menyumbang 1/3 jumlah kematian ibu yang terjadi secara global. Sebanyak 98
persen dari seluruh kematian ibu dikawasan ini terjadi di India, Bangladesh,
Nepal, Myanmar dan Indonesia. Hal yang paling memprihatinkan, menurut hasil
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) angka kematian ibu di Indonesia
pernah mencapai angka tertinggi di Asia. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada
tahun 2015, yaitu sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sementara
itu dari seluruh provinsi di Indonesia, Jawa Barat berada pada urutan pertama,
Jawa Tengah menduduki posisi kedua, dan kemudian NTT menduduki posisi
ketiga.
Kasus kematian ibu hamil di Indonesia masih tinggi. Data Survei
Demografi Kesehatan Indonesia menyebut jumlahnya mencapai 359 kasus per
100 ribu kehamilan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Angka
Kematian Ibu diantaranya faktor langsung, faktor antara dan faktor tidak
langsung.
Faktor langsung berkaitan dengan perjalanan kehamilan, persalinan dan
masa nifas. Faktor langsung tersebut dikenal dengan trias klasik,yaitu pendarahan,
eklampsia, dan infeksi. Lalu,Faktor antara bersumber dari individu misalkan
penyakit yang menyertai kehamilan (jantung, paru-paru, ginjal, ashma dan infeksi
pada masa kehamilan) persalinan dan nifas. Selain itu ada juga faktor tidak
langsung yang dapat mempengaruhi Angka Kematian Ibu, seperti keterlambatan
mengambil keputusan dalam penanganan kesehatan ibu hamil serta pelayanan
kesehatan yang kurang memadai.
Faktor yang paling dominan adalah kehamilan pada usia dini, kehamilan
di usia senja, serta kehamilan yang terlalu banyak dan terlalu dekat. Kehamilan
usia <20 tahun meningkatkan resiko kematian bayi sebesar 53 per 1000 kelahiran
hidup. Hal ini disebabkan karena belum matangnya alat reproduksi sehingga
belum siap untuk hamil. Keadaan tersebut diperparah jika ada tekanan psikologi
(stress),hal ini dikarenakan wanita hamil pada usia <20 tahun kurang dapat
mengontrol emosinya dengan baik. Selain itu kehamilan pada remaja beresiko
anemia, kelahiran prematur atau bayi yang dilahirkan kekurangan nutrisi.
Sedangkan pada wanita usia 40-44 tahun mempunyai resiko kematian 10
kali lebih tinggi dengan wanita yang berusia 24-25 tahun. Pada usia lebih dari 35
tahun, kesehatan ibu sudah mulai menurun sehingga dikhawatirkan akan
mempersulit persalinan. Selain itu proses persalinan dapat berlangsung lebih lama
dan kemungkinan mendapatkan anak cacat lebih tinggi. Berdasarkan pemeriksaan
genetik kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun terdeteksi 71%-99% beresiko
mengalami kelahiran down sindrom. Segi negatif kehamilan diusia tua ( > 35
tahun) antara lain kondisi fisik ibu >35 tahun akan mempengaruhi kondisi janin
dan kontraksi pada saat persalinan, pada proses pembuahan kualitas sel wanita
usia >35 tahun sudah menurun dibandingkan dengan sel telur pada wanita usia
subur(25-35 tahun). Hal tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan janin yang menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Kelahiran 2-3 merupakan kelahiran yang paling aman ditinjau dari sudut
kematian ibu. Kelahiran 1 dan kelahiran lebih dari 3 mempunyai resiko kematian
ibu lebih tinggi, semakin tinggi kelahiran maka semakin tinggi kematian ibu
(Prawirohardjo,1997). Pada umumnya setiap kehamilan terjadi peregangan rahim,
jika kehamilan berlangsung terus menerus maka rahim akan semakin melemah
sehingga dikhawatirkan akan terjadi gangguan saat kehamilan, persalinan dan
nifas.
Kelahiran terlalu dekat juga mempengaruhi Angka kematian Ibu. Pada
jarak kelahiran < 2 tahun meningkatkan angka kematian bayi 2 kali dari daripada
jarak kelahiran > 2 tahun. Jika jarak kehamilan < 2 tahun keadaan rahim dan
kesehatan ibu belum pulih dengan baik, sehingga dikhawatirkan pertumbuhan
janin kurang baik, persalinan berlangsung lama dan terjadi pendarahan. Resiko
kematian bagi bayi usia (0-28 hari ) dan bayi dibawah 1 tahun meningkat, jika
jarak kelahiran terlalu dekat (< 2 tahun), resiko lahir prematur dan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR) juga semakin tinggi. (Kemenkes,2010)
Kasus kematian ibu pada tahun 2012 sebanyak 11 kasus dimana
merupakan angka yang tinggi untuk ukuran Kota Tegal. Penyebab kasus tersebut
salah satunya karena terlambat datang ke Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan
jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk mencapai rumah sakit, terlambat
mendapat penanganan dan kurangnya pengetahuan ibu mengenai tanda-tanda
bahaya kehamilan. Pada umumnya jarak antara rumah warga di Tegal Selatan
menuju pusat pelayanan kesehatan yang berada di kota Tegal cukup jauh,
sehingga sebagian besar ibu hamil jarang memeriksakan kesehatannya. Padahal
pemeriksaan kesehatan pada ibu hamil seharusnya dilakukan secara berkala untuk
mengetahui perkembangan pada janin dan mengantisipasi adanya kelainan pada
janin.
Disamping itu, pelayanan kesehatan meliputi tenaga medis, alat-alat medis
serta penanganan terhadap pasien masih kurang maksimal. Diantaranya sosialisasi
kepada ibu hamil masih sangat rendah. Hal ini yang selanjutnya menyebabkan
sebagian besar ibu hamil memiliki pengetahuan yang rendah, sehingga terlambat
mengantisipasi tanda-tanda bahaya kehamilan dan terlambat mempersiapkan
kelahiran bayi.
Pengetahuan ibu mengenai tanda-tanda bahaya kehamilan ini dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Pengetahuan tersebut meliputi resiko dan
bahaya kehamilan serta perencanaan persalinan oleh ibu hamil, suami beserta
keluarganya. Penyebab lain dari tingginya angka kematian ibu hamil adalah
kurang optimalnya deteksi dini pada faktor resiko kehamilan, kurangnya
kesadaran masyarakat tentang bahaya melahirkan bagi ibu hamil yang memiliki
faktor resiko tinggi. Sebagian besar ibu hamil dalam perencanaan persalinan
cenderung memilih pertimbangan dari keluarga atau tidak menentukan sendiri
dalam perencanaan persalinan. Sehingga butuh waktu yang lama untuk melakukan
tindakan persalinan, yang selanjutnya dapat meningkatkan resiko kematian ibu.