Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAMBUSIA, MORBUS HANSEN, DAN SELULITIS


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Integumen

Disusun oleh :
KELOMPOK 4 Kelas AJ2
1. Rendra Pramudya Atmoko

NIM.131511123014

2. Kartika Nuraini

NIM.131511123008

3. R. Rr. Ulvana Tara Shally Aulia

NIM.131511123018

4. Ayu Rizky Budiani

NIM.131511123024

5. Eko Oktalfianto

NIM.131511123046

6. Latifatulmuna

NIM.131511123048

7. Risna Nur Pradani

NIM.131511123080

8. Gunawan

NIM.131511123078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


PROGRAM ALIH JENIS B18
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2016

DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I Pendahuluan..............................................................................................................
Latar Belakang........................................................................................................
Tujuan.....................................................................................................................
BAB II Tinjauan Teori
.....................................................................................................
Frambosia
.......................................................................................
Definisi
Etiologi
.......................................................................................
Patofisiologi
.......................................................................................
Cara Penularan
.......................................................................................
Manifestasi klinis .......................................................................................
Penatalaksanaan
.......................................................................................
Asuhan
.......................................................................................
Keperawatan
Morbus Hansen
Definisi
.......................................................................................
Etiologi
.......................................................................................
Manifestasi klinis .......................................................................................
Patofisiologi
.......................................................................................
Pemeriksaan
.......................................................................................
penunjang
Penatalaksanaan
.......................................................................................
Discharge
.......................................................................................
Planning
Asuhan
.......................................................................................
Keperawatan
Selulitis
Definisi
.......................................................................................
Etiologi
.......................................................................................
Patofisiologi
.......................................................................................
Manifestasi klinik .......................................................................................
Penatalaksanaan
.......................................................................................
Pencegahan
.......................................................................................
Tindak lanjut
.......................................................................................
Komplikasi
.......................................................................................
Asuhan
.......................................................................................
Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN

Ii
1
1
2
3
3
3
3
6
6
7
7

12
12
13
14
15
16
17
17

20
20
22
24
24
25
25
26
26
30

1.1 Latar Belakang


Morbus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium
leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol,
bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di
medium artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini. (Djuanda
A, Kosasih A, Wiryadi, et al, 2010). Selama periode 2008-2013, angka penemuan
kasus baru kusta pada tahun 2013 meruakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga
0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah mencapai target
<1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk (KemenkesRI, 2016)
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008).
Menurut Menkes, saat ini Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus
Frambusia di Asia Tenggara. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah
sangat rendah, data frambusia tahun 2009 masih ditemukan 8.309 kasus yang
tersebar di provinsi wilayah timur Indonesia yaitu NTT, Sulawesi Tenggara,
Maluku, Papua dan Papua Barat, kata Menkes. (Kemenkes RI, 2016). Frambusia
termasuk penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical disease). Indonesia
merupakan penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara selain India
dan Timor Leste. Di Indonesia, sampai tahun 2009 masih ada 8.309 kasus
frambusia yang menginfeksi di 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya
termasuk kategori prevalensi tinggi. Frambusia merupakan indikator
keterbelakangan suatu negara.
Sampai saat ini, frambusia masih belum dapat dieliminasi dari seluruh
wilayah Indonesia. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah kurang
dari 1 per 10.000 penduduk, beberapa provinsi masih memiliki prevalensi yang
cukup tinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Papua,
Aceh, Jambi, Maluku, dan Maluku Utara.5,8 Telah diketahui bahwa perilaku,
khususnya aktivitas mandi, merupakan faktor risiko frambusia. Penyakit ini sangat
terkait dengan kondisi rumah, perilaku, dan sosial ekonomi. Tingkat sosial
ekonomi rendah, hunian yang padat, dan kebiasaan bergantian pakaian juga
memengaruhi kejadian penyakit ini. Di Bondo Kodi, Kabupaten Sumba Barat
Daya, frambusia meningkat terus dari 174 kasus tahun 2009 menjadi 327 kasus
pada tahun 2010 dan 369 kasus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 ini, jumlah
frambusia tertinggi (43 kasus) terjadi di Desa Mali Iha yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Bondo Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya. (Wanti. dkk, 2013)
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga jaringan
subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis,

biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus


betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis adalah peradangan pada
jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke arah samping dan ke dalam.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya
penanggulangan penyakit Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis sebagai judul
makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis dan penanggulangannya.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam
memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :
1.2.1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit Mobus Hansen, Frambusia,
Selulitis yang meliputi definisi ,dan epidemiologi
1.2.2. Untuk mengetahui apa saja etiologi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.3. Untuk mengetahui klasifikasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.4. Untuk mengetahui manifestasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.5. Untuk mengetahui bagaimana patogenesis penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.6. Untuk mengetahui bagaimana peatalaksanaan penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.7. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit Mobus
Hansen, Frambusia, Selulitis

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Frambosia
2.1.1 Definisi

Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema


pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008)
Termasuk penyakit treponematosis non seksual, menular, sering kambuh
dan dapat menyebabkan kecacatan. Disebabkan oleh T. pertenue yang secara
mikroskopik dan serologik sulit dibedakan dengan Treponema lainnya. Berbeda
dengan sifilis, penyakit frambusia ini tidak mempengaruhi susunan saraf pusat
dan juga tidak menimbulkan kelainan kongenital. Secara epidemiologi penyakit
ini termasuk penyakit tropis dan di Indonesia pada awalnya ditemukan pada
hampir seluruh propinsi khususnya pada daerah yang lembab. Setelah dilakukan
penanggulangan secara nasional pada awal tahun lima puluhan, penyakit ini
sudah jarang ditemukan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata masih ditemukan
beberapa kantong frambusia terutama di Indonesia bagian timur.
Penyakit ini terutama menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, pria
lebih banyak dari wanita, juga umumnya pada tingkat sosio-ekonomi rendah.
Secara epidemiologi dapat ditemukan dalam bentuk stadium dini dan stadium
lanjut dengan jarak waktu sekitar 5 tahun. Secara klinis dibedakan dalam bentuk
stadium primer, sekunder dan tersier. Stadium dini ditandai dengan lesi berbentuk
makulo papular/papiloma/papulo krustosa yang agak membasah/eksudatif,
sedangkan stadium lanjut lesinya kering dan berbentuk ulkus.
Secara klinis stadium primer berupa papula /papulokrustosa soliter yang
dikenal sebagai mother yaws. Stadium sekunder bentuk kelainan seperti mother
yaws tapi jumlahnya lebih banyak dan terutama pada lubang tubuh berbentuk
cincin (ring worm yaws). Stadium tersier berbentuk guma dengan ulkus
serpiginosa dan dapat meninggalkan jaringan parut yang khas. Diagnosis
ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologik dan bila
perlu dengan pemeriksaan histopatologik. (Sjamsoe, 2005)
2.1.2 Etiologi
Treponema pallidum/pertenue
2.1.3 Patofisiologi
Treponema pallidum terhadap inang (manusia) ditularkan melalui
hubungan seksual dan infeksi. Lesi langsung pada kulit atau membran selaput
lendir pada genetalia. Pada 1020 kasus lesi primer merupakan intrarektal,
perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat menembus membran
selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang rusak. Spirocheta
secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan beberapa menyebar
di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran darah. Dua hingga 10

minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi dan memecah belah
membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre).
Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang
berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul
yang lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut.
(Djuanda, et al., 2007) Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena
mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh
dalam waktu 35 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati
tahap primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi
tersier. Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap
tersier ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit,
tulang dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value
insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang
meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme.
Treponema yang menahun dan atau laten terkadang infeksi dimata atau
Penularan Daerah
langsung
Penularan tidak langsung
tropis, sosio ekonomi rendah, usia < 15 th, laki>perempuan
sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990) Pada subspecies
,,
perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang antar individu dalam
waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk berkembang biak, infeksi
Hubungan
sekstreponemaTreponema
Benda / serangga
bakteri
ssp.parteneuPallidum
berbentuk spirochetes
tersebut ada dijaringan
Lesi terbuka
(jarang
terjadi)
epidermis mudah menular di jaringan kulit lecet atau trauma
terbuka. Klasifikasi
Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi pertama (primary stage)
Pada luka melalui
jaringan
membran
selaput lendir
genetalia
berbentuk
bekasepidermis/masuk
untuk berkembangnya
bakteri frambusia;
secondary
stage terjadi
lesi infeksi bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala
hampir tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
(Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005),
Spirocheta berkembang
dalam (-,secara
2012). lokal menyebar ke nodul getah bening dan aliran darah

FRAMBEUSIA
Papula membentuk korimbiformis

Stadium awal

Kumpulan papula berdasar


eritema
Papula
membasah, menggeropeng kekuningan
Melingkar di lubang tubuh (anus,telinga,mulut hidung dan d
Borok bergranulasi, berdarah dan kuman ++
Kerstoderma 3-12 bulan
MK: Kerusakan Integritas Kulit

Sembuh muncul jaringan parut


WOC
Periosteum, tulang dan sendi terserang
MK: Gangguan Citra Tubuh

Destruksi tulang seperti gumma/nodus


MK: Risiko Infeksi
MK: Nyeri Akut

2.1.4 Cara penularan frambusia


Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :

a. Penularan secara langsung (direct contact)


Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari
penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala
menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit
seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada
lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas
dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b. Penularan secara tidak langsung (indirect contact).
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan
perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam
persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput
lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu
masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang
diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2
kemungkinan:
1. Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam
kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan
gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika
Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan
cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal
terhadap penyakit frambusia.
2. Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam
kulit tidak dapat berkembang baik dan kemudian mati tanpa dapat
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi
jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup
virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat
infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia
(DepkesRI, 2005)
2.1.5 Manifestasi klinis
Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa
kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang menjadi
borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering mengeluarkan serum
bercampur darah yang banyak mengandung kuman. Stadium ini sembuh
dalam beberapa bulan dengan parut atrofi. Atau, bersamaan dengan ini
timbul papula bentuk butiran sampai bentuk kumparan yang tersusun
menggerombol, berbentuk korimbiformis, atau melingkar di daerah lubanglubang tubuh (anus, telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan.
a. Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan.
b. Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini
berlangsung 3-12 bulan.

c. Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan


terserang.
Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat dari luar
sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung menyebabkan
pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou.
2.1.6 Penatalaksanaan
a. Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta IU dosis tunggal untuk
dewasa.
b. Obat alternatif diberikan kepada penderita yang peka/alergi terhadap
penisilin, walaupun menurut laporan di Negara lain hanya menghasilkan
70 80% kesembuhan.
c. Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan obat alternatif
sebagai berikut :
1) Aureomisin.
Anak-anak: 0,75 1,5 gr selama 4 hari.
Dewasa: 2 gr selama 5 hari
2) Teramisin (dalam dosis dibagi 3 hari berturut-turut)
3 gr pada hari I
2 gr pada hari II
2 gr pada hari III
3) Tetrasiklin.
Anak-anak: 25 mg/kgBB selama 5 hari.
Dewasa: 2 gr /hari selama 5 hari
4) Obat pilihan lain eritromisin 12 gram/hari atau tetrasiklin 12
gram/hari selama 2 minggu.
2.1.7 Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien :
2) Keluhan utama : Gatal-gatal, demam, nyeri tulang dan sendi, terdapat
benjolan-benjolan pada kulit.
3) Riwayat penyakit
4) Pemeriksaan Fisik :
B1
= napas teratur, suara nafas vesikuler, tidak terdapat
(Breathing)
bunyi nafas tambahan wheezing (-) ronchi (-).
Ekspansi dada simetris. Tidak ada penggunaan otot
nafas tambahan.
B2 (blood)
= irama jantung regular, tidak ada pembesaran vena
jugularis, tekanan darah normal, suara jantung
S1/S2 tunggal, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan murmur (-) capillary refill < 3detik
B3 (Brain)
= kesadaran cm, GCS E4V5M6
B4 (Bladder) = produksi urine normal, warna urin kuning

B5 (Bowel)
B6(Bone
&skin)

= bising usus (+), tidak ada asites, mual (-) muntah (-)
= gatal-gatal, nyeri tulang dan sendi, terdapat
benjolan-benjolan pada kulit.
Nyeri:
P : nyeri muncul ketika anggota badan digunakan
untuk bergerak
Q : nyeri seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri terlokalisir di area lesi
S : skala nyeri 5-7
T : hilang timbul

b. Diagnosa
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
2) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh.
c. Intervensi
1) Diagnosa 1: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya
lesi.
NOC:
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan
struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane
mukosa
Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan
setelah penutupan yang disengaja
Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan
pada luka terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
- Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa,
serta penyembuhan luka primer dan sekunder,
- Pasien akan menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau
perawatan luka yang optimal
- drainase purulen atau bau luka minimal
- nekrosis, selumur, lubang, perluasan luka kejaringan di bawah
kulit, atau pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
- eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
NIC:
Perawatan luka : inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik tersebut
Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein,
mineral, kalori dan vitamin
Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin seperti:

pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan


kelembaban yang berlebihan
gunakan satung tangan sekali pakai
ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka sesuai program

2) Diagnosa 2 : Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik


NOC
Pain level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil :
- Mampu mengontrol nyeri ( tau penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
- Menyatakan rasa nyeri berkurang
NIC
Pain manajemen
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Analgetik Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis, dosis dan frekuensi obat
3. Cek riwayat alergi
4. Tentukan pilihan analgesic tergatung tiipe dan beratnya nyeri
5. Evaluasi efektifitas analgesik, dan tanda gejala.
3) Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada
kulit
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NOC
Risk control
Knowledge: Infection control
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

Menjaga kebersihan
Melakukan perawatan pada kulit
4) Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan
struktur tubuh.
NOC
Body image
Self esteem
Kriteria hasil :
- Body image positive
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

Lampiran

Gambar 1. Lesi papulokrustosa (mother jaws)

Gambar 2. Mother jaws dan jaringan parut yang


khas

Gambar 3. Stadium lanjut berbentuk ulkus.

2.2 Morbus Hansen


2.2.1 Pengertian
Istilah kusta dari bahasa Sansekerta yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas dan lesi kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar
di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang
begitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta. (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI, 2015).

2.2.2

2.2.3

Morbus hansen (lepra/kusta) merupakan penyakit infeksi yang kronik


dan penyebabnya ialah Micobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat (Nurarif, 2015)
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa
traktus respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif,
tahan asam dan alkohol, bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M.
leprae belum dapat dibiakkan di medium artifisial sehingga sulit untuk
mempelajari tentang kuman ini. (Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al,
2010).
Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan
ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5
micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau
alkohol sehingga karena itu dinamakan sebagai hasil tahan asam.
Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman ini
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernafasan,
bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3
minggu, pertahankan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9
hari di luar tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21
hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga
dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seseorang penderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya, menyebabkan kerusakan
permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Manifestasi Klinis
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit
mengalami bercak putih seperti panu pada awalnya hanya sedikit tetapi lama
kelamaan semakin lebar dan banyak, adanya bintil-bintil kemerahan yang
tersebar pada kulit, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-benjol dan tegang

yang disebut facies leomina (muka singa), dan mati rasa karena kerusakan
syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga menderita luka tak kunjung sembuh
dalam jangka waktu lama. Jika bila luka ditekan dengan jari tidak terasa
sakit. Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena
deformitas atau cacat tubuh. Namun pada tahap awal kusta, gejala yang
timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang
dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit
menjadi lebih gelap) dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Gejala-gejala
umum pada kusta / lepra, reaksi panas dari derajat yang rendah sampai
dengan menggigil, anoreksia, nausea, kadang-kadang disertai vomitus,
cephalgia, kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis, kadangkadang disertai dengan nephrosia, nefritis, dan hepatospleenomegali,
neuritis. Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang menekan sistem imun. (Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Menurut (Nurarif, 2015) manifestasi klinis dari Morbus Hansen
diantaranya :
a. Makula Hipopigmentasi
b. Hiperpigmentasi
c. Eritematosa
d. Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, autonom)
e. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiraorius atas, tulangtulang jari dan wajah
f. Kulit kering dan alopesia.
Perbedaan Pausabasilar dan Multibasilar
Kusta
Tuberkuloid
/
Morbus Hansen
Pausabasilar (PB) , TT dan
BT
Lesi kulit (makula datar, - 1-5 lesi
papula yang meninggi, - Hipopigmentasi / eritema
nodus)
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yang jelas
- Hanya satu cabang saraf
Kerusakan
saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi / kelemahan otot
yang dipersyarafi oleh
saraf yang terkena).

Kusta
Lepromatosa
/
Multibasilar (MB), tipe BB,
BL dan LL
> 5 lesi
Distribusi lebih simetris
Hilangnya sensasi kurang
jelas
Banyak cabang saraf

2.2.4

Patofisiologi
Cara Mycobacterium leprae masuk ke tubuh belum diketahui pasti,
dari beberapa penelitian paling sering melalui kulit yang lecet dan melalui
mukosa nasal. Setelah Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kondisi seseorang. Respon
tubuh setelah masa tunas dilampaui, tergantung pada kondisi sistem
imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler baik, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah,
berkembang ke arah lepromatosa. Mycobacterium leprae berpredileksi di
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Mycobacterium leprae (Parasis Obligat Intraseluler) terutama yang
terdapat pada sel macrofag di sekitar pembuluh darah superior pada dermis
atau sel Schwann jaringan saraf, bila masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
bereaksi dengan mengeluarkan macrofag untuk memfagosit.
Pada tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imun seluler sehingga
macrofag tidak mampu menghancurkan kuman yang dapat membelah diri
dengan bebas merusak jaringan. Sedangkan pada tipe TT fase system imun
selulernya tinggi, sehingga macrofag dapat menghancurkan kuman setelah
kuman difagositosis. Sel epitel yang tidak bergerak aktif kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans. Bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan yang menyebabkan masa epitel menimbulkan kerusakan pada
saraf dan jaringan sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

WOC

MK :
Kerusakan
integritas
kulit

Hipopigmentasi

Mikrobacterium Leprae
M. Tuberkuloid

Menyerang kulit dan


saraf tepi

MORBUS
HANSEN

MK: Resiko
trauma

Sensabilitas

Neuritis

Macula, Nodula, Papula

Menyerang saraf ulnaris,


nervus popliteus, nervus
aurikularis, nervus radialis

Kulit terlihat rusak


Malu
Inefektif koping individu
Gangguan citra tubuh

Kelumpuhan otot

Kontraktur otot dan sendi

Gangguan aktivitas

Hambatan
mobilitas fisik

2.2.5

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan
b. Laboratorium : basil tahan asam. Diagnosis pasti apabila adanya mati
rasa dan kuman tahan asam pada penyakit kulit yang (+) (positi).
c. Pengobatan kusta/lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai
jenis kusta lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang
diberikan Dapsone (DSS) (dosis 2 x seminggu).
d. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan
ziehl-neelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang
lesinya paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah
cuping telinga kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari

lesi yang paling aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis,
melampaui subepidermal clear zone yang mengandung sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah
saat pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan
basil (solid + nonsolid).1,3,4
e. Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit),
kuman hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di
subepidermal clear zone.1,4
f.

Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk
membantu diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis

2.2.6

(lesi di kulit tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
Uji MLPA
Uji ELISA
M. leprae dipstick test
M. leprae flow test (Nurarif, 2015)

Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan morbus hansen adalah
menyembuhkan pasien kusta ( lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang laik untuk menurunkan insiden penyakit. Regimen
pengobatan morbus hansen di Indonesia yaitu Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi obat medikamentosa utama yang terdiri Rifampisin,
Klofamizin (Lamprene) dan DDS (Dapson / 4,4-diamino-difenil-sulfon).
Program MDT ini betujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka
putus obat, mengefektifkan waktu pengobatan dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen pengobatan MDT di
indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh
WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penderita Pauci Baciler (PB)
1) Penderita Pauci Baciler (PB) lesi satu

Diberikan dosis tunggal ROM


Obat
Rifampisin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa 50-70 kg 600 mg
400 mg
100 mg
Anak 5-14 tahun
300 mg
200 mg
50 mg
Obat ditelan di depan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil
tidak diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung
dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat
kusta). Dalam program ROM yang tidak dipergunakan, penderita
satu lesi diobati dengan regimen PB selama 6 bulan.
2) Penderita Pauci Baciler (PB) lesi 2-5
Obat
Dapson
Rifampisin
Dewasa
100 mg/hari 600 mg/bulan, diawasi
Anak 10-14 th 50 mg/hari
450 mg/bulan, diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis
minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis maka dinyatakan Completion of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
3) Penderita Multi Basiler (MB)
Dapson
Rifampisin
Dewasa
100 mg / hari 600 mg / bulan,
diawasi
Anak 10-14 th 50 mg / hari
450 mg / bulan,
diawasi

2.2.7

Klofazimin
50 mg/hari dan 300
mg/bulan diawasi
50 mg selang sehari
dan 150 mg/bulan
diawasi
Pengobatan MDT untuk morbus hansen tipe MB dilakukan dalam
24 dosis yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun
secara klinisnya lesi masih aktif dan pemeriksaan bakteri BTA
positif. Pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan
dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. (Nurarif,
2015).
Disharge Planning
a. Biasakan hidup bersih dan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas
dan sesudah aktivitas
b. Makan makanan yang bergizi seimbang
c. Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur secara
bersamaan
d. Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya
masalah kulit
e. Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua
penderita
(Nurarif, 2015).

2.2.8

Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas pasien
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan
agama
2) Keluhan utama
Klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan)
dan adanya komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan
( mati rasa pada daerah yang lesi ).
3) Riwayat penyakit sebelumnya
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit
misalnya: penyakit panu.kurap. dan perawatan kulit yang tidak
terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik
4) Riwayat Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
5) Riwayat lingkungan
Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang
buruk dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang
menekan sistem imun.
6) Pemeriksaan fisik
B1
= nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak terdapat
(Breathing)
bunyi nafas tambahan wheezing (-) ronchi (-).
Ekspansi dada simetris. Tidak ada penggunaan otot
nafas tambahan.
B2 (blood)
= irama jantung regular, tidak ada pembesaran vena
jugularis, tekanan darah normal, suara jantung
S1/S2 tunggal, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan murmur (-) capillary refill < 3detik
B3 (Brain)
= kesadaran cm, GCS E4V5M6
B4 (Bladder)
= produksi urine normal (1500 cc), warna urin
kuning
B5 (Bowel)
= bising usus (+), tidak ada asites, mual (-) muntah (-)
B6(Bone
= terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan
&skin)
oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.

b. Diagnosa Keperawatan

1)
2)
3)
4)

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hipopigmentasi


Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya proses penyakit
Resiko trauma berhubungan dengan penurunan sensibilitas
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan
sendi

c. Intervensi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hipopigmentasi
Kriteria Hasil :
Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi)
Lesi berkurang
Perfusi jaringan baik
NOC
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Hemodyalis akses
NIC
- Anjurkan pasien unttuk menggunakan pakaian yang longgar
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali )
- Monitor status nutrisi pasien
- Oleskan lotion agar kulit tetap lembab
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya proses penyakit
Kriteria Hasil :
Body image
Mampu mengidentifikasikan kekuatan personal
Mempertahankan interaksi sosial
NOC
Body image
Self esteem
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap
tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan, dan
prognosis penyakit
3) Resiko trauma berhubungan dengan penurunan sensibilitas
Kriteria Hasil :
Pasien terbebas dari trauma fisik
Lingkungan aman
Dapat mendeteksi resiko
NOC
Knowledge: personal safety
Tissue integrity: Skin and mucous membrane

NIC
Environmental management safety
- Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
- Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi
fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat pnyakit terdahulu
- Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
- Menyediakan tempat tidur nyaman dan bersih
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan
sendi
Kriteria Hasil :
Klien meningkat dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
NOC
Join Movement: Active
Self Care: ADLs
Mobility Level
NIC
Exercise therapy: ambulation
- Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon
pasien saat latihan
- Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencaca ambulasi
sesuai dengan kebutuhan
- Bantu klien unttuk melakukan mobilitas fisik
- Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
2.3 Selulitis
2.3.1 Definisi
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga
jaringan subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang
jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab
tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis
adalah peradangan pada jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke
arah samping dan ke dalam.
2.3.2 Etiologi
Penyakit selulitis disebabkan oleh:
a. Infeksi bakteri dan jamur :
1) Disebabkan oleh Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus
2) Pada bayi yang terkena penyakit ini disebabkan oleh Streptococcus
grup B
3) Infeksi dari jamur, tapi Infeksi yang diakibatkan jamur termasuk
jarang
4) Aeromonas Hydrophila.
5) S. Pneumoniae (Pneumococcus)
b. Penyebab lain :
1) Gigitan binatang, serangga, atau bahkan gigitan manusia.

2) Kulit kering
3) Eksim
4) Kulit yang terbakar atau melepuh
5) Diabetes
6) Obesitas atau kegemukan
7) Pembekakan yang kronis pada kaki
8) Penyalahgunaan obat-obat terlarang
9) Menurunnyaa daya tahan tubuh
10) Cacar air
11) Malnutrisi
12) Gagal ginjal
Beberapa faktor yang memperparah resiko dari perkembangan selulitis :
a. Usia
Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi
mengalami infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya
memprihatinkan.
b. Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency)
Dengan sistem immune yang melemah maka semakin mempermudah
terjadinya infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan
infeksi HIV. Penggunaan obat pelemah immun (bagi orang yang baru
transplantasi organ) juga mempermudah infeksi.
c. Diabetes mellitus
Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi
sistem immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes
mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial
membuat luka pada kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri
penginfeksi.
d. Cacar dan ruam saraf
Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan
masuk bakteri penginfeksi.
e. Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema)
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk
bagi bakteri penginfeksi.
f. Infeksi
jamur
kronis
pada
telapak
atau
jari
kaki
Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehinggan menambah
resiko bakteri penginfeksi masuk
g. Penggunaan steroid kronik
Contohnya penggunaan corticosteroid. & sengat serangga, hewan, atau
gigitan manusia
h. Penyalahgunaan obat dan alcohol
Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi
berkembang

i. Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran,
mempermudah timbulnya penyakit ini.
2.3.3 Patofisiologi
Selulitis terjadi jika bakteri masuk ke dalam kulit melalui kulit yang
terbuka. Dua bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi ini adalah
streptococcus dan staphylococcus. Lokasi paling sering terjadi adalah di
kaki, khususnya di kulit daerah tulang kering dan punggung kaki. Karena
cenderung menyebar melalui aliran limfatik dan aliran darah, jika tidak
segera diobati, selulitis dapat menjadi gawat. Pada orang tua, sellulitis
yang mengenai extremitas bawah dapat menimbulkan komplikasi sebagai
tromboflebitis. Pada penderita dengan edema menahun, sellulitis dapat
menyebar atau menjalar dengan cepat sekali sedangkan penyembuhannya
lambat. Daerah nekrotik yang mendapat superinfeksi bakteri gram negatif
akan mempersulit penyembuhan.

Faktor Lain:
Usia
Infeksi Bakteri:
Imuno Defisiansi
Adanya lesi
Streptococcus grup A
DM
Stafilcoccus aureus
Cacar & Ruam Saraf
Gigitan binatang
Eksim
Menyebar ke dalam lapisan kulit & jaringan subcutan

Masuk ke dalam aliran limfe & aliran darah

Terjadi Peradangan Akut

SELLULITIS

Oedema, kemerahan
Eritema lokal pada kulit yang mengalami lesi
Rangsang reseptor nyeri
MK: Nyeri Akut

MK: Gangguan Citra Tubuh


Lesi semakin luas

Trauma jaringan MK:


lunakKerusakan Integritas Kulit

MK: Resiko Tinggi Infeksi

Gejala Sistemik
Demam, menggigil

MK: Hipertermi

2.3.4 Manifestasi klinik


a. Riwayat: Biasanya didahului oleh lesi-lesi sebelumnya, sepeti ulkus
statis, luka tusuk: sesudah satu atau dua hari akan timbul eritem local
dan rasa sakit.
b. Gejala sistemik: Malaise, demam (suhu tubuh dapat mencapai
38,5C), dan menggigil. Eritem pada tempat infeksi cepat bettambah
merah dan menjalar. Rasa sakit setempat terasa sekali.
c. Lesi Kulit: Daerah kulit yang teraba merupakan infiltrat edematus
yang teraba, merah, panas, dan luas. Pinggir lesi tidak menimbul atau
berbatas tegas. Terdapat limfadenopati setempat yang disertai dengan
limfangitis yang menjalar kearah proksimal. Vesikula permukaan
dapat terjadi dan mudah pecah. Abses local dapat terbentuk dengan
nekrosis kulit di atasnya.
Sellulitis yang terdapat di kulit kepala di tandai oleh beberapa nodula
kecil dan abses.. Proses ini biasanya kronik dengan kecenderungan
membentuk terowongan kulit. Biasanya penyakit ini terjadi pada
dewasa muda dan sering disertai jerawat atau hidradenitis supurativa.
Sellulitis perianal yang terdapat pada anak merupakan merupakan
proses yang sakit karena terjadi edem di sekitar anus, yang
konsistensinya lunak. Penyebabnya biasanya Streptococcus group A.
Penampakan yang paling umum adalah bagian tubuh yang menderita
selullitis berwarna merah, terasa lembut, bengkak, hangat, terasa
nyeri, kulit menegang dan mengilap. Gejala tambahan yaitu demam,
malaise, nyeri otot, eritema, edema, lymphangitis. Lesi pada awalnya
muncul sebagai makula eritematus lalu meluas ke samping dan ke
bawah kulit dan mengeluarkan sekret seropurulen. Gejala pada
selulitis memang mirip dengan eresipelas, karena selulitis merupakan
diferensial dari eresipelas. Yang membedakan adalah bahwa selulitis
sudah menyerang bagian jaringan subkutaneus dan cenderung
semakin luas dan dalam, sedangkan eresipelas menyerang bagian
superfisial kulit.
2.3.5 Penatalaksanaan
Pemeriksaan Laboratorium
a. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah
leukosit dan rata-rata sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan
adanya infeksi bakteri.
b. BUN level
c. Creatinin level
d. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga
e. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas
pada daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area
abses atau terdapat bula

Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum


memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil,
tidak tersasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi,
takipnea, takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor resiko.
f. Pemeriksaan Imaging
g. Plain-film Radiography, tidak diperlukan pada kasus yang tidak
lengkap (seperti kriteria yang telah disebutkan)
h. CT (Computed Tomography)
Baik Plain-film Radiography maupun CT keduanya dapat digunakan
saat tata kilinis menyarankan subjucent osteomyelitis. Jika sulit
membedakan selulitis dengan necrotizing fascitiis, maka pemeriksaan
yang dilakukan adalah : MRI (Magnetic Resonance Imaging), Sangat
membantu pada diagnosis infeksi selulitis akut yang parah,
mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fascitiis, dan infeksi
selulitis dengan atau tanpa pembentukan abses pada subkutaneus.
2.3.6 Pencegahan
Jika memiliki luka,
a. Bersihkan luka setiap hari dengan sabun dan air
b. Oleskan antibiotic
c. Tutupi luka dengan perban
d. Sering-sering mengganti perban tersebut
e. Perhatikan jika ada tanda-tanda infeksi
Jika kulit masih normal,
a. Lembabkan kulit secara teratur
b. Potong kuku jari tangan dan kaki secara hati-hati
c. Lindungi tangan dan kaki
d. Rawat secara tepat infeksi kulit pada bagian superfisial
2.3.7 Tindak lanjut
Perawatan lebih lajut bagi pasien rawat inap:
a. Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravenous
b. Pelepasan antibiotic parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan
bahwa dia telah sembuh dari infeksi
Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan :
Perlindungan penyakit cellulites bagi pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan cara memberikan erythromycin atau oral penicillin dua
kali sehari atau intramuscular benzathine penicillin.
2.3.8 Komplikasi
a. Bakteremia
b. Nanah atau local Abscess
c. Superinfeksi oleh bakteri gram negative
d. Lymphangitis
e. Trombophlebitis

f. Ellulitis pada muka atau Facial cellulites pada anak menyebabkan


meningitis sebesar 8%.
g. Dimana dapat menyebabkan kematian jaringan (Gangrene), dan
dimana harus melakukan amputasi yang mana mempunyai resiko
kematian hingga 25%.
2.3.9 ASUHAN KEPERAWATAN
2.3.9.1 Pengkajian
1. Identitas
Menyerang sering pada lingkungan yang kurang bersih, selulitis biasanya
menyerang pada usia tua (>60 tahun)
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluh nyeri pada luka, terkadang disertai demam, menggigil
dan malaise
b. Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan penyebab luka pada pasien dan pernahkah sebelumnya mengidap
penyakit seperti ini, adakah alergi yang dimiliki dan riwat pemakaian obat. Serta
penyakit diabetes melitus dan pernah mengalami gigitan serangga atau manusia
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat luka pada bagian tubuh tertentu dengan karakteristik berwarna merah,
terasa lembut, bengkak, hangat, terasa nyeri, kulit menegang dan mengilap
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya dikeluarga pasien terdapat riwayat mengidap penyakit selulitis atau
penyekit kulit lainnya
3. Keadaan emosi psikologi
Pasien cenderung menutupi luka yang diderita
4. Keadaan social ekonomi
Biasanya menyerang pada social ekonomi yang sederhana
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah
TD
: Menurun (< 120/80 mmHg)
Nadi
: Turun (< 90)
Suhu
: Meningkat (> 37,50)
RR
: Normal
B1 (breathing) : nafas spontan, RR normal 20x/menit, PCH (-), retraksi kosta
(-), tidak ada tanda-tanda dispnea
B2 (Blood): TD cenderung normal, tidak ada tanda-tanda perdarahan, CRT<2
detik, perfusi perifer baik,
B3 (Brain) : umumnya pasien tidak mengalami gangguan kesadaran,
kesadaran komposmentis, GCS 456, pupil isokor,
B4 (Bladder) : BAK spontan, produksi urinne kunumg jernih

B5 (Bowel): kemungkinan penurunan nafsu makan karena malaise,


B6 (Bone):
Ekstremitas : Adakah luka pada ekstremitas
Integumen : Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang
terasa di suatu daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi
menjadi panas dan bengkak, dan tampak seperti kulit jeruk yang
mengelupas (peau dorange). Pada kulit yang terinfeksi bisa
ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar
berisi cairan (bula), yang bisa pecah.
2.3.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi kulit, gangguan integritas kulit, iskemik
jaringan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya eritema lokal
3. Intoleransi aktivitas b.d intoleran jaringan / organ distal
4. Hipertermia b.d proses fagositosis dan proses peradangan
5. Gangguan citra tubuh b.d infeksi permukaan tubuh
6. Risiko infeksi b.d lesi dan adanya eritema lokal
2.3.9.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
NOC:
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan struktur dan fungsi
fisiologis normal kulit dan membrane mukosa
Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan setelah
penutupan yang disengaja
Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan pada luka
terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
- Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa, serta
penyembuhan luka primer dan sekunder,
- Pasien akan menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan luka yang
optimal
- drainase purulen atau bau luka minimal
- nekrosis, selumur, lubang, perluasan luka kejaringan di bawah kulit, atau
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
- eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
NIC:
Perawatan luka : inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik tersebut

Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin seperti:
pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan kelembaban yang
berlebihan
gunakan satung tangan sekali pakai
ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka
sesuai program

Diagnosa 2 : Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik


NOC
Pain level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil :
- Mampu mengontrol nyeri ( tau penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyeri berkurang
NIC
Pain manajemen
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Analgetik Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis, dosis dan frekuensi obat
3. Cek riwayat alergi
4. Tentukan pilihan analgesic tergatung tiipe dan beratnya nyeri
5. Evaluasi efektifitas analgesik, dan tanda gejala.

Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit


Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NOC
Risk control
Knowledge: Infection control
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain


Menjaga kebersihan
Melakukan perawatan pada kulit

Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur


tubuh.
NOC
Body image
Self esteem
Kriteria hasil :
- Body image positive
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Frambusia disebut juga patek atau puru,
disebabkan oleh Treponema pertenue. Selulitis adalah penyebaran infeksi pada
kulit yang meluas hingga jaringan subkutan. Selulitis adalah peradangan akut
terutama menyerang jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma
dengan penyebab tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus.
Dari ketiga penyakit tersebut memiliki kesamaan prognosis yaitu bisa
masuk ke dalam tubuh melalui lesi yang ada. Diagnosis Keperawatan yang
muncul pada ketiga penyakit tersebut antara lain kerusakan integritas kulit dan
gangguan citra tubuh.
3.2. Saran
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam
penyusunan makalah ini, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

-, 2012. Issue https://herodessolution.files.wordpress.com/2012/01/penyakit-frambusia-patekyaws.pdf..


DepkesRI, 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia, Direktur Jendral PPM & PL.
JAKARTA: s.n.
DepkesRI, 2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Djuanda A, et al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
KemenkesRI, 2016. Kusta dan Frambusia Penyakit Terabaikan.
Nurarif, 2015. NANDA NIC NOC. II penyunt. Jakarta: Medika Salemba.
Sjamsoe, E., 2005. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT Meadical Multimedia
Indonesia.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40233/3/Chapter%20II.pdf
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-J%20Oftalmologi%20Vol%207%20no
%201%20(Heni%20Riyanto).pdf
https://xa.yimg.com/kq/groups/86529852/872367811/name/Preskas+michael+selulitis+
preseptal.pdf
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/sri.linuwih/material/pioderma.pdf
http://www.kalbemed.com/Portals/6/11_187Selulitis%20fasialis.pdf
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/10/pustaka_unpad_selulitis_fasialis.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/16/jtptunimus-gdl-s1-2008-lissafarid-757-1bab1.pdf

WOC MORBUS HANSEN


Factor-faktor yang mempengaruhi: umur, jenis
kelamin, ras, genetic, iklim, lingkungan, sosio
ekonomi,imunitas, virulensi kuman
Tidak sakit
Terpapar M.
leprae

Sembuh spontan
Terjadi lesi kulit,
hipopigmentasi
(5%)
Nyeri

Kaki
lunglai

Hambatan
mobilitas
fisik

n.
peroneus
komunis

TT

B
T

B
B

Tangan
lunglai,
paralisis otot
tangan & jari

BL

LL

n.
trigeminus
Anaste
si
kornea

Epistaksi
s

Tulang
& sendi

Kelumpuhan sistem imun


seluler
Kerusakan syaraf
tepi

n.
radialis,
n.

Ketidakefektifa
n bersihan jalan
nafas

Memasuki spectrum klinis


(25%)

Absorps
i,
mutilasi
, artritis

Kerusakan jaringan &


organ
larin

Lida

Mulut
menco
ng

Suar
a
para

Ulkus,
nodus

Kesulita
n
berbica

Ggn.
Komu
nikasi
verbal

n.

Ketidak seimbangan
nutrisi : kurang dari
keutuhan

Nyeri
di
lidah
Kesulita
n
menela

kelumpuha
n

mat
Iritis, Ggn
visus,
buta

nyeri

Ggn.
Mobilita
s fisik

Ggn.
Citra
tubuh

Resiko
cidera
kulit

Lesi,
eritema
-tosa,
laserasi

Anda mungkin juga menyukai