Manusia Indonesia yang tertua adalah sudah ada kira-kira satu juta tahun yang
lalu, waktu dataran Sunda masih berupa daratan, dan waktu Asia Tenggara bagian
benua dan bagian kepulauan masih bersambung menjadi satu. Dataran penduduk
ini mempunyai tubuh dengan ciri-ciri masih berbeda dari manusia sekarang, dan
sisa-sisa fosilnya adalah beberapa fosil yang ditemukan di beberapa desa di daerah
lembah Bengawan Solo. Fosil-fosil itu oleh para ahli antropoligi disebut dengan
Pethecanthropus Erectus.
Manusia ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil dari berburu dan
meramu. Alat berburunya yang terpenting adalah sebuah alat pemukul dari kayu
yang dipukulkan atau dilemparkan kepada binatang mangsanya. Sebagai alat guna
memotong-potong daging binatang yang telah dibunuh, guna mengerok kulitnya
dan sebagai kapak genggam guna memotong kayu dan guna membuat alat-alat
yanglain, dipakai olehnya suatu gumpal batu yang telah diperjatam pada satu sisi.
Kecuali itu tulang-tulang binatang dan tanduk rusa juga dipergunakan olehnya
sebagai peralatan untuk berbagai macam pekerjaan, dan untuk mencari dan
meramu akar-akar untuk dimakan.
Perkembangan selanjutnya, kira-kira 11.000 SM., manusia-manusia tadi
mengembangkan kemampuan dan kebudayaannya sehingga menghasilkan pola
hidup yang berbeda. Mereka menyebar ke berbagai arah di seluruh penjuru negeri
dan mulai hidup dalam kelompok-kelompok kecil di daerah muara-muara sungai
di mana mereka hidup dari usaha menangkap ikan di sungai, dari meramu
tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran dan dari berburu di hutan belukar. Tempat
tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terdiri dari sederet
rumah-rumah kecil yang dibuat dari bahan-bahan yang ringan. Rumah-rumah itu
sebenarnya hanya merupakan kemah atau tadah-angin saja, yang didirikan
menempel pada dinding dari suatu karang yang menengkuap, atau pada dinding
dari suatu gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah-angin-tadah angin di bawah
karang atau gua tadi adalah tempat untuk tidur dan berlindung saja, sedangkan
tempat di mana mereka masak dan makan, di mana mereka duduk untuk
mengobrol dengan keluarga mereka, di mana mereka bermain-main dengan anakanak mereka, dan di mana mereka mengadakan pesta-pesta, adalah di halaman
terbuka di tepan kemah-kemah tadi.hewan-hewan yang mereka buru adalah rusa,
binatang-binatang kecil dan burung di hutan, atau menangkap ikan di sungai,
hanya dengan tongkat pukul atau tombak kayu.
Gelombang selanjutnya adalah munculnya manusia Indonesia dengan
bentuk fisik yang memiliki ciri Mongoloid. Orang-orang ini sudah mengenal
kepandaian bercocok tanam, sungguhpun tanpa irigasi. Mereka bercocok tanam di
ladang yang mereka buka dengan cara memotong dan membakar bagian-bagian
dari hutan. Dnengan pengolahan tanah yang minim, ialah sekedar mencangkul
saja, mereka menanam keladi dan ubi jalar. Kalau ladang-ladang yang mereka
tanami tanpa pengolahan tanah dan irigasi itu, kehabisan zat-zatnya dan hilang
kesuburannya, mereka pindah ke lain tempat di hutan, yang mereka buka algi
dengan cara menebang dan membakar. Sebagai alat, kapak digunakan untuk
menebang pohon dan sebagai cangkul untuk mengolah tanah, mereka pakai
sebuah alat berbentuk bujur sangkar pada penampangnya. Kapak-kapak serupa itu
diasah sampai mengkilat dan diikat kepada sebuah tangkai kayu dengan rotan.
Gelombang ini diperkirakan berlangsung selama masa 3000-1000 SM.
Meskipun tadi sudah dikatakan bahwa masa ini adalah masa manusia
Indonesia berkemampuan bercocok tanam, namun mereka masih belum mengenal
padi. Sebuah pertanyaan penting perlu diajukan di sini, yakni dari mana dan kapan
manusia Indonesia mengenal pertanian dan cara menanam padi? Menurut para
ahli, padi pertama kali ditanam di Burma. Mula-mula tanaman ini ditanam dengan
sistem ladang, lalu dibawa ke arah timur, ke arah Cina Selatan, melalui lembah
Sungai Yangtze, yang sejajar dengan sungai Mekhong. Dalam proses persebaran
itu padi mulai ditanam dengan teknik irigasi yang sudah dikenal oleh suku-suku
bangsa seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Indonesia mengenal
kepandaian menanam padi adalah akibat pengaruh dari bangsa-bangsa yang juga
membawa kepandaian membuat benda-benda perunggu, atau bangsa-bangsa yang
datang sesudah itu. Namun, kepandaian menanam padi di sawah itu sudah dikenal
paling sedikit oleh penduduk Jawa, sebelum pengaruh keubdayaan Hindu datang
dalam abad ke-4 Masehi.
Gelombang selanjutnya, yang tentu saja harus disebutkan di sini dan
menandai berakhirnya masa prasejarah di Indonesia, adalah kepandaian membuat
benda-benda perunggu. Benda-benda itu bisa berupa nekara (genderang
perunggu); alat-alat berupa kapak perunggu dengan beraneka warna bentuk, besar,
kecil, pendek, lebar, bulat; alat perunggu berupa cendrasa; bejana-bejana
perunggu tempat abu orang meninggal; perhiasan-perhiasan berupa gelanggelang, manik-manik; kaling; cincin-cincin dari perunggu; arca-arca perunggu;
mata uang; juga alat-alat besi. Benda-benda itu bisa ditemukan Sumatra, Jawa
dan Nusa Tenggara, khususnya Bali, Sangean (Sumbawa), Rote, Leti, Selayar,
Kei, Alor, Timor dan di Irian Jaya (Sentani).
Kepandaian membuat perunggu itu biasanya berdampingan dengan
perkembangan peradaban yang mendasarkan kepada masyarakat kota. Di Asia
Tenggara zaman purbakala, kota itu biasanya merupakan pusat kerajaan dan
istana, pusat kompleks pemujaan dan pusat-pusat pemujaan. Masyarakat kota-kota
dengan suatu sistem pemerintahan yang lebih luas dari pemerintahan desa dapat
kita perkirakan berkembang di Asia Tenggara. Banyak dari negara-negara tertua di
benua Asia Ternggara yang berkembang di lembah-lembah daerah hilir sungaisungai besar itu terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan Cina, sedangkan
kebudayaan-kebudayaan dalam negara-negara tertua di Indonesia terpengaruh
oleh unsur-unsur kebudayaan yang terjadi karena percampuran antara
kebudayaan-kebudayaan pribumi dan unsur-unsur Cina.
Baru kemudian sejak abad ketiga dan keempat Masehi, mulailah tampak
pengaruh unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari India, ialah unsur-unsur
kebudayaan yang dibawa ke Asia Tenggara dengan persebaran agama Hindu dan
Budha ke daerah itu. Dengan persebaran agama Hindu dan Budha mulailah suatu
babak baru dalam sejarah kebudayaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada
umumnya dan di Indonsia pada khususnya, karena pengaruh itu membawa suatu
kepandaian baru kepada mereka, yakni kepandaian menulis. Dengan itu juga
berhentilah abad-abad prehistori, dan mulailah abad-abad histori atau abad-abad
2. Pada masa antara abad ke-4 atau 5 hingga abad ke-15, terdapat banyak sekali
kerajaan Hindu-Budha yang berdiri dan runtuh. Masa ini adalah masa di mana
Indonesia sebagai bangsa mendapat pengaruh kuat dari India dan Cina. Kerajaankerajaan tersebut adalah sebagai berikut:
Kerajaan Kutai (di Kalimantan Timur). Berdasarkan prasasti yang berupa 7 yupa
(tiang batu), dapat diketahui bahwa raja Mulawarman adalah keturunan dari raja
Aswawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti
tersebut mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana, dan
para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda syukur dan terima kasih
terhadap sang raja yang dermawan. Dari upacara-upacara yang ada, masyarakat
kerajaan ini menganut Hindu.
Tarumanegara (pesisir utara Jawa Barat). Sekitar tahun 400-500 Masehi di Jawa
Barat terdapat kerajaan dengan rajanya bernama Purnawarman. Berdasarkan
catatan Prasasti Tugu, para tahun kekuasaan raja Purnawarman yang ke-22, sungai
Gomati yang panjangnya 6122 busur ( 12 km) digali dalam 21 hari, di samping
sungai yang sudah ada, yaitu sungai Bekasi. Pekerjaan ditutup dengan pemberian
1000 ekor lembu kepada para brahmana.
Sungai yang digali itu kemungkinan sekali adalah terusan untuk membantu
pengaliran air sungai Bekasi di musim hujan, agar tidak ada banjir yang dapat
merusak daerah kanan kirinya. Usaha memperhatikan kepentingan rakyat ini
dalam tahun pemerintahannya yang ke-22 memberi kesan, bahwa Purnawarman
adalah raja yang berhasil menciptakan suasana damai dan tenteram di dalam
lingkungan kerajaannya.
Sriwijaya (di Sumatra Utara). Pada abad ke-7 muncul suatu kerajaan di Sumatra,
yaitu kerajaan Sriwijaya, di bawah kekuasaan Syailendra. Hal ini termuat dalam
prasasti Kedukan Bukit Siguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 Saka atau
683 M., dalam bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah
kerajaan maritim yang mengandalkan kekauatan lautnya, kunci-kunci lalu lintas
laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686 M), kemudian selat
Malaka (775 M). Pada zaman ini kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan
besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan
dengan mempersatukan dengan pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut
Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi
sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya.
Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus
pajak, harta benda kerajaan, rokhaniwan yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga pada saat itu
kerajaan dalam menjalankan sistem pemerintahannya tidak lepas dari nilai
ketuhanan.
Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu
universitas agama Budha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak
musafir dari negara lain misalnya dari Cina terlebih dahulu di universitas tersebut
Toleransi positif dalam bidang agama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang
silam.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang
Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang
berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut: Saya baru
akan berhenti berhenti puasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara takluk di
bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan tumasik telah dikalahkan.
Selain itu, dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk
senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan
Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Menurut prasasti Brumbung (1329),
dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti
Rakryan I Hino, I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan nasihat kepada
raja.
Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia, dan
banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara
kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian, disebabkan oleh faktor
keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada
permulaan abad ke-15, maka sinar kejayaan majapahit berangsur-angsur mulai
memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan pada abad ke-16 (1520). Masa ini
dikenal dengan Sinar Hilang Kertaning Bumi (Kartodirdjo, 1975).
Semua itu adalah nama-nama, berikut sedikit penjelasan mengenai
sejarahnya, kerajaan Hindu-Budha yang pernah berdiri dan jaya di Indonesia.
Kesemuanya menunjukkan adanya pengaruh yang datang dari India, tidak hanya
di bidang keagamaan, tapi juga dalam bidang politik, sosial-ekonomi, dan
kebudayaan.
Satu cacatan penting perlu ditambahkan bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang sangat terbuka terhadap kebudayaan di luar dirinya
sehingga sangat mudah sekali melakukan asimilasi. Namun, justru dengan proses
asimilasi ini identitas yang dimiliki tidak dengan sendirinya luntur atau hilang
karena terhegemoni oleh pendatang, akan tetapi justru malah semakin terbentuk,
dan memberi sumbangan terhadap apa yang sekarang dikenal dengan sebutan
kebudayaan Nusantara.
3. Islam datang ke Indonesia melalui empat jalur: (1) Jazirah Arab, (2) Gujarat,
India, (3) Persia, dan (4) Cina, baik melalui perdagangan, pemukiman maupun
pelarian dari negeri asal. Hingga saat ini belum bisa ditentukan, dari manakah di
antara keempat jalur islamisasi itu yang pertama kali datang ke Indonesia. Namun,
karena proses Islamisasi yang memakan waktu panjang hingga berabad-abad,
hanya bisa dipastikan bahwa di daerah-daerah pesisir banyak pemukimanpemukiman kaum Muslim dari keempat daerah tersebut.
Dengan berkembangnya perdagangan rempah-rempah di laut-laut
Nusantara menyebabkan timbulnya suatu lapisan pedagang yang makmur dan
suatu aristokrasi pelabuhan yang kuat. Waktu kekuatan Sriwijaya mundur, kirakira dalam abad ke-13, sejajar dengan naiknya kekuasaan negara-negara di Jawa
barang kelontong, pasar, dan beberapa pertukangan dan industri kecil yang
memberi pelayanan kepada penduduk kota.
Dalam kota-kota pusat pemerintahan itu, terutama yang ada di Jawa,
Sulawesi Utara, dan di Maluku, berkembanglah dua lapisan sosial. Pertama,
adalah kaum buruh yang telah meninggalkan pekerjaan tani dan bekerja dengan
tangan dalam berbagai macam lapangan pertukangan, sebagai pelayan di rumah
tangga orang pegawai atau pedagang-pedagang Tionghoa, atau sebagai buruh
dalam perusahaan dan industri kecil. Kedua, adalah lapisan masyarakat dari
kalangan pegawai (di Jawa disebut dengan priyayi), yang bekerja di belakang
meja tulis. Dalam lapisan masyarakat kedua ini, pendidikan Barat di sekolahsekolah dan kemahiran dalam bahasa Belanda menjadi syarat yang utama untuk
naik kelas sosial.
Di beberapa kota di Jawa dan di beberapa daerah lain di Indonesia telah
mulai berkembang pula sejak satu abad yang lalu, suatu golongan orang pedagang
Indonesia yang dapat menempati sektor-sektor dalam ekonomi Indonesia di
tingkat menengah, yang belum atau tidak diduduki oleh orang-orang Tionghoa,
seperti kerajinan tangan, batik, tenun, rokok kretek dan lain-lain, namun suatu
golongan pedagang dan usahawan pribumi yang kuat dengan suatu gaya hidup
dan kebudayaan yang dapat terasa pengaruhnya pda lain-lain golongan di
Indonesia, belum pernah berkembang. Hingga saat ini, kebudayan dengan
mentalitas pegawai negeri masih amat berpengaruh terhadap kehidupan
kebudayaan Indonesia.
Tingkat perdagangan menengah dan perantara (distributor) dalam zaman
kolonial Belanda adalah dikuasai oleh orang Tionghoa dan keturunan orang
Tionghoa, yang mulai masuk ke Indonesia dalam jumlah bedar sejak abad ke-17
dan 18. Orang-orang ini mendapat kedudukan dalam perdagangan perantara dan
tengkulak, yang menghubungkan perdagangan tingkat bawah dalam ekonomi
pedesaan dengan pedagang besar dalam rangka ekonomi ekspor inernasional yang
berada di tangan orang Belanda. Banyak orang Tionghoa juga dimasukkan oleh
orang Belanda, terutama pada abad ke-18, untuk dipekerjakan sebagai kuli dan
buruh dalam pertambangan-pertambangan dan perkebunan orang Belanda.
Dengan struktur ekonomi seperti diuraikan di atas, rakyat pribumi yang
sebagian besar hidup di desa-desa tetap berada dalam keadaan miskin dan tidak
ikut terseret dalam proses perkembangan dan kemajuan ekonomi luar biasa yang
dialami oleh kaum penjajah Belanda itu. Hal ini berlangsung sejak paruh abad ke19 yang lalu. Pada saat yang sama, dalam keadaan miskin itu, rakyat Indonesia,
terutama di Jawa, di mana kekuasaan Belanda paling mantap, mengalami proses
kenaikan jumlah penduduk dengan suatu laju yang luar biasa cepat.
Berkat politik etis yang ditelorkan oleh Belanda di Indonesia,
berkembanglah sistem pendidikan sekolah-sekolah. Pengaruh kebudayan Eropa ke
dalam kebudayaan Indonesia yang bersifat positif adalah pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan orang Indonesia. Meski apresiasi
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi masih tetap terbatas pada suatu bagian
kecil saja dari rakyat Indonesia, namun kesadaran mengenai pentingnya hal itu
untuk kemajuan sudah mulai ada pada suatu kalangan yang luas di negeri ini.
Selanjutnya, perlu disebutkan suatu pangaruh kebudayaan Eropa yang juga