Artikel K3
Artikel K3
Disusun Oleh :
Dimas Dwi Nugroho
P27820714003
Adeng Hidayatullah
P27820714007
Qonita
P27820714012
P27820714016
P27820714019
Fitri Ardiana
P27820714022
P27820714026
P27820714030
P27820714035
2.
produktivitas
B. KASUS
1. Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri
Erika Lia
Rabu, 10 Februari 2016 - 17:59 WIB
Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri
Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, diketahui positif difteri
pascamenangani pasien yang menderita penyakit yang sama. (Ilustrasi pasien di RSUD
Gunung Jati/Dok Sindonews)
CIREBON - Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, diketahui positif
difteri pascamenangani pasien difteri. Berdasarkan informasi, perawat yang terkena
difteri berinisial Ru dan bertugas di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Gunung
Jati.
Ru diketahui merupakan perawat pertama yang menangani pasien pertama difteri yang
masuk rumah sakit tersebut.
Direktur Utama RSUD Gunung Jati, Heru Purwanto menyatakan, perawat bersangkutan
kini menjalani perawatan intensif di ruang isolasi. Rencananya, terhadap Ru akan
dilakukan kultur tenggorokan.
"Saat ini kesehatannya membaik, tapi untuk memastikan difterinya sembuh atau belum,
akan dilakukan kultur tenggorokan terhadap pasien (Ru)," paparnya, Rabu (10/2/2016).
Pascakultur tenggorokan dilakukan, pihaknya akan mengamati kondisi pasien sebagai
pertimbangan akan dipulangkan atau terus dirawat.
Sementara, seorang warga RT 09/02 Blok Wetan, Desa Kedokan Bunder, Kabupaten
Indramayu, Lusiana, yang didiagnosa difteri oleh RSUD Gunung Jati saat ini kondisinya
pun sudah mulai membaik.
Lusiana sempat minta dipulangkan dari RSUD Gunung Jati Cirebon, sebelum kemudian
dirawat di RSUD Indramayu. Kini, pihak rumah sakit telah mengizinkannya pulang ke
rumah.
Sebagaimana diketahui, serangan difteri pertama kali diketahui diderita empat warga
yang masih satu keluarga asal Blok Puhun, Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak,
Kabupaten Cirebon.
Dari empat orang itu, tiga di antaranya meninggal dunia setelah sempat menjalani
perawatan di RSUD Gunung Jati Cirebon.
Difteri kemudian menyebar dan menyerang belasan warga lain, termasuk empat warga
Kabupaten Majalengka.
Total, korban meninggal sejauh ini empat orang, tiga warga Kabupaten Cirebon dan
seorang warga Kabupaten Majalengka. Belasan lainnya masih dirawat di RSUD Gunung
Jati hingga kini. (sms)
DAFTAR PUSTAKA
lia,
erika.
2016.
Seorang
Perawat
RSUD
Gunung
Jati
Positif
Difteri
Ilustrasi
Jakarta, HanTer - Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan, menunjukkan sebanyak 7.000 tenaga kesehatan (Nakes) terinfeksi hepatitis B.
Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya 2.200
yang terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan menjadi profesi
yang paling rawan tertular hepatitis B.
Penggunaan jarum suntik yang tidak aman berisiko menularkan virus Hepatitis B dari
pasien kepada tenaga kesehatan. Mayoritas tenaga kesehatan yang tertular lewat jarum
suntik ini adalah perawat, kata Peneliti Hepatitis dari Universitas Indonesia, dr Lukman
Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di Jakarta,
kemarin.
Ia mengungkapkan, penularan virus hepatitis B terjadi dalam insiden kecelakaan.
Kecelakaan berupa tertusuk jarum terjadi saat Nakes mencoba menutup jarum suntik.
Dengan metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang akhirnya
tertusuk jarum.
Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu diantaranya
tertusuk jarum, tuturnya.
Di negara-negara maju, kata dia, penggunaan jarum suntik seperti yang banyak dipakai di
fasilitas kesehatan di Indonesia sudah lama ditinggalkan.
Umumnya, mereka lebih memilih jarum suntik yang aman, sehingga risiko untuk tertusuk
setelah digunakan menjadi sangat kecil. Itu sebabnya penting ditekankan standar
keselamatan kerja bagi para Nakes tersebut, ujarnya.
Menurut Lukman, imunisasi hepatitis harus dilakukan oleh semua tenaga kesehatan.
Mereka harus diberi perlindungan khusus misalnya dengan memberikan dalam tiga dosis
vaksinasi.
Hal ini untuk menekan jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi hepatitis B. Kalau tiga
dosis ini bisa memberikan perlindungan 90 persen. Kalau hanya mendapatkan satu dosis
masih bisa kemungkinan terinfeksi. Selain itu, penggunaan jarum suntik di rumah sakit
yang steril dan aman wajib dilakukan, paparnya.
Sementara itu, Ali Sulaiman, Divisi Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi
hepatitis tinggi di dunia.
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa Indonesia bagian barat
tercatat 9,4 persen atau 1 dari 10 penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
Jadi total penduduk Indonesia yang mengidap virus hepatitis B ada 22,3 juta orang,
dimana separuhnya membutuhkan pengobatan. Jika tidak diobati, maka dalam 10 tahun
ke depan akan berubah menjadi sirosis hati yang membutuhkan transplantasi hati,
tandasnya.
(Tryas)
Upaya Pencegahan :
Terry Cawthorn adalah seorang perawat yang sudah bekerja selama 20 tahun di
Rumah Sakit Mission. Tetapi karena ia mengalami cidera tulang belakang yang terjadi
berulang kali, dan hal tersebut disebabkan karena mengangkat pasien, ia dipecat.
Cawthorn mengambil jalan hukum untuk menghadapi pihak rumah sakit dan masih
harus berjuang dalam kehidupan sehari-hari akibat cidera yang dialaminya.
Pihak rumah sakit sama sekali tidak mengakui bahwa cidera yang dialami
Cawthorn adalah akibat dari pekerjaannya sebagai perawat. Mereka juga menolak
bahwa perkerjaan sehari-hari perawat berisiko menciderai perawat maupun berdampak
buruk terhadap perawat. Hampir seluruh rumah sakit di seluruh negeri memiliki
pendapat yang sama.
Sekilas, Cawthorn menceritakan sebuah pengalamannya.
Pada suatu sore, di hari ulang tahun ke 45-nya. Seorang pasien yang memiliki
badan lumayan besar baru saja melakukan operasi caesar, dan Cawthorn membantu
memindahkannya dari brankat ke tempat tidur. Hal tersebut bisa dilakukan ribuan kali
olehnya setiap hari. Hampir setiap memidahkan pasien secara tidak langsung ia juga
menjadi tumpuan beban bagi pasiennya tersebut. Karena ia selalu menjaga pasiennya
agar tidak terjatuh.
Perawat sangat mungkin memiliki resiko cidera akibat dari mengangkat pasien
selama bertahun-tahun. Tetapi studi penelitian oleh pemerintah dan universitas AS
pada 1990-an mengatakan bahwa pihak rumah sakit bisa mencegah atau
meminimalisir cidera pada perawat. Jika pihak rumah sakit mau sedikit mengeluarkan
biaya untuk membeli peralatan khusus untuk memindahkan pasien, seperti kerekan
langit-langit otomatis dan mereka harus melakukan pelatihan khusus dan intensif
untuk stafnya.
Upaya Pencegahan :
1. Sediakan sarana dan prasana yang tidak mempersulit pekerjaan perawat seperti
bad otomatis
2. Sediakan tempat istirahat perawat yang nyaman sehingga mencukupi
kebutuhananya
3. Menejer mengatur shift dinas pearawat sesuai dengan kebutuhannya
4. Manajer membuat progam senam untuk perawat setiap satu minggu sekali
4. Nyeri Otot yang Terjadi pada Perawat
Keperawatanmerupakan salah satu pekerjaan yang memiliki resiko terhadap
terjadinya kecelakaan dalam bekerja. Lingkungan kerja, tanggungjawab, serta tugas yang
diberikan menjadi alasan utama pekerjaan perawat berada di posisi terdepan terhadap
terjadinya kecelakaan dalam bekerja. Beberapa pekerjaan yang dilakukan perawat yang
dapat beresiko menimbulkan bahaya akan disebutkan dibawah ini:
Perawat dalam melaksanakan pekerjaannya akan selalu berhadapan dengan nyeri
dalam bekerja. Penelitian di iran menyatakan bahwa, rata-rata perawat selalu mengalami
nyeri otot pada saat bekerja. hampir 89% perawat selalu mengalami nyeri otot dalam
bekerja. Beberapa bagian tubuh yang mengalami nyeri adalah 74% bagian pinggang dan
48.5% bagian lutut. Sebuah penelitian yang dilakukan di belanda, sekitar 57% perawat
selalu mengalami cedera/nyeri otot pada beberapabagian tubuhnya. Pada beberapa
penelitianlainnya, yaitu di brazil. Sekitar 80.7% melaporkan bahwa sebagian besar
perawat pernah mengalami nyeri otot. Pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
beberapa Negara, dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir seluruh perawat di setiap
Negara di dunia, selalu dan pernah mengalami nyeri otot ataupun cedera yang mengakibat
kanterganggunya system musculoskeletal mereka. Ini semua disebabkan karena pekerjaan
perawat yang biasanya selalu mengandalkan kekuatan otot/fisik untuk memindahkan bed
pasien dan juga memindahkan serta mengangkat pasien dari satu tempat ketempat yang
lain.
Referensi
1. Madani M, MasoudiAlavi N, Taghizadeh M. Non-Specific Musculoskeletal
Pain and Vitamin D Deficiency in Female Nurses in Kashan, Iran. J
Musculoskeletal Pain. 2014:17.
2. Engels JA, van der Gulden JW, Senden TF, van't Hof B. Work related risk
factors for musculoskeletal complaints in the nursing profession: results of a
questionnaire survey. Occup Environ Med.1996;53(9):63641. [PMC free
article] [PubMed]
3. Souza AC, Alexandre NM. Musculoskeletal symptoms, work ability, and
disability among nursing personnel. Workplace Health Saf. 2012;60(8):353
60. doi: 10.3928/21650799-20120726-04. [PubMed][Cross Ref]
4. Ando S, Ono Y, Shimaoka M, Hiruta S, Hattori Y, Hori F, et al. Associations
of self estimated workloads with musculoskeletal symptoms among hospital
nurses. Occup Environ Med. 2000;57(3):2116.[PMC free article] [PubMed]
Upaya Pencegahan:
Tidak harus diberitahukan kepada pembaca HATIP bahwa secara turuntemurun profesi layanan kesehatan selalu melelahkan atau bahwa epidemi
HIV/AIDS memburukkan tuntutan kerja yang dibebankan pada petugas
layanan kesehatan.
Namun, keparahan dan intensitas epidemi HIV sering dianggap terlalu
besar oleh petugas layanan kesehatan, khususnya karena melibatkan seluruh
keluarga (termasuk anak) yang sering kali menderita karena kesulitan keuangan
dan masalah lain secara bersamaan.Berdasarkan sebuah proyek penelitian yang
melibatkan 20 LSM AIDS di Kanada, bekerja di bidang HIV/AIDS yang
demikian rumit dan tidak berperikemanusiaan itulah yang menyulitkan untuk
mempertahankan tenaga kerja secara efektif. Hal ini muncul karena staf itu
harus terus menghadapi masalah komunikasi, keletihan, depresi, duka yang
tidak terselesaikan, banyaknya pergantian staf dan frustrasi.Pengamatan yang
serupa juga dilaporkan dalam sejumlah survei terhadap petugas kesehatan di
Afrika.Walaupun beberapa laporan tersebut diperoleh dari survei dan
wawancara, bukan dari penelitian terkontrol secara teliti, namun demikian
laporan itu menunjukkan kecenderungan yang konsisten.
Frustrasi terhadap pekerjaan dan perwujudannya (misalnya, patah
semangat, tidak mampu memberi layanan, berpendapat bahwa mustahil untuk
membuat perubahan) harus dicegah dengan segala cara, Profesor Alta Van
Dyk dari University of South Afrika (UNISA) menulis. Dia melakukan
penelitian terhadap 243 perawat yang baru mulai belajar konseling HIV/AIDS
di UNISA, meminta mereka mengisi angket yang agak terstruktur tentang
faktor stres yang berdampak pada petugas layanan kesehatan yang terlibat
dalam layanan terkait HIV/AIDS, gejala stres terhadap pekerjaan, dan macam
dukungan dari pemberi kerja atau organisasi yang tersedia bagi mereka, lalu
mereka diminta membuat karangan pendek yang menceritakan tentang
pengalaman
mereka
serta
mekanisme
yang
mereka
pakai
untuk
mereka dengan pengetahuan yang lebih banyak untuk menghadapi HIV atau
AIDS di tempat kerja mereka, mereka barangkali tidak mewakili petugas
layanan kesehatan secara umum.
Walaupun demikian topik kunci yang sebenarnya terjadi: petugas layanan
kesehatan bergumul dengan beban kehilangan yang berlebihan, terlalu
mengenal pasiennya, takut terhadap pajanan HIV sewaktu bekerja, dan
kesulitan untuk menangani diri sendiri dan stigmatisasi pasien dan masalah
kerahasiaan. Pada umumnya perawat berpendapat bahwa mereka belum dilatih
secara memadai untuk memberikan konseling terkait HIV; sebagian besar
mereka merasa tidak didukung oleh atasan, keluarga dan teman mereka; dan
mereka sering marah tentang lambatnya kinerja pemerintah serta pesan
kesehatan yang salah. Yang penting, tidak ada hubungan antara faktor stres
dan segala variabel sosio-demografi perawat, menunjukkan bahwa mengalami
tekanan di bidang HIV/AIDS merupakan faktor warisan yang dikaitkan dengan
pekerjaan, dia menulis. Namun, perawat yang lebih muda lebih mungkin
melaporkan gejala terkait stres (rs = 0,135, p < 0,05).
Beberapa pengamatan menonjol di dalam penelitian itu salah satunya
adalah lebih dari separuh perawat merasa kesulitan untuk mempertahankan
batas hubungan secara profesional dengan pasien, dan kurang lebih empat dari
lima (khususnya perawat) mengakui bahwa mereka merasa perlu untuk
menyelamatkan pasien, sering menyatakan rasa frustrasi mereka dalam
bentuk karangan karena tidak mampu menyelamatkan pasien. Prof. Van Dyk
mencatat bahwa banyak penelitian melaporkan bahwa perawat yang tidak
membuat jarak hubungan emosional secara tepat akan lebih menderita akibat
stres dan frustrasi terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan laporan UNAIDS tentang penatalaksanaan stres bagi perawat
HIV/AIDS, rasa frustrasi bukanlah sebuah peristiwa tetapi sebuah proses
tekanan dan kecemasan yang dialami setiap hari yang tidak ditanggapi, secara
bertahap akan mengganggu kesehatan mental dan fisik perawat itu, sehingga
pada akhirnya mengorbankan layanan dan hubungan pribadi.17
Karena rasa frustrasi muncul secara bertahap, barangkali perawat akan tetap
bekerja sampai kesehatan dan kinerjanya mencapai titik terendah. 18Oleh karena
itu, mereka dapat menderita mati rasa untuk jangka yang lama, sehingga
selama itu pasien mungkin akan terabaikan, diobati tanpa rasa kasih, bekerja
seperti robot; atau rawan pelecehan secara mental/fisik.Dalam penelitian
UNISA, kurang lebih 21% petugas layanan kesehatan mengatakan mereka
tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi pada pasien mereka.
Walaupun sebagian besar peserta dalam penelitian UNISA melaporkan
memakai mekanisme positif untuk bertahan dengan stres, banyak orang yang
benar-benar frustrasi belum menemukan mekanisme untuk mampu bertahan
secara positif. Setelah bekerja di bidang ini sejak awal 1990-an, secara pribadi
penulis sudah mengamati banyak kasus stres berat dan/atau frustrasi pada
perawat yang mengarah pada perilaku yang merugikan diri sendiri, termasuk
kecanduan alkohol dan narkoba serta tidak sedikit kasus HIV yang tertular dari
komunitas.
Pada kasus di atas hazard yang terganggu pada petugas kesehatan khususnya
perawat yaitu Ergonomic hazards dan Psychosocial hazards
2. Jika perawat dalam kondisi syok, perawat tarik nafas lalu mengeluarkan
secara perlahan beberapa kali
Alasan: Sehingga perawat bisa mengurangi kondisi syok
3. Ikutlah membangun iklim kerja yang menyenangkan, yaitu dengan
bersikap terbuka dan berkomunikasi dengan sesama rekan kerja
Alasan: Dengan ukut serta membangun iklim kerja yang menyenangkan
perawat bisa mengurangi beban kerjanya dengan saling bertukar pikiran ke
sesama rekan kerja
4. Berolahraga teratur merupakan hal yang sangat penting dalam mengurangi
stress. Berolahraga akan memobilisasi otot-otot kita, mempercepat aliran
darah dan membuka paru-paru untuk mengambil lebih banyak oksigen
Alasan: Sehingga perawat bisa menjaga kesehatannya, tidak mudah sakit
dengan sering berolahraga
5. Risiko dan beban HIV/AIDS pada petugas layanan kesehatan
Barangkali karena banyak petugas layanan kesehatan yang enggan
menjalani tes HIV di tempat kerjanya atau tidak terbuka tentang hasilnya, maka
agak sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak petugas layanan
kesehatan yang terinfeksi HIV.
Di AS, Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa pada 31
Desember 2000, 24.844 orang dewasa yang dilaporkan dengan AIDS di AS
pernah bekerja di layanan kesehatan.Kasus tersebut mewakili 5,1% dari
486.826 kasus AIDS yang dilaporkan pada CDC yang tidak memiliki informasi
tentang pekerjaannya.
Khusus di AS, hanya ada 57 kasus penularan HIV yang dikonfirmasi
terjadi setelah terpajan HIV waktu bekerja dan 139 kasus yang tidak
melaporkan faktor risiko lain selain riwayat terpajan darah, cairan tubuh terkait
pekerjaan atau terinfeksi HIV akibat alat laboratorium.
Rasio risiko tertular akibat satu kali terluka pada kulit diperkirakan kurang
lebih tiga per 1.000, yang lebih tinggi dari risiko setelah pajanan melalui
jumlah
perawat
yang
dihasilkan
pada
dua
tahun
yang lebih kecil pada setiap klinik di Afrika. Dia mengatakan pada HATIP
bahwa manajer sumber daya manusia di klinik enggan membuat perkiraan
tentang jumlah kematian atau pensiunan yang terjadi di klinik. Namun, pada
bagian lain dalam survei, responden melaporkan kurang lebih 45% (di klinik
biasa) dan 41% (di klinik terbaik) pensiun atau meninggal pada tahun
sebelumnya diyakini adalah akibat AIDS.
Upaya Pencegahan :
1. Menjaga keselamatan klien dan tenaga kesehatan dari infeksi dengan
mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam
keadaan steril.
2. Mempertahankan ventilasi dan cahaya yang adekuat.
HATIP 128:
Memperhatikan perawat dalam menghadapi HIV dan TB : Peninjauan Klinis
(bagian pertama)
MeOleh: Theo Smart, 22 Januari 2009
Laporan tambahan oleh Lance Sherriff.
1. Uebel KE, Nash J, Avalos A. Caring for the Caregivers: Models of HIV/AIDS
Care and Treatment Provision for Health Care Workers in Southern Africa.
JID; 196:S500-4, 2007.