Anda di halaman 1dari 23

REFERAT REGULASI PENGENDALIAN GULA

DARAH PADA PASIEN DIABETES TIPE-2

Pembimbing:
dr. Julius R. Samban, Sp.PD

Disusun oleh:
Apriangga Sastriawan
(NIM: 111110300081)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami
dapat menyelesaikan makalah referat ini yang berjudul Regulasi Pengendalian
Gula Darah Pada Pasien DM Tipe-2.
Makalah referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Bekasi.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada :
1. Dr. Julius R. Samban, Sp.PD selaku pembimbing referat ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Bekasi.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah Bekasi.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah referat ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun
guna penyempurnaan makalah referat ini sangat kami harapkan.
Demikian, semoga makalah referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang
ilmu penyakit dalam.
Jakarta, 7 Januari 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
Cover....1
Daftar isi...2
Kata Pengantar.3
BAB I PENDAHULUAN.......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........5
DAFTAR PUSTAKA.......24

BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai penyakit
kencing manis merupakan kumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
keadaan hiperglikemia. Penyebab Diabetes Mellitus tidak lepas dari interaksi
kompleks antara faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup.1 Gaya hidup serba
instan yang telah menjadi kebiasaan dewasa ini sangat mempengaruhi angka
peningkatan jumlah penderita Diabetes Mellitus di berbagai belahan dunia.
Ancaman Diabetes Mellitus semakin nyata di dunia, termasuk di negara
negara berkembang seperti Indonesia. Diabetes Mellitus tipe 2 adalah tipe
Diabetes Mellitus yang umum dan paling banyak diderita dibandingkan Diabetes
Mellitus tipe 1. WHO memprediksi akan adanya peningkatan penderita Diabetes
Mellitus tipe 2 di Indonesia hingga berjumlah 21,3 juta orang pada tahun 2030
dari tahun 2000 yang masih berjumlah 8,1 juta orang.Penelitian di Jakarta pada
rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang tajam. Pada
daerah urban tersebut, prevalensi Diabetes Mellitus meningkat dari 1,7% pada
tahun 1982, naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kembali meningkat tajam
menjadi 12,8% pada tahun 2001.1
Banyak komplikasi yang bisa disebabkan oleh Diabetes Mellitus, seperti
penyakit serebrovaskuler ataupun kardiovaskuler, gangguan ginjal, retinopati, dan
lain lain.1 Keadaan hiperglikemi pada pasien Diabetes Mellitus dapat
mengakibatkan disfungsi vaskular yang berperan besar terhadap timbulnya
berbagai komplikasi pada organ organ vital di tubuh.2
Penatalaksaan diabetes bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Hal ini disebabkan besarnya manfaat yang didapatkan
ketika gula darah dapat dikontrol dengan baik. Hasil penelitian UKDPS (the
United Kingdom Prospective Diabetes Study) menunjukkan setiap penurunan 1%
kadar A1C akan menurunkaan risiko komplikasi sebesar 37%.3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Prinsip Penanganan Diabetes Melitus Tipe-2
Dalam penanganan diabetes tipe 2, terdapat beberapa cara pendekatan.
Saat ini, yang dianjurkan para ahli diabetes di Eropa dan Amerika adalah dengan
memakai nilai A1c (HbA1C) sebagai acuan penentuan program pengendalian
diabetes. Pada beberapa negara termasuk Indonesia, pemeriksaan A1c masih
relatif sulit dilaksanakan terkait biaya yang tinggi serta belum masuknya
pemeriksaan ini ke daftar pemeriksaan yang ditanggung oleh BPJS kesehatan.
Untuk itu, maka dapat digunakan konversi A1c.3
HbA1C

GDS (mg/dL)

126

154

183

212

10

240

11

269

12

298
Tabel 1: Konversi nilai HbA1C berdasarkan nilai GDS

Pendekatan utama untuk mengendalikan diabetes adalah pengendalian


asupan (diet) dan latihan jasmani. Jika keduanya gagal mencapai target yang
ditentukan, maka diperlukan penambahan obat antihiperglikemik oral atau insulin,
atau kombinasi keduanya.
Tujuan penatalaksaan diabetes bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Hal ini disebabkan besarnya manfaat yang didapatkan
ketika gula darah dapat dikontrol dengan baik. Hasil penelitian UKDPS (the
United Kingdom Prospective Diabetes Study) menunjukkan setiap penurunan 1%
kadar A1C akan menurunkaan risiko komplikasi sebesar 37%.3
5

Adapun target pengendalian DM yang diluncurkan oleh PERKENI


(Persatuan Endokrinologi Indonesia) adalah:
Baik

Sedang

Berat

Gula darah puasa (mg/dL)

80 109

110 125

126

Gula darah 2 jam (mg/dL

110 144

145 179

180

6,5- 8

Kolesterol total

200

200 239

240

Kolesterol LDL

100

100 129

130

Kolesterol HDL

45

Trigliserida (mg/dL)

150

150 - 199

200

18,5 - 22,9

23 -25

200

130/80

130 - 140 / 80

140/90

A1C (%)

IMT (kg/m2)
Tekanan darah (mmHg)

90
Tabel 2: Target pengendalian gula darah pada penyandang diabetes

Namun demikian, beberapa oganisasi diabetes

dunia memiliki target

glikemik yang berbeda, seperti berikut:


Oganisasi

HbA1C (%)

GDP (mg/dL)

GDPP (mg/dL)

ADA

70 130

180

AACE

6,5

110

140

IDF

6,5

110

145

Diabetes tipe 1

6,5

108

135 160

Diabetes tipe 2

6,5

108

135

ESC/EASD

Tabel 3: Perbedaan target glikemik

2. Obat Antidiabetik Oral


Obat antidiabetik sendiri diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Pemicu Sekresi Insulin (Insulin secretgouge)


1. Sulfonilurea
Obat hipoglikemik oral yang termasuk dalam golongan sulfonuilurea
dibagi menjadai dua generasi. Generasi pertama meliputi: Tolbutamide,
Tolazamide, Chlorpropamide dan Acetohexamide. Sedangkan generasi kedua
meliputi:Glipizid, Glimepirid, Glikazid, Gliburid. Sulfonilurea generasi pertama
sudah jarang digunakan karena onset yang lambat, durasi kerjanya yang terlalu
panjang, dan berbagai efek samping yang ditimbulkan. Sebagai salah satu jenis
pemicu sekresi insulin, efek farmakodinamik obat ini sangat bergantung pada
fugsi sel beta. Untuk itu, pada pasien dengan fungsi sel beta yang sudah sangat
menurun obat ini tidak digunakan.4
a.

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan ATP-sensitive

pottasium channel, sulfonylurea receptor 1 (SUR1) pada sel beta pankreas. Ikatan
ini mengakibatkan tertutupnya ATP-sensitive pottasium channel, SUR1 sehingga
terjadi peningkatan kadar potassium intrasel, depolarisasi sel-beta, yang diikuti
dengan terbukanya voltage-gated calcium dan menimbulkan infulks kalsium dan
pelepasan insulin.5 6

Gambar 1: Mekanisme kerja sulfonilurea

b. Farmakokinetik
Obat ini mudah diserap oleh saluran gastrointestinal. Namun, antar obat
memiliki perbedaan kecepatan metabolisme oleh hepar dan ginjal, serta durasi
kerja. Obat ini akan dieksresi melalui urin atau feses.

Sulfonilurea generasi satu

Durasi Kerja (jam)

Acetohexamide

12-18

Chlorpropamide

60

Tolazamide

12-24

Tolbutamide

6-12

Sulfonilurea generasi dua


Glyburide

16-24

Glipizide

12-24

Glimepiride

>24
Tabel 4: Durasi kerja sulfonilurea

Pada sulfonilurea generasi pertama, klorpropamid akan terikat dengan


albumin, ia memiliki masa paruh yang panjang, efeknya masih terlihat beberapa
hari setelah obat dihentikan. Metabolisme berlangsung dihepar (80%) dan ginjal
(20%). Sedangkan tolbutamide, memiliki masa paruh yang lebih cepat, saat
didarah ia akan berikatan dengan protein plasma, saat dihepar ia akan diubah
menjadi karboksitolbutamid, kemudian dieksresi diginjal.
Pada sulfonilurea generasi kedua, efek kerja obat jenis ini seratus kali
lebih besar dibanding generasi sebelumnya. Ia memiliki efek hipoglikemik hingga
24 jam meskipun masa paruhnya pendek. Glipizid memiliki masa paruh 3-4 jam.
Ia akan dimetabolisme dihepar menjadi metabolit tidak aktif, kemudian akan
dieksresi oleh ginjal dengan sekitar 10% masih dalam keadaan aktif.7
c.

Efek Samping
Insidensi efek samping generasi pertama sekitar 4%, insidensi pada

generasi II lebih rendah lagi. Hipoglikemia dapat terjadi terutama pada pasien
dengan usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal, terutama pada
penggunaan sediaan obat dengan masa kerja panjang.

Gangguan saluran cerna seperti mual,muntah, diare juag dapat terjadi,


namun dapat diatasi dengan menurunkan dosis, menelan bersama makanan atau
membagi obat dalam beberapa dosis. Adapun efek samping yang jarang terjadi
meliputi: anemia hemolitik, trombositopenia, agranulositosis, dan gangguan
kardiovaskular.7

d. Interaksi Obat
Obat ini berinteraksi dengan salisilat, sulfonamid, warfarin, fenilbutazone
yang akan mengakibatkan peningkatan kadar sulfonilurea pada plasma sehingga
mengakibatkan hipoglikemia. Selain itu, obat ini juga berinteraksi dengan
warfarin, monoamin oksidase inhibitor, kloramfenikol, fenilbutazon yang
mengakibatkan metabolisme obat ini pada hepar, dan dengan salisilat, probenezid,
allopurinol yang akan menurunkan eksresi obat ini melalui ginjal, serta dengan
rifampin yang akan menurunkan konsentrasi obat ini pada plasma.

2. Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang mempunyai cara kerja yang sama
dengan sulfonilurea. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:Repaglinid
yang merupakan derivat asam benzoat, mempunyai efek hipoglikemik ringan
sampai sedang. Nateglinid, ia merupakan derivat dari fenilalanin. Walaupun
mempunyai cara kerja yang sama, namun kedua obat diatas memiliki keunggulan
berupa onset yang cepat, aman pada pasien dengan alergi sulfa yang mana
merupakan salah satu kontraindikasi penggunaan sulfonilurea. Selain itu, obat ini
juga efektif menurunkan kadar gula darah porprandial.8
a.

Mekanisme Kerja
Mekanisme obat ini sama dengan sulfonilurea yaitu menstimulasi

pelepasan insulin dengan menutup kanal K+ dependent ATP pada sel pankreas.9
b. Farmakokinetik
Obat ini diabsorpsi pada saluran gastrointestinal dengan cepat. Efek
puncak obat ini dapat dicapai dalam waktu sekitar 1 jam. Masa paruhnya 1 jam,
sehingga harus diberikan beberapa kali dalam sehari, sebelum makan.9

Proses metabolisme obat ini, terjadi terutama pada hepar, Namun, 10%
metabolisme obat ini berada pada pada ginjal.
c.

Efek samping
Hipoglikemia, gangguan saluran cerna.

d. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan ketoasidosis diabetikum,
alergi pada obat ini.

b. Penghambat Glukoneogenesis
1.

Biguanid
Obat hipoglikemik yang termasuk dalam golongan biguanid adalah

metformin. Obat ini diberikan dalam dosis 2 X 500 mg untuk dosis awal. Untuk
pemeliharaan diberikan dalam dosis 3 X 500 mg, dosis maksimal adalah 2500
mg.7
a.

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan mengaktivasi AMPK (AMP

activated protein kinase) yang berakibat penekanan proses glukoneogenesis,


sintesis protein, asam lemak, dan kolesterol. Obat ini juga bekerja meningkatkan
ambilan glukosa pada otot, sensitivitas insulin, menurunkan sintesis asam lemak
dan trigliserida, dan menurunkan absorbsi glukosa pada traktus intestinal.

Gambar 2: Mekanisme kerja Metformin

10

b. Farmakokinetik
Pada saluran pencernaan, absorbsi metformin diperantarai oleh plasma
membrane monoamine transporter (PMAT) yang berada pada permukaan
enterosit. Obat ini didistribusikan keseluruh jaringan. Pada hepar, absorbsi
metformin diperantarai oleh OCT1 dan OCT3 pada membran basolateral dari
hepatosit. Metformin tidak dimetabolisme oleh tubuh, ia dieksresi dalam bentuk
yang tidak berubah melalui urin.7
c.

Efek Samping
Hampir 20% pasien dengan pengobatan menggunakan metformin

mengalami mual, muntah, diare, namun dengan menurunkan dosis efek samping
tersebut teratasi. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau kardiovaskular,
pemberian obat ini dapat menimbulkan peningkatan asam laktat, sehingga
mengganggu keseimbangan elektrolit tubuh.7
d. Kontraindikasi
Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah pasien dengan gangguan ginjal,
gangguan hepar, riwayat asidosis laktat, gagal jantung, dan penyakit paru hipoksik
kronik.7

c. Peningkat Sensitifitas Terhadap Insulin


1.

Thiazoledinedion
Obat anti diabetik oral yang termasuk golongan thiazoledinedion adalah

rosiglitazon, pioglitazon. Rosiglitazone diberikan dalam dosis 15-45 mg satu kali


sehari. Sedangkan pioglitazone diberikan dalam dosis 2-8 mg satu kali sehari.
a.

Mekanisme Kerja
Obat ini merupakan ligan dari peroxisome proliferator-activated receptor-

gamma (PPAR). Ketika berikatan, maka dapat memicu ekspresi gen yang terlibat
dalam metabolisme

glukosa, lipid, transduksi sinyal insulin, dan diferensiasi

adiposit.4

11

Gambar 3: Mekanisme kerja thiazolidinedion


Reseptor PPAR berada pada otot, jaringan lemak, dan hepar. Pada otot, ia
meningkatkan sensitivitas insulin. Pada hepar, ia menurunkan kadar adiposa
viseral dan meningkatkan sensitivitas insulin. Adapun pada jaringan adiposit, ia
meningkatkan jaringan adiposa pada subkutan. Obat ini dapat menurunkan Hb1c
sebanyak 1,5%, gula darah puasa sebanyak 60-70%.
b. Farmakokinetik
Pioglitazon mulai diabsorpsi 2 jam pasca dikonsumsi. Piogliazon
dimetabolisme oleh enzim CYP2C8 dan CYP3A4 pada hepar. Adapun
rosiglitazone diabsorpsi secara cepat dan dimetabolisme oleh CYP2C8 dan
CYP2C9.4
c.

Efek Samping
Efek samping penggunaan obat ini meliputi:kenaikan berat badan,

gangguan hepar. Edema juga sering terjadi, sehingga dapat memperburuk keadaan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
d. Kontraindikasi
Penggunaan obat dikontraindikasikan bagipenderita gagal jantung, gejala
angina.

12

d. Penghambat Alfa Glukosidase


1.

Alfa-glukoseidase Inhibitor
Yang termasuk dalam golongan -glukosidase inhibitor adalah Acarbose. Ia

merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba, dan miglitiol suatu derivat
desoksi nojirimisin. Obat ini secara aktif menrunkan glukosan plasma posprandial
pada DM tipe1 dan tipe 2. Dosis pemberian obat ini adalah 25 mg saat mulai
terapi, kemudian setelah 4-8 minggu dianaikkan. Adapun dosis maksimal obat ini
adalah 75 mg.10
a.

Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja dari enzim -glukosidase

yang terdapat pada brush border dipermukaan membran usus halus. Enzim ini
berfungsi sebagai sebagai pemecah karbohidrat menjadi glukosa. Dengan
demikian, pemberian akarbose akan menurunkan pemecahan karbohidrat menjadi
glukosa, sehingga glukosa darah akan menurun.11

Gambar 3: Mekanisme kerja Acarbose


b. Farmakokinetik
Obat ini bekerja hanya pada saluran gastrointestinal, akan didegradasi oleh
enzim amilase dan bakteri intestin pada usus halus. Namun, sekitar 2 % obat tidak
didegradasi. Obat ini sebagian besar akan dieksresi oleh ginjal.

13

c.

Efek Samping
Efek samping obat ini berupa flatulen, diare, dan abdominal bloating.

Untuk mengurangi efek samping, titrasi menjadi hal yang dianjurkan.7


d. Kontraindikasi
-glukosidase dikontraindikasikan pada penyakit gastrointestinal kronik.
Obat ini juga dapat meningkatkan konsentrasi enzim liver. Untuk itu, disarankan
pemeriksaan transaminase secara berkala.11

e. Golongan Inkretin
1. DPP-IV Inhibitor
Obat antidiabetik oral yang termasuk dalam golongan DPP-IV inhibitor
adalah sitagliptin dan vildagliptin. Sitagliptin diberikan dengan dosis 100 mg satu
kali sehari. Adapun vildagliptin diberikan dengan dosis 25-100 mg perhari.12
a.

Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja menghambat kerja DPP-4 sehingga mencegah degradasi

GLP-1. Akibatnya, dapat memicu peningkatan kadar insulin yang berujung pada
penurunan kadar gula darah posprandial dan gula darah puasa.7

b.

Farmakokinetik
Sitagliptin dan Vildagliptin diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna

dengan bioavabilitas sekitar 85%dan tidak dipengaruhi oleh keberadaan makanan.


Sekitar 80% sitagliptin dieksresi dalam bentuk utuh melalui urin.7

14

Metabolisme masih terjadi pada 15-20% oleh CYP3A4 dan CYP2C8


dengan aktu paruh lebih kurang 12 jam. Sedangkan vildagliptin hanya sekitar 20%
dieksresi dalam bentuk utuh diurin, sisanya mengalami metabolisme.7
c.

Efek Samping
Sitagliptin dapat menimbulkan efek samping berupa mual dan gangguan

saluran cerna ringan. Vildagliptin dapat menyebabkan batuk dan nasofaringitis.


d. Kontraindikasi
DPP-IV inhibitor dikontraindikasikan pada pasien dengan DM tipe 1,
ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal dan atau gangguan fungsi hati berat, wanita
hamil, ibu meneyusui.

3.Insulin
Pada beberapa keadaan, pasien diabetes melitus tipe 2 harus diberikan
terapi insulin. Adapun indikasinya, meliputi:

Kendali glikemik yang buruk (GDP > 250 mg/dL, GDS >300 mg/dL, A1C
>10%, ditemukan ketonuria.

Pasien dengan perawatan intensif, misalnya ketoasidosis, pascaoperasi,


atau pasien gawat, misalnya sepsis.
Meniru fisiologi tubuh, maka insulin diberikan dengan cara kerja

menirukan insulin basal dan insulin prandial. Untuk memenuhi kebutuhan basal,
maka diberikan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja
panjang (long acting insulin). Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan prandial,
maka diberikan insulin kerja cepat (short acting insulin) atau insulin kerja sangat
cepat (rapid atau ultra-rapid acting insulin). Selain itu, ada juga insulin yang
memiliki kerja keduanya (premixed insulin).

15

Insulin

Profil kerja (jam)


Awal

Puncak

Insulin lispro (Humalog)

0.2-0.5

0.5-2

Insulin aspart (Novorapid)

0.2-0.5

0.5-2

Insulin glulisin (Apidra)

0.2-0.5

0.5-2

0.5-1

2-3

1.5-4

4-10

1-3

Tidak ada

Kerja sangat cepat (ultra-rapid acting)

Kerja pendek (short acting)


Reguler (Human) Humulin R/ Actrapid
Kerja menengah (intermediate acting)
NPH (Human) Hmulin N/Insulatard

Kerja panjang (long acting)


Insulin glargine (lantus)

puncak
Insulin detemir (Levemir)

1-3

Tidak ada
puncak

Campuran (premixed)
(mixtures, manusia)
70/30 Humulin Mixtard

0.5-1

3-12

50/50 Humulin

0.5-1

2-12

75/25 Humalog

0.2-0.5

1-4

50/50 Humalog

0.2-0.5

1-4

70/30 Novomix 30

0.2-0.5

1-4

(mixtures, analog)

16

4. Terapi DM tipe 2
ADA (American Diabetes Association) telah meluncurkan beberapa
rekomendasi dalam penatalaksanan pasien dengan DM tipe 2 yang terdiri dari
pilihan obat yang dapat digunakan, kelebihan dan kelemahan yang dimilki, biaya,
dan efek samping obat. Selain itu, ADA juga menekankan untuk menjadikan
pasien sebagai pusat pertimbangan strategi penatalaksanaan DM dengan
memperhatikan keadaan pasien, penyakit yang menyertai, karakteristik obat, dan
efek samping obat terutama hipoglikemia.13
a. Initial Therapy
Pasien diutamakan untuk melakukan perubahan gaya hidup meliputi pola makan,
olahraga dan lain-lain guna menurunkan kadar gula darah. Jika perubahan gaya
hidup belum dapat menurunkan gula darah, maka monoterapi dengan
menggunakan metformin mulai diberikan (jika tidak terjadi kontraindikasi). Jika
terjadi kontraindikasi, maka digunakan obat lain.13
b. Terapi Kombinasi
Jika didapatkan hasil Hb1C yang belum mencapai target setelah 3 bulan
pengobatan, maka mulai diberikan terapi kombinasi.Selain itu, terapi kombinasi
juga dapat langsung diberikan pada tatalaksana awal jika ditemukan kadar HbA1C
9. Selain itu,pasien dengan kadar HbA1C 10 12% direkomendasikan untuk
memulai terapi menggunakan insulin. Ketika penggunaan insulin > 30 U/hari,
maka penggunaan obat hipoglikemik oral dihentikan.13

17

Modifikasi asupan, kontrol berat badan, peningkatan aktivitas fisik, edukasi tentang diabetes
Metformin

Monoterapi
Efikasi
Resiko hipoglikemia
Berat badan
Efek samping
Biaya

tinggi
rendah
Netral / menurun
GI / asidosis laktat
rendah

c. Terapi Insulin

Insulin basal merupakan regimen yang paling sering digunakan untuk terai DM
Jika target HbA1C tidak tercapai setelah 3 bulan, mulai kombinasi 2 obat

tahap awal,Metformin
dosis terendah yang dapat digunakan
adalah 10
IU atau 0.1-0.2 U/kg,
Metformin
Metformin
Dualterapi*
Efikasi
Resiko hipoglikemia
Berat badan
Efek samping
Biaya

Metformin
+
+
+
+
tergantung derajat hiperglikemia.
Basal insulin
biasanya diberikan
bersamaan
Insulin (basal)
Thiazolidinedion
DPP 4-inhibitor
Sulfonilurea
dengan pemberian metformin.e Ketika pemberian basal insulin sudah dapat
tinggi

tinggi

medium

tinggi

rendah
resiko rendah
resiko rendah
resiko
medium
menurunkan
kadar
glukosaresiko
puasa
sampai kadar
yang diterima,
namun A1C masih
meningkat
netral
turun

meningkat

edema, HF
jarang
GI
hipoglikemia
belum menapai
target, maka
perlu penambahan
suntikan insulin
atau konsumsi
rendah
tinggi
tinggi
rendah

obat GLP-1 receptor agonist sebelum makan besar guna menanggulangi


Jika target HbA1C tidak tercapai setelah 3 bulan, mulai kombinasi 3 obat

peningkatan glukosa posprandial. Selain itu, dapat juga digunakan insulin


premixed.
Triple
Therapy

Metformin
+
Sulfonilurea
+

TZD

Metformin
+
Thiazolidinedion

Metformin
+
DPP 4-inhibitor
+

SU

SU

atau

atau

DPP-4-i

DPP-4-i

TZD

Insulin

Insulin

Insulin

atau

Metformin
+
Insulin
+

TZD
atau

DPP-4-I

Jika target HbA1C tidak tercapai setelah 3 bulan, mulai kombinasi dengan mealtime insulin

Kombinasi**

Metformin
+

Insulin basal + Mealtime insulin

Gambar : Rekomendasi pilihan obat antihiperglikemik


Catatan: * : Disarankan penggunaan kombinasi ini jika A1C 9
**: Disarankan penggunaan kombinasi ini jika GDS 300-350 mg/dL

18

Basal insulin
Awal
: 10 IU/hari atau 0.1-0.2 IU/kg/hari
Pengaturan : 10-15% atau 2-4 IU sekali seminggu hingga
mencapai kadar glukosa darah yg dinginkan.
Terjadi hipo: Tentukan penyebab, turunkan dosis 4 IU atau
10-20%

Jika target GDP


sudah tercapai,
namun
A1C
belum tercapai

Tambahkan 1 insulin kerja cepat


sebelum makan besar

Awal
: 4 IU, 0.1 IU/kg, atau 10 % dosis basal
Pengaturan : naikkan dosis 1-2 IU atau 10-15% satu
dua kali seminggu hingga target tercapai.
Terjadi hipo: tentukan penyebab, turunkan dosis 2-4
IU atau 10-20%

Ganti dengan premixed insulin


2 kali sehari

Awal

: Dosis dibagi, 2/3 malam hari, 1/3 siang hari


atau malam hari, siang hari
Pengaturan: naikkan dosis 1-2 IU atau 10-15%1-2 kali
seminggu.
Terjadi hipo:Tentukan penyebab, turunkan dosis 2-4 IU
atau 10-20%

Tambahkan 2 insulin kerja cepat


sebelum makan (basal-bolus)
gagal

gagal
Awal
: 4 IU, 0.1 /kgBB, atau 10% dosis basal
Pengaturan : naikkan dosis 1-2 IU atau 10-15% 1-2 kali
seminggu hingga target tercapai
Terjadi hipo: Tentukan penyebab, turunkan dosis 2-4 IU atau
10-20%

Gambar: Alogaritma tatalaksana insulin

d. Terapi Farmakologis pada Gangguan Ginjal


Resiko hipoglikemia meningkat pada pasien dengan CKD ketika eGFR
<60 mL/min/1.73 m2. Ini disebabkan penurunan glukoneogenesis oleh
ginjal. Selain itu, klirens insulin juga menurun. Sehingga penggunaan
beberapa obat antihiperglikemik dikontraindikasikan.14 Berikut tabel
pengaturan dosis obat:

19

Obat

GFR terganggu

Hemodialisa

Tidak diberikan jika kreatinin 1.5

Kontraindikasi

Biguanid
Metformin

mg/dL (pria) dan 1.4mg/dL (wanita)


Generasi kedua Sulfonilurea
Glipizid

Tidak perlu pengaturan ulang dosis

Tidak perlu
pengaturan ulang
dosis

Glimepirid

Disarankan 1 mg perhari

Disarankan 1 mg
perhari

Gliburid

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Disarankan 0.5 mg saat makan ketika

Belum ada ketentuan

Meglitinid
Repaglinid

eGFR <30/min/1.73m2
Nateglinide

Disarankan 60 mg saat makan ketika

Belum ada ketentuan

eGFR <30/min/1.73m2
Tiazolidinedion
Pioglitazon

Tidak perlu pengaturan dosis

15-30 mg dalam satu


hari

-glukosidase inhibitor
Acarbose

Tidak digunakan jika eGFR

Tidak digunakan

<30mL/min/1.73 m2
Miglitol

Tidak digunakan jika eGFR

Tidak digunakan

<25mL/min/1.73 m2
DPP-4 Inhibitor
Sitagliptin

100 mg/hari jika eGFR >50

25 mg/hari

mL/min/1.73 m2
50mg/hari jika eGFR 30-50
mL/min/1.73 m2
25 mg/hari jika eGFR <30mL/min/1.73
m2

20

Saxagliptin

5 mg/hari jika eGFR >50 mL/min/1.73

2.5 mg/hari

m2
2.5 mg/hari jika eGFR 50
mL/min/1.73 m2

e. Terapi Farmakologis pada Gangguan Liver


Penyakit hepar merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi
pada pasien diabetes dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pada sebuah studi,
didapatkan bahwa tingkat kejadian fibrosis pada liver pada pasien dengan diabetes
lebih tinggi dengan SMR (standardized mortality ratio) 2.52 daripada pada pasien
dengan CVD (cardiovascular disease) dengan nilai SMR 1.34. Penatalaksanaan
diabetes

pada pasien dengan gangguan liver tentunya berbeda, hal ini

dikarenakan banyak obat antihiperglikemik yang dimetabolisme diliver.


Metformin sebagai first line tatalaksana diabetes tidak disarankan untuk
digunakan karena resiko asidosis laktat sangat tinggi. Oleh karena itu, tatalaksana
dianjurkan menggunakan golongan Tiazolidinedion, ini dikarenakan, pada
beberapa penelitian terakhir didapatkan penggunaan obat ini menghasilkan
perbaikan ALT dan histologi liver. Selain itu, mekanisme kerja berupa
meningkatkan sensitivitas insulin juga sangat menguntungkan, dimana pada
pasien NAFLD (non alcoholic fatty liver disease) terjadi resistensi insulin. Jika
penggunaan obat ini juga mengalami hambatan, maka dianjurkan menggunakan
Sulfonilurea. Obat ini aman pada pasien dengan gangguan liver. Namun, pada
pasien dengan sirosis hepar dekompensasi yang sudah mengalami ensefalopati,
edema, koagulopati relatif sulit untuk dapat menanggulangi efek hipoglikemia
yang ditimbulkan obat ini sehingga diperlukan pemantauan yang ketat.
Adapun penggunaan glukosidase inhibitor tidak memiliki kontraindikasi
dengan gangguan liver, ini dikarenakan cara kerja dari obat ini langsung pada
saluran gastrointestinal. Pada sebuah studi juga ditemukan pada pasien dengan
sirosis liver yang diberikan obat ini guna mengontrol gula darah posprandial
berefek baik pada pengendalian gula darah puasa maupun posprandial. Selain itu,
obat ini juga terbukti efektif menurunkan kadar amonia.15

21

DAFTAR PUSTAKA
1.

Perkumpulan

Endokrinologi

Indonesia.

Konsensus

Pengelolaan

dan

Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia 2006. Cetakan keempat.


Jakarta: PB.PERKENI. 2011
2.

Kodl CT, Seaquist ER. Cognitive Function and Diabetes Mellitus. Endocrine
reviews. 29(4):494511.2008

3.

Soegondo Sidartawan dkk. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Edisi


Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2011

4.

Katzung Betram G. Basic and Clinical Pharmacology 10 ed. San Fracisco:


.2006

5.

Aquilante Christina L. Sulfonylurea pharmacogenomic in type 2 dibetes: the


influence of drug target and diabtes risk polimorphisms. NIHMS. 2010 March
; 8(3): 359372

6.

Peter A. Brady. The Sulfonylurea Controversy: More Questions From the


Heart. JACC. 1998 April; 950 6

7.

Sulistia Gan Gunawan. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007

8.

Lahiri Sharon W. Management of type 2 diabetes: what is the next step after
metformin?. Clinical Diabetes. 2012 February; Volume 30

9.

Laurence L. Bronton, Keith L. Parker, Donald K Blumenthal. Goodman &


Gillmans: Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008

10.

Fowler Michael J. Diabetes Treatment, Part 2: Oral Agents for Glycemic


Management. Clinical Diabetes. 2007 April; Volume 25

11.

Cockram Clive, Allan Flyvbjerg. Textbook of Diabetes Edition. USA. WileyBlackwell

12.

Harper William, Goldenberg Ronald. Pharmacologic Management of Type 2


Diabetes. Can J Diabetes 37 (2013) S61-S68

22

13.

American Diabetes Association. Approaches to Glycemic Treatment.


Diabetes Care 2015;38(Suppl. 1):S41S48

14.

American Diabetes Association. Diabetic Kidney Disease: A Report From an


ADA Consensus Confrence. Diabetes Care 2014;38(Suppl. 1):2864-2883

15.

Tolman Keith G dkk. Spectrum of Liver Disease in Type 2 Diabetes and


Management of Patients With Diabetes and Liver Disease. Dabetes Care.
2007 March; VOLUME30,NUMBER3

23

Anda mungkin juga menyukai