Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN KASUS
1.1

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Berat Badan
Panjang Badan
Pekerjaan Orang Tua
Ayah
Ibu
Tanggal Masuk RS
Tanggal Pemeriksaan
Tanggal Keluar RS

1.2

: An. MY
: 3 Tahun 8 Bulan
: Perempuan
: Yahukimo
: 11 Kg
: 81 Cm
:
: PNS
: IRT
: 04 Oktober 2014
: 09 Oktober 2014
: 13 Oktober 2014

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (ibu pasien) pada hari Kamis, 09
Oktober 2014, Jam 14.30 WIT
1. Keluhan utama
Sesak
2.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien merupakan pasien rujukan dari Rumah Sakit Umum daerah Dekai
Yahukimo dengan diagnosis suspek penyakit jantung bawaan VSD dd ASD. Pasien
dirawat di Rumah Sakit Umum daerah Dekai selama 1 minggu sebelum dirujuk ke
Rumah Sakit Umum Dok 2 Jayapura. Menurut ibunya, pasien memang sudah
terbiasa sesak (napasnya memang sudah biasa cepat sejak lahir), namun tidak
disertai mengi ataupun kebiruan pada sekitar mulut atau pada ujung jari tangan dan
kaki. Sesak ini membuat pasien hanya mampu minum sedikit dan lebih sering
beristirahat. Namun sesak semakin bertambah berat sejak satu minggu sebelum
masuk rumah sakit umum Dekai, sesak yang dirasakan pasien semakin bertambah
jika pasien batuk. Pasien mengalami batuk sejak satu minggu yang lalu dan ibu
pasien membawa pasien berobat ke Puskesmas, batuk dan sesak yang dialami
pasien mulai berkurang, akan tetapi 4 jam sebelum masuk rumah sakit umum
daerah Dekai batuk pasien semakin bertambah sehingga membuat pasien semakin
sesak.Keluhan sesak yang dialami pasien membuat pasien mulai malas makan dan
minum dan hanya bisa berbaring saja. Buang air kecil ada, buang air besar ada,
1

lunak, dengan jumlah 1-2 kali perhari warna kuning kehijauan. Akhirnya pasien di
bawa ke rumah sakit umum daerah Dekai dan di rawat selama satu minggu, hingga
akhirnya pasien di rujuk ke rumah sakit umum dok 2 Jayapura karena di rumah
sakit umum daerah Dekai tidak mempunyai dokter ahli jantung, serta kurangnya
peralatan medis yang memadai. Setiba di RSU Dok II, pasien akhirnya dirawat di
ruang HCU diruang kanak-kanak. Setelah dirawat diHCU selama 6 hari, pasien
telah menjalani pemeriksaan penunjang berupa foto thorak dan ECHO dan keluhan
batuk, pilek, sesak, dan demam yang dirasakan pasien mulai berkurang.
3.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien sering menderita keluhan batuk dan pilek sampai sesak namun selalu
dibawa berobat. Setelah diberi pengobatan beberapa hari keluhan batuk, pilek, dan
sesak yang dialami pasien menghilang namun menurut orang tua pasien, mereka
tidak mendapat penjelasan apapun mengenai penyebab sesak yang dialami oleh
pasien.

4.

Riwayat kehamilan
Ibu pasien selama hamil tidak pernah menderita sakit dan hanya
memeriksakan kehamilan ke puskesmas sebanyak 2 kali. Selama hamil ibu pasien
hanya mengkonsumsi obat penambah darah yang didapat dari Puskesmas.

5.

Riwayat kelahiran
Pasien lahir saat umur kehamilan 9 bulan, lahir di rumah sakit dengan
persalinan spontan, langsung menangis, berat badan saat lahir 3000 gr.

6.

Riwayat neonatal
Saat lahir pasien langsung menangis dan bergerak aktif, berwarna
kemerahan, tidak ada kebiruan, kuning, kejang, maupun kesulitan bernafas. Pasien

7.

langsung dirawat gabung dengan ibu pasien.


Riwayat imunisasi
Pasien mendapat imunisasi Hepatitis B0 dirumah sakit setelah lahir dan
imunisasi bulan pertama BCG dan Polio1, namun imunisasi selanjutnya tidak
didapatkan pasien karena tidak ada yang membawa pasien ke Puskesmas.

8.

Riwayat tumbuh kembang


Menurut ibu pasien, pasien sudah dapat berjalan sendiri tanpa dibantu,
sering menyebut kata-kata baru, senang bertanya sesuatu, menyebut angka,
menghitung jari, dan bicara mudah dimengerti.
2

9.

Riwayat gizi
Pasien mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga usia 1 bulan kemudian
dilanjutkan dengan susu formula sampai usia 1 tahun. Selanjutnya pasien diberi
makanan keluarga yang lunak sampai usia 2 tahun. Sekarang pasien makan menu
makanan yang sama dengan angota keluarga yang lainnya.

10. Riwayat keluarga


Tidak ada penyakit bawaan pada keluarga.
11. Riwayat kepribadian dan kebiasaan
Pasien merupakan anak yang ceria, aktif, dan mudah akrab dengan orang
yang baru dikenalnya.
12. Riwayat sosial
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan keluarga besar ayah pasien.
Tinggal dirumah semipermanen dengan ventilasi cukup, dengan 3 kamar.
Lingkungan sekitar pasien tidak berdempetan dengan rumah-rumah yang lain.
Sumber air dari PDAM dan air dari kali.

1.3

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 09 Oktober 2014
Keadaan Umum : Tampak Sesak
Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda-tanda vital :

Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

Nadi

: 102 x/m

Respirasi

: 40 x/m

Suhu badan

: 36.70C

Berat Badan

: 11 kg

Panjang Badan

: 81 cm
3

Status Gizi
Kepala

: WHO : BB/PB : + 0,1 SD gizi baik


: Ubun-ubun besar datar, lembek, konjungtiva anemis (-/-),sclera ikterik(-/-),
mata cowong (-/-), sekresi kelenjar air mata (+/+), edema palpebra (-/-),

THT

Leher
Thoraks

mukosa bibir lembab


: Telinga
: Serumen (-), secret (-)
Hidung
: Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), oral kandisiasis (-), pembesaran
tonsil (-)
: Pembesaran KGB (-)
: Inspeksi
: Simetris, ikut gerak napas, retraksi intercostal (+)
: Palpasi
: Thrill (+)
Perkusi
: Sonor pada kedua paru, pekak pada daerah jantung
Auskultasi
: Suara napas vesikuler (dekstra sama dengan sinistra),
rhonki (+/+) basah kasar, wheezing (-/-), BJ I-II regular,

Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

murmur (+) pansistolik di ICS III-IV, gallop (-)


: Tampak datar
Bising usus (+) normal
: Supel, nyeri tekan tidak ada, hepar teraba membesar

(4x6cm), limpa tidak teraba, turgor kulit cukup


Perkusi
: Tympani
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT <3, clubbing figer (-)
Kulit
: Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang (Sabtu, 4 Oktober 2014)
Jenis pemeriksaan
Kadar hemoglobin
Jumlah sel lekosit
Jumlah sel eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Nilai hematokrit
Jumlah trombosit
DDR

Hasil
11,4 g/dL
15.800 sel/mm3
5.41 x 103 sel/mm3
63 m3
21,1 pg
33,7 g/dl
33,9 %
207.000 sel/mm3
Negatif

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Hasil Rontgen Thoraks (Senin, 06 Oktober 2014)

Kesan:
Kardiomegali (CTR >50%) dengan hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran pembuluh
darah hilus.

Pemeriksaan Echokardiogram (ECHO) (Selasa, 07 Oktober 2014)


Kesan:
-

1.5

CHD
o

VSD sedang (6 mm2)

PDA suspek sedang

DCFC IV

RESUME
Pasien perempuan, 3 tahun 8 bulan, berat badan 11 kg dan panjang badan 81
cm dirujuk dari RSUD Dekai Yahukimo dengan diagnosis suspek penyakit jantung
bawaan VSD dd ASD setelah dirawat selama 1 minggu di RSUD Dekai Yahukimo.
Menurut ibunya, pasien memang sudah terbiasa sesak (napasnya memang sudah biasa
cepat sejak lahir), namun tidak disertai mengi ataupun kebiruan pada sekitar mulut atau
pada ujung jari tangan dan kaki. Sesak ini membuat pasien hanya mampu minum
5

sedikit dan lebih sering beristirahat. Namun sesak semakin bertambah berat sejak satu
minggu sebelum masuk rumah sakit umum Dekai, sesak yang dirasakan pasien semakin
bertambah jika pasien batuk. Pasien mengalami batuk sejak satu minggu yang lalu dan
ibu pasien membawa pasien ke Puskesmas, batuk dan sesak yang dialami pasien mulai
berkurang, akan tetapi 4 jam sebelum masuk rumah sakit umum daerah Dekai batuk
pasien semakin bertambah sehingga membuat pasien semakin sesak. Pasien dapat
makan dan minum sedikit-sedikit. Buang air kecil ada, buang air besar ada, lunak,
dengan jumlah 1-2 kali perhari warna kuning kehijauan. Akhirnya pasien di bawa ke
rumah sakit umum daerah dekai dan di rawat selama satu minggu, hingga akhirnya
pasien di rujuk ke rumah sakit umum dok 2 jayapura karena di rumah sakit umum
daerah dekai tidak mempunyai dokter ahli jantung serta peralatan medis yang kurang
memadai. Setelah dirawat 6 hari, keluhan batuk dan sesak berkurang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak, sesak dengan respirasi
40x/mnt, takikardi, adanya retraksi intrekostal, thrill, rhonki basah kasar dikedua
lapang paru, dan murmur (+) pansistolik di ICS III-IV, hepatomegali (4x6cm).
Sedangkan dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis dengan leukosit
15.800 sel/mm3, kardiomegali (pembesaran ventrikel kiri) dan pembesaran pembuluh
darah hilus pada hasil rontgen thoraks, dan kesan CHD (VSD sedang + PDA sedang)
dan DCFC III-IV pada pemeriksaan echocardiogram.
1.6

DAFTAR MASALAH
Sesak
Batuk berlendir
Rhonki basah kasar
Trill jantung
Murmur jantung pansistolik di ICS III-IV
Leukositosis

1.7

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit Jantung Bawaan : - DCFC IV ec CHD ASD,
- DCFC IV ec CHD VSD,
- DCFC IV ec CHD PDA
Penyakit Jantung di dapat : - Kardiomiopati kongestif
- Demam Rematik
- Penyakit Jantung Rematik
Bronkopneumonia
6

Bronkiolitis
1.8

DIAGNOSIS KERJA

Decompensated Cordis Functional Class IV Et Causa Congenital Heart Disease


(Ventricular Septal Defect Sedang + Persistent Ductus Arteriosus Suspek Sedang)
+ Bronkopneumonia

1.9

PERENCANAAN
A. Perencanaan Diagnostik
ECG
Konsul ke bagian jantung untuk evaluasi lebih lanjut
B. Perencanaan Terapi
O2 nasal 2-3 lpm
IVFD D5 NS 10 tpm makro
Ampisilin 3 x 400 mg (IV)
Cefotaksim 3 x 400 mg (IV)
Parasetamol 3x120 mg (IV) bila demam
Furosemid 2x15 mg (IV)
Captopril 3x10 mg (PO)
Spironolakton 1x10 mg (PO)
C. Perencanaan Monitoring
Monitoring keadaan umum pasien
Monitoring tanda-tanda vital pasien terutama respirasi pasien
D. Perencanaan Edukasi
Edukasi keluarga tentang keadaan pasien
Edukasi keluarga mengenai penatalaksaan pasien

1.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

1.11 FOLLOW UP
Hari/

Tanggal
Jumat

Batuk ada,

Keadaan umum: tampak sakit

Bronkopneumonia

O2 nasal 2-3 lpm

10/10/14

sesak mulai

sedang

Cefixime 2x1 pulv

berkurang,

Kesadaran: CM

(perbaikan)
DCFC IV ec CHD

demam tidak

TTV: TD : 100/60 mmHg

ada.

(VSD pra sedang,


PDA susp sedang)

: 92x/menit

SB : 36,6 C
R

(po)
Furosemid 3x10
mg (po)
Captopril 3x10mg

: 40x/m

(po)

Kepala/Leher : Ca (-/-), Si (-/-),

Spironolakton

PCH (-), OC (-), KGB (-)

1x10 mg (po)

Thorax : Simetris, ikut gerak nafas,

Puyer batuk sesak

retraksi (-), SN Vesikuler, Rho (-/-),

3x1pulv (po)

whez (-/-), BJ I-II regular, Mur-mur


(+) pansistolik di ICS III-IV
Abdomen : Supel, datar, BU (+)
normal, Hepatomegali (+) 4x6 cm,
lien ttb, turgor kulit kembali cepat
Ekstrimitas : Akral hangat, Edema
(-), CRT <3
Kulit : Sianosis (-), Anemis (-),
Sabtu,
11/10/14

Batuk

ikterik (-)
Keadaan umum: tampak sakit

berkurang,

sedang

sesak mulai

Kesadaran: CM

berkurang,

TTV: TD : 100/60 mmHg

demam tidak

ada,

SB : 36,7 C
R

Bronkopneumonia

O2 nasal 2-3 lpm

(perbaikan)
DCFC IV ec CHD

Cefixime 2x1 pulv

(VSD pra sedang,


PDA susp sedang)

: 110x/menit

(po)
Furosemid 3x10
mg (po)
Captopril 3x10mg

: 40x/m

Kepala/Leher : CA (-/-), SI (-/-),


PCH (-), OC (-), KGB (-)
Thorax : Simetris, ikut gerak nafas,
retraksi (-), SN Vesikuler, Rho (-/-),
whez (-/-), BJ I-II regular, Mur-mur
(+) pansistolik di ICS III-IV
Abdomen : Supel, datar, BU (+)
normal, Hepatomegali (+) 4x6 cm,
lien ttb, turgor kulit kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, Edema

(po)
Spironolakton
1x10 mg (po)
Puyer batuk sesak
3x1pulv (po)

(-), CRT <3


Kulit : Sianosis (-), Anemis (-),
Senin,

Batuk tidak

ikterik (-)
Keadaan umum: tampak sakit

13/10/14

ada, sesak

sedang

mulai

Kesadaran: CM

berkurang,

(perbaikan)
DCFC IV ec CHD

TTV: TD : 100/70 mmHg

demam tidak

ada,

SB : 36,6 C
R

Bronkopneumonia

(VSD pra sedang,


PDA susp sedang)

: 106x/menit

Cefixime 2x1 pulv


(po)
Furosemid 3x10
mg (po)
Captopril 3x10mg
(po)

: 36x/m

Kepala/Leher : CA (-/-), SI (-/-),


PCH (-), OC (-), KGB (-)
Thorax : Simetris,ikut gerak nafas,
retraksi (-), SN Vesikuler, Rho (-/-),
whez (-/-), BJ I-II regular, Mur-mur

Spironolakton 1x10
mg (po)
Puyer batuk sesak
3x1pulv (po)
BPL

(+) pansistolik di ICS III-IV


Abdomen : Supel, datar, BU (+)
normal, Hepatomegali (+) 4x6 cm,
lien ttb, turgor kulit kembali cepat
Ekstrimitas : Akral hangat, Edema
(-), CRT <3
Kulit : Sianosis (-), Anemis (-),
ikterik (-)

1.12 Diagnosa Akhir


Decompensated Cordis Functional Class IV Et Causa Congenital Heart Disease
(Ventricular Septal Defect Sedang + Persistent Ductus Arteriosus Suspek Sedang) +
Bronkopneumonia

BAB II
PEMBAHASAN
Selama menjalani perawatan di ruang kanak-kanak selama 6 hari, penanganan pasien
ini dilakukan bersama-sama dengan dokter spesialis jantung. Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan setelah pasien dirawat selama
6 hari diruang kanak-kanak, pasien akhirnya didiagnosis menderita Decompensated Cordis
Functional Class IV Et Causa Congenital Heart Disease (Ventricular Septal Defect Sedang
+ Persistent Ductus Arteriosus Suspek Sedang) dan Bronkopneumonia.
Penegakan diagnosis ini didapatkan dari hasil anamensis, pemeriksaan fisik, dan
diperkuat dengan adanya pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan
sesak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit Dok II, diperberat oleh adanya batuk,
keluhan demam dirasakan pasien sejak pasien mulai batuk, adanya riwayat sering menderita
infeksi saluran pernapasan berupa batuk pilek.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sesak, adanya takipnue
dengan respirasi 40x/mnt, adanya retraksi intercostal, thrill (+), rhonki basah kasar pada
kedua lapang paru, adanya murmur pansistolik, dan adanya pembesaran hepar (4x6 cm).
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis pada pemeriksaan darah
rutin, adanya pembesaran jantung (CTR > 50%) pada pemeriksaan rontgen thoraks,
hipertropi ventrikel kiri, dan pembesaran pembuluh darah hilus, dan pada pemeriksaan
penunjang ECHO didapatkan kesan adanya CHD (VSD sedang dan PDA susp. Sedang) dan
DCFC IV.
DCFC sendiri merupakan singkatan dari Decompensated Cordis Functional Class
yang digunakan untuk menentukan derajat kegagalan jantung yang dialami pasien. Secara
umum definisi gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh, mengatur aliran balik sirkulasi sistemik dan paru secara adekuat.1-4
Manifestasi klinis dari gagal jantung pada anak tergantung dari mekanisme
kompensasi yang terjadi:1,2,4
1.

Tanda bendungan sistemik


Hepatomegaly, edema palpebral, edema tungkai

2.

Tanda bendungan paru


Takipnu, retraksi, wheezing, rhonki

3.

Respons kompensasi akibat gagalnya fungsi jantung


a. Takikardi, irama gallop, nadi lemah
10

b. Kardiomegali
c. Peningkatan rangsangan saraf simpatis : gagal tumbuh
Penentuan derajat gagal jantung ini ditentukan berdasarkan klasifikasi dari The New
York Heart Association (NYHA) Functional Classification.5
Tabel 1. Klasifikasi Kapasitas Fungsional Gagal Jantung Berdasarkan The New York
Heart Association (NYHA)5
Kelas
I

Deskripsi
Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari

II

tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.


Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun

III

aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas


Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,

IV

tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas.
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
istirahat dan keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.
Penetapan diagnosis DCFC pada pasien ini dapat dikatakan tepat karena terdapat

gejala klinis gagal jantung yang ditemukan pada pasien, yaitu hepatomegali (4x6 cm),
takipnue (respirasi > 40x/mnt), kardiomegali (dari hasil rontgen thoraks), dan adanya gagal
tumbuh. Gagal tumbuh pasien ini dilihat dari perbandingan antara tinggi badan per umur dan
berat badan per umur. Pasien dengan pirau dari kiri ke kanan yang bermakna, terutama jika
telah mengalami gagal jantung biasanya mempunyai berat badan kurang dari normal. Pada
pasien ini dimasukkan dalam gagal jantung kelas IV karena sudah adanya pembatasan
aktivitas, yaitu pada saat pasien beraktivitas ringan pasien mulai mengeluh sesak napas dan
yang terakhir yang menyebabkan pasien akhirnya dibawa ke rumah sakit karena keluhan
sesak tetap dirasakan pasien walaupun pasien sedang beristirahat dan semakin berat jika
pasien batuk atau melakukan aktivitas ringan sekalipun.
Penyebab tersering terjadinya gagal jantung pada anak adalah penyakit jantung
bawaan dan pada pasien ini berdasarkan pemeriksaan didapatkan adanya penyakit jantung
bawaan berupa Ventricular Septal Defect (VSD) dan Persistent Ductus Arteriosus (PDA)
yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung pada pasien ini.1,2
Penyakit jantung bawaan atau Congenital Heart Disease (CHD) merupakan penyakit
jantung yang disebabkan adanya kelainan stuktur dan atau fungsi jantung yang sudah ada
sejak dari lahir. Penyakit jantung bawaan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan non-sianotik dan penyakit jantung bawaan sianotik.6

11

Sesuai dengan namanya, pada pasien dengan penyakit jantung bawaan non-sianotik
tidak ditemukan adanya gejala atau tanda sianotik. Penyakit jantung bawaan non-sianotik
dibagi lagi menjadi penyakit jantung bawaan non-sianotik dengan pirau kiri ke kanan dan
penyakit jantung bawaan non-sianotik tanpa pirau. Ventricular Septal Defect (VSD) dan
Persisten Ductus Arteriosus (PDA) merupakan dua contoh penyakit jantung bawaan nonsianotik dengan pirau dari kiri ke kanan.6-8
Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan penyakit jantung bawaan yang paling
sering ditemukan dari semua jenis penyakit jantung bawaan. Ventricular Septal Defect (VSD)
merupakan kondisi dimana terdapat defek diantara kedua ventrikel jantung. Gambaran klinis
yang terlihat pada pasien dengan VSD sangat bervariasi, bergantung pada besarnya defek
serta derajat pirau dari kiri ke kanan yang terjadi.6-10
Menurut besarnya defek septum ventrikel diklasifikasikan menjadi defek septum
ventrikel kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/m2 luas permukaan tubuh), sedang (luas defek
5-10 mm2/m2 luas permukaan tubuh), dan besar (luas defek lebih dari setengah diameter aorta
atau lebih dari 10 mm2/m2 luas permukaan tubuh).
Pada sebagian besar kasus, diagnosis kelainan ini ditegakkan setelah melewati masa
neonatus, karena pada minggu-minggu pertama bising yang bermakna biasanya belum
terdengar. Gambaran klinis sangat bervariasi, dari yang asimtomatis sampai gagal jantung
yang berat disertai dengan gagal tumbuh (failure to thrive). Manifestasi klinis ini sangat
bergantung kepada besarnya defek serta derajat pirau dari kiri ke kanan yang terjadi. Letak
defek biasanya tidak mempengaruhi derajat manifestasi klinis.6-10
Pada pasien ini, berdasarkan pemeriksaan penunjang ECHO didapatkan VSD sedang.
Berdasarkan literatur pasien dengan defek septum ventrikel sedang sering mengalami gejala
pada masa bayi. Sesak napas pada waktun minum, atau memerlukan waktu yang lebih lama
untuk menyelesaikan makan dan minum, atau tidak mampu menghabiskan makanan dan
minumannya, merupakan keluhan yang sering dinyatakan oleh orang tua pasien. Gagal
jantung mungkin terjadi sekitar umur 3 bulan, seringkali didahului oleh infeksi saluran
pernapasan, tetapi pada umumnya responsif terhadap pengobatan medik.6,7,11
Hal ini sesuai dengan kondisi pasien, dimana gagal jantung pada pasien ini didahului
oleh adanya infeksi saluran pernapasan yang sering dialami oleh pasien dan responsif
terhadap pengobatan medik, terbukti dari hasil anamnesis dimana menurut ibu pasien, pasien
sering menderita batuk pilek dan kadang-kadang sesak namun setelah dibawa berobat kondisi
pasien kembali membaik dan keluhan sesak yang dialami oleh pasien juga akan hilang.

12

Pada pemeriksaan fisik anak tampak lemas, dengan dispnue, takipnue, serta adanya
retraksi. Pada auskultasi akan terdengar bunyi jantung I dan II yang normal dengan bising
pansistolik yang keras dan kasar di sela iga III-IV garis parasternal kiri.7
Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik pada pasien dimana didapatkan adanya
takipnue yang disertai adanya retraksi intercostal dan adanya murmur pansistolik di sela iga
III-IV garis parasternal kiri.
Persisten Ductus Arteriosus (PDA) merupakan penyakit jantung bawaan yang
disebabkan oleh duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi lahir.6-11 Sama halnya
dengan VSD, gejala klinis pada PDA tergantung pada besarnya defek.6-11
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas lebih cepat dibanding dengan anak
normal. Teraba getaran bising didaerah sela iga I-II parasternal kiri, serta akan terdengar
bising kontinu di sela iga II-III garis parasternal kiri yang menjalar ke daerah sekitarnya.
Pada foto thoraks, didapatkan gambaran jantung yang membesar (terutama ventrikel kiri),
vaskularisasi paru yang meningkat, dan pembuluh darah hilus yang membesar.7-11
Pada pasien ini berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang ECHO didapatkan kesan
PDA suspek sedang. Berdasarkan literatur, gejala akibat PDA sedang biasanya timbul pada
usia 2-5 bulan tetapi biasanya tidak berat. Pasien mengalami kesulitan makan, seringkali
menderita infeksi saluran napas, namun biasanya berat badannya masih dalam batas normal.,
anak lebih mudah lelah tetapi masih dapat mengikuti permainan.
Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan pada pasien baik dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dimana didapatkan bahwa pasien sering
menderita infeksi saluran pernapasan, berat badan pasien masih dalam batas normal,
frekuensi napas pasien memang biasanya lebih cepat dari anak lainnya namun pasien masih
tetap dapat bermain bersama yang lain. Kemudian pada pemeriksaan fisik berupa perabaan
pada pasien ditemukan adanya thrill, dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
pembesaran jantung (CTR >50%) dan adanya pembesaran pembuluh darah hilus.
Pada pasien ini juga didiagnosa dengan Bronkopneumonia, hal ini didapatkan pada
pasien yaitu kenaikan suhu badan 380C (saat di IGD), batuk, sesak, retraksi, kemudian pada
auskultasi didapatkan ronchi basah kasar. Hal ini berdasarkan literatur yang dapatkan bahwa
pasien dengan bronkopneumonia biasanya akan didahului oleh infeksi traktus respiratoris
bagian atas selama beberapa hari, suhu tubuh naik sangat mendadak sampai 39-40C, adanya
gejala gangguan respiratori (batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, pernafasan cuping
hidung, retraksi intercostal dan suprasternal), dan pada auskultasi ditemukan ronkhi basah
kasar.
13

Penanganan pada pasien ini berupa O2 nasal 2-3 lpm, Ampisilin 3 x 400 mg (IV),
Cefotaksim 3 x 400 mg (IV), Parasetamol 3x120 mg (IV), Furosemid 2x15 mg (IV),
Captopril 3x10 mg (PO), Spironolakton 1x10 mg (PO), dan puyer batuk sesak (Ambroksol 5
mg, CTM 1 mg, dan salbutamol 2 mg).
Pengobatan pasien dengan gagal jantung pada dasarnya terdiri dari pengobatan umum
dan pengobatan medikamentosa serta yang terakhir adalah pembedahan. Pengobatan umum
mancakup isitrahat, oksigenasi, dan pengaturan diet. Untuk pengobatan medikamentosa
terdapat 3 komponen obat, yaitu inotropic agent, preload agent , dan afterload agent.1-4,11,12
Pada pasien ini terapi diberikan dengan pengobatan umum, yaitu pasien diistirahatkan
total, oksigenasi, dan adanya pengaturan diet (cairan dan makanan) melalui intravena karena
pasien gagal jantung berat seringkali asupan makanan dan cairan secara oral tidak memadai
terutama telah timbul gejala yang memperberat seperti pada pasien ini timbul gejala sesak
yang tidak memungkinkan adanya pemenuhan diet dan cairan yang adekuat sehingga
diperlukan

pemasangan

jalur

intravena

selain

untuk

jalan

masuknya

obat-obat

medikamentosa secara intravena. 1-4,11,12


Selain itu, juga diberikan terapi medikamentosa berupa Furosemid 2x15 mg (IV),
Captopril 3x10 mg (PO), Spironolakton 1x10 mg (PO). Furosemide dan spironolakton
merupakan preload agent yang diberikan untuk memperbaiki kongesti sistemik sedangkan
captopril diberikan sebagai agen afterload yang digunakan untuk mengurangi pengaruh
aktifitas saraf simpatis sehingga dapat memperbaiki pengisian ventrikel. Dengan menurunnya
afterload maka dapat meningkatkan curah jantung tanpa mempengaruhi kontraktilitas
sehingga mengurangi pemakaian oksigen.1-4,11,12
Selain dengan pengobatan umum dan terapi medikmentosa, untuk pasien anak dengan
penyakit jantung bawaan yang tidak dapat diharapkan adanya perbaikan sendiri (penutupan
defek) penanganan yang paling baik adalah dengan terapi pembedahan.

1-4,11,12

Terapi

pembedahan berupa sternotomy dengan bypass cardiopulmonal, penutupan dengan


transcateter pada defek dan dapat menggunakan teknik hybrid. 9 Namun pada pasien ini
penanganan yang dapat dilakukan hanya berupa penanganan gejala yang timbul (penanganan
umum dan terapi medikamentosa), karena adanya keterbatasan sarana prasaran untuk
dilakukan pembedahan pada pasien ini.
Untuk penanganan bronkopneumonia pada pasien ini diberikan antibiotik berupa
Ampisilin 3 x 400 mg dan Cefotaksim 3 x 400 mg. Pemberian ampicilin pada pasien ini
dianggap tepat dikarenakan ampicilin merupakan golongan aminopenisilin yang berspektrum
luas terhadap bakteri gram negatif maupun positif. Kemudian pemberian cefotaxime pada
14

pasien ini juga sudah sesuai dimana dosis yang diberikan juga sesuai. Dari literatur didimana
dikatakan bahwa pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia bakteri pada anak harus
dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris dan manifestasi klinis dimana cefotaxime
dan ceftriaxon parenteral adalah terapi empiris yang disarankan pada pneumonia bakteri
dengan dosis dari cefotaxime adalah 50-100 mg/KgBB dibagi dalam 2 dosis dan ceftriakson
50 mg/KgBB/jam.13-15 Selain pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi, pada pasien ini
juga diberikan puyer batuk sesak untuk mengatasi gejala yang timbul akibat
bronkopneumonia.
Selain itu, karena pasien mengalami gejala demam sehingga pasien juga diberikan
obat penurun demam injeksi parasetamol 3x120 mg (bila demam) dan diberikan edukasi pada
orang tua pasien untuk membantu mengompres pasien tiap kali pasien demam. Pada dasarnya
menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara fisik, obat-obatan maupun kombinasi
keduanya.16-18
1.

2.

Secara Fisik
a) Anak demam ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal
b) Pakaian anak diusahakan tidak tebal
c) Memberikan minuman yang banyak karena kebutuhan air meningkat
d) Memberikan kompres.
Farmakologi
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan
demam dan sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan
kelainan kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak
yang berisiko kejang demam.16
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan pusat pengatur suhu dihipotalamus
secara difusi dari plasma ke susunan saraf pusat. Keadaan ini tercapai dengan
menghambat siklooksigenase, enzim yang berperan pada sintesis prostaglandin.
Penurunan pusat suhu akan diikuti respons fisiologi termasuk penurunan produksi panas,
peningkatan aliran darah ke kulit, serta peningkatan pelepasan panas melalui kulit
dengan radiasi, konveksi, dan penguapan. Sebagian antipiretik dan obat antiinflamasi
nonsteroid menghambat efek PGE2 pada reseptor nyeri, permeabilitas kapiler, dan
sirkulasi, migrasi leukosit, sehingga mengurangi tanda klasik inflamasi.17
Efektivitas dalam menurunkan demam tergantung pada derajat demam, daya
absorpsi, dan dosis antipiretik. Pada umumnya obat antipiretik digunakan bila suhu anak
lebih dari 38,5oC. Indikasi pemberian antipiretik antara lain.17,18
1. Demam lebih dari 39oC yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,
biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia
2. Demam lebih dari 40,5oC
15

3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan


malnutrisi, penyakit jantung, luka bakar, atau pascaoperasi memerlukan antipiretik
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
Berdasarkan hal diatas penatalaksanaan gejala demam pada pasien ini sudah tepat
karena didukung dengan penatalaksanaan yang berifat fisik yaitu tindakan kompres dan juga
dibantu dengan terapi farmakologi berupa parasetamol injeksi 3x120 mg. pemberian terapi
farmakologis pada pasien ini dianggap tepat karena pasien memiliki penyakit jantung yang
merupakan salah satu indikasi pemberian terapi farmakologis pada demam.
Prognosis pada pasien ini dapat dikatakan dubia ad malam karena diagnosis gagal
jantung pada pasien ini disebabkan karena adanya penyakit jantung bawaan yang VSD dan
PDA yang berukuran sedang, yang untuk anak umur 3 tahun sudah tidak dapat diharapkan
adanya penutupan secara spontan dari defek yang ada kecuali dengan tindakan pembedahan
sedangkan pada pasien ini penanganan yang dapat diberikan hanya berupa pengobatan umum
dan terapi medikamentosa saja.

16

BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini
akhirnya didiagnosis menderita

Decompensated Cordis Functional Class IV Et

Causa Congenital Heart Disease (Ventricular Septal Defect Sedang + Persistent


Ductus Arteriosus Suspek Sedang) dan Bronkopneumonia.
Penanganan gagal jantung pada pasien ini ditujukan untuk mengatasi gejala yang
timbul dan terapi suportif untuk mendukung kondisi umum pasien karena penangan
utama pada pasien ini adalah tindakan pembedahan. Sedangkan untuk penanganan
bronkopneumonia pada pasien ini ditujukan untuk mengatasi penyebab dan mengatasi
gejala yang ditimbulkan yaitu dengan pemberian antibiotik dan terapi oksigenasi.
Prognosis pasien ini dubia ad malam karena kondisi pasien masih bisa memburuk
selama penyebab utama gagal jantung pada pasien ini tidak segera diatasi.
1.2 SARAN
Perlu adanya penyediaan tenaga medis dan fasilitas yang mendukung terapi
pembedahan.
Perlunya pemahaman lebih lanjut bagi setiap petugas kesehatan mengenai
karakteristik dari tiap penyakit agar tetap dapat menentukan diagnosis dengan baik
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama jika fasilitas pemeriksaan penunjang
tidak tersedia.
Perlunya edukasi yang tepat bagi orang tua pasien mengenai penyakit pasien,
penanganan, dan bagaimana tindak lanjut yang baik dirumah jika pasien telah dirawat
jalankan.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Bernstein d. Gagal jantung. Dalam: kliegman rm, behrman re, jenson hb, stanton bf,
penyunting. Buku ajar anak Nelson. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007. h. 1976-81.
2. Iskandar B. Gagal jantung pada bayi dan anak. Dalam: Pelatihan tentang pedoman
tindakan klinis kegawatdarurat akut pada anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak UNHAS; 2014. h. 121-7
3. Oesman IN. Gagal Jantung. Dalam: Sastroasmoro S, Bambang M, penyunting. Buku
Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Binarupa Aksara; 2006. h. 425-42.
4. Park MK. Gagal jantung kongestif. Dalam: Zorab r, fletcher j, penyunting. Ahli
jantung pada anak. Edisi ke-4. Missouri; Mosby Inc; 2002. h. 399-407
5. Anonim. The New York Heart Association (NYHA) Klasifikasi fungsi pada pasien
dengan penyakit jantung. [serial online] 2010 [Diunduh 15 Oktober 2014]. Tersedia
dari:

URL:

http://www.journal-of-cardiology.com/article/S0914-

5087%2812%2900099-8/pdf

6. Bernstein D. Penyakit jantung kongenital. Dalam: Kliegman rm, behrman re, jenson
hb, stanton bf, penyunting. Buku ajar anak Nelson. Edisi 18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. h. 1878-94.
7. Soeroso s, sastrosoebroto h. Penyakit jantung bawaan non-sianotik. Dalam:
Sastroasmoro S, Bambang M, penyunting. Buku ajar kardiologi anak. Jakarta:
Binarupa aksara; 2006. h. 191-233.
8. Park mk. Lesi pirau dari kiri ke kanan. Dalam: Zorab r, fletcher j, penyunting. Ahli
jantung pada anak. Edisi ke-8. Missouri; Mosby Inc; 2002. h. 129-54.
9. Penny dj, wesley g. Defek septum ventrikel. [serial online] 2011 [Diunduh 15 Oktober
2014].

Tersedia

dari:

URL:

https://pedclerk.uchicago.edu/sites/pedclerk.uchicago.edu/files/uploads/VS
D.Lancet.2011.pdf

10. Ratna st, advani n, rahayuningsih se, priyatno a, rahman ma, nugroho s, dkk. Defek
septum ventrikel. Dalam: Pudjiadi ah, hegar b, handryastuti s, idris ns, gandaputra ep,
harmoniasti ed, penyunting. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009. h. 38-40.

18

11. Rohim A. Gagal jantung akut. Dalam: Buku Protab Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih. Jayapura:

SMF ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH. 2013.


12. Djer mm, madiyono B. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. [Serial online] 2000
[Diunduh 15 Oktober 2014]. Tersedia dari: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/23-5.pdf

13. Said, M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB, penyunting.
Buku Ajar Respirologi. Edisi ke-1. 2008. Jakarta: Penerbit Ikat Dokter Anak
Indonesia; 2008. h. 350-64.
14. Istiantoro, Y. Penisilin, Sefalosporin dan antibiotik beta laktam lainnya. Dalam:
Gunawan S, Setiabudy r, elysabeth, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5.
2009. Jakarta: Penerbit FKUI; 2008. h. 664-86.
15. Sectish T, bernstein D. Pneumonia. Buku ajar anak Nelson. Edisi 19. Cetakan 389.
Hal 1431-1435.2011.
16. Kania N. Penatalaksanaan demam pada anak. [serial online] 2007 [Diunduh 13 April
2014]. Tersedia dari: URL: http://www.pustaka.unpad.ac.id/archives/37973/
17. Schleiss mr. Demam. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
editors. Buku ajar anak Nelson. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h.
1084-87.
18. Merdjani a, syoeib aa, tumbelaka ar, chairulfatah a, sachro adb, arhana bnp, dkk.
Demam: Patogenesis dan pengobatan. Dalam: Soedarmo ssp, garna h, hadinegoro srs,
satari hi, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2010. h. 21-46.

19

Anda mungkin juga menyukai