu ketokonazol 200 mg 1 kali sehari.
11

Sebenarnya ada beberapa obat antifungi sistemik yang dapat digunakan antara lain
griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol dan terbinafin. Griseofulvin sekarang sudah
jarang digunakan karena banyak ditemukan kasus-kasus yang telah mengalami
resistensi, sedangkan itrakonazol dan terbinafin sulit didapatkan dan harganya
relatif lebih mahal. Sehingga ketokonazol lah yang dipilih sebagai antifungi
sistemik pada kasus ini. Perlu diingat, pemberian ketokonazol lebih dari 10 hari
bersifat hepatotoksik.1,3,5 Karena itu, disini saya meresepkan ketokonazol oral
selama 10 hari saja, kemudian setelah 10 hari dilihat dulu hasilnya dan
adatidaknya keluhan lain pada pasien. Diberikan juga antifungal topikal, yaitu
untuk bokong dan sela sela jari mikonazol 2% dalam bentuk salep pemakaian 2
kali sehari selama 10 hari karena ruam pada kasus ini terdapat lebih dari satu
tempat dan sebagai pertimbangan untuk mempercepat proses penyembuhan.1
untuk kuku Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat
fungisidal, sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada
kulit dan kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail
lacquer 8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan
mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari
pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku dalam
beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan dicapai
setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan pertama,
setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga
hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklosporik
tidak melebihi dari 6 bulan.6,10 Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya
masa pengobatan panjang. Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai
keterbatasan, namun masih dapat digunakan sebagai pengobatan tinea unguium
karena tidak mempunyai risiko sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan oral untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu
bentuk cat kuku juga mudah digunakan. Pemberian CTM 1x4 mg per oral disini
bertujuan untuk mengambil efek sedatifnya sehingga dapat meningkatkan kualitas
istirahan pasien, terutama bila rasa gatalnya kambuh. Dan diberitahukan kepada
pasien bahwa, bila obat habis segera kontrol ulang ke poli kulit dan kelamin untuk

12

melanjutkan pengoibatannya, karena pengobatan penyakit kulit yang disebabkan


oleh jamur memerlukan pengobatan yang teratur (tidak terputus) dalam jangka
waktu yang agak lama (bisa sampai 2-3 bulan).
Pemberian CTM 3 x 1 tablet perhari diharapkan karena CTM adalah obat
antihistamin golongan pertama yang digunakan untuk mencegah efek histamin
yang dihasilkan sel mast. 8
Prognosis pada pasien ini adalah baik jika pasien patuh dengan anjuran
dokter dan mengikuti program pengobatannya baik yang medikamentosa maupun
nonmedikamentosa yang telah diuraikan diatas.
Komplikasi biasanya jarang terjadi, namun mungkin dapat terjadi
komplikasi jika pasien masih sering menggaruk lesinya tersebut. Pasien dapat
dikatakan sembuh bila gejala klinis tidak muncul lagi seperti rasa gatal serta
pemeriksaan labor tidak ditemukan lagi jamur pada pemeriksaan KOH 20%
setelah pengobatan lengkap.

IV.

KESIMPULAN

13

Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Kruris, Tinea Pedis et Tinea unguium
pada seorang wanita usia 58 tahun. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik dan dermatologis. Pasien dirawat jalan dan diberi terapi
mikonazol krim 2%, siklopiroks nail lacquer 8% ketokonazol oral, dan CTM oral
selama 10 hari. Hasilnya belum dapat dilaporkan karena pasien belum kembali
untuk kontrol ulang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.

DAFTAR PUSTAKA

14

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi


Kelima. Jakarta : FKUI. 2010. Hal 189-95.
2. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Jakarta : EGC.
2004. Hal. 129-30.
3. Budi MU. Mikosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2009. Hal 89-100.
4. Hay RJ, Moore MK. Mycology dalam Rooks Textbook of Dermatology Vol 1-4.
Edisi Ketujuh. 2004. Australia : Blackwell Publishing. Hal. 1407-16.
5. Wolff K, Jhonson RA, Suurmond D. Section 30 : Fungal Disease dalam
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Vol 1-2. Edisi Ketujuh. USA :
The McGraw Hill Company. Hal. 1807-20.
6. Moriarty B, Hay R, Jones RM. Clinical Review : The Diagnosis and
Management of Tinea. London : Kings College Hospital BMJ. 2012.
7. Stawiski MA, Prince SA. Infeksi Kulit dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses Penyakit Vol. 2. Edisi Keenam. Jakarta : EGC. 2005. Hal. 1448-51.
8. Bahry B, Setiabudy R. Obat Jamur dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi
Kelima. 2007. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Hal
560-70.
9. Lipsky MS, King MS. Blueprints Family medicine. Philadelphia : lipincott;
2010; h. 87-9
10. iVerma, S dan Heffernan, MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Oychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff, K. dkk, penyunting.
Fitzpatrcks Dermatology in General Medicine. Edisi ketujuh. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.

15

Anda mungkin juga menyukai